“Kamu nggak pa-pa?” Seorang cowok spike menahan lengan Adel.
Adel terperangah. Dia mengangguk pelan lalu buru-buru berdiri setelah memberesi kardus yang jatuh gara-gara ditabrak orang yang kini berjongkok membantunya. Adel masih ngedumel pelan begitu dia membawa kardus yang berhasil didapatkannya setelah ngedapetin bejibun pertanyaan dari kakak kelas yang jaga di sana. Sialan! Dia terus saja merutuki kakak pemandu yang namanya Roy itu. Sampai-sampai dia nggak merhatiin tangga di depannya dan dengan suksesnya menubruk orang yang kini berdiri dihadapannya.
“Maaf ya, dek…”
“I-iya…”Adel salting sendiri. Entah kenapa. Dia cuma mengangguk saja saat orang itu bertanya apa dia terluka, mana yang sakit, dan kenapa dia bisa ada di sini. Tapi rentetan pertanyaan itu cuma dijawab dengan kedipan bingung dari Adel.
“Dek?”
“Eh…oh…nggak pa-pa kok.” Pipi Adel memerah. Dia buru-buru menunduk dan ngacir pergi. Ya ampun!!! Kakaknya keren banget!!!! Dia tersenyum sendiri. Lupa sama tampang kakak pandunya yang sama kerennya tapi gaje abis.
***
Napas Roy terhembus kesal begitu Aya berlalu gitu aja. Ngucapin makasih aja kagak. Kurang asem! Kenapa sih cewek itu nggak nge-blink blas liat tampang berkilau gue. Apa buat dia buku tuh lebih keren ketimbang gue apa?! Roy masih terus menatap Aya yang menuruni tangga dengan langkah tertatih. Gadis itu menyeret kakinya pelan.
Tawa Cahya meledak begitu melihat tampang merengut Roy. “Woy, Bro…lo jangan bilang kalau tertarik juga sama dia.”
Roy mencibir. “Sama tampang datar gitu?! Nggak banget lah.”
“Datar?!” Cahya nyaris nggak kuat menahan tawanya. Aneh banget sih nih anak ngasih julukan.
“Gimana nggak datar. Tiap hari dia bilang ke gue: ‘Roy, makanya jangan cuma ngurusin cewek-cewekmu doang! Ini nih tanggungjawabmu di OSIS juga digarap!’. Nyebelin banget kan?! Siapa gue diperintah-perintah!”
“Tapi dia banyak yang ngefans lho…”
“Yang jelas bukan gue!!!” Roy menatap Aya yang masih menyeret langkahnya sambil membawa kardus berisi snack buat anak-anak ospek. Apa barusan dia terkilir? Entah kenapa Roy langsung beranjak dan mendekati Aya yang mulai membagikan snack itu ke anak-anak. Direngut paksa kardus makanan itu dari tangan Aya.
“Eh?”
“Biar aku aja deh. Entar abis ini aku anterin ke UKS,” katanya sok cool.
“UKS? Ngapain?” Aya menatapnya bingung.
Yaelah…masih nanya kenapa lagi. Apa saraf cewek ini sudah mati rasa? Apa yang dipikirannya cuma proposal, buku, belajar gitu sampai terkilir aja dia nggak berasa? “Yah… tadi kan kamu kepleset di tangga. Tuh kakimu sampai terkilir gitu.”
“Oh…nggak pa-pa sih sebenernya.”
Cahya yang melihat dua makhluk itu dari ujung tangga tertawa geli. “Coba bilang sekali lagi kalau lo nggak tertarik sama cewek itu, Roy.”
***
Aya menggeliat pelan di ranjang UKS. Ugh…yang namanya panitia itu kayaknya emang nggak afdol kalau nggak ngerasa capek. Direntangkan tangannya lagi. Memastikan kalau tulangnya nggak ada yang remuk. Kayaknya ntar malem dia musti nempelin selusin koyo di punggungnya deh.
“Ah…”
Aya melepaskan sepatunya lalu menggerakkan kakinya yang terasa nyeri. Kayaknya emang terkilir, nih! Dia mengelusnya pelan. Aya meraih ponselnya saat notifikasi di ponselnya berbunyi.
From: Adel
Mb…ayo plng. Dongkol bangt aku sm ospek hri ini…
Aya terawa membacanya. Anak ini kapan bisa dewasa sih. Dia mengambil tasnya setelah mengoleskan balsam ke telapak kaki.
“Lo mau nembak dia?!”
“Iya lah…kenapa shock gitu sih?”
“Trus si Ratna anak kelas sebelas itu mau lo kemanain bos?”
“Buat lo aja juga nggak pa-pa kok.”
Aya masih mengikat tali sepatunya saat Roy dan cs-annya lewat di depan UKS. Dasar cowok-cowok ngeres. Yang diomongin cewek mlulu.
“Aku udah dapet biodatanya lho…” Roy melambaikan sebuah kertas dihadapan temen-temennya. Budak-budak Roy itu langsung merubungi bos-nya ingin tahu.
“Gile lo, Bos! Cewek brondong gini aja lo embat.”
“Dia imut tau. Lumayan kan buat koleksi,” Roy tertawa.
“Siapa namanya, Bos?”
Aya melangkah keluar dari UKS. Tidak terlalu peduli tentang apa yang diomongin Roy-cs. Tapi langkahnya langsung terthenti begitu mendengar sebuah nama yang nggak asing ditelinganya. Cepat-cepat dia menoleh.
“Namanya Adella Pratiwi. Name tag-nya sih ditulis Adel gitu.”
“Trus kapan lo mau nembak dia?”
Roy menautkan alisnya. “Entar ah…pas ospeknya selesai kali,” cetusnya ringan.
Aya melongo. Ditelan ludah kelu lalu dengan kesal dihembuskan napasnya. Cowok itu…agh… Apa dia pikir aku bakalan ngebiarin dia jadian sama Adel? Sebelum itu terjadi aku jamin dia bakal aku masukin kuburan! Aya mencengkeram ujung roknya dan buru-buru berbalik.
***
“Dit…”“Woi!!! Aditttt!!!”Adit menoleh. Dibalas tatapan Reza bingung. Layar di depannya sudah gelap. Lampu bioskop juga sudah menyala terang. Itu tandanya film sudah berakhir. Kok cepet banget sih? Perasaan aku nggak liat apa-apa tadi.“Lo mikirin apa sih?”Adit menggaruk kepalanya sambil melangkah keluar. Kayaknya sia-sia banget dia nonton film terbaru James Bond dua kali, tapi tetap aja nggak tahu jalan ceritanya sama sekali. Gara-gara melamun sih. Mata Adit terpaku pada cewek yang tengah bicara dengan Roy begitu dia sampai di galeri depan.Sumpah gue suka sama dia? Dia? Kok kayak gue nggak pernah ketemu cewek lain di muka bumi sih?!! Kata-kata itu terus berdenging di telingan Adit sampai mereka tiba di parkiran.“Dah, makasih ya udah dateng,” Aya tersenyum melambaikan ke semua teman-temannya. Termasuk ke Roy. Karena seperti yang sudah-sudah, dia nggak suka Roy menga
Malam sebelumnya.... “Kamu beneran suka?”Adit cengoh. “Ma, itu tadi kan cuma omongan anak kecil. Kenapa Mama musti percaya sih?” Adit memutar kursinya. Mulai kesal kalau Mama sudah mengutak-atik wilayah privasinya. Apalagi ini sudah larut dan Adit sudah ngantuk.“Maaf, deh kalau Mama nyela malam-malam gini. Mama kan cuma tanya?”“Nggak, Ma. I don’t like her anymore!”“Perasaan suka itu sederhana kok, Dit. Kamu betah sama dia itu suka. Kamu khawatir sama dia itu suka. Kamu kepikiran dia terus itu suka. Sederhana kan?"Cuma suara kipas angin yang terdengar di kamar Adit. Cowok itu tengah mencerna kata-kata Riani di batok kepalanya.“Mama nggak akan nyalahin kamu kalau suka sama Aya, kok. Kamu kan udah gede, Dit. Masa bedain suka apa nggak aja nggak bisa.”“Mama nggak marah?”“Kenapa marah?” 
“At…ta… ya?"Adit menoleh ke sebuah suara yang mendadak muncul di sebelahnya. Entah dari mana tuyul kecil itu muncul, yang jelas Adit nyaris terjengkang dari kursi saking kagetnya. Yoga mengernyit sambil memandangi wajah kakaknya. Anak dua belas tahun itu langsung pasang tampang penuh tanya.Kenapa nggak ketok pintu sihhh???!!“Ini Mbak Aya kan, Mas?” selorohnya ceria. Entah kenapa wajah bocah itu mendadak berubah sumringah.Buru-buru Adit menutup display laptopnya. Dia sedang membuka folder hasil hobi jepretannya dan malah gambar cewek itu yang nongol. Gue gila! Positif gila!! Apa coba yang gue tulis barusan tadi. Adit menelan ludah panik begitu Yoga malah tertawa-tawa nggak jelas. Padahal dia tadi mau menjajal aplikasi programming baru. Dan entah kenapa malah buka-buka folder lain dan berakhir ketahuan sama Yoga. Damn it!!
“Eh, gimana kalau kita weekend kita nonton?”Ajakan Aya ini sebenarnya biasa saja. Tapi entah kenapa membuat Adit mendadak mendapat tekanan batih. Hah?! Nonton?! Gila nih cewek?!! Ngapain ngajak gue?! Adit sudah berpikiran yang tidak-tidak. Ditatapnya cewek dengan bola mata bersinar di depannya. Dia beneran…. “Cie, Adit doang yang diajak?” Aya tertawa. “Nggak lah. Ini aku ngajak kalian berdua. Ada pameran film. Dan aku dapet 6 tiket gratis gara-gara undian. Aku mau ngajak kalian berdua, Icha, Ocha, sama Roy. Gimana? Spectre, lho. Kamu suka kan sama filmnya James Bond?” Aya menatap Adit. Dia sepertinya nggak sadar kalau Adit sedang menggeser kursinya. Menjauhi Aya yang mendadak mengambil kursi tengah lalu duduk disebelahnya. Itu sih
Kalau Adit mulai terang-terangan menghindari Aya, Aya sendiri sibuk memikirkan banyak hal sampai nggak nyadar kalau Adit sedang menghindarinya. Otaknya rasanya semrawut dengan hidupnya. Mulai dari bebannya sebagai anak kelas 3 SMA, persiapan masuk universitas, beasiswa apa yang harus ia cari untuk bisa memenuhi kebutuhannya selama kuliah, hubungannya dengan Roy, kata-kata Adit saat di stasiun yang ternyata menghantui Aya, sampai urusan keluarganya. Kepala Aya sengaja diletakkan di meja. Diatas tumpukan buku yang niatnya emang dijadikan bantal buat Aya. Perpustakaan sedang lengang hari ini. Dan Aya sengaja menyendiri di sana untuk menenangkan pikirannya. Apa aku berhenti kerja di bar saja ya? Nggak tenang juga sih kerja di sana. Tapi kan aku kan butuh duit buat Ibu sama Adel, ya utamanya aku sendiri sih. Apa aku juga minta putus aja ya dari Roy. Lama-lama bersalah juga sama dia. Tapi gimanaaa? Kenapa sih dia nggak mutusin aku aja sih?!!!
Sejak kemarin, Adit jadi sering menghilang ke masjid atau perpustakaan tiap istirahat. Sendirian. Dia bahkan balik lagi seperti dulu saat dia marah ke Aya. Datang setiap mepet bel masuk dan langsung melesat pulang begitu bel pulang. Udah merasa bebas banget sejak kepengursan lepas dari dia. Dia juga makin serius baca buku. Dia bahkan menolak saat diajak main futsal bareng. Alasannya sih nggak masuk akal banget. “Gue mau belajar!” What the hell?!! Sumpah, konyol banget!! Sejak kapan Adit belajar. Otak manusia itu kan kayak windows 10 yang nyimpen semua hal yang dia lihat, processor RAM 8GB, dengan memori 5 tera. Jadi mustahil banget Adit bilang kalau dia mau belajar. “Lo kenapa lagi sih?” Reza menyambangi perpustakan begitu melihat cowok itu tengah bergumul dengan buku…koreksi…komik ding. “Hah? Gue kenapa? Nggak kenapa-napa kok.” Padahal kemarin Reza sudah melihat Aya dan Adit baik-baik aja. Mereka udah