Share

Takdir Miranda
Takdir Miranda
Penulis: Kanya Kalyana Kamanika

Toxic relationship

"Dasar bajingan tak tahu diri! Tak tahu malu! Berani-beraninya kamu selingkuh lagi di belakangku!" Larasati meneriaki suaminya, Aditama.

"Jangan asal tuduh! Minggir Laras, aku ngantuk mau tidur. Malam-malam ngajakin ribut!" Aditama mendorong tubuh istrinya dari depan pintu.

"Terang aja ngantuk, jam dua pagi baru pulang. Berapa ronde tadi kamu bergumul dengan perempuan jalangmu, hah!" Larasati bergeming, ia berusaha menghalangi langkah Aditama.

"Diam, Laras! Pelankan suaramu. Malu kan, kalau Miranda dengar?" Tegur Aditama.

"Hahaha ... sungguh lucu. Seharusnya, kamu yang malu dengan kelakuanmu, bukan aku! Anakmu sudah menginjak remaja, Pa! Pernahkah kamu pikirkan bagaimana perasaannya saat ini?" ujar Larasati, masih dengan nada tinggi.

"Terserah kamu mau bilang apa! Minggir, Laras!" Aditama kembali mendorong tubuh Larasati, agar tak menghalanginya masuk kamar.

Laras membiarkan suaminya lewat. Ia lalu berjalan menuju sofa di ruang keluarga, membaringkan tubuh letihnya di sana.

Sementara itu di kamarnya, Miranda tengah terisak-isak mendengarkan pertengkaran orang tuanya.

Seminggu kemudian.

Di ruang keluarga, Larasati tengah berbaring santai di sofa. Secangkir teh hangat buatan Miranda, terhidang di meja. Sudah seminggu ini Aditama tak pulang ke rumah. Benaknya penuh dengan pertanyaan. Benar ternyata kata orang, bahwa orang yang pernah selingkuh, suatu saat akan mengulangi lagi perbuatannya. Watak. Tabiat. Khilaf? Bullshit! Omong kosong! Kekhilafan adalah senjata yang selalu digunakan para peselingkuh, saat mereka ketahuan.

Oh, please, jangan berlindung di balik kata khilaf, Pecundang! Akui saja kalau kalian melakukan itu karena kalian bejat.

Jika memang hati nurani kalian masih waras, jangankan berselingkuh, untuk melakukan hal buruk sekecil apapun, kalian tidak akan mampu, apalagi melakukan perselingkuhan.

Perempuan itu, seperti apakah dia? Cantikkah dia? Sehebat apa dia, sehingga mampu mencuri Aditama darinya? Oh tidak, aku tidak menyalahkan perempuan itu sepenuhnya atas kejadian ini. Aditama jelas bersalah. Dua-duanya bersalah. Perselingkuhan bisa terjadi jika ada kesepakatan antara pihak lelaki dan perempuan. Tidak perlu mengelak ini itu.

Larasati terus merutuki suami dan selingkuhannya, namun hanya dalam hati. Ingin rasanya ia menjungkir balikkan isi rumah, sambil berteriak memaki mereka berdua, untuk sekedar meluapkan amarahya. Tapi untuk apa? Jika ia melakukan hal itu, Miranda-lah yang justru akan menjadi korbannya. Ia akan semakin terluka. Ke mana Miranda nanti akan bersandar, jika tidak pada dirinya. Tidak ada pilihan lain, selain tegar.

"Mama lagi mikirin apa?" Miranda datang menghampiri mamanya. 

Larasati mengambil tehnya, menyesapnya pelan.

"Tidak ada, Nak. Mama hanya sedang merenungi semuanya. Lebih kepada introspeksi diri."

"Miranda sedih sekali, Ma. Miranda tidak menyangka sama sekali, bahwa Papa bisa setega dan sejahat itu sama Mama, mengkhianati Mama hingga berkali-kali. Kenapa selama ini Mama tidak pernah bercerita perihal perilaku Papa pada Miranda?

"Untuk apa, Nak? Itu hanya akan melukai hatimu. Mama tidak pernah cerita, karena waktu itu Miranda masih kecil, belum paham persoalan orang dewasa. Dan saat itu pun selalunya papamu kembali lagi pada Mama. Selalu begitu. Tapi kali ini, entahlah ..." Larasati menjawab dengan nada putus asa.

"Kenapa Mama selalu memaafkan Papa?"

Larasati meneguk kembali tehnya. Menarik napas panjang, lalu menjawab pertanyaan anaknya.

"Entahlah, Nak. Mungkin karena Mama terlalu mencintai Papa. Atau mungkin, karena Mama yang terlalu bodoh."

"Mama tidak bodoh, Miranda yakin itu. Mama hanya terlalu baik, terlalu sabar. Itu menurut Miranda."

Larasati menatap anak gadisnya. Di usianya yang ke-13, pikirannya telah mulai matang. Seperti layaknya orang dewasa.

"Nak, ketahuilah! Di dunia ini ada banyak perempuan-perempuan yang bernasib seperti Mama, ditinggalkan pasangannya, dengan berbagai alasan. Sebagian ada yang terpaksa bertahan karena sesuatu hal, sebagian ada yang memilih berpisah dengan pasangannya."

"Kenapa mereka bertahan, Ma? Kenapa tidak memilih berpisah saja? Bukankah pernikahan mereka sudah tidak sehat?"

'Orang dewasa memang rumit sekali jalan pikirannya', pikir Miranda.

"Ada beberapa alasan, Nak. Diantaranya adalah karena alasan anak, nafkah, jaga image, cinta buta, dan lain-lain."

"Kalau Mama termasuk yang mana, Ma?" tanya Miranda menyelidik.

"Mama termasuk yang pertama, Nak. Mama tidak tega melihatmu tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Itu akan sangat menyakitkan hati Mama. Mereka yang memilih pilihan pertama, juga demikian."

"Beneran, hanya karena itu? Bukan karena Mama cinta buta sama Papa, ya?" tukas Miranda, dengan sorot tajam, menuntut kejujuran dari sang mama.

Larasati tersenyum samar, 'ah, anakku, pandai menyelidik engkau rupanya'.

"Entahlah, mungkin memang benar seperti itu, cinta buta. Ini yang harus Miranda ingat, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Belajarlah dari nasib Mama, Nak!"

"Maksudnya apa, Ma?"

"Miranda lihat, kan? Karena Mama teramat mencintai papamu, akibatnya mama selalu memaafkan perselingkuhannya. Juga kesalahan-kesalahan lainnya. Benar, yang engkau katakan, Nak. Hubungan seperti itu memang tidak sehat. Tapi, ya, begitulah ..."

"Jadi, bagaimana seharusnya menyikapi pasangan, Ma?"

"Kenalilah calon pasanganmu sebaik-baiknya sebelum menikah, Nak. Bicarakanlah dahulu segala sesuatunya. Tentang kemungkinan ada pihak ketiga dalam hubungan, harta gono-gini, pola asuh anak, tempat tinggal, dan lain-lainnya."

"Ternyata ribet ya, Ma ...." Miranda mengernyitkan dahinya.

"Ribet nggak ribet, sih. Ada satu hal yang perlu diingat, Nak, bahwa pernikahan itu hanya mengubah status orangnya, bukan orangnya. Semua watak yang ia miliki itu, telah terbentuk sejak lama. Don't try to change people! Orang tuanya yang sudah lama mengasuhnya saja tidak mampu mengubahnya, apalagi kita, yang baru kenal beberapa tahun?"

"Miranda gak paham, Ma. Bisa Mama jelaskan lagi?"

"Nak, jika engkau tengah menjalin hubungan dengan seseorang, pacaran, lalu intuisimu mengatakan bahwa 'ada yang tak beres' dengan pasanganmu, segera tinggalkan. Cari yang benar-benar 'beres' saja sejak awal. Untuk mencegah hal-hal yang tidak baik, terjadi di masa mendatang."

"Kan ada tuh, Ma, yang tadinya bad boy, setelah menikah malah jadi baik gitu."

"Jangan terlalu berharap yang muluk-muluk, Nak. Jangan berjudi dengan realita, berharap nanti jika sudah menikah pasanganmu akan berubah. Jika pada saat pacaran saja, dia sudah kasar, egois, menyepelekanmu, toxic, dan manipulatif, segera tinggalkan dia!"

"I see ... jadi sebenarnya Mama tahu bahwa Papa punya bakat selingkuh dari dulu kan? Tapi Mama tetap mau dinikahi Papa, karena selain Mama cinta mati sama Papa, Mama juga berharap bahwa setelah menikah, sifat Papa yang demikian itu akan berubah. Begitu, kan, Ma?"

"Iya, Nak, benar. Setelah menikah, Mama, dan banyak perempuan di luar sana, terjebak dalam situasi yang sulit. Kami berpikir, ah, tidak apa-apa, nanti kan kalau sudah menikah dia pasti berubah. Nyatanya, setelah menikah sama saja. Oke, tidak apa-apa. Barangkali, nanti kalau sudah punya anak, dia akan berubah. Eh, masih sama saja ternyata. Hingga anak bertambah, ternyata sifatnya sama saja, tidak ada perubahan yang signifikan. Akhirnya, karena sudah telanjur, ya sudah dijalani saja. Dan tentu saja ada, ada sebagian pria yang setelah menikah, sifat-sifat buruknya berkurang bahkan hilang. Tapi itu terjadi hanya pada orang-orang yang memiliki komitmen dari dirinya sendiri untuk berubah, bukan karena adanya selembar dokumen negara yang bernama surat nikah." 

"O, begitu, ya, Ma. I see ... Mama ingat gak, tetangga Tante Mira, yang di depan rumahnya ada pohon mangga? Kata Tante Mira, suaminya kasar, pemarah, suka mukul. Tapi dia gak berani melawan. Miranda kesel bukan main waktu diceritain sama Tante. Kenapa sih, gak melawan? Atau lapor polisi kek. Kan itu termasuk KDRT ya, Ma?"

"Kelak jika sudah dewasa, Miranda akan tahu sendiri, betapa kompleksnya permasalahan dalam sebuah rumah tangga. Seperti tetangga Tante Mira tadi, banyak perempuan-perempuan lain di luar sana, yang terjebak dalam toxic relationship. Tapi mereka memilih bertahan. So, apapun alasan mereka untuk bertahan, kita harus menghormatinya, Nak. Butuh jiwa besar dan hati yang maha lapang, untuk menjalani sebuah toxic relationship."

"Kalau menurut Mama, orang yang dikit-dikit cerai itu gimana, Ma?"

"Kan dah dibilangin, alasan apapun yang melatar belakangi seseorang bertahan ataupun bercerai, hormatilah! Sesungguhnya kita ini tidak tahu apa-apa. Yang menjalanilah yang paling tahu. Kita tidak boleh men-judge siapapun. Ada yang tidak mau menghabiskan seluruh hidupnya, untuk mentolerir hal-hal yang tidak disuka dari pasangannya. Karena bagi mereka, bertahan seumur hidup itu terlalu lama. Sehingga mereka memilih bercerai. Ada satu lagi, bahwa sebuah perkara yang menurut awam dianggap sebagai perkara sepele, bisa jadi di mata orang lain, itu merupakan perkara besar. Begitu. Ada yang mau ditanyakan lagi, Sayang?"

"Gak ada sih, Ma. Hanya Miranda rasa, nanti bakalan repot deh hidup tanpa Papa."

"Ya, begitulah. Karena kita terbiasa berada di zona nyaman, Nak. Sudah ada yang mencarikan nafkah untuk kita berdua selama ini. Mama pun sejak wisuda belum pernah bekerja secara formal, karena langsung dilamar papamu. Ngomong-ngomong, inilah yang juga menjadi alasan sebagian perempuan yang masih mempertahankah toxic relationship dalam rumah tangganya. Nafkah. Apalagi jika seseorang itu tidak punya latar belakang pendidikan yang kurang memadai, tidak ada life skill, dan lain-lain. Maka, asal pasangan tidak kasar, tidak KDRT, sebejat apapun, mereka memilih menerima. Walaupun mereka menjalaninya dengan hati remuk redam."

"Seperti Mama?" Miranda balik bertanya.

Sang mama menundukkan kepalanya. Ia menjawab lirih, "Benar, Nak. Seperti Mama."

***

Sementara itu, pada jam yang sama, Aditama tengah membelai seorang gadis cantik bertubuh sintal di sebuah kamar. Mereka baru saja selesai bersenggama. Perempuan itu, Veronica. Dialah yang telah memikat hati Aditama, membuatnya tergila-gila setengah mati. Hingga membuatnya tega meninggalkan istri dan anaknya. 

"Jadi kapan Mas mau menikahi Adik?" tanya perempuan itu, sembari membelai dada telanjang Aditama.

"Sabar, Sayangku! Hari ini, Mas sudah menghubungi pengacara yang akan membantu perceraian Mas. Sebentar lagi, kita akan bersatu selamanya. Dan ..." Aditama menggantung ucapannya, sengaja menggoda Veronica.

"Dan apa, Mas?" sergah Veronica tak sabar.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
ceritanya menarik padahal baru awal2.. pengen aku share ke sosmed trs tag akun author tp akunnya ga ketemu :( boleh kasih tau gaa?
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
ceritanya menarik padahal baru awal2.. pengen aku share ke sosmed trs tag akun author tp akunnya ga ketemu :( boleh kasih tau gaa?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status