Share

1. Prolog

Author: amie
last update Huling Na-update: 2024-12-07 09:07:47

Yogyakarta....

Petikan gitar mengalun lembut.  Kres di nada ke lima dilanjutkan petikan lembut  kunci G, A, F dan seterusnya membuat suasana malam itu makin syahdu. Ditemani cahaya lampu PAR (Parabolic Aluminized Reflector) di sebuah bar bilangan Kaliurang, seorang gadis menyanyikan lagu lawas Blank Space  dari Taylor Swift. Hujan rintik merembes turun dari balik kaca. Menimbulkan uap dingin yang juga mengembun di balik kaca.

Dihadapan si Gadis,  belasan pasangan duduk dengan dunia mereka. Si Gadis juga tidak ambil pusing apa mereka mendengarkan atau tidak. Dia hanya menjalankan tugasnya karena dia dibayar di tempat ini.  Yah, jujur dia merasa risih juga harus duduk di panggung dan hanya ditemani sebuah gitar. Meski kadang ada satu dua orang bermain duet dengannya, tetap saja dia merasa risih. Risih dengan polesan wajahnya yang menurutnya terlalu menor. Juga bajunya yang kurang bahan. Memperlihat bahu mungil dan tungkai jenjangnya. Gadis itu menggigit ujung bibir. Mungkin memang saatnya aku berhenti! Makin ke sini makin nggak nyaman.

 “Kamu bisa lho nambah jam kalau mau. Suaramu bagus.”

Si Gadis mengulum senyum. Dia sudah mengganti atribut panggungnya dengan jaket kedodoran yang ia bawa dari rumah. Fiew! Dia sudah cukup prihatin dengan malam minggu yang selalu ia habiskan di luar hingga dini hari. Jadi, dia tidak akan mengambil jam part time tambahan di tempat seperti ini. No way!

 Kalau nggak kepaksa aku juga nggak bakal mau, kalii!!

 “Ini gajimu bulan ini. Ngomong-ngomong orang tuamu tahu kan kalau kamu kerja di sini?”

 Si Gadis tertegun. Detik berikutnya, dia nyengir kecil sambil memeberesi tas selempangnya sedikit gugup.

  “Eeee… mungkin.”

 “Menurut, Om sih….”

“Om, makasih ya buat hari ini,” potong si Gadis cepat. Buru-buru dia berlari keluar dan menutup pintu ruang kerja manager bar tempatnya parttime. Membiarkan laki-laki paruh baya itu menghela napas mahfum.

Si Gadis menghela napas begitu sampai di parkiran yang  makin sepi. Meski banyak mobil yang berjajar, sudah tidak ada satu pun orang yang berlalu lalang. Maklum sih, jam 2 dini hari. Kepala si Gadis mendongak. Menghitung kerlip malam yang sedikit kabur.

Kadang setiap manusia itu punya rahasia yang tidak bisa ia ceritakan ke siapapun. Bahkan pada diri sendiri pun dia kadang tidak mau tahu. Atau lebih tepatnya, pura-pura lupa kalau dia menyimpan rahasia yang tidak-akan-diceritakan-pada-siapapun. Itu haknya sih. Apalagi jika rahasia itu mempengaruhi seluruh hidupnya. Pasti dia akan menyimpannya rapat-rapat. Menguncinya dalam pikiran yang terdalam sampai dia lupa. Iya kan?

***

Kelas XI IPA 2, SMA Penabur Pelita, Yogyakarta

                Jantung Adit berdebar menatap wanita  di depannya. Hanya menatap kucir kudanya sebenarnya. Perutnya juga terasa kram mendadak. Diketukkan jarinya ke meja gugup. Ini  ngungkulin orang mau nembak aja  deh. Pandanganya beralih pada cewek dengan kucir asal yang duduk di meja sampingnya. Mbelgedes!!  Pake mantra apaan dia bisa pasang tampang datar sok nggak peduli  gitu sih. Adit kembali menghentakkan  kakinya di kaki meja, keki.   Sialan!

                “Nah, anak-anak…test kali ini kalian bisa nggak nebak yang menduduki mahkota 10 besar di kelas kalian?” Wanita yang sejak tadi  ditatap Adit dengan mata bengis itu  tersenyum sumringah menatap kelas perwaliannya.

                Ya memang, meski peringkat sudah tidak berlaku di kurikulum terbaru Indonesia, SMA Penabur Pelita yang merupakan SMA swasta masih memberlakukannya. Itu karena setiap 10 besar di masing-masing kelas berhak mendapatkan beasiswa dan potongan uang daftar ulang tiap tahunnya. Lumayan kan.

                Kelas gaduh. Suaranya langsung disahut simpang siur dari penjuru kelas.

                “Palingan juga sama kayak tahun kemarin, Bu. Itu-itu doang. Nggak pernah kegeser.”

                “Kalau mahkota pertama dan kedua bisa dipastiin kalau nggak Aya ya Adit,” Chika mendesah pelan.

                “Iya. Bu…tapi kalau kali ini saya yakin bisa masuk sepuluh besar,” sahut suara lain.

                “Alah pede amat! Sepuluh dari bawah maksudnya?” Royan berseru menghina.

                “Lho kan sama-sama sepuluhnya…” Galih membela diri.

                “Kalau saya bisa masuk sepuluh besar, Bu, babe bakal nyembelih sapi kayaknya.”

                Adit mengabaikan suara nggak penting itu. Dia sudah  beneran nafsu  melarin tubuh tuh guru 10 kali lipat dari tubuhnya yang emang udah melar dari sononya.  Damn it!  Kenapa dari tadi cuma itu doang sih yang dibahas. Kenapa nggak langsung aja dikatain siapa yang duduk di first place dan second place. Gue atau cewek dengan kucir asal yang rada freak itu. Sekali lagi dia melirik cewek yang ternyata hanya tersenyum tipis menanggapi sahutan kawannya.

                “Ehm…gimana kalau kita main teka-teki  lagi. Bagi yang bisa jawab, ibu kasih tau deh dia dapet peringkat berapa?”

                Yaelah, guru satu ini!!! Adit beneran gemes. Nggak masalah deh kalau teka-tekinya fantastik  plus bikin otak terasah dikit. Lha teka-teki guru ini coba…nggak nyambung blas. Misalnya: Kenapa undur-undur jalannya mundur? Waktu ditanya kayak gitu, Adit jelas-jelas mikir kemana-mana.

                Secara logika hewan selalu berjalan maju, undur-undur berjalan mundur pasti dia punya sistem tubuh sendiri atau rangka tubuh sendiri yang menggerakkannya secara otomatis ke belakang. Sumpeh ya, nyaris aja Adit buka suara menjelaskan hipotesanya yang sungguh terlalu. Tapi sayangnya dia keduluan sama Tian, cowok yang hobi molor di kelas. Coba  apa jawabannya.

                “Ya kalau jalannya maju, ntar namanya jadi uju-uju dong, Bu. Jalanya nyamping ntar namanya amping-amping. Kan lugu bu. Lucu tur wagu.”

                Java soundsnya langsung disambut gelak sekelas. Tapi herannya Bu Naim, malah membenarkan jawaban ngaco Tian sambil menahan tawa. Walah….! Apa hubungannya nama sama cara berjalan coba. Coba kalau Carolus Linnaeus[1] denger tuh alasan, pasti dia bakal bangkit dari kubur buat nyembit cowok yang hobi ngasal itu. Adit manyun sebel.

                Entahlah! Otak cowok itu memang rada kelainan. Mungkin gegara waktu kecil sering dicecokin jamu sama eyangnya, jadi pikirannya agak menyimpang dari jalan yang lurus (baca: jalan pikiran orang-orang pada umumnya). Reza, sohib sebangku Adit bahkan sampai melongo nggak ngerti begitu Adit merepet soal jawaban Tian—masih aja masalah undur-undur.              

                “Dit, kayaknya lo musti dibawa ke rumah sakit deh?”

                “Hah?! Buat apa?!”

                “Di X-ray. Kali aja otak lo kepelintir.”

                Adit melotot. Siap menggampar Reza dengan tangannya. Tapi buru-buru diurungkan niatnya begitu mendengar suara Bu Naim kembali.

                 “So…kita mulai aja ya pembagian rapot tengah semesternya ya,” Bu Naim menebar senyum. Pipinya yang over chubby menenggelamkan mata sipitnya. “Ehm…oke….dan juara pertama untuk term kali ini adalah….”

[1] Bapak ilmu taksonomi, yaitu ilmu tentang pembagian kelas makhluk hidup, misalnya monera protita, fungi, plantae dan animalia

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Take a Chance with Me!   49. Jungkir Balik (6)

    “Dit…”“Woi!!! Aditttt!!!”Adit menoleh. Dibalas tatapan Reza bingung. Layar di depannya sudah gelap. Lampu bioskop juga sudah menyala terang. Itu tandanya film sudah berakhir. Kok cepet banget sih? Perasaan aku nggak liat apa-apa tadi.“Lo mikirin apa sih?”Adit menggaruk kepalanya sambil melangkah keluar. Kayaknya sia-sia banget dia nonton film terbaru James Bond dua kali, tapi tetap aja nggak tahu jalan ceritanya sama sekali. Gara-gara melamun sih. Mata Adit terpaku pada cewek yang tengah bicara dengan Roy begitu dia sampai di galeri depan.Sumpah gue suka sama dia? Dia? Kok kayak gue nggak pernah ketemu cewek lain di muka bumi sih?!! Kata-kata itu terus berdenging di telingan Adit sampai mereka tiba di parkiran.“Dah, makasih ya udah dateng,” Aya tersenyum melambaikan ke semua teman-temannya. Termasuk ke Roy. Karena seperti yang sudah-sudah, dia nggak suka Roy menga

  • Take a Chance with Me!   48. Jungkir Balik (5)

    Malam sebelumnya.... “Kamu beneran suka?”Adit cengoh. “Ma, itu tadi kan cuma omongan anak kecil. Kenapa Mama musti percaya sih?” Adit memutar kursinya. Mulai kesal kalau Mama sudah mengutak-atik wilayah privasinya. Apalagi ini sudah larut dan Adit sudah ngantuk.“Maaf, deh kalau Mama nyela malam-malam gini. Mama kan cuma tanya?”“Nggak, Ma. I don’t like her anymore!”“Perasaan suka itu sederhana kok, Dit. Kamu betah sama dia itu suka. Kamu khawatir sama dia itu suka. Kamu kepikiran dia terus itu suka. Sederhana kan?"Cuma suara kipas angin yang terdengar di kamar Adit. Cowok itu tengah mencerna kata-kata Riani di batok kepalanya.“Mama nggak akan nyalahin kamu kalau suka sama Aya, kok. Kamu kan udah gede, Dit. Masa bedain suka apa nggak aja nggak bisa.”“Mama nggak marah?”“Kenapa marah?” 

  • Take a Chance with Me!   47. Jungkir Balik (4)

    “At…ta… ya?"Adit menoleh ke sebuah suara yang mendadak muncul di sebelahnya. Entah dari mana tuyul kecil itu muncul, yang jelas Adit nyaris terjengkang dari kursi saking kagetnya. Yoga mengernyit sambil memandangi wajah kakaknya. Anak dua belas tahun itu langsung pasang tampang penuh tanya.Kenapa nggak ketok pintu sihhh???!!“Ini Mbak Aya kan, Mas?” selorohnya ceria. Entah kenapa wajah bocah itu mendadak berubah sumringah.Buru-buru Adit menutup display laptopnya. Dia sedang membuka folder hasil hobi jepretannya dan malah gambar cewek itu yang nongol. Gue gila! Positif gila!! Apa coba yang gue tulis barusan tadi. Adit menelan ludah panik begitu Yoga malah tertawa-tawa nggak jelas. Padahal dia tadi mau menjajal aplikasi programming baru. Dan entah kenapa malah buka-buka folder lain dan berakhir ketahuan sama Yoga. Damn it!!

  • Take a Chance with Me!   46. Jungkir Balik (3)

    “Eh, gimana kalau kita weekend kita nonton?”Ajakan Aya ini sebenarnya biasa saja. Tapi entah kenapa membuat Adit mendadak mendapat tekanan batih. Hah?! Nonton?! Gila nih cewek?!! Ngapain ngajak gue?! Adit sudah berpikiran yang tidak-tidak. Ditatapnya cewek dengan bola mata bersinar di depannya. Dia beneran…. “Cie, Adit doang yang diajak?” Aya tertawa. “Nggak lah. Ini aku ngajak kalian berdua. Ada pameran film. Dan aku dapet 6 tiket gratis gara-gara undian. Aku mau ngajak kalian berdua, Icha, Ocha, sama Roy. Gimana? Spectre, lho. Kamu suka kan sama filmnya James Bond?” Aya menatap Adit. Dia sepertinya nggak sadar kalau Adit sedang menggeser kursinya. Menjauhi Aya yang mendadak mengambil kursi tengah lalu duduk disebelahnya. Itu sih

  • Take a Chance with Me!   45. Jungkir Balik (2)

    Kalau Adit mulai terang-terangan menghindari Aya, Aya sendiri sibuk memikirkan banyak hal sampai nggak nyadar kalau Adit sedang menghindarinya. Otaknya rasanya semrawut dengan hidupnya. Mulai dari bebannya sebagai anak kelas 3 SMA, persiapan masuk universitas, beasiswa apa yang harus ia cari untuk bisa memenuhi kebutuhannya selama kuliah, hubungannya dengan Roy, kata-kata Adit saat di stasiun yang ternyata menghantui Aya, sampai urusan keluarganya. Kepala Aya sengaja diletakkan di meja. Diatas tumpukan buku yang niatnya emang dijadikan bantal buat Aya. Perpustakaan sedang lengang hari ini. Dan Aya sengaja menyendiri di sana untuk menenangkan pikirannya. Apa aku berhenti kerja di bar saja ya? Nggak tenang juga sih kerja di sana. Tapi kan aku kan butuh duit buat Ibu sama Adel, ya utamanya aku sendiri sih. Apa aku juga minta putus aja ya dari Roy. Lama-lama bersalah juga sama dia. Tapi gimanaaa? Kenapa sih dia nggak mutusin aku aja sih?!!!

  • Take a Chance with Me!   44. Jungkir Balik (1)

    Sejak kemarin, Adit jadi sering menghilang ke masjid atau perpustakaan tiap istirahat. Sendirian. Dia bahkan balik lagi seperti dulu saat dia marah ke Aya. Datang setiap mepet bel masuk dan langsung melesat pulang begitu bel pulang. Udah merasa bebas banget sejak kepengursan lepas dari dia. Dia juga makin serius baca buku. Dia bahkan menolak saat diajak main futsal bareng. Alasannya sih nggak masuk akal banget. “Gue mau belajar!” What the hell?!! Sumpah, konyol banget!! Sejak kapan Adit belajar. Otak manusia itu kan kayak windows 10 yang nyimpen semua hal yang dia lihat, processor RAM 8GB, dengan memori 5 tera. Jadi mustahil banget Adit bilang kalau dia mau belajar. “Lo kenapa lagi sih?” Reza menyambangi perpustakan begitu melihat cowok itu tengah bergumul dengan buku…koreksi…komik ding. “Hah? Gue kenapa? Nggak kenapa-napa kok.” Padahal kemarin Reza sudah melihat Aya dan Adit baik-baik aja. Mereka udah

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status