Share

Depresi

"Dan kita akan segera menikah, lalu kita akan bercinta kapan pun kita mau, Sayangku," ujar Aditama seraya merengkuh Veronica ke dalam pelukannya.

Dan mereka pun kembali bercinta, seperti layaknya sepasang pengantin baru yang tengah dimabuk asmara.

***

"Sabar, ya, Nduk, Allah tidak akan menguji hamba-Nya, diluar batas kemampuannya," nasihat Nyonya Herlambang sambil mengelus-elus tangan Larasati--putrinya.

Nyonya Herlambang--sang nenek--baru saja datang sore ini. Ia mendengar kemelut rumah tangga Larasati dari Mira--adik Larasati.

Kini, mereka bertiga tengah duduk di ruang keluarga. Ditemani secangkir teh, puding, dan camilan dalam toples.

Sementara Larasati masih terisak-isak sedari tadi. 

Di hadapan sang mama, ia tidak mampu berpura-pura tegar. Ia merasa menjadi anak kecil kembali. Pelukan sang mama selalu menjadi satu-satunya tempat terteduh di dunia, yang mampu menenteramkan hati yang tengah gundah gulana.

Larasati memandang mamanya, "Ma, Larasati harus bagaimana?" 

"Nak, tanyakanlah kepada hati nuranimu yang terdalam. Pertimbangkan juga pendapat Miranda, anakmu. Mama hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kalian. Apapun keputusanmu nanti, Mama akan tetap menghargai. Karena keputusan yang akan kau buat nanti menyangkut masa depan kalian berdua, maka pikirkanlah sebijak mungkin."

"Ya, Ma. Larasati paham. Mama nginep kan, Ma? Temani kami dulu, ya, Ma ...," pinta Larasati, sambil menatap mamanya dengan pandangan mengiba.

"Mama memang rencananya mau menginap di sini tiga hari, menemani kalian. Heran ih, sama kamu, Laras! Ada masalah sebesar ini, kenapa tidak mengabari Mama kemarin-kemarin?" Nyonya Herlambang merasa gemas dengan putrinya.

Larasati menundukkan kepala. Ia merasa malu. "Kemarin-kemarin, Laras masih berharap Mas Adi segera menyadari kekhilafannya dan kembali lagi pada Laras. Tapi, dengan adanya surat gugatan cerai yang Mas Adi layangkan kemarin, Laras sadar harus menghadapi kenyataan ini dengan hati lapang."

"Baiklah, sekarang Mama tanya sama Laras, tabungan Laras cukup tidak untuk membiayai hidup kalian beberapa bulan ke depan? Mama nanti akan bantu Laras sedikit untuk menyewa pengacara. Biar pengacara saja nanti yang urus segalanya."

"Tabungan Laras insyaallah cukup untuk hidup enam hingga delapan bulan ke depan, Ma. Laras juga masih menyimpan perhiasan-perhiasan pemberian Mas Adi selama ini."

"Syukurlah, jika Laras masih ada tabungan. Laras sudah paham kan, jika rumah ini kemungkinan besar akan dijual?"

"Iya, Ma, Laras sudah tahu. Laras sudah menyusun rencana berkenaan dengan tempat tinggal kami pasca perceraian. Miranda pun sudah siap, jika memang keadaan mengharuskan kami pindah ke rumah Mama," jawab Larasati sembari menatap Miranda, seolah meminta persetujuan darinya.

Miranda menganggukkan kepalanya. "Iya, Nek, benar kata Mama. Miranda siap pindah ke rumah nenek, siap pindah sekolah juga. Yang paling penting bagi Miranda, adalah kebahagiaan Mama." 

"Terimakasih, Nak, atas pengertianmu." Larasati menatap putrinya dengan penuh kasih.

"Ngomong-ngomong, Mama sendiri siap hidup tanpa Papa selamanya?" Miranda bertanya dengan hati-hati.

"Entahlah, Nak. Tapi Mama berjanji akan segera beradaptasi. Mungkin nanti Mama akan bekerja, atau apalah yang bisa menghasilkan uang. Karena seperti yang Miranda tahu, selama ini kita berada di zona nyaman. Sudah ada yang memberi nafkah pada kita. Alasan ini jugalah yang kadang membuat perempuan yang terjebak dalam toxic relationship, tidak mau berpisah dengan pasangannya. Apalagi jika sudah mempunyai beberapa anak, dan tidak ada life skill yang dimiliki mereka. Meskipun harga yang ditebus amatlah mahal, mereka bersedia menjalani hidup mereka dengan lapang hati."

"Keren ya, Ma, mereka itu. Bersedia mengesampingkan kebahagiaan mereka sendiri demi anak-anaknya. Tapi kalau Miranda sih, ogah banget. Karena setiap manusia berhak bahagia. Itu prinsip Miranda." ujar Miranda tegas.

Sang nenek menimpali, "Prinsip Miranda itu bagus. Setiap orang memang berhak bahagia, dengan caranya masing-masing. Yang penting, tidak melanggar agama, dan norma masyarakat. Nenek ingin menambahkan, apa yang akan Nenek utarakan ini, khusus untuk Miranda. Nduk, kita memang tidak bisa memilih mau dilahirkan dari siapa, punya bapak, kakak, adik, dan saudara lain seperti apa. Namun, pada saat dewasa nanti, kamu punya kesempatan untuk memilih keluargamu sendiri, yaitu pasangan. Sebenarnya, pasangan adalah satu-satunya keluarga yang bebas kita pilih sendiri, segenap dengan kesadaran dan kemampuan kita sendiri. Paham, kan, Nduk?" 

"Iya, Nek, Miranda paham. Kemarin Miranda sudah membincangkan perihal pasangan dengan Mama. Sedikit banyak Miranda sudah paham."

Dukungan dari Miranda, Mira dan mamanya, telah membulatkan tekad Larasati untuk mengabulkan permintaan cerai dari suaminya. Setelah itu, ia mencari pengacara yang kredibel untuk mendampinginya dalam proses persidangan yang akan segera dihadapinya.

Hari berganti, serangkaian proses perceraian yang melelahkan telah dilewati Larasati dengan cukup baik. Sungguh melelahkan jiwa dan raga.

"Mama capek, ya? Miranda bikinin coklat panas, ya?" Miranda menawari mamanya.

"Mau dong, coklat panas. Terimakasih, ya, Sayang!"  

Seperginya Miranda ke dapur, Larasati merenungkan kembali semua yang telah ia lewati selama ini. Pahit dan manisnya kehidupan berumahtangga telah ia rasakan. Pengalaman mengajarkan, bahwa di tangan lelaki yang tepat, perempuan akan diperlakukan seperti layaknya seorang ratu.

Namun sebaliknya, lelaki yang tak baik akan selalu merendahkan, menggantung, Dan mengeksploitasi kehadiran pasangannya demi keunggulannya sendiri. Jika sudah merasa bosan atau "tidak berguna", maka ia akan mencampakkan pasangannya.

Ah, hidup memang terkadang kejam. Hidup juga kadang tidak adil. Hanya orang-orang hebat yang berjiwa besar-lah yang mampu menaklukkan kejamnya dunia dengan gagah berani.

Larasati bergidik, 'Aku tidak yakin bisa melewati semua fase ini dengan gagah. So far so good, tapi untuk ke depannya, entahlah ...'

"Mama melamun, ya? Ini coklatnya, Ma. Ayo diminum biar Mama segar!" ujar Miranda, sambil menyodorkan segelas mug coklat panas yang tengah mengepul.

Larasati menerima gelas itu dengan tersenyum. Ia lalu menyesap coklat panasnya, sedikit demi sedikit.

"Ma, jadi kapan akta cerainya keluar?" Miranda bertanya kepada Larasati dengan nada hati-hati.

"Kurang tahu, Nak. Nanti Om Ridwan, pengacara Mama yang akan menguruskan. Kita tahu beres saja pokoknya."

"Kalau misalnya akta cerainya sudah keluar, kita langsung pindah ke rumah nenek, ya, Ma?"

"Rencananya sih seperti itu. Ngomong-ngomong, kira-kira Miranda nanti betah gak tinggal di rumah nenek? Rumah nenek kan di pinggiran kota, lumayan jauh dari pusat kota."

"Belum tahu lah, Ma, kan belum dijalani juga. Mau gak mau ya harus betah dong pastinya. Karena gak ada pilihan lain. Ya, kan, Ma?"

"Mama sih, berharap sekali Miranda nanti akan betah di sana. Kasihan kan nenek, pasca meninggalnya kakek, beliau hidup seorang diri. Sekarang, mumpung keadaannya lagi seperti ini, kesempatan bagi kita untuk menemani nenek. Oke, Sayang?'

"Oke, Mama!" jawab Miranda tegas.

***

Kira-kira sebulan setelahnya, pengacara Larasati datang ke rumah.

"Selamat pagi, Bu Laras. Apa kabar?" Ridwan, pengacara Larasati menyapa.

"Kabar saya baik, Pak Ridwan. Silahkan duduk!"  

"Kedatangan saya kemari adalah untuk menyampaikan Surat Akta Cerai yang telah resmi dikeluarkan oleh pihak Pengadilan Kota Magelang kemarin pagi. Silahkan diterima, Bu," ujar sang pengacara dengan sopan.

Larasati menerima surat itu, lalu mengeluarkan selembar surat yang telah ia nantikan sebulan terakhir ini. Raga menerima, tapi nyatanya jiwa menolak. Begitu membaca Surat Akta Cerai itu, tubuhnya merosot ke lantai dengan tiba-tiba.

"Mama ...! seru Miranda.

"Bu Laras ...! seru sang pengacara.

Larasati pingsan. 

Sejak saat itu, Larasati jatuh sakit. Miranda memanggil dokter langganan mereka, Dokter Agung. Setelah melalui proses anamnesa, Dokter mengatakan bahwa secara fisik Larasati sehat, ia hanya sedang mengalami syok yang cukup hebat. Ia meresepkan beberapa obat dan vitamin untuk Larasati.

Setelah Dokter Agung pergi, Miranda bergegas ke kamar menengok mamanya.

Terlihat di ranjang, Larasati tengah menatap langit-langit kamar. Tatapan matanya kosong. 

"Mama ...!" Miranda memanggil mamanya.

Larasati perlahan-lahan mengalihkan pandangan dari langit kamarnya. Ia kini menatap putrinya. Tanpa kata. Hanya air mata yang mengalir deras membasahi kedua pipinya.

Miranda mengambil beberapa lembar tisu. Ia menghapus air mata mamanya dengan hati-hati.

"Mama kenapa? Apa yang bisa Miranda bantu untuk meringankan beban Mama?"

Masih tak ada jawaban. Larasati seolah kehilangan jiwanya. Tatapan matanya masih kosong.

"Miranda ambilkan makan buat Mama ya, Ma? Mama sudah melewatkan makan siang Mama. Kalau tidak makan, Mama bisa kena maag," bujuk Miranda.

Tidak ada jawaban. 

Miranda menghela napas panjang. Ya Tuhan, kenapa Mama jadi begini? Siapa yang akan merawat Mama kalau sudah begini? Miranda kan harus berangkat sekolah besok pagi. 

Setelah memikirkan masak-masak, Miranda meminta ijin kepada wali kelas untuk tidak mengikuti pelajaran selama dua hari. Ia berharap, dalam dua hari ke depan, mamanya sudah membaik.

Namun ternyata ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status