Share

Ambil Kendali

“Ya nggak gitu juga Va, meskipun Cuma kontrak tapi kan, ya, dia punya keluarga.”

“Lusa dia bakal ngajak gue ketemu keluarganya, habis itu gue bawa dia ketemu keluarga gue. Selesai. Apa yang harus dipermasalahkan, deh?”

Belum selesai percakapan kedua orang itu, Sofie muncul di pintu sambil menenteng higheels. Matanya menatap nyalang pada Alsava. “dasar wanita jahanam lo ya, bikin gue kaget! Gue nyaris nabrak mobil orang tahu nggak? Gara-gara VN yang lo kirimin di grup dan bilang lo mau kawin. Udah gila lo? Alsava, lo tuh ngajak kawin anak orang loh!”

“Apasih reaksi lo berdua lebay banget dih.” Alsava memutar bola matanya dan membuat kedua temannya menahan diri untuk tidak menghantam kepalanya dengan vas bunga mewah di meja. “Lagian ngapain sih perihal kawin tuh diperlambat?”

“Tauk deh, capek ngomong sama lo.”

Alsava tersenyum sambil melihat tandatangan Alan di kertas. ”Harus buru-buru, soalnya gue pun kepepet.”

“Terus, Alan iya-iya aja?” Tanya Rara bingung.

“Yadong, siapa yang bisa menolak pesona gue.”

“Hadeh, emang yah tuh cowok, susah banget kalau disuruh nolak. Kebiasaan dia emang iya-iya aja, people pleaser banget. Tapi plis ya Va, sebetulnya gue agak merasa bersalah mencomblangkan lo sama Alan. Lo jangan apa-apain dia, Alan tuh cowok baik-baik.” Alsava langsung menimpuk Rara dengan bantal sofa. “Dih, kok gue malah dilempar sih?!”

“Emang dia sebaik apa sampai lo segitunya? Di dunia ini mana ada sih, Ra, cowok baik.” Ucapan Alsava terdengar sinis. Dalam kehidupan Alsava, cowok baik hanya ada dalam sebuah dongeng.

“Baik, Va. Lo tahu saking baiknya dia, waktu kita masih pedekate gue sempat mabok waktu ada acara kantor. Dia yang bantu gue sampai ke rumah, di rumah … gue sempat clingy gitu, nemplok-nemplok ke dia. Sengaja sih, tapi emang dasarnya tuh orang cowok baik-baik. Dia nggak ngapa-ngapain gue sama sekali.”

“Homo kali?” Alsava dengan pikirannya yang kadang terlalu liar memang sulit untuk ditebak. “Lagi zaman lho cowok homreng.”

“Dih, kalau homreng mah dia nggak bakal mau pedekate sama gue.”

“Ya kedok doang!” Alsava masih tidak terima bersikukuh dengan prinsipnya kalau tidak ada cowok baik hidup dalam dunia yang saat ini dia tinggali.

“Pokoknya jangan lo apa-apain dah tuh anak, ya, masih polos Va!”

“Emangnya gue cewek apaan?”

“Lo cewek jahat yang suka memanipulasi,” celetuk Sofie.

Alsava hanya cengengesan. Bahkan kedua temannya tidak memungkiri itu. Alasan utama Alsava bertemu dengan mereka awalnya pun bukan murni karena ingin berteman, tetapi karena Rara dan Sofie adalah murid pintar yang gampang untuk diconteki ketika ujian. See? Kebiasaan Alsava dalam memanipulasi sudah terasah sejak dulu.

“Va, please, nanti Alan jangan dijahatin ya? Oke, Va? Kalau lo mau berbuat jahat ke gue, lo ingat wajah gue. Gue temen Alan, Va.”

Alsava menghela napasnya dan menghembuskannya berat ke udara. “Dasar lebay lo!”

****

Alan baru saja pulang dari kantornya. Cowok itu sampai di rumah, masih mengenakan seragam batik dan celana dasar yang tampak sedikit kusut. Dia melepaskan sepatunya, meletakkan ke bawah kursi lantas bergegas masuk ke kamar. Jemarinya meraih ponsel dalam saku seragam ketika merasakan benda itu bergetar.

Alsava:

Udah bilang soal rencana kita ke bibi km?

Alan:

Blm, baru aja smp rumah nih.

Km masih di kantor?

Alsava:

Nggak. Udh d rumah, ada Rara di sini.

Send a photo

Lelaki bermata cokelat itu tersenyum melihat Alsava mengambil foto Rara sedang makan dengan posisi kaki naik ke atas kursi dan bibir mangap. Kalau Rara tahu, pastilah dia akan marah habis-habisan.

Alan:

Bilang Rara, kalau udh selesai makan jgn lupa bayar di kasir J

Alsava:

Oh, no worries! Makanan di rumah aku terlalu mahal buat dibayar.

Alan:

Ya udah, aku mandi dulu ya.

Tak ada lagi balasan. Alan meletakkan ponselnya di nakas. Lelaki itu segera mandi, berganti baju dengan kaos putih kebesaran dan celana tidur. Masih dengan rambut setengah basah dan handuk menggantung di leher, dia keluar kamar. Melihat Bibi Nur duduk di ruang tengah sedang menyulam sementara suara pelawak kawakan Sule menjadi latar belakang pengisi suara. “Lagi ngapain Bi?”

“Ngejar setoran, Le, ada yang pesan sarung bantal sulaman tangan Bibi.”

Alam mengangguk, duduk di sebelah Bibi Nur. “Mau kopi, Thole?”

“Nggak usah, Bi.”

“Kenapa toh wajahnya kayak banyak pikiran?”

Tidak ada jawaban yang keluar. Alan masih membisu. Bi Nur meletakkan sulaman ditangannya ke ujung sofa dan memegang pundak keponakannya, memberi pijatan di pundak Alan. “Ada apa toh, Le? Cerita sama Bibi kalau ada masalah di kantor, biar plong hatinya.”

“Bi, Alan mau menikah.”

Kali ini gantian Bi Nur yang membeku. Pijatan di pundak Alan berhenti. “Sama siapa? Kamu nggak pernah kenalin siapa pun ke Bibi. Bahkan Lusa Bibi Tanya calon istrimu, kamu bilang belum ada.”

“Sudah ada, Bi, udah lama jadian tapi belum yakin dikenalin … sekarang Alan udah yakin dan bakal bawa dia secepatnya ke rumah, biar Bibi kenal.”

“Terus … Nak Putri gimana? Bibi udah janji mau ngenalin dia ke kamu.”

“Bibi percaya sama pilihan Alan, kan?”

Le, ini sudah dipertimbangkan baik-baik kan? Anakmu nanti, Le, ndak bisa memilih ibunya harus gimana. Itu keputusan kamu, Le, saat memilih istri. Jadi Bibi berharap kamu bertanggung jawab sama pilihanmu.”

Mendengar penuturan Bi Nur membuat Alan merasa bersalah, dia nyaris tidak pernah berbohong seumur hidupnya terhadap Bibi Nur. Seseorang yang sudah Alan anggap seperti ibu kandungnya sendiri. Kehilangan orangtua di usia muda bukan sesuatu yang mudah dihadapi jika Alan tidak memiliki orang-orag beruntung seperti Bibi Nur dan anak-anaknya yang selalu memberinya dukungan. “Besok, Alan bakal bawa dia ke sini, ketemu Bibi.”

“Orang mana, Le? Ketemu di mana?”

“Ng—dia sahabatnya teman kantor Alan, kebetulan suka ikut ngumpul. Anaknya mandiri, Bi, sukses. Masih muda udah punya kantor sendiri.”

“Yakin, Le? Biasanya wanita karir susah punya waktu sama keluarga, lho.”

“Bi, kali ini percaya aja sama pilihan Alan, ya?” Alan mengamit tangan Bi Nur yang sudah mengeriput, matanya memandang penuh pengharapan. Bi Nur menghela napas lantas balas mengusap puncak kelapa Alan.

****

Setelah berhasil meyakini Bi Nur, Alan segera memberitahu Alsava untuk menentukan waktu agar bertemu dengan keluarganya. Mereka juga sudah saling bersekongkol via chat untuk mengarang pertemuan mereka pertama kali, sudah berapa lama mereka berhubungan, supaya tidak menimbulkan kecurigaan pada keluarga Alan. Alhasil, di pagi buta, dia sengaja mengosongkan jadwal kerjanya sehari dan menelepon Rara untuk datang ke rumahnya. Membantunya mencari pakaian yang pantas. Awalnya pilihan baju Alsava jatuh kepada kaus berwarna putih bertali satu yang tembus pandang hingga nyaris memperlihatkan warna bra-nya dipadu hot pants yang memperlihatkan paha mulusnya. “Woi, gila lo ya? Lo mau ketemu sama camer, bukan ke pantai!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status