Panas matahari menembus jendela kamar kostku. Aku menggeliat menyadarkan diri kalau hari sudah berganti waktu. “Terjadi lagi semalam ..." gumamku dalam hati.
“ Huft ...!”hembusan nafasku begitu dalam. "Kenapa begitu lemah? Kenapa harus selemah ini? Lagi-lagi hatiku berkata. Sesaat kupejamkan mata menenangkan perasaan yang tiba- tiba merasa tidak nyaman.
Rasanya sudah menyerah duluan. Ada rasa enggan menyeruak masuk kedalam pikiranku. Beberapa hari ini dia sudah berusaha untuk tidak mengingat apapun tapi kenapa musti berjumpa lagi.
"Takdirkah?" tanyaku sambil bergumam pada diriku sendiri masih dengan mata terpejam. Meng_awang-awang kejadian demi kejadian.
“Yah, itu memang takdir. Kita ditakdirkan untuk selalu bertemu." suara yang teramat aku kenal. Dia sudah berbaring di sampingku sambil membelai rambutku. Kubuka mataku, begitu dekat jarak itu. "Tuhan ...! Bagaimana kalau nanti aku kehilangan lagi seperti yang sudah-sudah? Su
Inget masalalu yang menyakitkan, rasanya ... Ditunggu vote, like dan komentnya
Luka lama terbuka kembali! Mungkin itu yang pantas menggambarkan kondisi aku saat ini. Semenjak aku bermimpi tentang masa laluku, hatiku mulai nggak tenang. Ada perasaan nggak nyaman. Luka lama itu seolah-olah kembali menganga dihatiku. Trauma yang bertahun-tahun aku cari obatnya kini kambuh lagi. Bahkan sekarang hampir tiap malam aku bermimpi yang sama. Aku mengendikan bahu ketika salah satu pelayan cafe berbisik di telingaku. Setelah beberapa menit kemudian, aku melangkah menuju meja yang sudah dipesan seseorang. Kulihat wanita cantik itu tidak sendiri. Ada wanita separuh baya duduk berseberangan dengannya. Wanita yang masih begitu terlihat anggun dan cantik diusia 50 tahun. Aku menarik nafas dalam sambil berjalan menuju ke arah mereka. Aku sudah bisa menebak siapa wanita separuh baya yang Feronika bawa itu. Jantungku berdetak begitu kencang. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" ucapku sedikit bergetar menatap wanita anggun itu. Tidak lu
"Gubrak ... !" Tas itu dilempar sebarang. Suaranya terdengar jelas. Dia menelungkupkan mukanya di kedua lututnya. Terduduk di bantalan sofa empuknya. Punggungnya teguncang kencang. Ada isak tangis di sana. Sesaat alam sadarnya kembali. Disekanya air mata itu dengan kasar. "Apa kurangnya aku dibanding dia! Dia hanya seorang janda! Dia hanya wanita biasa! Apa kurangnya aku-!! Prankk-!! Gelas itu pecah berhamburan ke lantai. Pecahannya mengais kulit putihnya,melelehkan darah segar di betisnya. Dia meringis menahan sakit diantara isak tangis kemarahannya. Tanpa memperdulikan pecahan gelas di lantai itu, dia membuka membuka layar ponselnya. Semenit kemudian -, "Lakukan malam ini! Rusak Dia! Hancurrkan- Dia!" perintahnya di seberang telpon. "Baik Nona," "Aku tidak mau mendengar kata gagal!" tandasnya cepat, lalu menutup telpon. Nafasnya ter-engah. Matanya menyorot tajam. Memandang keluar jendela. Feronika Alfarest,!&nbs
Bau ruangan ini sudah tidak asing lagi. Bau khas rumah sakit. Perlahan aku membuka mataku. Rasanya, badanku remuk semua. Aku meringis menahan sakit. Kurasakan sentuhan lembut di jari-jemariku. Dengan masih kurasakan sakit di kepalaku. Kulihat seseorang duduk di hadapanku. Menggenggam hangat tanganku. Aku tidak perlu mencoba mengingat kejadian yang menimpaku. Rasanya aku trauma. "Kamu sudah sadar, Sayang? Apa yang kamu rasakan, masih sangat sakitkah? Suara teduh itu milik Ray. "Maafkan aku, saat kamu butuh aku, aku tidak ada bersamamu!" ucapnya lagi. Aku hanya menggeleng kan kepala lemah. Iya, Dattan yang menyelamatkan aku. Kemanakah dia? Mataku mengitari ruangan. Tapi tidak kutemukan sosok itu. "Kamu mencari Dattan?" Kuanggukan kepala, mengiyakan pertanyaannya. "Dia di kantor polisi. Ikut mengintrogasi kedua penjahat yang akan memperkosamu!" Aku kembali mengangguk, mendengar ucapan Ray. Yah, aku hampir saja diperkosa oleh dua laki-laki
"Ma! Ada yang mau Saya tanyakan sama mama!" Pagi itu sebelum berangkat kerja, Ray menyisakan waktunya mampir ketempat mamanya. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu sedikit kaget dengan kehadiran putranya yang tiba-tiba datang di rumah. Pagi itu, di kediaman Aliya( mamanya Ray Dinata) terlihat wanita cantik yang sudah tak asing lagi. Senyumnya mengurai ketika dilihat cowok tampan itu berkeliaran di rumah mamanya. "Tumben Ray, mampir? Ada perlukah? Tanpa menghiraukan sapaannya, Ray berlalu menghampiri mamanya. "Ada apa, Ray? Datang-datang kok sudah pasang muka tegang begitu? Aliya menghampiri putra semata wayangnya. "Mama, tolong jangan intimidasi Move lagi? Dia sudah cukup menderita, Ma!" suara Ray sedikit meninggi. Aliya, wanita paruh baya itu mengernyitkan kening. Sedangkan gadis cantik yang duduk bersebrangan dengan kedua orang itu, menggerakan badannya untuk berdiri. "Maksud kamu apa, Ray? Ini tentang Move lagi? Ka
Mata itu menatap tajam dengan kemarahan. Aku yakin di sana ada kebencian mutlak. Pembawaannya yang begitu tenang dan angkuh, membuat sikap itu tidak begitu kelihatan mencolok. Sudah hampir 15 menit berlalu. Belum ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Aku masih menunggu, tanpa mengurangi sopan-santunku. Sebagai rasa hormatku untuknya. Aku masih dalam posisiku. Duduk di kursi yang ia pesan. Sedang dia, masih berdiri mematung, membelakangi aku. Ketika tiba-tiba ponselku berdering, ... "Angkat panggilan itu!" suaranya memecah keterdiaman diantara kami. Aku mengangguk hormat seraya menjawab panggilan masuk di ponselku. "Hallo!" suaraku datar agak bergetar. Suara di seberang terdiam sesaat. "Sayang! Apa kamu sekarang lagi bareng sama mama?" tanyanya ragu. Aku terdiam sesaat. Menatap seseorang yang berdiri di hadapanku. Wanita itu mengangguk sebentar sebelum mengambil ponselku. Kubiarkan ponsel itu pindah tangan. "Hallo, Ray!
Kakiku gemetaran mendengar perkataan Feronika. Aku membalikkan badan. Pandanganku tajam ke arah Ray. Dengan linglung aku mengarahkan kakiku kembali ke tempat neraka itu. Bukan Ray atau Dattan yang kutuju. Tapi, sosok wanita cantik itu yang kudatangi. "Sebenarnya, kamu ini siapa Feronika?" tanyaku penuh penekanan. Kuamati raut muka wanita itu. Kucari kebenaran dari apa yang dia ucapkan tadi. "Tidak seharusnya, kamu ikut campur terlalu jauh masalah pribadiku!" Agak tersentak Feronika mendengar ucapanku. Mungkin selama ini mereka selalu memandang aku lemah, dan menyepelekan apapun tentang aku. Kali ini ada rasa keterkejutan baik Feronika ataupun orang-orang yang ada di sini, mendengar kalimat terakhirku tadi. "Aku hanya mengatakan kebenaran Move!" Sekali lagi Feronika menegaskan ucapannya. "Sudah cukup Fero!" Tiba-tiba suara Ray bergema. Aku menatap tajam ke mata laki-laki yang teramat aku cintai itu. "Katakan sekali lagi Fe
Agak kasar Ray memarkirkan mobilnya. Dengan buru-buru dia berlari menuju kosan Move. Agak ter-engah dia menaiki tangga itu. Sesampainya di kost Move buru-buru dia mengetuk pintu. Lama ketukan itu nggak ada sahutannya. Ray mulai gelisah. "Move ..., Kembali dia mengetuk pintu, bahkan memanggil namanya. Dia melirik arloji yang bertengger di tangannya. Baru jam 4 sore. Seharusnya dia sudah di rumah. Dibukanya layar ponselnya. Kembali dia berusaha menghubungi lewat telpon seluler. Tapi hasilnya tetap nihil. Karena merasa tidak sabar, Ray menuruni anak tangga. Kembali ke mobilnya, melajukannya dengan cepat ke arah tempat kerja Move. Sesampainya di sana, dia langsung ke meja kasir. "Mbak! Maaf, numpang tanya, Movenya, ada?" Nafas Ray ngos-ngosan seperti dikejar penjahat. "Haduh, maaf mas, hari ini mbak Move izin setengah hari. Katanya ada keperluan mendadak." Ray menghela nafas, rasa kecewa itu tampak di raut mukanya yang tampan.
Menghilangnya Move hampir 3 hari membuat seluruh teman kerjanya merasa kehilangan. Aplagi Ray, laki-laki itu sempat drop dalam pencariannya. Bahkan detektif yang ia sewa sama sekali belum mendapatkan hasil. Baik Dattan dan Fito, hampir tidak pernah tidur. Mereka mencari keberadaan Move sampai 24 jam. Polisi juga sudah dikerahkan dalam pecarian itu. "Mama bawain makan siang buat kamu Ray," suara wanita itu ketika berada di ruang kerja anaknya, "Aku nggak lapar Ma, bawa pulang aja lagi." jawabnya tanpa menoleh. Wanita itu mendekati putra semata wayangnya itu. "Mama tahu kamu sedang bersedih, sangat marah sama Mama, tapi mau sampai kapan kamu seperti ini?" "Nggak ada yang nyalahin Mama, Aku lagi sibuk kerja. Nggak mau diganggu." jawabnya sekali lagi. Terdengar sangat dingin nada bicaranya. Terlihat kantung matanya sampai menghitam. Itu menandakan dia jarang atau malah nggak pernah tidur berhari-hari untuk mencari Move.