Setelah membuka pintu apartemen Farhan, aku bergeming, terpaku dan membisu. Bukan sengaja mau mendiamkan tamu tapi alu seakan terhipnotis oleh kehadiran orang itu.
"Om, Tante, silakan. Keadaan Farhan membuat saya yakut. Saya sudah menelpon ambulans," ucapku dambil menunduk.
"Apa Farhan kenapa-napa?" Tante Alliya malah balik bertanya.
"Lho memamg Renata tidak menelpon Tante, tidak memberitahu kalau Farhan jantungnya anfal."
"Apa?!" Perempuan itu langsung menyelusup ke kamar Farhan, namun nggak ditemukannya sosok itu. Tante Alliya mengangkat kedua alisnya.
"Farhan di kamar saya, Tante,"
"Hah!" Aku tercekat melihat reaksi mamanya Ray. Nggak menyangka kalau wanita paru baya itu akan sekaget itu.
"Tapi, kami nggak ngapa-ngapain kok, Tante. Malah Farhan sedang sakit, kita butuh ambulans," ucapku menjelaskan semua, takutnya terjadi sesuatu.
"Sakit? Ambulans?" Wanita itu semakin menautkan kedua alisnya.
Lho, memang aku salah, ya? Memang ini keadaannya urgent banget, tapi kok mereka malah santai. Apalagi papanya Ray malah asyik berkeliling apartemen seolah ingin tahu apa isi yang ada di dalam apartemen putra kembarnya.
"Move, kamu nggak sedang sakit, kan?"
Sakit? Bukan aku yang sakit, tapi Farhan yang sakit. Jantung buatannya tiba-tiba menyengat kulitku seperti sengatan listrik.
"Tante, yang sakit Far--
"Sudahlah, Nyonya! Usaha Anda tidak akan berhasil. Wanita ini typical peduli sama siapapun yang butuh pertolongan. Anda nggak usah ngetes-ngetes lagi. Percuma,"
Aku membelalakan kedua mataku, seakan ingin menabok kepala Farhan. Ternyata aku dikerjain.
"Kamu gila, ya? Aku khawatir bangat lihat keadaan kamu, malah kamu bercanda seperti ini?" ucapku bersungut sambil menekuk muka tembemku.
Tapi tidak kusangka wanita itu tersenyum padaku. Dan entah semenjak kapan ibu dan anak itu akur.
"Masih binging?" tanyanya sambil memasukkan bajuku ke lemari.
"Kok di masukkan lagi sich ke lemari?" tanyaku kesal.
"Karena mulai sekarang, kamu yang akan menempati apartemen ini,"
Hah! Aku semakin nggak mengerti dengan cara berpikir laki-laki jenius ini.
"Aku mau pulang, Move,"
"Hah!" Aku tersentak, ini jujur. Tiba-tiba ada yang terasa sesak di dadaku. Farhan, mau pergi dari sini, kembali ke negeri asalnya.
"Hei, kenapa sesedih itu sich? Aku cuma pulang ke rumah Mama,"
"Hah," aku terkejut lagi mendengar ucapannya. "Mama," desisku pelan.
"Iya, mama. Kenapa ada yang salah. Apa Aku nggak pantas punya mama?"
Duhh, salah ngomong lagi. "A-aku nggak bermaksud begitu, Farhan," ucapku sedikit panik.
"Hem-hem," suara deheman itu terdengar dari arah pintu kamarku.
"Move, malam ini kamu ikut, ya. Ray sudah menunggumu,"
Tak bisa kututupi keterkejutanku. Tiba-tiba srorang wanita bernama Alliya baik padaku itu adalah hal yang tidak mungkin.
"Tidak usah, Tante. Saya dirumah saja, lagian saya masih ada kerjaan." jawabku datar berusaha menyembunyikan ekspresi yang aku sudah yakin berantakan sekali mukaku.
Sebelum aku jadi bulan-bulan ibu dan anak itu aku undur diri ke kamar Farhan untuk menyiapkan semua barang-barang Farhan. Entah ada malsikayvapa, kok tiba-tiba ibu dan anak igu bisa aku. Bahkan aku bisa lihat kebahagian di mata tante Alliya.
Sambil terus berkata-kata dalam hati aku mengemasi baju Fathan . Kalau toh benar apartemen ini boleh alu tinggali tidak mungkin kam aku nggak bayar? "
Agak terhenyak aku mendengar suara canda itu begitu jelas terlihat kebahagiaan. Aku yakin Farhan begitu kurang kebahagiaan. Dari kecil hidupnya sudah sangat menderita.
****
Bahkan aku sama sekali nggakterpikir kalau semua yang dilakikan ini adalah konspirasi baru. Dengan begitu polosnya aku malah ikut kerumah kediaman orang tua Ray.
"Hai," sapa Ray pada kedua tamu yang begitu familiar itu.
"Masih punya nyali kamu intuk datang kesini?" ucapnya dengan tatapan tajam seolah akan menelanjangiku.
Aku menahan napas untuk menghentikan serangan hinanya buatku. Jadi sebenarnya ini ad apa, kenapa semua serba tiba-tiba berubah begini?
"Hidup kamu itu memang sudah di takdirkan hanya untuk di skenario oleh orang-orang yang sangat dekat denganmu.
Masih terniang kata-kata itu___
BERSAMBUNG
Hari itu akhirnya datang juga. Hari di mana aku jadi ratu sehari dan Ray jadi raja sehari. Bahagia? Tentu. Bahkan hanya air mata haru yang menjadi temanku.Laki-laki 7 tahunku . Ya Tuhan, akhirnya. Aku benar-benar pengen pingsan karena nggak kuatnya menahan kebahagiaanku.Bahagia! Benar-benar bahagia. Saat ijab kabul itu berlangsung dan jawaban sah itu terdengar, tubuh melemah seketika. Tangan dan kaki ku thremor tiba-tiba.Puji syukur ya Tuhan, semua atas keridhoanmu. Kedua tanganku lama banget tertengadah hingga kulihat imamku masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan."Sudah sah, Sayang," bisiknya sambil mengecup daun telingaku membuat buluku meremang seketika.Kucium punggung tangannya tanda aku sangat menghormatinya lantas dia menyesap bibirku sebentar sebelum selanjutnya kami kembali ke pesta."Ma, Pa," kucium satu per satu punggung tangan mereka lalu kupeluk orang tua itu yang sekarang sudah menjadi orang tuaku.Giliran Farh
Ray masih terengah saat tubuhnya mengejang di atas tubuhku. Berkali-kali dia mengecup bibirku. Dan mengendus leherku saat dia sudah berbaring di sebelahku. Mataku sudah terpejam saat tangannya kembali menyentuh puncak dadaku yang tak terlapisi kain sedikit pun. Pria itu memainjannya dan membuat ku mengerang pelan. "Besok kita pre wedding, aku nggak mau ada halangan lagi." Aku hanya mengangguk sambil menikmati sentuhannya yang mrmbuatku kembali menegang. "Aku mau secepatnya kita menikah, Sayang," ucapnya bergetar sambil mengulum dadaku yang sudah mengeras. "Hemmn," jawabku dengan gelisah. Karena sudah kurasakan milikku lembab lagi. "Oh, Ray," akhirnya lolos juga dari tadi yang kutahan. Desahan berat karena tangan dan mulut Ray yabg usil. Pria itu hanya tersenyum puas melihat ku tersiksa seperti itu. Tak menunggu lama ketika wajahnya kembali terbenam di kedua pahaku aku kembali mendapat pelepasan. Rasanya aku sudah tidak sanggup
Hari selanjutnya aku sudah pulang dari rumah sakit. Kali ini aku pulang je rumah Ray bukan ke apartemen Farhan. Apartemen Farhan di kosongin sementara waktu. Kalau lagi bisan aja pengen liburan di sana. "Duduk di sini dulu atau mau langsung ke kamar?" tanyanya masih menggendong tubuhku yang masih lemah. "Langsung ke kamar saja," jawabku masih melingkarkan tanganku di lehernya. Setelah sekian lama banyak peristiwa yabg terjadi, entah kenapa baru kali ini aku merasa sedekat ini dengan Ray. Rasanya aku sangat merindukan saat-saat pertama kali dulu kita saling menyayangi tanpa ada pertengkaran dan air mata. Rasanya dulu aku sangat polos mencintai dia tanpa ada yang mengganggu gugat. Agak terhenyak rasanya ketika pria tampanku itu membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Aku terbangun dari lamunanku. "Pesen bubur dulu, ya. Habis itu minum obat." "Ray, nggak usah. Aku bikin sendiri saja." Ray mendelikkan matanya. "Maksudnya aoa mau b
Dorr ... doorr! Suara tembakan itu persis hampir mengenai jantung buatan Farhan ketika tiba-tiba pria tampan itu menutup kembali pintu ruang kerjanya. Buru-buru dia menghubungi polisi dan menghubungi Ray agar cepat bersembunyi. [Ray! Bersembunyi! Mereka menggunaksn senjata api!] Teriakan Farhan cukup membuat Ray mengerti. Pria itu tidak mengibstrupsi saudara kembarnya karena dia harus mencari bantuan. Suasana malam itu kian huru-hara karena tiba-tiba dua orang asing masuk ke ruang kerja Farhan dengan sarkasnya menembakkan beberapa amunisi hingga membuat suasana gaduh. Tak selang lama polisi dapat melumpuhkan penjahat amatiran itu. Ray dan Farhan pergi ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian. "Ulah siapa, menempatkan penjahat amatiran begitu, Far?" Ray tampak kesal karena malamnya ini terganggu dengan ulah para penjahat amatiran yang pada belum bisa menggunakan senjata api. "Aku tahu siapa orangnya. Ni! Tolong pelajari! Aku mau pula
Berkali-kali Renata menelan salivanya. Tak henti-hentinya dia menatap ke wajah sang penguasa itu. Terlihat lebih dingin dan arogan dari biasanya. Manusia dengan jantung buatan itu masih sebuk dengan segaja macam file dan berkas penting serta surat perjanjian kontrak kerja sama. Sedang di sebelahnya setumpuk kertas file yang iya yakini entah kapan selesainya. Tapi bukan itu yang membuat Renata menatap gelisah setumpuk file dan berkas itu. Tapi salah satu berkas dan file itu ada salinan surat kontrak yang suda ia rubah mengenai isi perjanjiannya dengan perusahaan papanya yang terbelit hutang yang banyak. "Renata! Kamu bisa pulabg duluan. Mungkin saya mau tidur dikantor saja untuk menyelesaikan pemeriksakaan berkas filenya." Suara bariton Farhan menggema di ruang kerjanya. "Astaga! Gila apa orabg ini. Mau lembur sampai tidur di kantor segala!" batin Renata ngedumel marah. Kalau sampai bosnya tidur di kantor otomatis berkas file itu pasti akan selesai diperiksa m
Farhan menatap wajah yang umurnya jauh di atasnya itu. Seorang yang seharusnya sudah bisa bersikap dewasa dan bijaksana. Namun sikap itu jauh dari wajah yang seoerti anak muda itu. Farhan menghela naoas dalam. Baru dia bertatapan secara langsung laki-laki yang sering menyiksa istrinya lahir dan batin. "Kalau hanya ingin bertemu dengan untuk menanyakan masalah Renata, Aku rasa Move sudah memberi tahumu." Pria dewasa itu menghela napas menatap pria yang mukanya sama persis dengan pria yang akan menikahi mantan istrinya. "Kamu tahu sekarang kondisi Move seperti apa?" tanya Farhan sambil memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku. Sejenak laki-laki yang tak lain Dimetri itu menyugar rambut hitamnya. Bukankah dia akan menikah. Sudah seharusnya kan dia berbahagia saat ini___ "Bukkkkk ...!" Pria bertubuh kekar itu sepoyongan, ada darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Sedang Farhan mengibas-ngibaskan tangannya. Ada rasa panas menjala
Teriakan Ray membuat seluruh penghuni ruangan itu tersentak. Semua tertuju pada tubuh Move yang kejang-kejang. Seketika senua yabg ada di ruangan di suruh keluar.Ray dengan paniknya tak bisa menenangkan perasaannya. Berkali-kali dua meraup mukanya. Bahkan semua orang mencoba untuk menenangkannya namun sia-sia.Seilah menunggu anteian lama sekali. Pintu ruangan itu tak kunjung dibuka. Padahal sudah hampir 30 menit. Dan ketika terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu keluar, Ray dengan segera menyambut dokter itu."Dok, bagaimana__"Sebaiknya, Bapak lihat sendiri keadaannya di dalam." Suara dokter itu membuat Ray terpana."Ray, sebaiknya kamu ke dalam duluan," ucap mamanya sambil memeluk putranya itu."Aku temani," kata Farhan masuk terlebih dahulu. Lalu di susul Ray.Kedua saudara kembar itu harap-harap cemas ketika memasuki ruangan itu. Beberapa suster sudah pergi meninggalkan mereka tapi di atas pembaringan p
Suara tangisan itu terdengar begitu keras hingga membuatku tersadar. Siapa yang menangis? Aku mencoba bangkit dari pembaringanku. Badanku rasanta remuk redam. Suara itu semakin terdengar di telingaku. Dan aku semakin penasaran. Sebenarnya siapa yang ditangisi? Apakah Ray? Apa calon suamiku itu tidak selamat? Astaga! Buruk sangka aja aku ini. Bagaimana tidak. Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada beberapa mobil yang mengikuti kami ketika aku dan Ray akan mendatangi tempat pemotretan pre wedding kami. Dan tepat di kilometer 17 mobil-mobil itu menyenggol mobil Ray hingga mobil yang kami tumpangi masuk jurang. Itu artinya nyawa kami jadi taruhannya. Tetapi aku masih bisa merasakan sakit. Tandanya aku masih hidup. Nah! Apakah menangisi kematin Ray. Dengan buru-buru aku bangkit dari tidurku. "Ouw!" Kurasakan ada yang sakit di seluh badanku entah itu apa? Dan saat alu bisa melihat siapa yang menangis aku sangat terkejut. It
Melihat tangan thremor yang memegang gelas sampe jatuh ke lantai itu aku sudah nggak kaget. Setidaknya aku sudah bisa membuktikan bahwa semua yang diucapkan oleh Dimetri itu benar adanya.Bahwa Renata memang punya niat nggak baik dari awal datang ke Genius Group. Dua benar-benar wanita ular. Yang bisa bertahan saampai beberapa tahun di perusahaan Farhan hanya untuk menguasai secara garis besar sistem dan cara kerja Genius Group.Licik! Entah dia itu tangan kanan siapa yang di suruh untuk menyusup ke Genius Group. Yang pasti saat ini samua data perusaan dan sitem kinerja Genius Group sudah terbaca dan ia kuasain.Setidaknya kalau tencana ini bisa digagalkan tidak menutup kemungkinan Dinata Group jadi incaran selanjutnya."Renata, dengan reaksi kamu yang seperti ini, sudah cukup menjawab semua pertanyaan yang ada di otak aku. Aku punya bukti kejahatanmu, Renata." Seketika itu wajah Renata berubsh merah padam.Aku langsung beranjak berdiri. Tanpa memo