Share

Bab 6 - Kecurigaan sang Adik

“Barra!” Kana refleks membentak adiknya itu, membuat Barra menoleh ke arah kakaknya. Dia tidak menyangka Barra akan bersikap tidak sopan kepada Dirga.

“Habis,” ucap pria yang lebih muda tersebut sembari menoleh pada Kana. Senyum miring yang tadi ia berikan pada Dirga seketika berganti dengan senyum tanpa dosa. “Rasanya aneh kalau laki-laki memanggil laki-laki lain dengan sebutan ‘kakak’.”

Kana menghela napas. “Tapi, Bar–”

“Sudahlah, Kana,” sela Dirga dengan suara tenangnya. Wajah pria itu masih saja dingin dan tidak terbaca. “Aku tidak masalah.”

Meskipun suaminya sudah mengizinkan, tetap saja Kana merengut karena menganggap adiknya tidak sopan. Ia menyayangkan hal tersebut lantaran ini adalah pertemuan pertama Dirga dan Barra, dua pria yang Kana harapkan untuk akur ke depannya sebab keduanya adalah sosok-sosok paling berharga dalam hidup Kana.

Dirga menyaksikan Kana yang tengah cemberut dan hal itu tanpa sadar mengundang senyum tipis di bibir putra pertama Keluarga Dewantara tersebut. Kata ‘menggemaskan’ tiba-tiba saja terlintas di kepala Dirga, membuat pria tersebut mengangkat tangannya dan menepuk puncak kepala Kana pelan.

“Jangan biarkan tamumu berdiri terlalu lama,” ucap Dirga, membuat Kana tersadar.

“Ah,” Kana tersenyum malu. Ia kemudian mempersilakan Barra untuk duduk di sofa, diikuti oleh Dirga.

Di sisi lain, senyum kekanakan yang tadi Barra tampilkan kini menghilang. Ekspresinya tampak serius usai melihat interaksi Dirga dan Kana. 

Kakaknya itu … tampak bahagia. Pria bernama Dirga itu pun terlihat memperlakukan Kana dengan baik. Akan tetapi, Barra menolak untuk menetapkan penilaian akhirnya secepat ini. Ada setumpuk pertanyaan yang ingin ia tanyakan dan pastikan kebenarannya.

Sama seperti yang telah Kana lakukan padanya sejak mereka kecil, Barra pun harus menjaga kakaknya dan memastikan perempuan itu bahagia.

“Jadi,” Barra kembali berucap. Jemarinya saling bertaut, sementara kedua lengannya bertumpu di pangkuan, menatap kakak iparnya, “kenapa kalian begitu terburu-buru menikah? Bagaimana dengan istri pertamamu?”

Pertanyaan Barra sukses membuat perhatian pasangan suami istri tersebut kembali terfokus padanya. 

Dahi Dirga berkerut, menimbang-nimbang jawaban apa yang baiknya ia berikan pada adik angkat Kana ini … karena sepertinya, Barra tidak akan mudah memercayai ucapannya.

Akhirnya, Dirga menyahut, “Kupikir aku dan Kana sudah cukup mengenal satu sama lain sebelum melangsungkan pernikahan.”

“Oh, ya?” Barra tersenyum miring. Tidak memberikan jawaban langsung merupakan strategi yang bagus–Barra pun berpikir demikian. “Bagaimana dengan pertanyaan keduaku?”

Dirga menatap lurus ke arah adik angkat sang istri. Mungkin inilah mengapa ia merasa tidak nyaman. Kecurigaan Barra terlalu kuat, membuat Dirga merasa seperti tengah diawasi dan diragukan. Meskipun tingkah Barra bisa dipahami, bukan berarti Dirga mau menerima perlakuan itu begitu saja.

“Aku dan Kana menikah atas izin istri pertamaku,” balas Dirga. Suaranya terdengar makin dingin. “Kamu tidak perlu khawatir.” 

Dirga membungkus kalimatnya dengan baik. Meskipun sebenarnya yang ingin ia katakan adalah, ‘Ini bukan urusanmu.’ 

Barra terdiam. Walau harusnya jawaban Dirga membuatnya merasa sedikit lega, tapi sesuatu dari cara pria itu berbicara membuat dirinya terganggu. Intinya, Barra tidak menyukai Dirga.

“Kalau begitu,” sahut Barra setelah terdiam beberapa saat. “Berarti kamu lebih mencintai kakakku dibandingkan istri pertamamu?”

“Barra.” Kana menegur adiknya, bersamaan dengan kemunculan Sasmi yang membawa nampan berisi segelas teh hangat dan beberapa kue bolu ke hadapan Kana. Ia tidak ingin adiknya bertingkah terlalu jauh dan membuat Dirga merasa terganggu.

Kana melirik ke samping dan menghela napas ketika melihat ekspresi suaminya yang mengeras usai mendengar pertanyaan dari sang adik.

Bibir Dirga terpisah, mulai berujar, “Aku–”

Namun, tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, pria tersebut dikejutkan dengan sosok Kana yang mendadak bangkit dan berlari ke kamar mandi, meninggalkan Dirga dan Barra yang berseru memanggilnya.

“Kana!”  

Dirga bergegas menyusul istrinya, membantu Kana setelah memerintahkan Sasmi untuk membawakan air putih. Tentunya di kamar mandi lantai satu, Kana tidak berhasil memuntahkan apa pun selain cairan asam dari perutnya lantaran sama sekali belum ada makanan masuk ke perut perempuan itu.

“Kembalilah ke kamar,” titah Dirga, alisnya menukik tajam, terlihat sangat khawatir. “Untuk sarapan, biar diantarkan nanti.”

Kana menggeleng. “Sedang ada tamu.”

Ekspresi Dirga mengeras mendengar respons Kana. “Ia bisa kembali lain kali,” balasnya. “Kondisimu sedang tidak baik.”

“Tidak apa-apa, Ga.”

“Aku tidak ingat kalau kamu ternyata keras kepala, Arkana.”

Meskipun disertai perdebatan kecil, Dirga membantu Kana kembali ke ruang tamu. 

Di sisi lain, Barra langsung berdiri dengan wajah cemas ketika Kana dan Dirga kembali, bersamaan dengan kemunculan Sasmi dengan segelas air putih.

“Kak?” panggil Barra sembari menghampiri Kana, terdengar khawatir. Namun, langkahnya terhenti melihat betapa protektifnya Dirga saat membantu Kana berjalan. Meskipun wajah pria itu tetap dingin dan datar senantiasa, gerak-gerik tubuhnya terlihat jelas.

Pria itu mengkhawatirkan kakaknya.

Kali ini, Barra tidak bisa menyangkal kepedulian yang ditampilkan Dirga Dewantara pada kakaknya.

Kana tersenyum, mencoba menenangkan adiknya. “Maaf membuatmu khawatir,” sahutnya. “Aku baik–”

Akan tetapi, belum saja Kana selesai mengucapkan itu, tangannya otomatis bergerak menutup mulut dan hidungnya rapat-rapat. 

Ah, ya. Bau ini,’ batin perempuan itu sembari menoleh pada asisten rumah tangga yang tengah menyodorkan segelas air putih pada Dirga. Campuran keringat, aroma masakan, dan parfum entah apa benar-benar membuat Kana mual.

“Ada apa?” Dirga terdengar khawatir. Pria itu mengikuti arah pandang Kana dan melihat raut wajah Sasmi yang tampak datar, seakan malas melayani istri keduanya itu.

Dirga mengernyit. Otaknya berputar cepat, mengingat serta mengolah informasi yang ia dapatkan ketika mengantar Kana ke dokter kandungan kemarin. 

“Sasmi,” ucap Dirga dengan suaranya yang rendah, seketika membuat si asisten rumah tangga bergidik. Pria itu mengambil gelas air putih dari nampan yang dibawa oleh Sasmi terlebih dahulu sebelum melanjutkan, “Pergi dari sini.”

Guardiangel

Nah, tahu rasa kamu, Sasmi! Btw~ Apa ada yang baper sama dua cowok yang udah muncul?

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status