Share

Bab 5 - Barra Mahendra

Seorang pria dengan kemeja putih mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang tamu, mengamati interior kediaman Dewantara dengan ekspresi muram. Bibirnya melengkung ke bawah dan ada kerutan tipis di dahi, sementara kedua tangannya berada di dalam saku celana, seakan-akan kemewahan ruangan tersebut tidak mampu menyenangkan hatinya.

“Barra?”

Perlahan, pria itu memutar badannya ke sumber suara ketika mendengar namanya disebut. Kala netra cokelat tersebut bertemu dengan sepasang mata hitam milik Kana, sorot mata dingin itu sejenak berubah hangat, meskipun masih tidak ada senyum di bibirnya.

“Kak …,” balas Barra dengan suara rendah. Kana bisa menangkap kekecewaan dalam satu kata tersebut.

Meskipun merupakan saudara angkat, hubungan Barra dan Kana baik, bahkan bisa dikatakan erat. Sejak kecil, keduanya nyaris tidak bisa dipisahkan. Barra yang lahir setahun setelah keluarga Mahendra mengadopsi Kana lebih sering menghabiskan waktunya dengan sang kakak dibanding dengan orang tuanya. Oleh karena itu, Kana tahu persis kenapa adiknya itu merasa kecewa padanya.

Menjadi orang paling dekat dengan Kana, tetapi tetap tidak mendapatkan kabar apa pun mengenai pernikahan sang kakak. Jelas saja Barra tidak langsung memeluk wanita itu seperti biasanya.

Akan tetapi, Kana tetap membuka kedua lengannya sembari mengambil beberapa langkah agar lebih dekat pada sang adik, menawarkan sekaligus mengundang Barra ke dalam sebuah pelukan.

“Kamu tidak kangen pada kakakmu?” tanya Kana pelan, disertai senyum lembut–senyum yang lebih ramah dan keibuan daripada ibu Barra sendiri.

Barra Mahendra tetap pada posisinya selama beberapa detik, sebelum pada akhirnya menghampiri Kana perlahan. Tubuh tinggi besar Barra merengkuh Kana dalam sebuah pelukan.

"Kapan sampai, Bar?" tanya Kana lembut. Ia mengusap punggung adik angkatnya.

"Dini hari," jawab Barra. Dari nadanya, Kana sudah bisa yakin kalau adiknya ini benar-benar merajuk, meskipun Barra belum mau melepaskan pelukannya. "Tadinya mau langsung ketemu Kakak. Tapi, ternyata sudah pindah rumah dan punya suami."

Perlahan, Kana melepaskan pelukan tersebut agar ia bisa melihat wajah adiknya. Setelah kedua pasang mata mereka bertemu, Kana kembali tersenyum. Ia berusaha menghilangkan kekesalan Barra.

Sebenarnya, ketika akan menikah dengan Dirga, Kana berulang kali bimbang untuk memberi tahu Barra atau tidak. Adiknya tersebut tengah menempuh pendidikan di luar negeri sejak beberapa tahun yang lalu. Meskipun berusaha tetap menjaga komunikasi, perbedaan waktu, wilayah, serta kesibukan masing-masing tentunya merupakan alasan yang cukup untuk membuat hubungan Barra dan Kana sedikit renggang, hingga akhirnya saat menikah dengan Dirga, Kana memutuskan untuk tidak memberi tahu sang adik lantaran orang tuanya juga menyarankan untuk tidak mengganggu kesibukan Barra.

"Maaf, Barra,” ucap Kana kemudian. “Karena tidak mengabari kamu.”

Perempuan itu sedikit merapikan kerah baju Barra. Diamatinya wajah sang adik dengan saksama, dan entah kenapa ada kebanggaan dalam diri Kana lantaran adiknya telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah, dengan kulit kecokelatan dan tampak sehat. Dahulu, pria di depannya ini adalah seorang pemuda awal dua puluhan yang sering kali menghabiskan sebagian besar waktunya di depan komputer, kerap kali harus dipaksa Kana untuk sekadar keluar rumah dan bergaul.

“Pernikahanku kecil, hanya dihadiri beberapa orang sebagai saksi,” lanjut Kana kemudian. “Mana mungkin aku aku tega menyuruhmu kembali ke sini hanya untuk hal itu?”

Ucapan itu jujur, meskipun Kana meninggalkan secuil fakta penting yang melatarbelakangi pengambilan keputusannya tersebut.

“Tidak perlu mengabari Barra, toh nantinya hanya akan ada saksi dari pihak Dirga dan kami.” Suara Nyonya Mahendra kembali berputar dalam kepala Kana, di hari yang sama ketika Dirga melamarnya. “Aku tahu kamu bahagia, tetapi kamu juga harus memikirkan perasaan putra kami. Usaha yang akan Barra keluarkan jika ia menghadiri pernikahanmu tidak sebanding lantaran kamu hanya menjadi istri kedua seseorang.”

Barra merengut mendengar pembelaan kakaknya. Senyum cerahnya tadi hilang entah ke mana. “Baiklah jika Kakak memang tidak mengundangku,” katanya. “Tapi, bukannya Kakak punya waktu dua bulan untuk memberitahuku tentang pernikahan Kakak?”

“Kalau kuberi tahu,” balas Kana. “Kamu pasti langsung marah-marah lewat telepon.”

Barra menyipitkan matanya, kesal karena sang kakak selalu mampu menyahuti ucapannya. “Jadi kalau sekarang, tidak masalah jika aku marah?” Ia bertanya kemudian.

“Tentu masalah.” Kana berusaha menahan senyum agar tidak membuat Barra makin kesal, meskipun baginya, tingkah adik angkatnya tersebut begitu menggemaskan. “Kan, kita lama tidak bertemu. Masa kamu mau mengisi pertemuan pertama kita dengan marah-marah?”

Barra mendengus, jujur saja dia masih kesal. Akan tetapi ketika melihat senyuman di wajah sang kakak, pria itu memilih untuk mengalah. Ternyata meskipun sudah lewat beberapa tahun, Barra tetap tidak bisa menang berdebat dari Kana.

“Sudah tidak marah?” tanya Kana. Kali ini disertai senyuman yang sudah sejak tadi ia tahan.

Sang adik berdecak. “Lagi pula kenapa buru-buru menikah sih, Kak?”

“Kami–”

Kalimat Kana terpotong suara dehaman dari arah ia datang tadi, membuat kakak beradik tersebut menoleh ke sumber suara.

“Pagi,” sapa Dirga, tanpa senyum.

Walau mulutnya menyapa, tetapi sebenarnya ada sesuatu dari ekspresi Dirga yang menunjukkan ketidakramahan. Nyaris serupa dengan sorot mata Barra yang kembali berubah dingin ketika melihat kakak iparnya.

Sebenarnya, Dirga sudah menyaksikan pertemuan Kana dan adik angkatnya sejak awal lantaran dirinya mengikuti perempuan itu turun dari lantai dua. Pria itu berniat menyapa saja dan langsung memberikan keduanya waktu karena keduanya lama tak bertemu. Akan tetapi Kana perlu mengobrol dengan Barra. Dirga tahu putra kandung keluarga Mahendra tengah di luar negeri ketika ia dan Kana menikah, padahal dari informasi yang Dirga dapatkan, kedua orang itu cukup dekat.

Namun, Dirga tidak tahu kalau dengan menyaksikan interaksi keduanya, ia akan merasa … terusik.

“Dirga,” sapa Kana. Perempuan itu tersenyum cerah pada sang suami, tetapi hal tersebut tidak membuat Dirga merasa lebih baik. Apakah itu karena istrinya menarik tangan pria yang belum ia kenal tersebut ke hadapannya?

“Sayang,” ucap perempuan itu lagi. “Kenalkan, ini Barra.”

Barra tersenyum tipis–senyum yang hanya bertahan di bibir saja, tidak sampai ke matanya–kemudian mengulurkan tangannya pada Dirga.

“Salam kenal,” ucap pria itu. “Kakak Ipar.”

Dirga tidak langsung menyambut uluran tangan itu dan mengamati Barra selama beberapa detik lebih lama dalam diam. Adik dari istri keduanya tersebut tampak tidak rela memanggilnya “kakak ipar”.

“Selamat datang,” ucap Dirga sembari menjabat tangan Barra dengan tegas pada akhirnya. Kemudian, ia menoleh ke arah istri keduanya. “Ajak dia sarapan bersama, toh Sasmi belum selesai memasak.”

Secara sengaja, Dirga mengindikasikan bahwa tamu “istimewa” istrinya itu datang terlalu pagi. Agak kekanakan memang, tetapi rasa tidak nyaman dalam diri Dirga ketika melihat adik angkat Kana berkunjung makin kuat saja usai melihat sendiri bagaimana Barra bereaksi terhadap kemunculannya. Tidak hanya itu, kedekatan antara keduanya membuat hati Dirga terasa sedikit panas.

“Ah, tidak perlu repot,” sahut Barra segera. Selanjutnya, ia menatap Dirga, kemudian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Wajah tampannya terlihat dingin ketika ia menghadapi kakak iparnya. “Salahku. Tanpa sadar aku jadi datang terlalu awal. Habisnya, tiba-tiba kakakku raib tanpa pamit, Ga. Jadi–”

“Barra,” sela Kana, terdengar terkejut. “Dirga itu kakak iparmu. Panggil dia ‘kakak’.”

"Maaf, Kak Kana," ucap Barra tanpa menoleh. Salah satu sudut bibir pria itu tertarik, tersenyum miring pada kakak iparnya. “Aku tidak mau memanggilnya ‘kakak’.”

Guardiangel

Lho, kenapa ya Barra nggak mau manggil Dirga dengan sebutan 'Kak'? Kok reaksinya juga aneh. Jangan lupa tinggalkan komen yaa.

| Sukai
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Emeli Emelia
baran Mahendra kata Kana Dirga itu kakak mu tolong Panggi dia dengan sebutan kakak terus Kenapa y barra tidak mau manggil Dirga kakak apa jangan-jangan barra suka sama kana
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status