Share

Rumah Alan

“Dih emang kenapa kalau outfit-nya gini?”

“Yang ada lo didepak duluan sebelum masuk rumah. Dimana-mana kalau pertemuan keluarga, pakaiannya tuh formal dong!”

“Oh, oke.” Alsava mengangguk setuju, tapi formal bagi Alsava rupanya kemeja berwarna putih dipadu jas hitam dan celana dasar yang kontan membuat Rara menepuk kening. “Apa lagi sih? Tadi lo bilang pakaian formal? Lah ini gue turutin.”

“Ya nggak gitu juga, Beb. Pakaian lo tuh lebih cocok buat ngelamar kerja daripada ketemuan keluarga. Sini deh gue cariin. Minggir lo!” Rara menyentak tubuh Alsava agar memberikan ruang baginya untuk menjelajah isi lemari Alsava—atau lebih tepatnya dibilang fitted closet karena Alsava memiliki satu ruang khusus yang ukurannya sebesar kamar pribadi hanya untuk menampung pakaian, tas, sepatu, dan berbagai koleksi perhiasan.

“Lo itu mau ketemu sama calon mertua, gue ingetin lagi ya CALON MERTUA. Bukan sama klien penting buat negosiasi bisnis. Hadeh!” Rara menceletuk jengkel. Pilihan gadis itu akhirnya tertuju ke sebuah dress berwarna krim yang terlihat elegan dan menyatu dengan warna kulit Alsava. “Nah, lo pake ini deh.”

“Ini?”

“Iya! Udah buruan ganti. Bentar lagi Alan jemput lo.”

Waktu berjalan kian cepat, Alsava segera berganti baju mengenakan dress pilihan Rara, dipadu flat-shoes berwarna senada. Tas anyaman yang terlihat cantik. Rambutnya dibuat bergelombang. “Gila, Alan abakal jadi cowok paling beruntung karena bisa nikah sama gue,” katanya memuji diri sendiri sambil berkaca di meja rias.

“Yang ada bunting, bukan untung!” komentar Rara tidak terima.

“Kak, permisi, itu … ada cowok ganteng datang. Udah Bibi suruh masuk, dia nunggu di bawah.”

“Tuh calon suami lo jemput.”

“Calon suami?” Bi Uti tampak kebingungan, “calon suaminya Kakak?” Reaksi Bi Uti seperti baru aja mendapat kabar kalau seekor gajah dapat bertelur alias nyaris nggak bisa dipercaya karena selama ini Bi Uti tahu bahwa seorang Alsava nggak pernah berurusan dengan seorang laki-laki, terkecuali soal bisnis.

“Gue turun dulu ya, menyambut Alan.”

“Oke.”

Alsava kembali berkaca, setelah puas dengan riasannya, wanita itu pun bergegas mengambil tas dan keluar dari kamar. Menuruni tangga menuju ke lantai bawah. Dirinya melihat punggung Alan yang mengenakan kemeja berwarna navy yang lengannya digulung hingga ke siku. “Hei, Al, gimana penampilan aku kali ini?”

****

“Hei Al, gimana penampilan aku kali ini?”

Alan terkesima sesaat begitu menemukan Alsava duduk di hadapannya dan terlihat begitu cantik. Rambutnya dibuat bergelombang, tubuh langsingnya terbalut sempurna dalam dress berwarna krim. Lelaki itu sejenak terpaku memandangi Alsava. “Hellow—gimana penampilan gue?” Alsava melambaikan tangan membuat Alan segera mengalihkan pandangan.

“Bagus, kok.”

“Bagus? Dikira aku tuh barang? Jawabannya tuh cantik atau jelek.”

“Duh, Tuan Putri, nggak usah mancing deh. Lo pasti udah tahu jawabannya.” Rara terlihat jengkel yang membuat Alsava terkekeh geli.

“Iya udah, kita berangkat sekarang? Bi Nur udah nunggu kita di rumah.”

“Okay, Beb, doain gue ya! Yah, gue yakin sih pasti gue bisa membuat bibi Alan terkesima.” Alsava lagi-lagi memuji diri sendiri di hadapan Rara dan Alan. Rara cuma geleng-geleng kepala dan memberi isyarat ke Alan dengan bisikan tanpa suara, “dia emang sarap!”

Alsava berjalan ke depan rumahnya dan terkejut melihat motor Alan terparkir di depan air mancur. “Wait, kita … naik motor?”

“Iya.”

“kok nggak naik mobil?”

“Untuk sementara, aku masih punya motor.”

“Naik mobil aku aja, deh.”

“Macet, Va, udah yakin aja sama aku. Pasti aman.”

Are you serious?

Promise me, I’ll take care of you.” Alan tersenyum sembari mengulurkan helm yang sengaja dia bawa dari rumah untuk dipinjamkan ke Alsava. Alsava mengambilnya, sempat menciumnya sekilas, takut kalau ada aroma tidak sedap menempel dan menodai rambutnya. Rara langsung melotot ke Alsava, menyuruhnya berhenti melakukan tindakan aneh. “Di-klik Va,” Alan menunjuk bagian bawah helm. Alsava mengernyit tidak paham. “Sorry,” lelaki itu membantu Alsava memasangkan pengait helm, jemari Alan yang hangat sempat bersinggungan dengan dagu Alsava.

Thanks.”

Alan duduk di motornya, Alsava terlihat ragu-ragu, tapi akhirnya dia duduk dengan posisi menyamping. Bukannya sombong, tapi Alsava memang seumur hidup tidak pernah naik kendaraan roda dua. Alhasil gadis itu kini berpegangan erat dengan mencengkeram pegangan di belakang motor. “Udah, Va?”

“Pelan-pelan ya, please?”

Relax, Va. Aku udah biasa bawa Bi Nur yang rempongnya tujuh turunan,” guyonnya.

Bye, guys. Have fun, ya!” Rara melambaikan tangan. Kendaraan melaju. Alan memutar spion motornya hingga dia bisa mengecek kondisi Alsava, dilihatnya ekspresi gadis itu sedang menggigit bibir, tampak waswas.

“Va? Kalau takut pegangan aja.”

“Nggak apa?”

“Ya nggak apa, biar lebih kelihatan chemistry-nya kan?” Alsava akhirnya mengulurkan tangan untuk memeluk Alan dari belakang. Aroma Alan yang maskulin membuat Alsava menelan ludah. Biasanya, Alsava selalu memegang kendali soal apa pun dalam kehidupannya. Dia tidak pernah mempercayai siapa pun, dan kali ini untuk kali pertama sepanjang hidupnya dia mempercayai seseorang yang memboncengnya.

****

Motor Alan masuk ke dalam sebuah gang, bangunan tampak saling berdiri rapat, anomaly dengan kompleks perumahan Alsava yang saling berdiri kokoh dan terlihat mengintimidasi. Rumah keluarga Alan terkesan hangat, pepohonan asri ditanam di pekarangan. Masih ada tukang sayur lewat menjajakan dengan gerobak. Tetangga saling berkumpul di depan rumah, ada yang masih mengenakan daster sedang menyuapi anaknya, ada pula sedang menyapu dedaunan di jalan. “Permisi ya, Bu,” Alan melambatkan motornya.

“Siapa Nak Alan? Calon istri?”

“Doain aja, Bu.”

“Akhirnya ya, Alan kita yang ganteng punya gandengan.”

Alsava bisa menilai kalau Alan adalah idola para ibu-ibu di dalam gang, dilihat dari betapa riangnya mereka mengetahui ada seorang perempuan berada di boncengan Alan. Kendaraan akhirnya berhenti, Alsava turun dari motor, melepaskan helm dan membenarkan letak rambutnya yang sedikit berantakan. Dia memutar spion milik Alan tanpa permisi. “Make-upku berantakan, ya?”

Alan menggeleng dan ikut turun dari motor. “Yuk masuk.” Mereka berdua melangkah masuik. Suara teriakan anak-anak menggema dari dalam, diikuti suara dentingan piring dan sendok saling beradu, serta suara iklan di televisi. “nenekkk, Abang Alan udah datengggg!” seorang anak laki-laki kecil berteriak hingga gigi ompongnya terlihat.

Alsava menunjukkan wajah tidak suka, sejak dulu dia benci dengan anak kecil. Menurut Alsava, anak kecil adalah makhluk menyebalkan yang suka berbuat semena-mena dan berisik. “Halo, Abid,” Alan berjongkok, meraih bocah itu dalam pelukannya. “Va, kenalin ini keponakanku. Abid, kenalin, ini Tante Alsava.”

“mukanya serem! Galak!”

Ih? Alsava mengerutkan hidung, menahan dirinya untuk tidak mencubit Abid. Bisa-bisanya dia bilang gadis cantik nan sempurna seperti Alsava memiliki wajah galak nan menyeramkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status