Share

Bab 5

Sinar mentari kekuningan merambat masuk melalui atap-atap kecil berwarna putih kekuningan. Di sekitarnya, atap-atap yang terbuat dari bahan logam telah berkarat hingga memiliki lubang-lubang kecil sebagai celah bagi titik-titik cahaya mentari untuk masuk.

Suasana remang dan sekumpulan titik-titik cahaya yang menyinari kedua insan yang masih terlelap itu tidak sedikitpun menggagu mereka. Tanpa terasa sang surya telah berada di puncak tertingginya. 

Ruangan dalam kamar itu kecil. Dinding bercat putih telah luntur termakan waktu. Xavie segera membuka mata siang itu dengan mata penuh kabut, digosok-gosoknya kedua matanya kemudian membangunkan setengah badan telanjangnya yang terlihat jelas otot-otot perut sixpack-nya, dada bidang, dan bahu lebar. Tampak sangat atletis. 

Selimut tipis berwarna coklat menutupi bagian bawah tubuhnya yang juga telanjang. Ketika tangan kirinya bergerak menyentuh alas guna menyeimbangkan posisi tubuhnya, terdengar juga terasa kulit halus seorang wanita bersama dengan desahan pelan yang berasal dari wanita di samping dirinya.

Sontak Xavie menoleh dan melihat sosok wanita itu. Wanita itu memiliki rambut panjang berwarna hitam yang menutupi sedikit tubuh telanjangnya. Terlihat dari balik rambut hitamnya, bekas-bekas kecupan berwarna merah menodai kulit putih dan mulusnya akibat aktivitas intens yang mereka lakukan semalam.

Xavie mencoba mengingat-ngingat semua hal yang telah dia lakukan kepada wanita asing ini. Beberapa saat kemudian, walau cuma sekilas, semburat senyum tipis mulai merekah pada wajahnya. Ia menoleh ke arah wajah wanita cantik itu, yang kala ini sedang tertidur dengan nyenyak dan damai layaknya seorang anak kecil, Kontras sekali dengan dirinya yang liar pada beberapa jam yang lalu. 

Perlahan Xavie berdiri, mengakibatkan selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya meluncur. Memperlihatkan sosoknya yang polos, tanpa seutas benang. Ia menatap cermin retak yang berada dihadapannya, memandang dirinya. Wajah tampan, telinga normal, rambut pendek yang berantakan, dan mata berwarna ungu pucat. Kalung berbentuk kelopak bunga mawar tersangkut di lehernya.

"Bocah, kamu orang yang sangat beruntung. Kupikir semalam kamu akan mati." Suara serak dan berat tiba-tiba terdengar di kepala Xavie.

"Diam! Kamu tak punya hak untuk mengucapkan itu!" seru Xavie di dalam pikirannya. 

"Bukankah yang kukatakan benar?" Suara itu mengabaikan seruan Xavie. "Semalam benar-benar gawat, jika kamu tidak bertemu wanita ini, mungkin sekarang kamu sudah mengutukku di alam baka sana."

"Jika aku tidak bertemu denganmu, mungkin sekarang aku masih menjadi seorang Lord Morgan of the Witch Tower. Bukannya seorang penyihir yang mana-nya telah hilang dan di buru organisasi pembunuh penyihir," sahut Xavie, marah. 

"Sudah, sudah, untuk apa mengingat masa lalu? Sekarang yang terpenting adalah memikirkan tindakan apa yang segera kau ambil. Para pembunuh penyihir itu pasti cepat atau lambat akan menyadari keberadaanmu. " Suara itu mencoba untuk menasihati Xavie. 

"Anaemia! Kamu masih memiliki harga diri untuk mengatakan itu setelah menipuku? Jika bukan karena dirimu, aku tidak akan menjadi serendah ini! Jadi diamlah dan berhenti berbicara di dalam kepalaku!" 

Usai mengatakan itu, Xavie mendengar suara menghela napas di dalam kepalanya. Hal itu membuat Xavie tambah kesal namun dia memilih diam untuk menenangkan diri. 

"Aku serius, apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya Anaemia sedikit khawatir. 

Sekarang giliran Xavie yang menghela napas lalu berkata dalam pikirannya. "Apa lagi yang bisa aku lakukan selain lari, aku tak bisa melawan mereka sampai kontrak kita selesai."

"Jadi kamu akan meninggalkan pulau ini setelah mengetahui ada yang aneh mengenai pulau itu." Anaemia lanjut bertanya. 

"Aku tak punya pilihan dan itu karenamu." Xavie mendesah. 

"Juga, bagaimana dengan wanita ini?" 

Usai Anaemia bertanya, Xavie langsung menoleh ke arah Anna yang masih terlelap. Titik-titik cahaya dari loteng bolong itu menerpa sosoknya yang cantik. 

"Maksudmu?" Xavie bertanya balik. 

"Apa kamu akan meninggalkan wanita ini?" jelas Anaemia. 

"Tentu," jawab Xavie singkat, sedikit merasa aneh dengan pertanyaan Anaemia. 

"Bocah, bukankah kamu tahu wanita ini memiliki a-" 

Xavie menyela ucapan Anaemi. "Memang kenapa? Hubunganku dengan wanita itu semalam hanyalah hubungan yang saling menguntungkan. Aku dan wanita ini memiliki dunia yang berbeda. Dunia penyihir di penuhi oleh orang-orang sinting dan aku tak ingin melibatkannya ke dalam dunia kita." 

"Bocah, apa kamu akan hidup seperti selamanya." Xavie bergumam lalu mendesah. 

Xavie sepertinya tidak mendengar ucapan Anemia itu. "Anae, kenapa kamu aneh sekali siang ini?" 

"Hmm." 

"Lupakan! Berhentilah bicara di dalam kepalaku!" 

Selesai mengucapkan itu, Xavie beranjak pergi dari kamar kecil itu. Sebelum keluar melewati pintu reyot itu, Xavie menoleh ke arah Anna sekilas lalu pandangannya bergerak ke arah bercak darah yang ada di kasur. Xavie mendesah dan melanjutkan langkah kakinya. 

***

Beberapa menit setelah Xavie meninggalkan kamar, ekor mata Anna dengan lembut mulai bergerak kemudian diikuti kelopak matanya yang sedikit demi sedikit terbuka. 

Dengan keadaan belum sepenuhnya sadar, setengah tubuh Anna perlahan-lahan bangkit hingga mengakibatkan selimut tipis yang menutupi tubuh bagian atasnya tersungkur jatuh, memperlihatkan garis-garis tubuh indahnya dengan telanjang.

Rasa nyeri pada bagian bawah tubuhnya dengan cepat menyadarkan Anna, di tambah lagi dengan rasa pegal dan lelah yang menyerang setiap bagian tubuhnya. Membuat Anna mengingat pecahan-pecahan memori mengenai apa yang telah terjadi padanya semalam. 

"Semalam... " 

Air matanya perlahan jatuh mengaliri pipi putihnya. Layaknya sebuah bendungan yang telah hancur, Anna menangis lepas sampai terisak-isak. 

"Kenapa dunia begitu kejam kepadaku? KENAPA? Apa yang telah kulakukan hingga jadi begini? Kenapa aku harus hidup seperti ini?" Walau hanya pecahan pecahan memori, Anna dapat mengingat hal apa yang telah terjadi kepadanya. Samar-samar ia tahu wajah pria yang telah memanfaatkan dan mencemarkan dirinya. 

Sembari memandang ke arah tubuh telanjangnya yang dipenuhi bekas-bekas kecupan berwarna merah, dengan tangan kecilnya ia mengelap air matanya yang tidak mau berhenti kemudian menggertakkan giginya, Anna tampak telah memutuskan sesuatu.

Bola matanya yang berwarna abu-abu itu lekas memindai kamar kecil itu sampai akhirnya berhenti setelah melihat pakaiannya yang tersebar di lantai. Sambil merangkak, Anna mengambil semua pakaiannya kemudian mengenakannya satu per satu.

Walau Anna mengenakan pakaiannya secara acak-acakan, ia sudah tidak lagi mempedulikan penampilannya. Sekarang Anna hanya ingin pergi dari kediaman ini secepatnya. Setelah selesai mengenakan semua pakaiannya, Anna perlahan mulai berdiri, terhuyung-huyung. 

Tangannya dengan sigap memegang dinding di samping tubuhnya lalu menumpukan berat badannya pada tangannya. Akhirnya ia berhasil berdiri sambil terengah-engah, kelelahan. Wajahnya kini sedikit pucat karena menahan rasa perih dan lelah. Meski begitu, setelah selesai menyeimbangkan tubuhnya, Anna dengan terburu-buru berjalan ke arah pintu lalu membukanya dengan kasar. 

Anna tidak menyangka akan ada seorang pria tengah menunduk di depan pintu begitu juga sebaliknya, Xavie tidak menyangka akan ada seorang wanita yang akan membuka pintu saat ia ingin memeriksa gagang pintu yang sudah rusak itu. 

Alhasil bibir mereka berdua saling bersentuhan dengan keras. Bertepatan dengan itu, kedua bola mata mereka yang terbuka lebar itu akhirnya bertemu. Mata abu-abu milik Anna dengan mata ungu pucat milik Xavie saling terpantul dalam masing-masing bola mata mereka. Tak satupun dari mereka angkat bicara. Hanya hening berada di antara mereka, bersama dengan suasana aneh yang belum pernah mereka berdua rasakan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status