Sepasang iris cokelat tua tersebut menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah tirus dengan lipatan ganda pada kelopak matanya, khas wajah Asia. Sementara fitur bagian lain menunjukkan khas kaukasia, salah satunya adalah hidung yang mancung dan ramping. Semua pahatan indah itu terlihat lebih sempurna dengan bingkai surai blonde yang panjangnya sesiku. Perpaduan gen Asia dan Eropa yang cantik sekali.
Rosseane Liady Ramos, memiliki kehidupan yang nyaris sempurna. Ia hidup bergelimang harta, memiliki keluarga, dan cinta. Tetapi hatinya terasa hampa, dan dingin. Seperti tidak pernah disambangi. Padahal ia pun juga memiliki seorang kekasih.
Kekasih yang beberapa hari ini menunjukkan sikap yang berbeda. Ia mulai merasakan tekanan dari hubungan yang baru seumur jagung itu. Enam bulan yang lalu ia sepakat untuk menjalin hubungan bersama pria kaya idaman semua wanita, Edric Ridley Anderson.
Awalnya hubungan mereka masih baik-baik saja, Rossie menikmati segala kemewahan yang didapatkan. Pria itu sangat loyal, tidak hanya kepada Rossie saja, tetapi juga keluarganya. Membantu bisnis sang ayah hingga sekarang menjadi cukup besar, ia sangat merasa berhutang budi atas itu. Tetapi, itu hanya berjalan sementara. Semakin lama, pria itu menunjukkan wajah aslinya. Dan merasa berkuasa, menjadi pengendali hidup Rossie.
“Ah,” Rossie mengembuskan napas kasar, sambil mengusap halus pipinya yang masih terasa panas karena tamparan dari Edric. Tamparan yang ia dapatkan karena masalah sepele, membuat Edric terlalu lama menunggu.
“Aku harus segera mengakhiri hubungan ini,” gumamnya lirih.
***
Di depan apartemen, sudah ada limousin yang menunggu Rossie, tentu dengan Edric di dalamnya. Malam itu ia terlihat seksi dengan balutan gaun bertali spagethi yang memperlihatkan keseluruhan punggung. Bagian bawahnya membelah hingga paha. Edric memang menyukai detail yang seperti itu.
Seorang pria dengan jenggot tipis membukakan pintu limousin untuknya. Edric tampil dengan setelan jas dan kemeja putih yang tiga kancing atasnya dibiarkan terbuka, tato bertuliskan huruf "R" di bagian dada kirinya terlihat mengintip. Paras tampan, dengan hidung mancung dan senyum yang mengintimidasi. Kulit warna tan dibalut dengan bulu lebat yang menambah kesan jantan. Tentu saja tubuhnya atletis, akan ditemukan pahatan otot yang sempurna apabila melepas kemejanya.
Gaun indah, mobil mewah, kekasih yang tampan. Banyak yang ingin merasakannya, tetapi apakah kalian tahu hal yang harus ditukar dengan semua itu?
"Night, Babe." Edric mengecup bibir plum Rossie, hingga membuat brewok tipis itu menempel padanya. "Aku suka melihatmu seperti ini, so se---xy," bisiknya di salah satu telinga Rossie. Nafas hangat itu membuat Rossie merinding.
"Hm, I like your smell." Edric mengendus leher Rossie, menghirup wangi perpaduan dari buah dan vanila yang manis, favoritnya. Dan Rossie benci aroma itu, membuatnya seperti sepotong cake yang siap disantap. Ia tidak akan memprotes, karena itu hanya akan memancing perdebatan yang tidak berujung.
Capek!
"Babe, nanti kita akan bertemu dengan Mr. Smith, Aku harap kau menjadi wanita yang anggun dan penurut seperti biasanya, okay." Pria brewok tipis itu merangkul Rossie, menjadikan rapat tubuh keduanya. "Dia yang akan membuat bisnis Daddy-mu semakin berkembang."
Rossie hanya mengangguk pelan, menyanggupi permintaan Edric. Tidak dipungkiri, menjadi kekasih Mr. Anderson juga memberikan keuntungan selain harta. Membersihkan nama baik ayahnya, Alexander Ramos. Pria yang dulu dikenal memiliki citra yang buruk, kini cukup dihargai di kalangan mereka.
Setelah melintasi jalanan Beverly Hills, keduanya sampai di sebuah hotel bintang lima. Bangunan dengan arsitektur megah dan dominasi warna cream. Edric membuat pertemuan di restaurant mewah yang berada di roof top tempat itu.
Beberapa pria dengan setelan hitam lengkap dengan earphone yang terselip di salah satu telinga mereka, berjejer rapi menyambut kedatangan Edric dan Rossie. Semua meja di restoran itu terlihat kosong, hanya ada satu pria yang duduk di ujung ruangan. Sudah bisa dipastikan, Edric yang menyewa tempat itu untuk mendapatkan privasi.
"Mr. Smith apakah sudah menunggu lama?" sapa Edric pada pria dengan surai klimis yang ditata ke belakang.
"Tidak, aku baru saja datang." Pria itu melirik ke arah Rossie, memperhatikan gumpalan padat yang sedikit mengintip dari balik gaunnya.
Edric memberikan kecupan tipis pada bibir Rossie dan membiarkannya pergi. Ia memang tidak pernah bergabung dalam pembicaraan bisnis Edric, karena dirasa juga tidak penting baginya.
Embusan angin malam menerbangkan buliran bening yang menetes dari pangkal mata Rossie. Tiba-tiba ia merindukan dua wanita yang potretnya terlihat di layar ponsel. Dua wanita berbeda generasi yang sangat hangat, menyayanginya seperti seorang putri. Ah, rasanya mustahil apabila berharap bisa berjumpa lagi dengan keduanya. Sudah 3 tahun mereka lost contact.
Edric menatap punggung Rossie dari dalam ruangan, otak liarnya sudah mulai berimajinasi dengan tubuh indah itu. Entah kenapa otaknya selalu fast respon ketika melihat Rossie. Membuat si jantan itu berontak tak karuan.
Tangan kekar berbulu lebat itu melingkar di pinggang ramping Rossie, dan menguatkan pelukannya.
“Kau sangat menggoda dengan gaun ini, Babe," ucap Edric. Nafas hangatnya menguar di area sekitar telinga. Membuat bulu roma Rossie berdiri.
"Akan kubuat keluargamu bahagia, babe. Itukan yang kamu mau?" Edric menjeda ucapannya, ia membalikkan tubuh Rossie sehingga membuat keduanya berhadapan. Tangan kukuh itu mencengkeram bahu Rossie dengan kuat.
Sakit!
Kedua mata elang itu menatap lekat iris coklat yang membuatnya tergila-gila. Entah sejak kapan tepatnya, yang jelas setiap menatap wanita blonde itu, ia menjadi egois dan tak mau melepaskannya.
"Cukup dengan bersamaku, akan kubuat kau dan keluargamu bahagia." Edric menundukkan kepalanya hingga membuatnya sejajar dengan Rossie.
"Tentu kau tidak mau keluargamu menderita bukan? Kau hanya akan menjadi milikku selamanya,” tambahnya sambil menyeringai.
Rossie menelan saliva, wajah Edric terlihat sangat menyeramkan. Apakah ini ancaman? Atau memang ungkapan sayang yang keterlaluan?
Edric merangkum wajah Rossie dan mendekatkannya. Bibir keduanya berpadu, tetapi hanya Edric yang bekerja. Rossie tidak memberikan balasan di setiap lumatan yang ia terima. Tangannya meremas pinggiran gaun, iris coklat itu masih bisa merekam rupa Edric yang tengah menikmati setiap hisapan.
Tubuh ramping Rossie terangkat dan berpindah pada salah satu meja terdekat, membuatnya dalam posisi duduk. Edric mengencangkan pelukannya, tak ingin sang Ratu pergi. Baginya, wanita blonde itu adalah milik Mr. Anderson. Selamanya.
Edric seperti pria yang kehausan, rasa panas menjalari tubuhnya. Ia terus memberi hisapan rakus pada Rossie. Dan menikmati percumbuan itu seorang diri. Bahkan ia tidak sadar kalau sebagian tangannya basah.
Kedua manik mata Rossie kini berlinang, satu persatu butiran bening menetes dari peraduan. Membasahi tulang pipi yang berpulaskan blush-on. Ia juga tidak mengetahui, kenapa ia menangis? Hatinya terasa sangat teriris. Ia bahkan rela memberikan segalanya demi Edric, meskipun sering mendapatkan perlakuan kasar. Kenapa? Apa dia memang bodoh?
Mendorong tubuh Edric pelan, maksud hati ingin mengakhiri hubungan yang sudah tidak sehat ini. “Edric, ada yang ingin aku sampaikan.”
“Apa itu? Katakan, apa yang kamu inginkan?” sahut Edric dengan senyuman tipis di bibir.
Jika kamu mengatakan hal itu, berarti sudah siap untuk kehilangan semuanya Rossie. Kehilang kemewahan yang selama ini mengikutimu, kehilangan perusahaan yang dikelola oleh ayahmu. Di mana itu adalah sumber kebahagiaan miliknya, dan satu lagi? Alexander Ramos akan kembali menjadi orang lemah yang selalu mendapatkan cibiran karena tidak lagi memiliki kekayaan. Ribuan kata bercokol di kepala Rossie. Ia kembali meneguk saliva berulang dengan tatapan dari Edric yang enggan berpindah.
“Apakah kamu siap dengan semua itu?” Satu pertanyaan yang berteriak hebat kini memenuhi otak Rossie.
TO BE CONTINUED….
"Sepertinya, nasib kita tidak hanya bertabrakan sekilas saja." Enam bulan kemudian…. Beberapa kursi model kubus ditata berjajar merenggang di kedua sisi. Bunga yang bermekaran diletakkan secara diagonal di sepanjang area catwalk. Puluhan pasang mata terkesima, pada busana yang melekat apik ditubuh sintal yang berlenggok mengikuti alunan musik instrumental. Tak sedikit yang mencoba mengabadikan momen itu. Seorang wanita dengan surai blonde, memamerkan bralette renda dengan cetakan flora di bagian dadanya, serasi dengan rok tutu berwarna hijau. Bando kupu-kupu yang menghiasi kepalanya menambah kesan musim semi yang paling ditunggu. Diak
"Semuanya serba tiba-tiba dan tak terprediksi, memangnya siapa yang bisa memprediksi takdir?" Kring...kring...kring... Rossie memicingkan matanya dan mendapati nama Edric tercetak di layar ponsel. [“Babe, kamu masih tidur?]” “ Ehm, iya ada apa Edric? Kapan kamu pulang dari Yunani?” tanya Rossie sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang terkspos. [“Sore ini, aku akan kembali. Persiapkan dirimu. Baiklah, aku tutup dulu ya. I love you.”] Panggilan keduanya terputus, Edric yang melakukan. Tubuh Rossie
“Apakah arti dari sebuah pertemuan ulang? Apakah ini sebuah kesempatan untuk memperbaiki semuanya?”"Sial mengganggu saja!" umpat Edric yang sesenti lagi bisa meraup bibir mungil Rossie. Tangan kekarnya merogoh ponsel yang tertaut di saku celana dan menerima panggilan itu.Rossie mengembuskan napas lega. Siapapun yang menghubungi Edric, ia sungguh berterima kasih. Sedari tadi pria itu tidak membiarkan Rossie untuk menyampaikan maksudnya."Babe, aku harus terbang ke Vegas sekarang. Lagi ada masalah di Delight Demon. Lusa kita akan bertemu, kenakan gaun yang nanti akan kukirimkan, bersiaplah untuk memuaskanku," ucapnya sambil melepaskan kecupan tipis di bibir Rossie."Edric tapi ada yang---." Pria itu tidak menghiraukan ucapan
“Bisakah aku mengendalikan kehidupanku sendiri? Ini hidupku, dan hanya diriku yang berhak atas itu.” Kris menikmati potongan croissant yang mengkilap karena olesan butter. Netranya menatap ke arah sang putra yang sedang mengelus lembut buntalan hitam dipangkuannya, Toby. Satu-satunya makhluk hidup yang sangat manja apabila bersama Chan. Terlebih ketika majikannya itu selesai memberikan vaksin. Seperti yang baru saja ia lakukan, memberikan obat cacing pada Toby. Anjing poodle yang sudah berusia 6 bulan memang sebaiknya diberikan obat cacing untuk ketahanan tubuh, khususnya sistem pencernaan. "Chan," panggil Kris hati-hati. "Mommy
"Hanya dia yang aku punya di dunia ini. Akan kubuat jutaan senyum terukir di wajahnya."Mr. Ramos mengalami peningkatan gula darah hingga 350 mg/dL. Hal itu yang menyebabkan beliau mengalami pengurangan kesadaran. Selama ini pasien tidak melakukan pengobatan rutin. Kalau dibiarkan begini terus, tentu akan berakibat fatal.Kata-kata itu terngiang di kedua telinga Rossie. Kenapa ayahnya harus berbohong? Selama ini Alexander selalu bilang kalau rutin melakukan check up. Tetapi nyatanya tidak, sekarang Rossie harus melihat sang ayah terbaring di bed pesakitan.Rossie menggenggam tangan Alexander yang masih terlelap. Ia berusaha membuat matanya tetap terjaga. Dua belas jam perjalanan udara membuat tubuhn
"Hugo, jaga Daddy yah-" "Rossie, Daddy udah seperti baby saja ya. Sampai kamu harus menitipkan kepada Hugo seperti itu." Alexander terkekeh ketika mendengar percakapan Rossie dan Hugo di kursi yang tidak jauh dari ranjangnya. "Itu karena Daddy suka berbohong sama Rossie," ujar Rossie. Kemudian tatapannya beralih kepada Hugo. "Hugo, please perhatikan Daddy,
Menyadari tatapan dari Rossie, Chan meluruskan posisi tubuh. "Apa yang kamu lihat?" "No-nothing, anyway thanks." Rossie meneguk ludah sembari merapikan letak pakaiannya. Tanpa menjawab Chan langsung berlalu begitu saja. Namun, langkahnya terhenti oleh ucapan dari sang mantan kekasih. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Ma-maksudku sebelum pertemuanku dengan Mamamu dan Granny?" Chan menoleh dan memeta tubuh Rossie dari ujung kaki hingga puncak kepala. "Iya, kita pernah bertemu sebelumnya di klub, saat kamu mabuk." Kembali menelan saliva ketika mendengar jawaban dari Chan. Rossie mulai mengingat serpi
Catherine mencuri dengar percakapan Rossie. “Who?”Pandangan Rossie tertuju kepada Catherine dan menjawab, “Mom Kris, Mamanya Chan.”“Chan? Chan Who?” Catherine mengerutkan kening dan mencoba mengingat nama yang terdengar tidak asing di telinga. “Wait, jangan bilang Chan mantan kamu?” tambahnya.Menaikkan kedua bahu sambil bangkit dari duduknya. Rossie meraih jar yang berisi jus segar dan menuangkannya ke gelas panjang. Ia tidak memberikan jawaban kepada sang sahabat.“Are you serious?