"Hanya dia yang aku punya di dunia ini. Akan kubuat jutaan senyum terukir di wajahnya."
Mr. Ramos mengalami peningkatan gula darah hingga 350 mg/dL. Hal itu yang menyebabkan beliau mengalami pengurangan kesadaran. Selama ini pasien tidak melakukan pengobatan rutin. Kalau dibiarkan begini terus, tentu akan berakibat fatal.
Kata-kata itu terngiang di kedua telinga Rossie. Kenapa ayahnya harus berbohong? Selama ini Alexander selalu bilang kalau rutin melakukan check up. Tetapi nyatanya tidak, sekarang Rossie harus melihat sang ayah terbaring di bed pesakitan.
Rossie menggenggam tangan Alexander yang masih terlelap. Ia berusaha membuat matanya tetap terjaga. Dua belas jam perjalanan udara membuat tubuhnya terasa luar biasa lelah.
Hugo mengulurkan segelas cokelat hangat untuk sang adik, sambil mengusap lembut pundaknya.
"Thanks," ucap Rossie. Lidahnya terasa hambar, tidak lagi bisa menikmati rasa manis cokelat favoritnya. Melihat sang ayah yang terkulai lemas seperti ini, membuat separuh hatinya patah. Pria paruh baya itu adalah cinta pertamanya.
"Edric sudah membayar semua biaya pengobatan Daddy," jelas Hugo.
Penjelasan yang sangat tidak ingin Rossie dengar. Semakin sering Edric memberikan kebaikan untuk keluarganya, semakin sulit pula untuk lepas dari pria tersebut.
"Hugo, mulai sekarang jangan pernah terima sepeserpun uang dari Edric," pinta Rossie sambil menatap nanar Hugo. "Aku cuma nggak mau kita semakin berhutang budi karena bantuannya."
"Baiklah, sekarang kamu istirahat dulu, biar Peter yang mengantarkanmu pulang ke rumah."
***
Campuran air mawar dan juga kelopak bunga mawar merah, membungkus tubuh Rossie yang bertelanjang bulat. Rasa hangat itu menyentuh lapisan epidermis kulitnya. Nyaman. Berharap campuran air hangat itu tidak hanya bisa memberikan kesegaran di tubuhnya, tetapi juga sedikit kebahagiaan.
Jika Harry Potter bisa mengusir dementor hanya dengan mengayunkan tongkat dan mengucap mantra 'expecto patronus'. Lalu mantra apa yang harus diucap oleh Rossie, untuk mengusir Edric yang telah mengisap kebahagiannya?
Tatapan Rossie kosong, ia masih tidak mengerti, kenapa sang takdir mempermainkan hidupnya seperti ini? Kesalahan apa yang ia lakukan di kehidupan sebelumnya?
Tangannya meraih segelas red wine yang sudah disiapkan di bibir bathtub, kemudian menyesapnya hingga tandas. Ia mengambil napas dalam, lalu menenggelamkan wajahnya dalam air. Berharap ia bisa terbangun di kehidupan yang baru dan terlepas dari semua penderitaan ini.
***
Menghentakkan jemari pada keyboard dan memeriksa beberapa berkas yang sudah terkirim di surel milik Chan. Hari ini ada banyak laporan yang harus diperiksa.
Ruangan yang didominasi warna putih tersebut semakin terlihat luas, karena Chan tidak menaruh beberapa barang di sana. Hanya ada sofa panjang berwana abu yang dipasang menhadap pada pemandangan kota California dan beberapa rak yang berisi penghargaan Hwang Jewelry.
Mendengar kata berlian, maka nama Hwang Jewelry akan mudah terlintas di benak para penikmat perhiasaan mahal. Perusahaan tersebut mengambil warna pink sebagai identitas produk. Seperti yang diketahui, berlian warna pink mempunyai harga paling mahal dan dikenal sangat langka.
Chan menggaruk dagunya yang tidak gatal, wajah Rossie yang merintih di malam pertama mereka bertemu terbesit kembali di benaknya.
“Sial, aku tidak bisa berkonsentrasi kerja. Kenapa harus wajah itu yang teringat? Padahal setelahnya aku berjumpa lagi dengan wanita itu,” gerutu Chan sembari menyandarkan punggung di sandaran kursi. Kedua mata pria berdarah oriental tersebut menatap pemandangan gedung-gedung di California.
Jarang sekali perhatian Chan mudah terpecah hanya karena seorang wanita. Biasanya yang akan menetap di pikiran Chan hanyalah segala ambisi untuk membesarkan nama Hwang Jewelry.
Derit pintu yang dibuka, menampilkan presensi Bianca, kerabat jauh Chan yang menjabat sebagai director of sales and marketing di Hwang Jewelry.
“Chan, ini paper beberapa model yang akan pemotretan produk terbaru kita dan siap launching di Beverly Hills juga.” Bianca menyodorkan beberapa kertas yang dirakit menjadi satu bagian.
Menoleh pada paper tebal tersebut kemudian mengangguk. “Taruh situ saja.”
“Oh, come on Chan! Kamu harus segera memeriksanya, aku tidak mau kamu mengubah talent yang sudah kupilih mendadak ya!” peringat Bianca. Well, wanita berambut pirang itu sudah cukup hafal dengan sifat seenaknya Chan. Di mana bisa tiba-tiba ingin mengganti model dalam waktu beberapa jam sebelum pemotretan.
“Baiklah,” ujar Chan sembari meluruskan punggung. Ia membolak-balikkan lembaran dengan beberapa potret model yang terpasang di sana.
Kedua mata Chan menatap malas paras para model yang menurut dirinya biasa saja. Hingga gerakan membalik lembaran terhenti diikuti kedua pupil yang membesar. Wajah mungil yang berbingkai rambut blonde dengan nama Rossie Liady Ramos tercetak di samping foto tersebut.
“Why? Ada yang tidak kamu sukai?” tanya Bianca yang menyadari ekspresi terkejut Chan.
“Dia?” Chan menunjukkan foto Rossie kepada Bianca, seakan meminta penjelasan.
“Kamu tidak suka dengannya? Pdahal dia salah satu model yang berpotensi, aku rasa akan sangat membantu penjualan produk baru kita.” Bianca menjelaskan. Embusan napas kasar lolos dari bibirnya, “Baiklah aku akan menggantinya.”
“Ti-tidak perlu, kita pakai dia saja, it’s okay,” kata Chan tiba-tiba.
“Lalu? Untuk apa kamu bertanya?” Bianca mendengkus.
“Why? Memangnya sebagai CEO aku tidak berhak tanya?”
“Baiklah Tuan C E O!”
Chan menggigit bibir bawahnya. Well, bisa bekerja sama dengan Rossie bukanlah hal yang buruk. Malah bisa menjadi kesempatan bagi Chan untuk memberi pelajaran kepada wanita tersebut atas patah hati yang pernah dialaminya.
***
Rossie menyuapkan beberapa sendok sup hangat untuk Ayahnya. Sup dengan irisan sayuran hijau yang melimpah memang sangat bagus untuk penderita diabetes. Sumber antioksidan yang terkandung di dalamnya, dapat melindungi mata dari degenerasi makula dan katarak, yang merupakan komplikasi diabetes.
"Kenapa Daddy harus berbohong sama Rossie sih? Daddy bilang rajin check up, tapi dokter bilang, nggak pernah kontrol tuh," tanya Rossie penuh selidik.
"Maaf, Daddy cuma nggak mau membuat kamu dan Hugo kepikiran," jawab Alexander lirih.
"Dad, jangan seperti ini lagi. Please, itu buat Rossie benar-benar nggak berdaya. Rossie nggak bisa liat Daddy sakit seperti ini."
"I'm promise." Alexander mengusap lembut punggung tangan Rossie yang memegang erat tangannya.
"Sampaikan terima kasih Daddy untuk Edric, dia sudah terlalu banyak membantu keluarga kita. Kita banyak berhutang budi, Ros."
Rossie terdiam, hutang budi adalah sesuatu yang paling rumit di dunia ini, sulit untuk dilunasi.
Kedua manik mata Rossie mengedar ke sekeliling ruangan. Berjejer rapi rangkaian bunga, buah, dan makanan lainnya dengan pita yang bertuliskan "Get well soon". Sepertinya itu dikirimkan oleh rekan bisnis sang Ayah.
Alexander yang memperhatikan pandangan sang putri, langsung memberikan penjelasan, "semenjak kamu bersama Edric, Daddy seperti dianggap menjadi orang terpandang oleh para kalangan atas. Mereka sangat menghormatiku."
Alexander terkekeh, ketika satu kejadian di memorinya kembali berputar secara otomatis. "Padahal dulu mereka memperlakukan Daddy seperti anjing liar yang sangat menjijikkan. Semua pendukung De Santis memandang Daddy dengan sangat remeh, tak jarang mereka memperlakukan Daddy dengan tidak layak."
"Mafia rendahan, orang miskin, disgusting. Raut wajah mereka selalu menunjukkan kata itu."
"Apa Daddy bahagia?" tanya Rossie menatap lekat sang ayah.
"Tentu, bagaimana denganmu?
"Aku akan bahagia kalau Daddy juga bahagia," ucap Rossie dengan senyum merekah di wajahnya.
Tangan kukuh yang sudah mulai berkerut itu, mengusap wajah Rossie penuh kasih. Pemandangan yang sangat hangat.
Rossie menatap wajah Ayahnya yang terlihat sumringah. Bagaimana bisa ia melenyapkan senyum itu? Ia hanya ingin mengukir jutaan senyuman di wajah sang Ayah. Pria pertama yang menempati relung hatinya.
"Excuse me."
Seorang wanita paruh baya bertubuh sintal dengan surai layer pendek memasuki ruangan, kedua tangannya mendekap satu keranjang buah, Katharina Lestrange.
"Hallo Mr. Ramos, saya dengar anda sedang sakit. Jadi saya mampir menjenguk sebentar. Kebetulan sedang ada bisnis di Roma," ucap Katharina sambil mendekat ke Alexander dan Rossie.
Mungkin bisnis yang dimaksud Katharina adalah mengantarkan salah satu modelnya untuk menemani millionaire. Di mana uang yang ia dapatkan lebih besar daripada upah yang terpotong dari pemotretan maupun fashion show.
Katharina Lestrange adalah pemilik agensi yang menaungi karir Rossie di dunia modeling. Salah satu orang yang tidak disukai oleh Rossie, karena suka mengeksploitasi karyawannya.
"Mrs. Katharina, terima kasih banyak sudah berkunjung. Malah jadi merepotkan."
"Tentu tidak, Rossie adalah bagian dari keluarga saya. Jadi, keluarga Rossie juga termasuk keluarga saya bukan?" Senyum merekah di bibir merah menyalanya.
"Thanks, Katha." Rossie ikut melemparkan senyuman kepada Katharina. Bagaimanapun juga ia harus menyambut tamu dengan hangat bukan?
Katharina mengembuskan asap rokok mild ke udara, sementara tangan yang lainnya menawarkan rokok ke arah Rossie. Tentu saja Rossie menolaknya, ia adalah penggemar berat hidup sehat. Walaupun sesekali ia juga menikmati tegukan vodka dan red wine. Yah, itu karena suasana hatinya yang selalu memburuk akhir-akhir ini.
Kedua wanita cantik itu menikmati birunya langit di area smooking Rumah Sakit tempat ayah Rossie dirawat. Katharina menyodorkan amplop coklat ke arah Rossie.
"Apa ini?" tanya Rossie.
"Kontrak kerja yang bisa membuatmu pensiun awal, Darling," jelas Katharina sambil melepaskan asap rokoknya. "Kamu cukup ikut berlibur ke Yunani bersama Mr. Smith, seorang milioner."
Rossie mengembuskan napas kasar, sudah kesekian kalinya ia ditawari hal yang mereka anggap lumrah itu. Melakukan perjalanan bersama seorang milioner dengan dalih membicarakan pekerjaan.
"Katharina, aku seorang model bukan escort."
"Sttt… Darling jangan terlalu naif, Hal ini sudah cukup biasa di dunia kita."
Tidak dipungkiri, ada beberapa rekan seprofesinya yang melakukan hal itu. Tetapi tidak sedikit juga yang bertahan dengan jalur normal. Beberapa yang memilih melakukan hal itu, karena untuk mencukupi kehidupan hedonis mereka. Kehidupan terlampau mewah yang nyaris mustahil untuk dipenuhi dengan mengandalkan pendapatan murni saja.
Sebenarnya tidak ada bedanya dengan Rossie, secara tidak langsung ia juga menjual kebahagiaannya pada seorang pria milioner. Edric juga ikut berperan dalam mencukupi kehidupan mewahnya.
"Apa yang salah dengan semua itu? Semua orang membutuhkan uang dan menikmati seks."
"Apa yang membuatmu enggan melakukannya? Bayangkan aroma uang yang bisa membuatmu membeli seisi dunia itu Darling," tambah Katharina sambil menyesap rokoknya.
"Thanks for your offering Katha, tapi aku tidak tertarik untuk melakukannya." Rossie menyodorkan kembali amplop cokelat ke arah Katharina.
"Okay, kalau tidak ada yang perlu dibahas lagi, aku akan kembali menemani Ayahku," ujar Rossie sambil menyunggingkan senyum. Kemudian ia beranjak dan berjalan menjauhi Katharina.
Wanita paruh baya itu memperhatikan langkah Rossie sampai menghilang. Senyum seringai terlukis di wajahnya. Dering dari ponsel, sesaat memecah perhatiannya.
"Hallo,"
"Baik Sir, anda akan mendapatkannya. Saya pastikan itu."
TO BE CONTINUED ...
"Hugo, jaga Daddy yah-" "Rossie, Daddy udah seperti baby saja ya. Sampai kamu harus menitipkan kepada Hugo seperti itu." Alexander terkekeh ketika mendengar percakapan Rossie dan Hugo di kursi yang tidak jauh dari ranjangnya. "Itu karena Daddy suka berbohong sama Rossie," ujar Rossie. Kemudian tatapannya beralih kepada Hugo. "Hugo, please perhatikan Daddy,
Menyadari tatapan dari Rossie, Chan meluruskan posisi tubuh. "Apa yang kamu lihat?" "No-nothing, anyway thanks." Rossie meneguk ludah sembari merapikan letak pakaiannya. Tanpa menjawab Chan langsung berlalu begitu saja. Namun, langkahnya terhenti oleh ucapan dari sang mantan kekasih. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Ma-maksudku sebelum pertemuanku dengan Mamamu dan Granny?" Chan menoleh dan memeta tubuh Rossie dari ujung kaki hingga puncak kepala. "Iya, kita pernah bertemu sebelumnya di klub, saat kamu mabuk." Kembali menelan saliva ketika mendengar jawaban dari Chan. Rossie mulai mengingat serpi
Catherine mencuri dengar percakapan Rossie. “Who?”Pandangan Rossie tertuju kepada Catherine dan menjawab, “Mom Kris, Mamanya Chan.”“Chan? Chan Who?” Catherine mengerutkan kening dan mencoba mengingat nama yang terdengar tidak asing di telinga. “Wait, jangan bilang Chan mantan kamu?” tambahnya.Menaikkan kedua bahu sambil bangkit dari duduknya. Rossie meraih jar yang berisi jus segar dan menuangkannya ke gelas panjang. Ia tidak memberikan jawaban kepada sang sahabat.“Are you serious?
Mendorong tubuh Chan agar menjauh, Rossie menghela napas sebelum memulai ucapan. "Karena memang hubungan kita harus berakhir seperti itu." Chan masih menatap Rossie lurus-lurus, fokusnya tertarik pada warna merah di sudut bibir wanita tersebut. "Kau terluka?" Pertanyaan dari Chan diabaikan begitu saja. Kemudian Rossie berjalan melewati Chan begitu saja. Hingga langkahnya terhenti karena ucapan Chan yang tiba-tiba. "Jadi begitu?" Chan terkekeh. "Kau membuangku seperti sampah yang sudah tidak ada artinya." Rossie menoleh dengan tatapan dingin. "Apa kau masih mencintaiku?"
Lengan kukuh yang dipenuhi dengan bulu halus melingkar di pinggul Rossie. Wanita yang tadinya menatap langit malam dengan Kilauan bintang sontak terkesiap."Edric! Mengagetkan saja," ucap Rossie.Edric tertawa. "Apa yang kamu pikirkan, sampai terkejut?""Tidak ada." Menggerakkan tubuh dan berusaha terlepas dari dekapan Edric. "Aku lelah, Edric."Edric melepaskan pelukan dari tubuh Rossie. "Akan ada pesta malam ini, aku sudah siapkan gaun yang harus kamu pakai."Pandangan Rossie teralih pada gaun yang tergeletak di ranjang. Model gaun yang nyaris telanjang favorit Edric.
Tiba-tiba tubuh Chan membeku karena serangan ciuman tersebut. Ia bisa melihat kedua mata Rossie terpejam ketika memberikan kecupan dalam. Namun, saat Chan ingin membalas ciuman itu, Rossie mendorong tubuh Chan dan mengakhiri pagutan."Sial," batin Chan."Apakah ciuman tadi juga mengujimu? Apa itu yang kamu harapkan dariku?" Rossie menatap Chan lurus-lurus tanpa keraguan. "Apakah setelah ini kamu bisa membiarkanku bekerja dengan baik?""Kau menyogokku dengan ciuman?""Kau mau lebih?" tantang Rossie.Chan menyeringai sambil mengusap bibirnya yang masih basah karena ulah Rossie. Sementara wanita blonde itu mengulas senyum sembari berlalu begi
Rossie berjalan tertatih sambil membopong tubuh Chan. Kaki Catherine hampir terjatuh karena ikut menahan beban tubuh Chan yang tentu saja dua kali lebih berat. Keduanya kemudian melemparkan tubuh Chan di atas ranjang. Pria berlesung pipi itu terjatuh di sana tanpa sadar akibat pengaruh alkohol. “Oh my goodness, pria ini sungguh sangat berat,” ujar Catherine sembari merenggangkan otot lengannya. “Cath, seharusnya kita antar Chan ke rumah.” Rossie mengatur napasnya yang tersengal karena kelelahan. “Are you kidding me? Kau mengajakku kesini untuk bersenang-senang, dan baru saja aku datang aku harus mengantarkan pria ini ke lokasi yang jauh? Oh Rossie,” jelas C
“Sial, ini pasti ulah si Dobby.” Rossie mendengkus kesal.Mendengar desisan Rossie, Amber melemparkan tatap dengan rasa ingin tahu yang tinggi. “Chan? Siapa Chan?”“Bukan orang penting,” jawab Rossie sekenanya. Ia lalu melipat ponsel dan memasukkannya ke dalam tas tangan. “I’m done.”“Mau pergi kemana?” tanya Amber.“Pulang, aku besok ada photoshoot,” jelas Rossie, kedua matanya melirik ke arah Catherine yang sudah tidak sadarkan diri. “Pesankan saja Catherine taksi, Amber.”“Ok