PRANG...! PRANG...! Sebuah kaca bagian depan rumah Aprilia pecah saat dua batu bata sengaja dilemparkan ke rumah itu, hal itu terjadi kira-kira pukul setengah enam pagi. Disaat suasana kompleks perubahan tersebut tidak terlalu ramai. Darmi pembantu rumah tangga yang berada di ruang tamu berteriak keras kala sebuah batu bata masuk ke dalam rumah, hingga membuat dua kaca pecah secara bersamaan. “AAAK! Siapa itu lempar batu!” teriak Darmi. “Apa itu, Bik!” teriak Elvira yang berada di dalam dapur bersama Amelia. Terdengar langkah panjang kedua perempuan cantik itu menuju ruang tamu. Begitu juga dengan Revan yang tidur di kamar lantai satu turun dari tangga seraya berkata, “Kak! Ada apa itu!” Sesampai mereka di ruang tamu, Darmi yang melihat kedatangan mereka pun berteriak. “Hati-hati Non! Pecahan kaca...,” urai Darmi. “Ya Allah! Gila! Kerjaan siapa ini?” teriak Elvira. Ervan yang baru tiba di ruang tamu itu juga terkejut saat memandang 2 jendela diantara 4 jendela pada rumah itu b
“Amel! Tunggu ... Dengar kejelasan kakak dulu,” pinta Elvira gegas mengimbangi langkah Amelia yang tampak tak setuju dengan saran Elvira. Ervan yang paham sikap lunak Elvira pada adik bungsunya pun ikut memanggil adiknya dengan keras dan berusaha mendahului langkahnya. “Amel! Berhenti!” perintah Ervan keras. Amelia menghentikan langkahnya saat mereka akan memasuki ruang santai dekat ruang keluarga. Lalu, dengan tatapan penuh emosi, jemari Amelia menuding ke arah Ervan. “Kakak ngerti nggak! Kalau mama mau rumah ini jadi rumah kenangan kita semua. Disini kita bertumbuh! Disini, aku secara pribadi selalu merasakan kehadiran papa,” ungkap Amelia lirih dengan netra yang telah dipenuhi kristal bening dan siap meluncur. “Mel, kamu tau kan kita diteror! Aku tadi dengar, gimana mertua Elvira mengancam. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama Angga. Makanya, hari ini aku izin nggak ke kantor. Aku mau antar Angga ke sekolah dan menungguinya.” “Kak Revan! Mahkam mama aja belom kering ... Kakak ud
Sementara itu, pagi hari di kediaman Gilang, terlihat Zuraida mondar-mandir di ruang keluarga usai menghubungi Elvira. Sedangkan Gempita terlihat, tengah memasak di dapur. Dan Gilang, tak terlihat batang hidungnya.“Gempi! Buatkan kopi!” teriak Zuraida yang kini duduk di meja makan.Tanpa banyak bicara, Gempita pun membuatkan kopi untuk Zuraida. Tak lama kemudian wanita muda cantik itu, meletakkan secangkir kopi tepat di depan Zuraida.“Mau kemana lo?!” panggil Zuraida saat Gempita berlalu dari hadapannya melangkah ke dapur.“Masak, Bu,” jawabnya santai berlalu dari hadapan Zuraida.“Lama amat sih lo masaknya? Emang tinggal masak apa lagi? Lain kali, beli aja lauk pauk di warung depan. Susah-susah amat sih..., pake masak segala!”“Ya, Bu.” Jawab singkat Gempita.Ditiup-tiup uap kopi yang keluar dari cangkir yang dipegangnya. Lalu, disesapnya kopi panas itu dengan sesekali ditiupnya. Tampak, Zuraida meraih sekotak rokok, diraihnya sebatang rokok putih dan dinyalakan. Sesaat kemu
Zuraida sangat curiga pada Gempita saat diketahui Elvira telah pergi dari rumah Aprilia. Baginya sangat sulit menemui seseorang di tengah kota Jakarta yang warganya sangat sibuk dengan segala permasalahan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat yang heterogen.“Bener-bener kagak diuntung itu anak! Udah bagus gue urusin dari kecil. Tau begitu, biarin mampus sekalian sama emak nya! Dari kecil diurus malah sekarang gigit gue! Awas aja lo sampe pulang kerja, gue siksa sampe terkencing-kencing dah lo!” Hati Zuraida meradang saat menyadari kalau Gempita telah berkhianat padanya. Padahal selama ini, Zuraida sama sekali tidak menaruh curiga sedikit pun pada gadis itu. Selama ini, Zuraida menganggap kalau Gempita telah sepenuhnya menganggap dia sebagai ibunya sendiri. Terlebih, almarhum mamanya Gempita adalah seorang kupu-kupu malah asuhan Zuraida.Selama menunggu kedatangan Jaja, telah satu bungkus rokok habis oleh Zuraida. Wanita berusia sekitar 47 tahun itu sangat emosi mengetahui kepe
Sekitar pukul setengah tujuh, Gempita yang biasa menggunakan taxi sebagai alat transportasi untuk pulang ke rumah, menyempatkan diri untuk menghubungi Sugiono, papa kandungnya sebelum taxi yang ditumpanginya sampai di rumah.“Pa, satu minggu lagi kan, saya sama Gilang akan ke rumah Papa. Apa Papa udah cerita sama kedua kakak di rumah? Gempi hanya takut, mereka nggak suka sama Gempi,” tutur Gempita.Sudah selama dua hari ini, sejak keputusan satu minggu lagi diucapkan oleh Gempita untuk kabur dari rumah Zuraida, hati dan pikiran Gempita sering merasa takut. Ia hanya takut pada keluarga Sugiono yang tidak bisa menerima ia dan Gilang seutuhnya.“Sayang, kamar kamu sudah di cat berwarna pink sesuai dengan warna kesukaan kamu. Semua furnitur dan perlengkapan di kamarmu serba pink. Kamu tau ... anak dari kakak perempuanmu yang sudah berumur 12 tahun, malah nggak sabar menunggu kehadiran kamu. Katanya, kamu cantik. Jadi dia mau kamu yang ambil ijasah nya kalau kelulusannya nanti.”“Oh, Y
Disaat Gempita tengah menerima hukuman dari Zuraida, Elvira bersama kedua adiknya berada di rumah sahabat baik Amelia yang tak lain adalah mak comblang saat Amelia bertemu dengan Rifai. Cindy adalah teman baik Rifai saat dibangku SMA hingga kuliah. Cindy memutuskan untuk tidak menikah, usai terkena kanker rahim stadium pertama, karena wanita cerdas itu harus kehilangan rahimnya di usia 25 tahun. “Cindy ... maaf udah merepotkan dan makasih kami udah dikasih numpang di rumah ini,” tutur Amelia, saat Cindy baru pulang dari perusahaannya. “Santai aja. Juga ini rumah besar nggak ada penghuninya. Maklum semua kakakku lebih nyaman tinggal dan bisnis di Bali. Terpaksa, sebagai anak bungsu, aku tinggal di rumah peninggalan orang tua. Hehehehe,” ucap Cindy tersenyum manis. Setelah itu, mereka saling mengobrol satu dan lainnya. Bahkan, saat Amelia bicara tentang rumah mamanya yang akan dijual, Cindy pun bantu mengirimkan photo beserta klasifikasi atas rumah tersebut ke group teman-teman kulia
Sekitar pukul lima pagi, Gilang yang baru pulang sejak kemarin dini hari terpaksa harus mengetuk pintu, karena ia tidak menemukan kunci cadangan yang biasa Zuraida letakkan di bawah pot bunga mawarnya. Hal itu dilakukan, karena Gilang takut kunci cadangan yang diberikan Zuraida hilang. Berbeda dengan Gempita yang selalu membawa kunci cadangannya. “Kok tumben sih, ibu ambil kunci cadangannya? Apa gue ketuk pintunya aja ya? Pasti ibu marah karena berisik. Tapi, kenapa juga si Gempita belom bangun tidur ya? Biasanya waktu ada Vira, tuh anak rajin bener bangun pagi,” Gilang bermonolog. Setelah mempertimbangkan selama beberapa menit, Gilang pun mengetuk pintu rumah tersebut, karena di pikirnya juga telah pagi. Tok ... Tok ... Tok ... “Gempi ... Buu ....,” panggil Gilang berulang kali. Zuraida yang terusik dengan suara ketukan pintu rumahnya pun beranjak dari tempat tidurnya. Dengan memakai daster dan rambut diikat ke belakang asal-asalan, Zuraida pun membuka pintu. Ceklek! Gilang ter
Gilang yang dalam keadaan marah dan bingung, menghubungi seorang bos pemilik perusahaan retail yang punya kelainan sex. Lelaki dengan tubuh atletis dan memiliki bulu di bagian dadanya sangat menyayangi Gilang. Namun, Gilang yang telah jatuh cinta dengan seorang lelaki bernama Jodi, saat dipulau Dewata, menolak cinta Arnold. Seorang lelaki blasteran berusia 55 tahun dengan satu orang istri dan satu anak lelaki berusia 15 tahun. “Om Ar ... tolong aku,” tutur Gilang nan lembut pada Arnold lewat sambungan telepon. “Tolong apa sayang...? Ayo kamu ke sini. Aku lagi kangen sama kamu,” tutur Arnold menggoda. “Om, maaf..., sebenernya aku malu ngomongnya. Sekarang ini, aku perlu uang 100juta. Kakek angkatku harus operasi dan aku sangat bingung. Om...., bisa bantu kan? Kalau bisa, kita ketemuan di hotel Z ... biar lebih dekat dari rumahku..., Tolong yaa..., Om,” isak Gilang yang tengah bingung. “Baiklah..., Sayang. Sekarang Om ke hotel itu. Tapi, kamu nggak risih kan, kalau Om bawa bodyguard