Share

Larasati sembuh

"Lancar, Ma. Bu Maria bilang, Kak Laras sudah mulai menunjukkan kemajuan, walupun tidak signifikan. Bu Maria mengajak kita semua untuk tidak menyerah dalam usaha pemulihan Kak Laras. Dukungan keluarga adalah yang utama," jawab Mira, sambil menyesap teh hangatnya.

Miranda menyimak percakapan nenek dan tantenya dengan seksama.

"Untung depresinya Kak Laras gak sampai bikin dia berniat bunuh diri ya, Ma? Kan ada tuh, yang sampai bunuh diri pasca perceraian."

"Benar, Nduk. Rupanya, Laras termasuk tipe orang yang tidak bisa menerima kesedihan di luar ekspektasinya. Ia melampiaskan depresinya dengan berdiam diri, menangisi nasibnya diam-diam, dan tak mau berkomunikasi dengan yang lain. Tapi Mama yakin, dengan pendampingan dari kita, pasti Laras akan pulih seperti sedia kala. Ia hanya butuh untuk menyembuhkan lukanya," ujar Nyonya Herlambang panjang lebar.

Miranda menatap neneknya. Ia bersyukur mempunyai seorang nenek yang pintar dan bijak. Yang bisa menjadi sandaran anak-anaknya, saat mereka jatuh.

"Apakah ada wanita di luar sana yang nasibnya seperti Mama, Nek?" tanya Miranda pada neneknya.

"Yang menderita depresi akibat perceraian maksudmu, Nduk? Tentu saja ada. Hanya saja masing-masing wanita memiliki cara tersendiri dalam mengungkapkan depresinya. Ada yang tampak tegar padahal hatinya remuk-redam, ada yang tak mau berkomunikasi dengan siapapun, ada yang menangis berhari-hari, ada yang histeris sambil memukuli atau menghancurkan barang-barang, bahkan ada yang ingin bunuh diri. Karena itulah, butuh persiapan mental bagi wanita yang menempuh jalan perceraian," jawab sang nenek.

"Tante tambahkan satu lagi nih buat Miranda. Mencintai diri sendiri bukanlah tindakan yang egois. Dengan mencintai diri sendiri, kita justru bisa hidup dengan lebih baik," Mira menambahkan.

"Maksudnya bagaimana, Tante? Miranda tidak paham."

"Begini, Mir, hidup di dunia ini kadang tidak mudah. Ada saja yang namanya ujian dan cobaan. Kadang kala, di antara kita ada yang harus melewati hal berat dalam hidup, sampai rasanya sudah tidak ada harapan apa-apa lagi. Namun, dengan kembali mencintai diri sendiri dan membenahi diri, cahaya baru dalam hidup akan kembali bersinar. Dengan mencintai diri sendiri, kita akan selalu menemukan sebuah alasan untuk bangkit lagi dari kegagalan dan kesedihan. Miranda sudah paham sekarang?"

"Iya, Tante, Miranda sudah paham sekarang."

"Sekarang, pergilah ke kamar, temani lagi mamamu. Ini, bawakan martabak kesukaannya," perintah sang nenek pada Miranda. Ia mengambilkan beberapa potong martabak telur ke dalam sebuah piring kecil.

"Iya, Nek!" Miranda bangkit dari kursinya.

Sepeninggal Miranda, Nyonya Herlambang kembali melanjutkan obrolan dengan Mira dan suaminya.

"Ma, apakah tabungan Kak Laras saat ini masih cukup untuk hidup, konseling dan lain-lain?" tanya Mira pada mamanya, dengan nada pelan. Ia takut, Miranda akan mendengar ucapannya dari kamar.

"Masih cukup, Nduk. Aditama kan masih rutin mengirimkan nafkah untuk Miranda tiap bulan. Mama menggunakan uang itu untuk membayar semua kebutuhan sekolah Miranda, termasuk ojek langganan yang mengantar jemput sekolahnya Miranda. Untuk kehidupan sehari-hari, Mama menggunakan uang pensiunan janda Mama. Mama mengambil sebagian tabungan Laras hanya untuk biaya konselingnya kakakmu saja. Semoga saja kakakmu lekas pulih, sehingga tabungannya tidak banyak berkurang," terang sang mama panjang lebar.

Sementara itu di kamar, Miranda tengah mengajak mamanya mengobrol. Miranda mengangsurkan sepotong martabak telur ke tangan kanan mamanya. "Ayo, dimakan martabaknya, Ma. Ini camilan kesukaan Mama sejak dulu, kan? Enak banget lho, Ma."

Larasati memandangi martabak di tangannya. Perlahan-lahan, ia memakan martabak itu sedikit demi sedikit. Miranda terharu. Hatinya bergerimis. Ia sangat bersyukur. Baru kali ini, sang mama mau merespons ucapan Miranda. Alhamdulilah ....

Harapan bahwa sang mama akan kembali pulih seperti sedia kala, kembali menyeruak di sanubarinya.

***

Hari berganti, tiga bulan telah berlalu. Tak terasa, Miranda sudah hampir naik kelas dua SMP. Hari ini, ia baru saja menyelesaikan ujian akhir semester dua. Itu artinya, sebentar lagi libur sekolah akan tiba. Akan lebih banyak waktu yang ia bisa habiskan bersama mamanya. Ia bisa menggantikan tugas sang nenek, menemani dan merawat mamanya. Biarlah sang nenek beristirahat dulu.

"Miranda, sini, Nduk!" Teriakan sang nenek terdengar dari depan rumah. Miranda yang tengah menyapu halaman sore ini, terkejut setengah mati. Ia segera bergegas masuk rumah, mencari sang nenek.

"Lihatlah itu, Nduk!" Sang nenek menunjuk ke arah kamar mandi.

Miranda melihat ke arah yang ditunjukkan neneknya. Terlihat bahwa pintu kamar mandi tertutup, terkunci dari dalam. Ada suara orang yang tengah mandi dari dalam sana. Jika ia dan sang nenek berada di luar, lalu siapakah yang berada di dalam kamar mandi? Mungkinkah itu sang mama? Tapi selama ini kan, sang mama selalu membutuhkan bantuan orang lain untuk keperluan mandi ....

Miranda dan sang nenek masih berdiri terpaku di depan pintu kamar mandi, dengan sejuta tanya. Detik demi detik berlalu dengan sangat lambat. 

"Kreeek ... " Pintu kamar mandi terbuka. Miranda dan sang nenek terbelalak. Mereka berdua memandangi Larasati dengan mulut ternganga. 

"Mama ..." Larasati memanggil sang mama dengan suara lirih.

Nyonya Herlambang menubruk anaknya. Air mata membuncah. Miranda pun demikian. Mereka berpelukan. Seolah lama tak bersua.

"Miranda Sayangku ..." Larasati mencium pipi Miranda.

Tangis kebahagiaan seakan tak mau berhenti. Miranda dan sang nenek tiada hentinya mengucap syukur kepada Allah swt yang telah berkenan mengembalikan Larasati seperti sedia kala. Alhamdulilah ....

Nyonya Herlambang bergegas menelepon Mira dan suaminya. Dengan suka cita ia mengabarkan kondisi terkini Larasati. 

"Beneran, Mama gak bohong, Ma?" Mira mengulangi lagi pertanyaannya. Ia merasa tak percaya dengan kabar yang baru saja didengar dari sang mama.

"Masa' iya, Mama bohong, Nduk. Ayolah cepetan ke sini, kita syukuran kecil-kecilan!" ajak sang mama.

"Nanti sore ya, Ma, nunggu Mas Heri pulang ngantor. Repot kalau ke sana sekarang, mboncengin anak-anak," jawab Mira.

Setelah meletakkan ponselnya, Mira duduk terhenyak di kursi. Ia sangat bersyukur, kakaknya sudah membaik. Ia tak tega melihat kesedihan yang selalu terpancar dari sang mama dan keponakannya, Miranda. Mira kembali meraih ponselnya, menelepon Heri--suaminya. 

Sama halnya dengan yang lainnya, Heri pun merasa sangat bahagia mendengar kabar baik tentang iparnya. Benar ternyata, dukungan dari orang terdekat terutama keluarga adalah obat yang mujarab bagi penderita depresi. 

Sebulan setelahnya, Larasati telah benar-benar sembuh. Ia sudah mampu mengendarai motor kembali, dan beraktivitas seperti biasa. Ia sudah melupakan kesedihannya. Ia sudah memaafkan segalanya. Ia telah berhasil menerima takdirnya dengan ikhlas. Itulah kunci kesembuhannya.

Larasati berusaha menemani Miranda sebanyak mungkin, ia ingin mengganti waktu yang telah ia lewatkan kemarin. Mengantar dan menjemput sekolah, menemaninya hangout di akhir pekan, sekedar makan bakso atau jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. 

Tidak hanya terhadap Miranda, Larasati juga lebih perhatian pada sang mama. Ia sungguh sangat bersyukur, mempunyai ibu sesabar sang mama. Ia ingat, saat masa depresi kemarin, sang mama-lah yang selalu mengantarkannya ke kamar mandi. Membantu memandikannya, mengajaknya berbincang sepanjang hari, menyuapinya dan lain-lain.

 Padahal kesehatan sang mama sendiri pun sudah menurun, tenaganya sudah banyak berkurang, di usianya kini yang sudah hampir menginjak 61 tahun.

Waktu berlalu begitu cepat. Karena sesuatu hal, Mira dan Heri harus pindah ke Jogja. Ini membuat kebersamaan Nyonya Herlambang beserta anak-anaknya sedikit berkurang. Dulu, tiap bulan Mira dan anak-anaknya bisa 3--4 kali dalam sebulan mengunjunginya. Tapi untunglah ada Larasati dan Miranda yang menemaninya setiap hari. Kadang-kadang, Larasati memboncengkan mamanya, diajaknya beliau jalan-jalan ke alun-alun atau belanja di Gardena. 

Kini Larasati telah menemukan passion-nya. Ia menerima pesanan cake ulang tahun dan kue kering lainnya. Sang mama dengan senang hati membantu semampunya.

Larasati menjalani hidupnya dengan bahagia. Ia kini giat mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, untuk masa depan Miranda. Apalagi, kini Miranda sudah duduk di kelas 1 SMA. Tiga tahun lagi ia akan kuliah.

Sore itu, Nyonya Herlambang mengajak Larasati mengobrol di teras rumah. Miranda sendiri masih ada di sekolah, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.

"Nduk, apa kamu sudah tahu kalau Aditama sudah bercerai dari perempuan itu?" tanya sang mama pada Larasati. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status