Sinar mentari kekuningan merambat masuk melalui atap-atap kecil berwarna putih kekuningan. Di sekitarnya, atap-atap yang terbuat dari bahan logam telah berkarat hingga memiliki lubang-lubang kecil sebagai celah bagi titik-titik cahaya mentari untuk masuk.
Suasana remang dan sekumpulan titik-titik cahaya yang menyinari kedua insan yang masih terlelap itu tidak sedikitpun menggagu mereka. Tanpa terasa sang surya telah berada di puncak tertingginya.
Ruangan dalam kamar itu kecil. Dinding bercat putih telah luntur termakan waktu. Xavie segera membuka mata siang itu dengan mata penuh kabut, digosok-gosoknya kedua matanya kemudian membangunkan setengah badan telanjangnya yang terlihat jelas otot-otot perut sixpack-nya, dada bidang, dan bahu lebar. Tampak sangat atletis.
Selimut tipis berwarna coklat menutupi bagian bawah tubuhnya yang juga telanjang. Ketika tangan kirinya bergerak menyentuh alas guna menyeimbangkan posisi tubuhnya, terdengar juga terasa kulit halus seorang wanita bersama dengan desahan pelan yang berasal dari wanita di samping dirinya.
Sontak Xavie menoleh dan melihat sosok wanita itu. Wanita itu memiliki rambut panjang berwarna hitam yang menutupi sedikit tubuh telanjangnya. Terlihat dari balik rambut hitamnya, bekas-bekas kecupan berwarna merah menodai kulit putih dan mulusnya akibat aktivitas intens yang mereka lakukan semalam.
Xavie mencoba mengingat-ngingat semua hal yang telah dia lakukan kepada wanita asing ini. Beberapa saat kemudian, walau cuma sekilas, semburat senyum tipis mulai merekah pada wajahnya. Ia menoleh ke arah wajah wanita cantik itu, yang kala ini sedang tertidur dengan nyenyak dan damai layaknya seorang anak kecil, Kontras sekali dengan dirinya yang liar pada beberapa jam yang lalu.
Perlahan Xavie berdiri, mengakibatkan selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya meluncur. Memperlihatkan sosoknya yang polos, tanpa seutas benang. Ia menatap cermin retak yang berada dihadapannya, memandang dirinya. Wajah tampan, telinga normal, rambut pendek yang berantakan, dan mata berwarna ungu pucat. Kalung berbentuk kelopak bunga mawar tersangkut di lehernya.
"Bocah, kamu orang yang sangat beruntung. Kupikir semalam kamu akan mati." Suara serak dan berat tiba-tiba terdengar di kepala Xavie.
"Diam! Kamu tak punya hak untuk mengucapkan itu!" seru Xavie di dalam pikirannya.
"Bukankah yang kukatakan benar?" Suara itu mengabaikan seruan Xavie. "Semalam benar-benar gawat, jika kamu tidak bertemu wanita ini, mungkin sekarang kamu sudah mengutukku di alam baka sana."
"Jika aku tidak bertemu denganmu, mungkin sekarang aku masih menjadi seorang Lord Morgan of the Witch Tower. Bukannya seorang penyihir yang mana-nya telah hilang dan di buru organisasi pembunuh penyihir," sahut Xavie, marah.
"Sudah, sudah, untuk apa mengingat masa lalu? Sekarang yang terpenting adalah memikirkan tindakan apa yang segera kau ambil. Para pembunuh penyihir itu pasti cepat atau lambat akan menyadari keberadaanmu. " Suara itu mencoba untuk menasihati Xavie.
"Anaemia! Kamu masih memiliki harga diri untuk mengatakan itu setelah menipuku? Jika bukan karena dirimu, aku tidak akan menjadi serendah ini! Jadi diamlah dan berhenti berbicara di dalam kepalaku!"
Usai mengatakan itu, Xavie mendengar suara menghela napas di dalam kepalanya. Hal itu membuat Xavie tambah kesal namun dia memilih diam untuk menenangkan diri.
"Aku serius, apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya Anaemia sedikit khawatir.
Sekarang giliran Xavie yang menghela napas lalu berkata dalam pikirannya. "Apa lagi yang bisa aku lakukan selain lari, aku tak bisa melawan mereka sampai kontrak kita selesai."
"Jadi kamu akan meninggalkan pulau ini setelah mengetahui ada yang aneh mengenai pulau itu." Anaemia lanjut bertanya.
"Aku tak punya pilihan dan itu karenamu." Xavie mendesah.
"Juga, bagaimana dengan wanita ini?"
Usai Anaemia bertanya, Xavie langsung menoleh ke arah Anna yang masih terlelap. Titik-titik cahaya dari loteng bolong itu menerpa sosoknya yang cantik.
"Maksudmu?" Xavie bertanya balik.
"Apa kamu akan meninggalkan wanita ini?" jelas Anaemia.
"Tentu," jawab Xavie singkat, sedikit merasa aneh dengan pertanyaan Anaemia.
"Bocah, bukankah kamu tahu wanita ini memiliki a-"
Xavie menyela ucapan Anaemi. "Memang kenapa? Hubunganku dengan wanita itu semalam hanyalah hubungan yang saling menguntungkan. Aku dan wanita ini memiliki dunia yang berbeda. Dunia penyihir di penuhi oleh orang-orang sinting dan aku tak ingin melibatkannya ke dalam dunia kita."
"Bocah, apa kamu akan hidup seperti selamanya." Xavie bergumam lalu mendesah.
Xavie sepertinya tidak mendengar ucapan Anemia itu. "Anae, kenapa kamu aneh sekali siang ini?"
"Hmm."
"Lupakan! Berhentilah bicara di dalam kepalaku!"
Selesai mengucapkan itu, Xavie beranjak pergi dari kamar kecil itu. Sebelum keluar melewati pintu reyot itu, Xavie menoleh ke arah Anna sekilas lalu pandangannya bergerak ke arah bercak darah yang ada di kasur. Xavie mendesah dan melanjutkan langkah kakinya.
***
Beberapa menit setelah Xavie meninggalkan kamar, ekor mata Anna dengan lembut mulai bergerak kemudian diikuti kelopak matanya yang sedikit demi sedikit terbuka.
Dengan keadaan belum sepenuhnya sadar, setengah tubuh Anna perlahan-lahan bangkit hingga mengakibatkan selimut tipis yang menutupi tubuh bagian atasnya tersungkur jatuh, memperlihatkan garis-garis tubuh indahnya dengan telanjang.
Rasa nyeri pada bagian bawah tubuhnya dengan cepat menyadarkan Anna, di tambah lagi dengan rasa pegal dan lelah yang menyerang setiap bagian tubuhnya. Membuat Anna mengingat pecahan-pecahan memori mengenai apa yang telah terjadi padanya semalam.
"Semalam... "
Air matanya perlahan jatuh mengaliri pipi putihnya. Layaknya sebuah bendungan yang telah hancur, Anna menangis lepas sampai terisak-isak.
"Kenapa dunia begitu kejam kepadaku? KENAPA? Apa yang telah kulakukan hingga jadi begini? Kenapa aku harus hidup seperti ini?" Walau hanya pecahan pecahan memori, Anna dapat mengingat hal apa yang telah terjadi kepadanya. Samar-samar ia tahu wajah pria yang telah memanfaatkan dan mencemarkan dirinya.
Sembari memandang ke arah tubuh telanjangnya yang dipenuhi bekas-bekas kecupan berwarna merah, dengan tangan kecilnya ia mengelap air matanya yang tidak mau berhenti kemudian menggertakkan giginya, Anna tampak telah memutuskan sesuatu.
Bola matanya yang berwarna abu-abu itu lekas memindai kamar kecil itu sampai akhirnya berhenti setelah melihat pakaiannya yang tersebar di lantai. Sambil merangkak, Anna mengambil semua pakaiannya kemudian mengenakannya satu per satu.
Walau Anna mengenakan pakaiannya secara acak-acakan, ia sudah tidak lagi mempedulikan penampilannya. Sekarang Anna hanya ingin pergi dari kediaman ini secepatnya. Setelah selesai mengenakan semua pakaiannya, Anna perlahan mulai berdiri, terhuyung-huyung.
Tangannya dengan sigap memegang dinding di samping tubuhnya lalu menumpukan berat badannya pada tangannya. Akhirnya ia berhasil berdiri sambil terengah-engah, kelelahan. Wajahnya kini sedikit pucat karena menahan rasa perih dan lelah. Meski begitu, setelah selesai menyeimbangkan tubuhnya, Anna dengan terburu-buru berjalan ke arah pintu lalu membukanya dengan kasar.
Anna tidak menyangka akan ada seorang pria tengah menunduk di depan pintu begitu juga sebaliknya, Xavie tidak menyangka akan ada seorang wanita yang akan membuka pintu saat ia ingin memeriksa gagang pintu yang sudah rusak itu.
Alhasil bibir mereka berdua saling bersentuhan dengan keras. Bertepatan dengan itu, kedua bola mata mereka yang terbuka lebar itu akhirnya bertemu. Mata abu-abu milik Anna dengan mata ungu pucat milik Xavie saling terpantul dalam masing-masing bola mata mereka. Tak satupun dari mereka angkat bicara. Hanya hening berada di antara mereka, bersama dengan suasana aneh yang belum pernah mereka berdua rasakan.
Pukul empat sore, Anna terbangun dari tidurnya yang nyeyak. Sudah lama sekali Anna tidak merasakan perasaan seperti itu, perasaan bahwa tubuhnya bisa menjadi sangat ringan dan santai seolah-olah beban yang selama ini di tanggungnya telah menghilang. Bahkan sekarang, Anna dapat mendengar Jiwanya mengatakan kepada tubuhnya untuk tetap berbaring dan bersantai terus seperti itu. Waktu Anna menutup kembali bola matanya, ingatan-ingatan mengenai apa yang telah ia lakukan sebelum akhirnya tertidur seketika tergambar dalam jelas di dalam kepalanya, bagai menonton siaran ulang televisi. Mengingat itu membuat Anna mendadak langsung membuka matanya, raut wajahnya mengatakan ketidakpercayaan dan kemaluan yang luar biasa hebat. Hanya mengingat kembali kejadian memalukan itu sudah membuat muka Anna memerah layaknya tomat. Bagaimana mungkin Anna bisa menangis di pelukan pria itu? Anna sangat yakin sekarang bahwa wajahnya yang dingin dan cuek sudah menghila
Anna menundukkan kepalanya, melihat wastafel yang berada persis di depan mukanya. Di dalam kamar mandi yang sunyi, Anna mencoba menenangkan dadanya yang kembang kempis, bersamaan dengan mentalnya yang hampir hancur akibat ingatan mengenai insiden waktu itu kembali ke dalam kepalanya. Bagaimana Anna bisa berpikir bahwa dirinya baik-baik saja? Setelah apa yang telah ia lakukan. Anna melihat pantulan dirinya di dalam cermin dan Anna dapat melihat bahwa bibir bayangannya mengatakan "Matilah" kepada dirinya. Tidak kuat melihat bayangannya sendiri, Anna menundukkan kepalanya kemudian melihat wastafel berdesain sederhana itu kembali. Foto yang tadi ditunjukkan Xavie kepadanya adalah foto kedua orang tuanya di saat kedua orang tuanya masih bahagia. Benar! Kebahagiaan mereka hancur di tangan Anna sendiri, anak mereka sendiri. Memikirkan semua itu saat ini hampir membuat Anna gila. Rasa-rasanya semua perasaan positif yang terkumpul di dalam dirinya selalu tiga ha
Keesokan harinya Anna memutuskan untuk tidak bekerja selama tiga sampai empat hari. Setelah memikirkan baik-baik semua yang di ucapkan Xavie kepada dirinya, Anna mengetahui itu memang benar adanya. Jika Anna bekerja terlalu keras bahkan ketika ia sakit, mungkin ia akan masuk rumah sakit dan itu akan sangat merugikan perusahaannya. Untuk kali ini saja, Anna akan menuruti permintaan suaminya, Xavie. Pagi itu Anna tidak memimpikan mimpi mengerikan itu, jadinya ia bisa beraktivitas seperti biasa. Karena ia sudah memutuskan untuk bekerja dengan santai saat ia istirahat, Anna menelepon Yuli untuk datang ke apartemennya, menyuruhnya membawa dokumen dan berkas-berkas perusahaan yang tidak sempat ia lihat dan tanda tangani. Suara bel apartemennya terdengar, Anna tebak itu pasti Yuli yang sudah sampai ke rumahnya. Segera Anna berjalan menuju pintu masuk apartemennya kemudian membukanya. Tebakannya benar, Yuli dengan dandanannya yang sederhana tengah b
Ekor mata Anna bergetar, kelopak matanya perlahan terbuka. Langit-langit bercat putih membosankan memasuki bidang penglihatan, Anna benar-benar sudah muak melihat langit-langit itu. Setiap bangun dari tidurnya, langit-langit itu selalu mengingatkannya akan mimpi buruknya. Walau mimpi buruknya kala itu tidak memasuki alam mimpinya, tetap saja buruk rasanya mengingat hal menakutkan itu. Kali ini Anna merasakan hal yang nostalgia. Benar, ini sudah kedua kalinya ia pingsan setelah berdebat panjang dengan suaminya mengenai masalah pekerjaannya. Anna tetap keras kepala mengabaikan tubuhnya yang sakit hanya untuk bekerja, tentu saja suaminya mencoba melarangnya tetapi itu saja tak dapat menghentikan Anna. Begitulah kedua kalinya Anna pingsan dan ia tanpa sadar merepotkan orang yang telah mengingatkannya. Itu hampir seperti menjilat ludahnya sendiri dan kelakuannya itu sudah terjadi sebanyak dua kali. Sungguh memalukan rasanya memikirkan hal tersebu
"Malaikat? Tidak! Aku adalah seorang iblis," jawab Xavie, datar. "Tidak mungkin!" Mila kelihatan tidak percaya. "Seingatku, aku adalah orang yang baik. Aku selalu membantu orang-orang tua, ikut gotong royong membersihkan lingkungan, bahkan aku menjadi sukarelawan di sebuah panti asuhan. Apa kamu tidak salah?" "Salah?" Xavie tampak kebingungan dengan apa yang dikatakan Mila. "Benar, coba periksa kembali catatan kehidupanku! Kamu punya, kan? Pasti ada sebuah kesalahan. Tidak mungkin orang sepertiku masuk neraka," harap Mila kepada Xavie. "Apa kamu pikir aku adalah iblis yang akan menuntunmu masuk ke dalam neraka?" Xavie menghela napas, tidak habis pikir ada orang yang berpendapat sedemikian rupa. "Kamu bilang tadi aku boleh menyebutkan tempat ini adalah surga, bukan? Aku juga ingat bahwa aku sebelumnya terluka parah. Kamu juga mengatakan bahwa kamu adalah iblis. Bukankah semua itu dapat menjelaskan apa yang terjadi padaku sekar
Di taman rumah sakit jiwa, cahaya matahari pagi menerpa kulit Glen Gracias yang saat itu tengah duduk di bangku panjang seorang diri. Angin sepoi-sepoi berembus membuat udara semakin segar. "Hey, apa kalian sudah mendengar berita?" tanya seorang perawat kepada perawat lainnya. "Berita apa?" perawat lain balas bertanya dengan penasaran. "Anna Gracias, CEO Gracias Company telah menikah!" jawab perawat itu. "Memangnya apa yang salah dengan hal itu?" tanya perawat lainnya sedikit aneh. "Kamu lihat pria di sana?" perawat itu menunjuk Glen Gracias yang duduk tak jauh dari posisi mereka saat ini. "Dia adalah ayah Anna Gracias," ungkap perawat itu kepada perawat lainnya. Tepat di belakang Glen Gracias, kira-kira sepuluh meter jauhnya. Terdapat tiga orang perawat yang sedang berbincang-bincang mengenai pasien di depan mereka. Glen Gracias, pasien yang para perawat itu bicarakan, kelihatannya sam