Share

Nenek sakit

Larasati menggelengkan kepalanya. "Tidak tahu, Ma. Mama sendiri tahu dari mana, Ma?" 

"Dari Mira, Nduk. Tak biasanya, Aditama menelepon nomor adikmu. Ia menanyakan kabarmu dan Miranda."

"Setelah tiga tahun baru menanyakan kabar kami? Hebat benar dia ... " Larasati mencibirkan bibirnya, lalu tertawa masam.

Nyonya Herlambang memandangi putrinya dengan seksama. Ia menduga-duga, apakah rasa cintanya pada Aditama yang dulu menggebu-gebu, kini telah padam?

"Ma, sejujurnya, kini Laras tidak peduli lagi dengan papanya Miranda. Dia mau nikah lagi kah, cerai lagi kah, menikah dengan empat wanita sekaligus pun, sungguh Laras tidak peduli. Di hati Laras hanya ada mama, Miranda. Kalianlah yang menjadi alasan terbaik bagi Laras untuk mampu bangkit dari keterpurukan Laras. Laras hidup untuk masa depan, bukan untuk masa lalu," ujar Larasati mantap.

Sang mama merasa terharu. Ia senang, karena kini, Larasati telah menjadi lebih tangguh dan lebih realistis.

Namun, malang tak dapat ditolak. Percakapan antara Larasati dan sang mama sore itu, ternyata adalah percakapan terakhir mereka. Karena pada malam harinya, sang mama harus dilarikan ke UGD RS Tidar Magelang. Larasati mendapati sang mama tergeletak pingsan di lantai kamarnya. 

Nyonya Herlambang memang mengidap tekanan darah tinggi sejak beberapa tahun yang lalu. Larasati kerap mengantarkannya periksa ke dokter, saat beliau mulai merasakan gejala tekanan darah tingginya muncul.

Terakhir periksa, tekanan darahnya menunjukkan angka 160/90 mmHg. Saat itu, Nyonya Herlambang mulai merasakan leher kaku dan sakit kepala. Sepertinya biasa, dokter meresepkan obat untuk membantu menurunkan tekanan darahnya. 

Larasati merasa heran, kenapa mamanya bisa terkena stroke, padahal beliau rutin memeriksakan tekanan darahnya, juga telah lama melakukan pola hidup sehat dan meluangkan jalan kaki selama 30 menit setiap harinya. Mungkin karena faktor usia dan keturunan, pikir Laras. Karena setahunya, nenek Laras juga mengidap tekanan darah tinggi. Dan meninggal karena serangan stroke hingga beberapa kali. Larasati bergidik. 

***

"Kak, bagaimana keadaan Mama sekarang?" tanya Mira pada Larasati melalui telepon.

"Mama sekarang masih di ruang ICU, Mir. Mama terserang stroke. Keadaannya sekarang masih mengkhawatirkan."

36 jam kemudian, Nyonya Herlambang telah dipindahkan ke ruang perawatan. Mira dan suaminya yang menunggui. Larasati pulang ke rumah, istirahat. Nanti sore, ia akan menunggui mamanya bersama Miranda. 

Nyonya Herlambang nampak lemah tak berdaya, dengan jarum infus di tangan kirinya. 

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Baru sebulanan Larasati merawat sang mama di rumah, Beliau terkena serangan stroke yang kedua. Dan kali ini lebih parah kondisinya. Hanya beberapa jam sang mama berada di ruang ICU, sebelum dinyatakan meninggal oleh dokter. 

"Nenek ... !" Miranda memanggil sang nenek, saat lubang makam mulai diurug dengan tanah.

Sementara Larasati dan Mira saling berpelukan, bersimbah air mata. Sang pengayom telah pergi. Tiba-tiba, Mira menjerit. Larasati jatuh pingsan. Kehilangan sang mama benar-benar memukul jiwanya. Miranda mendekat. Juga seorang pria separuh baya yang baru saja turun dari mobilnya.

Lelaki itu, dengan bantuan Heri mengangkat tubuh Larasati yang masih terkulai. Ia membaringkannya di jok belakang mobilnya yang masih terbuka. Miranda melirik lelaki itu. Ia ternganga. Benar, itu Aditama, papanya Miranda.

Begitu keluar dari mobil, Aditama merengkuh tubuh Miranda ke dalam pelukannya. 

"Maafkan Papa, Nak, maafkan Papa ...," ujarnya lirih di telinga Miranda.

Tubuh Miranda kaku. Ia tidak membalas pelukan sang papa, tidak juga menolaknya. Batinnya bergejolak. Setelah tiga tahun lamanya perceraian kedua orang tuanya, baru sekarang sang papa sudi menemuinya.

Miranda melepaskan pelukan papanya. Ia bergegas menemui mamanya, yang kini tengah ditunggui salah satu saudaranya. Miranda menyodorkan minyak angin kepada saudaranya itu. 

Beberapa menit kemudian, Larasati siuman. Untuk sesaat, ia merasa linglung. Namun kemudian, ia teringat perihal kematian mamanya. Ia kembali menangis. Miranda bergegas menenangkan sang mama, memeluknya sembari membisikkan kata-kata yang diharapkan mampu menguatkan sang mama.

Pemakaman Nyonya Herlambang telah usai. Mira mengajak Larasati dan Miranda pulang. Sebelum pulang, Miranda sempat berbincang-bincang sebentar dengan Aditama, mantan kakak iparnya.

"Papa bilang apa sama Tante tadi?" tanya Miranda pada Mira, saat mereka tengah makan malam.

Mira menarik napas panjang. 

"Papamu hanya menyampaikan ucapan belasungkawa saja sih. Cuma itu doang intinya," jawab Mira.

"Beneran itu doang?"

"Mmm ... ada satu lagi sih, sebenarnya. Ini tentang kamu, Miranda."

"Emangnya Papa bilang apa?"

"Mas Adi bilang, dia tadi meluk Miranda, kangen sekali katanya. Tapi Miranda diam saja. Gak membalas sapaan dan pelukan darinya. Gitu. Benarkah begitu, Mir?"

"Benar, Tante, Miranda gak membalas pelukan Papa. Miranda gak suka sama Papa. Miranda benci sekali sama Papa, " ujar Miranda sambil mencibirkan bibirnya. 

"Sssttt ... gak boleh gitu, ah, Mir. Bagaimanapun juga, dia tetap papamu."

"Omong kosong kalau Papa bilang kangen sama Miranda, buktinya tiga tahun dia sama sekali gak pernah nengokin Miranda, atau telepon sekedar nanyain kabar. Pantas gak sih, kelakuan Papa menurut Tante? Papa juga gak pernah mengunjungi Mama saat Mama depresi. Pokoknya, Miranda benci Papa. Selamanya!" Miranda meninggalkan meja makan sembari menangis. Ia berlari menuju kamarnya.

Mira dan suaminya saling pandang. Mereka meneruskan makan malam berdua. Rumah sudah sepi. Anak-anak sudah tidur. Larasati sendiri sudah tertidur sejak acara tahlilan usai jam delapan tadi.

***

Minggu sore yang cerah. Larasati dan Miranda tengah duduk-duduk di teras.

"Ma, Miranda dengar dari Tante Mira, Papa sekarang sudah menikah lagi, Ma," ujar Miranda lirih. Ia tak habis pikir, kenapa sang papa harus menikah lagi dengan orang lain, kenapa tidak rujuk lagi dengan mamanya?

"Oh, ya? Kabar sebaik itu kenapa tidak diceritakan pada Mama, ya?" jawab Larasati.

"Menurut Mama itu kabar baik? Memangnya Mama gak sakit hati sama kelakuan Papa?" ucap Miranda sinis.

Sang mama tersenyum. "Nak, mamamu ini sudah tidak berhak ikut campur dengan kehidupan papamu, kecuali urusan yang menyangkut urusan anak, yaitu kamu. Papamu mau kawin cerai dengan siapapun, Mama tidak peduli, Nak. Sumpah, Mama berkata yang sebenarnya," jelas Larasati, meyakinkan Miranda.

Miranda terdiam. Sang mama melanjutkan lagi ucapannya. "Apakah Miranda berharap Papa dan Mama rujuk?"

Miranda menganggukkan kepalanya. "Nak, mulai sekarang kuburlah keinginanmu dalam-dalam. Kenyataannya, papamu sudah tidak mencintai mamamu ini. Terkadang dalam hidup ini, kita tidak mendapatkan semua yang kita inginkan, Nak. Terimalah itu," nasihat Larasati.

Miranda berusaha mencerna kata-kata sang mama. "Berarti kita harus siap-siap kecewa dalam segala hal, ya, Ma?"

"Kurang lebihnya begitulah, Nak. Berharap yang terbaik tentu saja sangat bagus, bermimpi juga sah-sah saja. Tapi janganlah terlalu perfeksionis, always prepare for the worst, agar jika sesuatu terjadi tidak sesuai keinginan, kita lebih mampu menerima kekecewaan."

Miranda memegang kata-kata itu, hingga di kemudian hari. Setahun setelah neneknya meninggal, sang papa juga meninggal. Ia mengalami kecelakaan di jalan raya, ketika berkendara bersama istri barunya. Namun, Larasati dan Miranda tidak terlalu bersedih. Ia dan sang mama pun turut mengantarkan jenazah papanya dimakamkan. 'Selamat jalan, Papa, terimakasih sudah menjadi perantara hadirnya Miranda ke dunia, terimakasih atas semua kasih sayang yang telah Papa berikan selama ini', ucapnya dalam hati.

***

Empat tahun kemudian. Seorang gadis cantik tengah memarkirkan motornya di parkiran kampus. Teman-temannya menjuluki gadis itu "Si Gunung Es". Pendiam, jarang tersenyum, dan kaku. Sejak awal kuliah dulu, dia tidak pernah sekalipun terlihat nongkrong di kantin atau di manapun. Begitu kuliah kelar, dia langsung pulang. Membantu sang mama membuat kue-kue pesanan. Jika sedang tidak ada pesanan, ia menghabiskan waktunya dengan membaca buku. 

Gadis itu, Miranda.

"Miranda! Tunggu sebentar!" 

Miranda mengurungkan niatnya menstarter motor. Ia mencari arah sumber suara. 

"Ada apa, Ris?" tanya Miranda pada gadis berjilbab yang memanggilnya tadi.

"Jangan pulang dulu dong, sini duduk dulu sebentar sama aku. Ayolah, please!" bujuk Risna.

"Oke lah." Miranda turun dari motornya. 

"Ada apa sih, Ris?" ujar Miranda kemudian. 

"Gak ada apa-apa, sih. Cuma heran aja sama kamu, tiap kelas kelar pasti langsung pulang. Mau ngapain sih di rumah? Sesekali nongkrong kek sama kita," jawab Risna.

Miranda tersenyum kecut. Risna melanjutkan ucapannya, "Mir, kamu tahu Anto sama Aji kan?"

Miranda mengangguk. "Kenapa dengan mereka?"

"Astaga, Miranda! Dasar gak peka kamu nih jadi orang. Dari sejak masuk kuliah setahun yang lalu, mereka tuh naksir kamu, Non!"

"Kok bisa naksir aku?" Miranda malah balik bertanya.

"Ya bisalah, kamu-nya aja yang gak ngeh. Nyadar gak sih, kalau kamu itu cantik, smart, unik lagi ...,"

"Unik? Maksudmu?"

"Ya, gitu deh. Kamu tuh cantik tapi gak sok-sok kecentilan kaya' yang lain gitu. Dah lah kamu tuh pendiam gak banyak omong, gak banyak tingkah juga. Makanya, cowok-cowok pada penasaran. Don't you understand it?"

Miranda bengong. Masak sih, cewek kayak dia bisa bikin orang penasaran? Ah, Risna berlebihan. Pikir Miranda. 

Miranda melirik jam tangannya. Sudah 10 menit Risna mengajaknya ngobrol. Miranda pun pamit kepada Risna. Risna menatap kepergian Miranda. Heran ih, susah benar ngajakin Miranda ngobrol. Dasar aneh, Miranda. Batin Risna.

***

"Sudah makan siang, Nak?" tanya Larasati pada anak gadisnya.

"Belum, Ma. Tadi mau buru-buru pulang, tapi diajak ngobrol dulu sama Risna," jawab Miranda.

"Kalau sudah lapar, makan siang saja di kantin kampusmu, Nak. Tidak harus makan siang di rumah, kan? Jangan sampai telat makan hanya demi menghemat uang. Nanti malah jadi sakit. Jangan terlalu merisaukan kondisi keuangan kita."

"Iya, Ma."

"Mama perhatikan, sejak masuk kuliah dulu, kamu jarang kumpul-kumpul atau pergi-pergi sama teman-temanmu, ya, Mir?" cecar sang mama.

"Miranda gak nyaman aja, Ma. Miranda lebih suka di rumah nemenin Mama. Dibilang gak gaul ya gak apa-apa kok, Miranda santai saja."

Larasati mengendikkan bahunya. "Ya, terserah Miranda saja lah. Yang penting jangan sombong dan selalu ramah pada siapa saja." Larasati menasihati putrinya sambil beranjak meninggalkan teras.

***

"Mama kenapa, kok merenung melulu sepanjang hari ini?" ujar Miranda pada mamanya, pada suatu Minggu sore. 

"Mama hanya sedang rindu sama nenekmu, Mir"

"Oh, kirain kenapa. Mama, Minggu depan Miranda sudah mulai menggarap skripsi, doakan lancar, ya, Ma!"

"Tentu, Nak. Tanpa diminta pun, Mama selalu mendoakan yang terbaik untuk Miranda. Mama juga mendoakan Miranda, semoga mmm ..."

"Apa, Ma? sergah Miranda cepat.

"Mmm ... semoga anak Mama yang cantik ini segera dipertemukan dengan jodohnya." Larasati mengerlingkan sebelah matanya pada Miranda.

"Ih, Mama!" Miranda mencibirkan bibirnya. Ia merasa kesal.

"Lha, masa' iya dari remaja sampai mau wisuda, sekalipun Mama belum pernah dikenalin sama cowok sih?"

"Dah dibilangin dari dulu, Miranda belum berminat pacaran, Mama!"

"Emang di kampus gak ada yang menarik perhatian Miranda selama ini?"

"Gak ada, Mama! Udah deh, jangan nanyain cowok melulu. Kan Mama sendiri yang dulu bilang, jodoh sudah ada yang mengatur, gak perlu risau. Iya, kan?"

Larasati terdiam. Di sebuah sisi ia membenarkan ucapan anaknya, tapi di satu sisi yang lain ia tetap merasa risau. Jangan-jangan Miranda trauma akan perceraian orang-tuanya. Sehingga membuatnya membenci pria dan enggan menikah. Ah, semoga saja tidak. Harap Larasati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status