Summer, Adelaide-South Australia
“Ayo, menikah denganku.”
Aya tersedak. Dia melotot mendapati laki-laki disebelahnya menatapnya dengan pandangan serius. Kortisol di tubuhnya seketika berlimpah. Membuat jantung mungilnya memompa lebih cepat. Bukan karena salting, lebih karena takut sekaligus khawatir. Musim panas kali ini masih di suhu 30 derajat. Tidak cukup panas sampai bisa memelintir otak cowok ini sampai dia berhalusinasi.
Apa istilahnya kalau bukan halusinasi? Cowok dengan kulit yang lebih coklat dibanding kali terakhir Aya bertemu itu lebih normal kalau mengajak Aya debat atau berantem dibanding tiba-tiba (banget) mengajaknya menikah. Dan..helooww…. dari mana kamus menikah muncul di kepalanya itu?
“Kamu gabut?” Aya menelisik raut laki-laki di depannya. Tidak bertemu lebih dari setahun membuatnya banyak berubah. Dia yang cuma memakai polo dan jeans kelabu, menyeruput santai kopinya. Baiklah! Aya sempat mengakui kalau tubuhnya bergetar saat laki-laki itu mengatakan kalimat di awal. Sebelum akhirnya dia menyadari kalau kemungkinan dirinya salah dengar.
“Aku serius.”
Aya menoleh ke sekeliling. Mereka tengah berada di Hub Central Universitas Adelaide. Tidak seramai biasanya karena liburan musim panas sudah dimulai sejak 3 hari lalu. Mahasiswa Adelaide memilih pergi ke kota lebih ramai semacam Perth, Melbourne atau Sydney untuk liburan atau sekedar mencari partime dengan gaji lebih tinggi. Dia memastikan tidak ada orang lewat yang menguping pembicaraan mereka.
“Denger ya, ada banyak hal yang lebih wajib kamu lakukan dibandingkan mela…. Lupakan! Aku anggap aku nggak denger apa yang kamu bilang tadi.” Aya menekan suaranya. Berusaha menyembunyikan grogi yang mendadak muncul.
“Why? Apa aku kurang prospek untuk dijadikan suami?”
Aya terkatup. Mau menyahut tapi bingung berkomentar apa.
“Kamu punya pacar lagi? Masih terbayang mantan terindah?”
“Nggak! Nggak ada!” Aya menepuk ujung meja sampai ujung jemarinya memerah. Matanya membulat. Buru-buru ditutup mulutnya sendiri. Dia sendiri terkejut dengan responnya. Hey, Ay… kamu kenapa sih?
“Apa kamu tidak menyukaiku?”
Aya kembali tersedak. Kok dia bisa jadi kepedean begini sih?!
“Aku masih 20 tahun. Belum ada kepikiran menikah.”
“So do I. Kita kan sebaya. Apa kamu jarang mengikuti berita negara sendiri sejak di Aussie? Anak seusia kita sudah beranak pinak malahan.”
Seandainya Aya punya bakyugan, dia sungguh ingin masuk ke kapala cowok ini dan menguliti setiap lapisan otaknya. Mencari kita-kira di mana yang konslet atau ada sel yang terbalik penempatannya. Dulu dia tidak begini. Dan hubungan mereka bukan hubungan romantis yang dikenang oleh otak dan hati. Jadi kenapa tiba-tiba….
“…lagian tidak ada syarat larangan menikah di beasiswamu. Iya kan?”
“Hah?! Kamu stalking?”
Cowok itu mengangguk yakin. Tanpa bersalah pula. “Aku butuh info buat bikin rencana ke depannya gimana.”
Rencana ke depannya? Aya menghembuskan napas. Rasa saltingnya mulai berubah kesal. “Plis!! Hentikan dulu bercandamu. Dan tolong hormati aku sebagai temenmu. Kalau kamu berencana nge-prank aku, hentikan dari sekarang!”
“Aku memenuhi janjiku menyusulmu ke sini. Apa kayak gini di matamu masih dibilang nge-prank?”
Hah?! Janji apa? Janji yang mana?
“Aku tidak mengatakan ini tiba-tiba, Ay. Kamu kan pintar. Harusnya kamu sudah tahu sejak dulu. Atau minimal menerkanya dengan benar. Aku menyukaimu dari dulu. Wajarkan kalau aku menyusulmu ke sini dan melamarmu.”
Bagaimana bisa laki-laki ini mengatakan kalimat itu tanpa bergetar. Lugas. To the poin. Aya yang mendengarkan aja merinding. Dan lagi. Aya kan bukan cenayang. Mana mungkin dia bisa tahu apa yang laki-laki itu pikirkan. Mereka bahkan terakhir bertemu setahun lalu. Tidak pernah saling sapa di media sosial kecuali sebulan terkahir ini. Itu pun hanya untuk mengabari kalau cowok ini masuk ke Universitas Adelaide juga. Meski bukan dengan full beasiswa. Aya menawarkan diri untuk mengajaknya tour di Adelaide sebagai teman lama. Sudah tidak lebih. Dan ini baru hari keempat cowok ini tiba di Australia. Aya masih belum mengerti apa yang salah dengan laki-laki ini. Atau apa yang sebenarnya dia rencanakan.
“Jangan menatapku begitu gih. Kamu bikin grogi tau!”
Gimana…gimana… kok jadi kebalik gini sihhh!
Aya berusaha meredam gemuruh jantungnya sendiri. Lesakan dopamine ini pasti membuat pipinya memerah. Aya menyerah. Kali ini dia memilih jalur aman. Diam. Tidak merespon atau memikirkan apapun. Anggap saja yang berkata di depannya ini manusia sinting.
“Ngomong-ngomong, tanganmu masih sering sakit?”
Aya melirik lengan kirinya. Lengan panjang kausnya naik dan membuat bekas luka memanjang di lengannya ketara. Aya buru-buru menarik ujung lengan kaos untuk menutupi bekasnya. Dia menggeleng pelan.
Benar. Tidak perlu berpikir yang aneh-aneh. Manusia di depannya ini pasti sedang memulai masa pubertasnya yang terlambat, jadi dia tidak bisa berpikir normal. Termasuk kata-kata anehnya barusan. Dia tahu seperti apa masa lalu Aya. Aya yang menjauh dari Indonesia, mengubur semua ingatan buruknya, dan berperang dengan ketakutannya sendiri. Laki-laki ini pasti tahu. Jadi tidak mungkin dia sampai punya perasaan ke Aya bahkan berniat menikahnya. Ini jelas-jelas diluar nalar.
“Aku mau ada pertemuan sore ini,” Aya memutar otak. Dia harus segera menjauh dari cowok ini. Dia mulai tidak baik-baik saja dan akan makin tidak baik kalau berlama-lama dengannya. “Ada pertemuan pelajar di Helberg.”
“PPI[1] bukan?”
“Kamu tau?”
“Good! Aku ikut! Kalau acaranya sore, harusnya selesai di atas jam 9. Lebih sepi di sini daripada di jalanan Kaliurang kilometer atas kan? Kamu pasti butuh temen untuk balik.”
Heyyy!! Bukan gitu maksudnyaa!!!
[1] Persatuan Pelajar Indonesia, perkumpulan pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri
“Dit…”“Woi!!! Aditttt!!!”Adit menoleh. Dibalas tatapan Reza bingung. Layar di depannya sudah gelap. Lampu bioskop juga sudah menyala terang. Itu tandanya film sudah berakhir. Kok cepet banget sih? Perasaan aku nggak liat apa-apa tadi.“Lo mikirin apa sih?”Adit menggaruk kepalanya sambil melangkah keluar. Kayaknya sia-sia banget dia nonton film terbaru James Bond dua kali, tapi tetap aja nggak tahu jalan ceritanya sama sekali. Gara-gara melamun sih. Mata Adit terpaku pada cewek yang tengah bicara dengan Roy begitu dia sampai di galeri depan.Sumpah gue suka sama dia? Dia? Kok kayak gue nggak pernah ketemu cewek lain di muka bumi sih?!! Kata-kata itu terus berdenging di telingan Adit sampai mereka tiba di parkiran.“Dah, makasih ya udah dateng,” Aya tersenyum melambaikan ke semua teman-temannya. Termasuk ke Roy. Karena seperti yang sudah-sudah, dia nggak suka Roy menga
Malam sebelumnya.... “Kamu beneran suka?”Adit cengoh. “Ma, itu tadi kan cuma omongan anak kecil. Kenapa Mama musti percaya sih?” Adit memutar kursinya. Mulai kesal kalau Mama sudah mengutak-atik wilayah privasinya. Apalagi ini sudah larut dan Adit sudah ngantuk.“Maaf, deh kalau Mama nyela malam-malam gini. Mama kan cuma tanya?”“Nggak, Ma. I don’t like her anymore!”“Perasaan suka itu sederhana kok, Dit. Kamu betah sama dia itu suka. Kamu khawatir sama dia itu suka. Kamu kepikiran dia terus itu suka. Sederhana kan?"Cuma suara kipas angin yang terdengar di kamar Adit. Cowok itu tengah mencerna kata-kata Riani di batok kepalanya.“Mama nggak akan nyalahin kamu kalau suka sama Aya, kok. Kamu kan udah gede, Dit. Masa bedain suka apa nggak aja nggak bisa.”“Mama nggak marah?”“Kenapa marah?” 
“At…ta… ya?"Adit menoleh ke sebuah suara yang mendadak muncul di sebelahnya. Entah dari mana tuyul kecil itu muncul, yang jelas Adit nyaris terjengkang dari kursi saking kagetnya. Yoga mengernyit sambil memandangi wajah kakaknya. Anak dua belas tahun itu langsung pasang tampang penuh tanya.Kenapa nggak ketok pintu sihhh???!!“Ini Mbak Aya kan, Mas?” selorohnya ceria. Entah kenapa wajah bocah itu mendadak berubah sumringah.Buru-buru Adit menutup display laptopnya. Dia sedang membuka folder hasil hobi jepretannya dan malah gambar cewek itu yang nongol. Gue gila! Positif gila!! Apa coba yang gue tulis barusan tadi. Adit menelan ludah panik begitu Yoga malah tertawa-tawa nggak jelas. Padahal dia tadi mau menjajal aplikasi programming baru. Dan entah kenapa malah buka-buka folder lain dan berakhir ketahuan sama Yoga. Damn it!!
“Eh, gimana kalau kita weekend kita nonton?”Ajakan Aya ini sebenarnya biasa saja. Tapi entah kenapa membuat Adit mendadak mendapat tekanan batih. Hah?! Nonton?! Gila nih cewek?!! Ngapain ngajak gue?! Adit sudah berpikiran yang tidak-tidak. Ditatapnya cewek dengan bola mata bersinar di depannya. Dia beneran…. “Cie, Adit doang yang diajak?” Aya tertawa. “Nggak lah. Ini aku ngajak kalian berdua. Ada pameran film. Dan aku dapet 6 tiket gratis gara-gara undian. Aku mau ngajak kalian berdua, Icha, Ocha, sama Roy. Gimana? Spectre, lho. Kamu suka kan sama filmnya James Bond?” Aya menatap Adit. Dia sepertinya nggak sadar kalau Adit sedang menggeser kursinya. Menjauhi Aya yang mendadak mengambil kursi tengah lalu duduk disebelahnya. Itu sih
Kalau Adit mulai terang-terangan menghindari Aya, Aya sendiri sibuk memikirkan banyak hal sampai nggak nyadar kalau Adit sedang menghindarinya. Otaknya rasanya semrawut dengan hidupnya. Mulai dari bebannya sebagai anak kelas 3 SMA, persiapan masuk universitas, beasiswa apa yang harus ia cari untuk bisa memenuhi kebutuhannya selama kuliah, hubungannya dengan Roy, kata-kata Adit saat di stasiun yang ternyata menghantui Aya, sampai urusan keluarganya. Kepala Aya sengaja diletakkan di meja. Diatas tumpukan buku yang niatnya emang dijadikan bantal buat Aya. Perpustakaan sedang lengang hari ini. Dan Aya sengaja menyendiri di sana untuk menenangkan pikirannya. Apa aku berhenti kerja di bar saja ya? Nggak tenang juga sih kerja di sana. Tapi kan aku kan butuh duit buat Ibu sama Adel, ya utamanya aku sendiri sih. Apa aku juga minta putus aja ya dari Roy. Lama-lama bersalah juga sama dia. Tapi gimanaaa? Kenapa sih dia nggak mutusin aku aja sih?!!!
Sejak kemarin, Adit jadi sering menghilang ke masjid atau perpustakaan tiap istirahat. Sendirian. Dia bahkan balik lagi seperti dulu saat dia marah ke Aya. Datang setiap mepet bel masuk dan langsung melesat pulang begitu bel pulang. Udah merasa bebas banget sejak kepengursan lepas dari dia. Dia juga makin serius baca buku. Dia bahkan menolak saat diajak main futsal bareng. Alasannya sih nggak masuk akal banget. “Gue mau belajar!” What the hell?!! Sumpah, konyol banget!! Sejak kapan Adit belajar. Otak manusia itu kan kayak windows 10 yang nyimpen semua hal yang dia lihat, processor RAM 8GB, dengan memori 5 tera. Jadi mustahil banget Adit bilang kalau dia mau belajar. “Lo kenapa lagi sih?” Reza menyambangi perpustakan begitu melihat cowok itu tengah bergumul dengan buku…koreksi…komik ding. “Hah? Gue kenapa? Nggak kenapa-napa kok.” Padahal kemarin Reza sudah melihat Aya dan Adit baik-baik aja. Mereka udah