Share

LEAVE ME ALONE

“Bisakah aku mengendalikan kehidupanku sendiri? Ini hidupku, dan hanya diriku yang berhak atas itu.”

    Kris menikmati potongan croissant yang mengkilap karena olesan butter. Netranya menatap ke arah sang putra yang sedang mengelus lembut buntalan hitam dipangkuannya, Toby. Satu-satunya makhluk hidup yang sangat manja apabila bersama Chan. Terlebih ketika majikannya itu selesai memberikan vaksin. Seperti yang baru saja ia lakukan, memberikan obat cacing pada Toby. Anjing poodle yang sudah berusia 6 bulan memang sebaiknya diberikan obat cacing untuk ketahanan tubuh, khususnya sistem pencernaan.

    "Chan," panggil Kris hati-hati. "Mommy rasa tidak ada salahnya kamu memperbaiki hubungan dengan Rossie. Dia wanita yang baik, Mommy dan Granny sangat menyukainya."

    Chan menyesap minumannya hingga tandas, dan mengambil napas dalam sebelum menyanggah ucapan sang ibu. Hubungan apa yang harus mereka perbaiki? 

    "Mom, tolong berhenti mencampuri urusan pribadiku. Aku belum memikirkan soal pendamping. Urusan di perusahaan Daddy saja sudah membuatku pusing." 

    "So please, Mommy and Granny stop jodohin aku sama Rossie atau sama wanita  manapun," tambah Chan sambil beranjak meninggalkan Ibunya. 

    Kris menatap punggung putranya yang menjauh, bukan maksudnya untuk mencampuri urusan pribadi sang putra. Ia menyadari kalau Chan merasa terbebani dengan segala masalah Hwang group. Ia hanya mencoba mencarikan teman untuk Chan, agar bisa berkeluh kesah dan mengurangi beban pikirannya. Mereka memang terlihat dekat, tetapi Chan tidak pernah mencoba menceritakan segala kesusahannya. Pria itu memang sangat tinggi gengsinya.

***

    “Makannya punya pacar! Setidaknya kamu bisa bercerita santai tanpa rasa sungkan,” celetuk Thomas sambil menikmati fettucini bertabur keju.

    Chan mengembuskan napas kasar, menumpuk kepenatan hanya membuatnya terasa semakin pusing. Pikirannya tidak bisa digunakan berpikir secara jernih. Ia melirik Thomas yang sedang melahap makanan favoritnya. Ah, pria itu tidak bisa diharapkan. Menceritakan keluh kesahnya kepada Thomas hanya akan membuatnya semakin pusing. Sepupunya itu akan menghakiminya secara terus-menerus. Ia hanya membutuhkan seorang pendengar. Itu saja. 

    “Chan, bagaimana kalau kamu make a reservation sama cewek. Ini bukan cewek sembarangan, kalau kau mau aku bisa buatkan reservasi atas namaku.” 

    “Kamu gila?! Berhenti memberiku ide yang tidak masuk akal!”

    “Ini sangat masuk akal, kamu cukup berduaan sama dia, menceritakan keluh kesahmu. Kamu lega, rahasiamu aman. Lagian dia juga tidak akan mengenalimu. Kalian tidak perlu bertatap muka.” Thomas memberikan penjelasan layaknya seseorang yang sudah terbiasa melakukan hal itu. 

    Chan menatap ke arah Thomas penuh selidik, “kamu pernah melakukan itu?”

    “Tentu, sebelum aku mempunyai Stevi.” 

    Kedua tangan Chan tertangkup menopang dagu jirusnya. Ini salah satu efek buruk, karena kurang pergaulan. Ia tidak memiliki seorangpun yang bisa menjadi pendengar setianya. Pikiran Chan kembali berselancar kepada Rossie. Kejadian malam itu masih membekas diingatan. Namun, rasa sakit hati yang ditinggalkan oleh Rossie juga tidak akan dengan mudah hilang begitu saja. 

***

    "Cheers!"

    Rossie langsung meneguk satu sloki yang penuh dengan vodka dalam sekali tegukan. Rasanya sangat menyengat kerongkongan, dan ia menikmati itu. Vodka adalah teman yang tepat untuknya saat ini.

    "Ah."

    Tangannya kembali menuang vodka ke dalam seloki dan meneguknya hingga tandas. Catherine yang duduk di sebelah Rossie hanya bisa mengamati dalam diam. Ia sudah cukup paham, bahwa itulah cara sahabatnya untuk melampiaskan kekesalan. 

    "Hai, Girls!" panggil Amber yang berjalan menuju table bar dengan langkah mengangkang. Raut wajahnya terlihat menahan nyeri yang terasa di area sensitif itu. 

    "Am, are you ok?" tanya Catherine tanpa basa-basi. 

    Amber merebut vodka yang masih tersisa separuh dari tangan Rossie, sebelum menjawab pertanyaan Catherine. "Of course, I'm not okay," ucap Amber sambil menghela napas pelan. 

    "Si tua bangka itu menghabisiku dalam satu malam! Entah obat penguat apa yang dia minum! Sialan!" ujar Amber sambil membenarkan posisi duduknya, dan menyandarkan punggung. 

    Catherine terkekeh, bibirnya mengerucut sambil mengembuskan asap rokok ke udara. "Cari uang memang tidak gampang, darling."

    Rossie hanya terdiam menikmati musik yang dimainkan oleh DJ. Ia tidak mencoba masuk ke dalam obrolan kedua sahabatnya. Wanita itu hanya menganggukkan kepala, saat mendengar ucapan Catherine. Yah, mencari uang memang tidak mudah. Bahkan ia rela menukar kebebasannya dengan kemewahan dari Edric. Begitu berkuasanya uang. 

    "Diantara kita bertiga, yang paling beruntung itu Rossie." Amber menyulut rokok yang terjepit di jarinya, mengisap dalam kemudian menyemburkan asap ke udara. "Dia dapat pria seperti Edric, tampan dan kaya. Tentu tidak akan tersiksa saat bercinta dengannya. Tidak harus menatap wajah tua bangka yang menahan kenikmatan." 

    “Anyway, ini kasino milik Edric. Kita bisa minum sepuasnya karena sang kekasih ada disini.” Amber terkekeh sambil menyesap vodka miliknya. Yah, tempat itu adalah salah satu bisnis kasino milik Edric, lebih tepatnya di lantai dua untuk tempat berjudi. Sementara lantai 1 untuk menari dan berpesta. 

    Rossie mencibir, tak ingin membalas pernyataan Amber yang hanya akan memancing perdebatan. Ketiga wanita itu memang terjebak dalam hubungan yang tidak normal. Catherine dulu bekerja sebagai seorang sekretaris, yang kemudian resign dan menikah dengan petinggi negara. Lebih tepatnya, menjadi istri kedua. Sementara Amber, menjadi selingkuhan owner perusahaan yang sudah mempunyai 4 cucu. Dan menurut Amber, libido pria tua itu masih bisa membuatnya kewalahan. 

    Semua itu mereka lakukan untuk mempertahankan kehidupan yang mewah. Yah, barang-barang branded itu tidak bisa turun dari langit begitu saja, kalau tidak ada yang namanya uang. Belum lagi sifat hedonis yang tertanam sejak masih remaja. Cukup sulit untuk mengubah hidup menjadi sederhana dan apa adanya. 

    Tapi kali ini, keputusan Rossie sudah benar-benar bulat. Karirnya di dunia modeling sudah cukup bagus, dengan penghasilan yang lumayan besar. Ia akan segera memutuskan hubungan beracunnya dengan Edric. 

    Pasti!

***

    Edric mengembuskan napas kasar ketika melirik kartu terakhirnya, tiga wajik. Hari ini adalah hari sialnya, ia kalah telak. 

    Sial!

    "Aw!" teriak wanita beriris biru yang duduk di pangkuan Edric. Paha putih nan mulus itu tersundut bara rokok yang tentu saja dilakukan oleh Edric. 

    Wanita itu segera beranjak, sambil meringis menahan luka bakar yang menjalar di bagian sekitar pahanya. 

    "Tammy, are you ok?" tanya Max salah satu asisten Edric. 

    "It's okay Max," jawab Tammy sambil meniup bagian pahanya yang masih melepuh. Ia sudah hafal dengan sikap Edric yang akan menyundutkan bara rokok ketika sedang kesal. Mau marah pun tak sanggup, karena merasa sudah dibayar. Beruntung teknologi dermatologi yang canggih, bisa mengembalikkan aset pencetak uangnya itu dalam waktu beberapa hari saja. 

    Ash, rasanya juga ingin memaki pria itu.

    Seorang wanita dengan kostum skandal kelinci, mengganti posisi Tammy. Bergelayut manja di pangkuan Edric yang sudah mereda. Lengan kukuh itu langsung merangkul pinggang ramping yang mubazir untuk disia-siakan. Kecupan panas juga tak terelakkan dari keduanya. 

    Edric membalas setiap hisapan yang diberikan oleh jalang itu. Ia tidak mau kalah. Tentu, Edric Ridley Anderson adalah pria yang mahir dalam hal itu. 

    Rossie mengedarkan kedua matanya, mencari tulisan toilet atau penunjuk jalan untuk menuju kesana. Ia harus bersusah payah karena toilet di lantai 1 penuh dengan pasangan kekasih yang sudah tidak bisa menahan gairah bercumbu. 

    Kedua mata Rossie membulat dengan sempurna, ia terperanjat ketika merekam adegan yang dilakukan oleh Edric dan wanita kelinci itu. Bukan! Bukan rasa cemburu yang kini membakar dada. Rasa cemburunya terlalu kecil apabila dibandingkan dengan rasa marah. 

    Brengsek!

    "Lelaki bajingan!"

    "Dia tidak mau melepaskanku, tetapi masih bisa bercumbu dengan wanita lain?!"

    Wajah Rossie menegang, kedua bagian giginya beradu. Genggaman tangannya juga ikut menguat, siap digunakan untuk menghantam pria brengsek itu. Ini kesempatan yang sangat tepat untuk memutuskan hubungan sialan bersama Edric, pikir Rossie.

    Dengan langkah pasti, Rossie menghampiri Edric yang masih menikmati hisapan penuh gairah itu. 

    "Edric! Apa yang kamu lakukan?!" pekik Rossie. 

    Edric melepaskan ciuman panasnya dan memiringkan kepala. Hingga iris coklat gelapnya mampu menatap wajah Rossie yang memerah penuh emosi.

    "Babe?" ucap Edric santai.

    "Babe? Kau masih bisa bersikap santai? Kau tidak merasa melakukan kesalahan?"

    "Kesalahan apa?"

    Rossie mendengus kesal, pria itu sudah tertangkap basah tetapi masih tidak merasa bersalah. Gila! Benar-benar gila! Dia memang bukan manusia. 

Perhatian pengunjung kini tertuju pada keduanya yang sedang beradu mulut. Max yang sedari tadi merekam kejadian itu hanya bisa berdiri menjauh. Lebih baik menyelamatkan diri, dari pada ikut terlibat dalam pertengkaran sepasang kekasih. 

    Edric menarik tangan Rossie untuk menjauh dari keramaian. Bagaimanapun juga reputasi seorang Edric Ridley Anderson akan dipertaruhkan, apabila tertangkap sedang bertengkar dengan seorang wanita. Itu sangat menjatuhkan wibawanya sebagai pemilik kasino. 

    Brengsek benar-benar brengsek!

    Berkali-kali Rossie mengumpat dalam batin. Terbuat dari apa hati pria itu? Atau memang dia tidak mempunyai hati. 

    "Edric! Aku sudah tidak bisa melanjutkan hubungan ini! Aku mau pu---."

    "Babe, aku begini karena kamu. Kamu yang memulai pertengkaran, kamu yang sudah mulai mengabaikanku!" Edric mencengkeram kuat kedua lengan Rossie dengan tangannya yang kukuh. Membuat Rossie meringis, menahan rasa sakit yang timbul. 

    "Coba kamu menuruti semua perkataanku, tentu aku tidak akan begini. Lagipula nothing special dengan jalang itu." 

    “Kamu yang membuatku begini Rossie! Kamu!” 

    Lagi! Edric kembali mendoktrin isi kepala Rossie, agar ia merasa bersalah. Memutar balikkan fakta, supaya terlihat pihak wanita sebagai orang yang mematik api terlebih dahulu. Rossie memundurkan tubuhnya hingga menempel pada tembok. Pria macam apa yang berada di depannya? Bagaimana bisa ia menjalin hubungan dengan manusia seperti ini? Tidak, dia bukan manusia, dia lebih terlihat seperti dementor yang selalu mengisap kebahagiannya. 

Kring...kring...kring... 

Hugo calling...

    Rosssie melirik layar ponselnya, dan mengusap buliran bening yang akan jatuh dari peraduan. Ia mengatur nafas yang sempat tersengal karena menahan emosi yang meluap. Dipencetnya tombol hijau pada layar ponsel, dan menerima panggilan itu. 

    "Halo."

    Kini buliran bening yang sedari tadi tertahan di pelupuk mata, akhirnya tumpah. Rasa marah, kecewa, dan sedih bercampur menjadi satu. Dadanya sesak ketika mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Hugo, sang kakak.

    “Ya Tuhan, apalagi ini?!” gumam Rossie lirih, hampir tak bersuara.

    Daddy kolaps!

    Penyakit Daddy kambuh lagi!

    Daddy masuk ICU!

    Kedua kaki Rossie kini tidak mampu menopang berat tubuhnya. Ia terjatuh dan terisak, air matanya kembali tumpah membasahi pipi. Sementara Edric hanya menatapnya tanpa reaksi. Kenapa kesedihan selalu datang dalam hidupnya?

TO BE CONTINUED…

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Aŕrã
Lanjutttt thor!!! Semangattt......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status