Share

Bab 4 - Rencana Awal

"Kamu baik-baik saja?"

Mendengar pertanyaan suaminya, Kana tersenyum kecil. Ia menyukai nada khawatir yang terselip dalam suara Dirga–kekhawatiran yang sama seperti yang ia dengar ketika Helena pingsan tadi.

"Aku baik-baik saja," jawab Kana. Tentu saja, mendapatkan perhatian dan perlakuan manis suaminya membuat Kana merasa lebih baik dalam waktu singkat. "Jangan khawatir."

Tanpa mengatakan apa pun lagi, Dirga hanya memandang Kana yang tampil dalam balutan jubah tidur berbahan satin, menampilkan tulang selangkanya dengan jelas.

Selewat beberapa saat, pria itu menyibak selimut, menyambut Kana untuk bergabung dengannya di tempat tidur.

Sang istri tersenyum, lalu memeluk tubuh suaminya. Tampaknya malam ini pun, Dirga akan tidur bersamanya.

"... Helena tidak apa-apa?" gumam Kana.

"Kamu lihat sendiri tadi."

Maksud Kana bukanlah mengenai kondisi fisik Helena, melainkan reaksi kakak madunya tersebut mengenai kabar kehamilan Kana. Meskipun, memang, respons Dirga bisa dijadikan jawaban pada kedua pertanyaan tersebut.

“Ada apa?” tanya Dirga kemudian ketika Kana tidak menyahut. Pria itu menyelipkan rambut Kana ke belakang telinga istrinya tersebut, agar tidak menghalangi pandangannya ke leher jenjang Kana. “Apakah ada yang mengganggumu?”

“Tidak,” jawab Kana cepat. Dia sedang menimbang-nimbang untuk mengatakan tentang Helena yang berpura-pura sakit atau tidak. Ia berpikir bahwa mungkin istri pertama Dirga tersebut hanya ingin perhatian dari si suami–dan ia mencoba memakluminya. Kana tahu seberapa berharganya perhatian seorang Dirga Dewantara ini.

Toh, Kana tidak memiliki bukti.

“Lalu?” tanya Dirga lagi.

Kana menggeleng. “Tidak,” ulangnya. Ia berusaha memilah kata-katanya dengan baik. “Aku … sedikit terkejut dengan ucapan selamat dari Helena. Namun, sepertinya aku hanya terlalu jauh berprasangka."

"Helena … juga menantikan kehamilanku, bukan?" Kana melanjutkan. Ia menatap suaminya yang tengah meredupkan lampu meja, mengingat bagaimana Helena memperlakukannya tadi. "Lalu, aku berpikir mengenai alasan Helena melakukan hal itu. Kesimpulanku adalah, meskipun Helena menolak untuk hamil, ia ternyata tetap menginginkan yang terbaik untuk kamu."

Perempuan itu tidak menyadari bahwa otot tubuh Dirga sedikit menegang ketika mendengar kalimat tersebut meluncur dari bibirnya. Kana mendekat dan memeluk tubuh suaminya, bersiap untuk tidur.

“Seorang anak, Ga. Kamu benar-benar menginginkannya, kan?”

“Hm.” Dirga bergumam pelan. Ia tidak menyahut atau berkata apa pun hingga Kana terlelap di pelukannya. Pikirannya kabur antara Helena, janji pernikahan mereka, dan betapa menggodanya Kana yang kini ada dalam genggamannya.

Ada sesuatu yang bergejolak dalam diri Dirga, membuatnya ingin menyentuh wanita di depannya. Akan tetapi Kana sudah hamil, jadi dia sudah tidak perlu lagi menyentuh perempuan ini.

‘Sial’, batin Dirga Dewantara, mendadak merasa frustrasi. Lamunannya berhenti ketika tiba-tiba pintu kamar Kana diketuk tiga kali.

Perlahan, Dirga memisahkan dirinya dari Kana yang telah tidur dan bangkit untuk membuka pintu. Ia tahu siapa itu; Sasmi. Asisten rumah tangga yang loyal tersebut pasti diperintahkan oleh Helena untuk menjemputnya.

Tanpa banyak bicara, Dirga langsung pergi dan menutup pintu, meninggalkan Kana sendirian di kamarnya.

***

“Halo,” sapa Helena dengan senyum manis ketika Dirga masuk ke kamarnya. Ia bangkit berdiri di samping tempat tidur. “Aku harap aku tidak mengganggu waktumu bersama Kana.”

Dirga menghela napas. “Helen,” gumamnya. Ia menghampiri istri pertamanya.

Namun, Helena mengangkat tangannya dan menghentikan langkah suaminya tersebut.

"Mandi dulu," ucap Helena. Ia tidak mau mencium wangi parfum Kana dari suaminya

Akan tetapi Dirga bergeming. “Helen,” panggil pria itu lagi. “Bagaimana perasaanmu?”

Mendengar hal itu, Helena mengernyit, bingung. "Maksud kamu?"

Tanpa mengatakan apa pun selama beberapa saat, Dirga menatap istri pertamanya.

"Bagaimana perasaanmu setelah mendengar kabar kehamilan Kana?" tanya Dirga kemudian.

Helena terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas pelan. “Seperti yang sudah kukatakan tadi, ini adalah kabar bahagia,” ucap Helena kemudian. “Aku mengatakannya bukan hanya sebagai basa-basi."

Perempuan itu menunduk, menghindari pandangan Dirga dan mengelus perut ratanya pelan dengan ekspresi sedih.

"Sebenarnya, lebih tepat jika mengatakan aku merasa lega," lanjut Helena kemudian. "Karena aku tidak bisa memberikanmu keturunan, aku bersyukur akhirnya kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan.”

Dirga mendekati Helena yang tengah duduk di tepi tempat tidur dan merengkuh istri pertamanya tersebut dari samping. Selanjutnya, ia mengusap lengan istrinya tersebut dan mengecup puncak kepala Helena dengan lembut.

“Ide ini sungguh gila,” gumam pria itu pelan.

Helena langsung mengangkat kepalanya mendengar ucapan suaminya. “Dirga, tidak ada cara lain,” katanya. Nada bicaranya tidak terdengar sedih seperti sebelumnya. “Kita sudah membicarakan soal ini sebelumnya.” Helena menghela napas berat. "Apakah kamu berubah pikiran?”

Bibir Dirga melengkung ke bawah setelah mendengar pertanyaan dari istrinya tersebut. “Apa maksudmu?”

“Kamu tidak jatuh cinta pada Arkana, bukan?”

Kini, Dirga melihat bagaimana ekspresi Helena mengeras, tetapi matanya mengembun. Istri pertamanya itu tampak tidak terima dan tersinggung. Namun, Dirga juga bisa melihat kekhawatiran dan kesedihan di sana–

–yang nyaris mengingatkan Dirga pada ibunya.

“Helen.” Dirga akhirnya merespons. Ia menghela napas berat sembari membelai rambut Helena. “Kamu berpikir terlalu jauh.”

Helena menatap suaminya. Ya, ia yakin Dirga tetap akan mengutamakannya, meskipun beberapa kali Helena tidak bisa membaca tindakan Dirga–seperti tadi saat pria itu tiba-tiba bersikap perhatian pada Kana. Namun, Helena berpendapat kalau bisa saja Dirga masih terbawa perasaan sebagai calon ayah.

Andai saja Helena bisa memberikan anak pada pria yang ia cintai tersebut ….

“Helen?” Pelukan Dirga lebih erat, merengkuh Helena lebih dekat. Sepertinya pria itu menyadari ekspresi Helena yang semakin murung. “Jangan khawatir.”

Sang istri pertama menggigit bibir. “Kamu janji akan menceraikannya setelah ia melahirkan,” bisik Helena, menagih janji Dirga sebelum pria itu melangsungkan pernikahan untuk yang kedua kalinya.

Dirga diam sejenak sebelum pada akhirnya menyahut, “Ya.”

Untung bagi pria itu, jawabannya membuat Helena sedikit tersenyum tanpa mengetahui bahwa saat ini, yang ada dalam kepala Dirga adalah bayangan Kana yang sedang mengenakan gaun tidur berbahan satin tadi.

***

Pagi ini tidak dimulai dengan baik seperti biasanya bagi Kana karena ia terbangun tiba-tiba lantaran rasa mual mengocok perutnya, membuat Kana langsung berlari ke kamar mandi dan memuntahkan cairan ke dalam kloset kamar mandi.

“Arkana?”

Kana sedikit menoleh dan mendapati sang suami berdiri tepat di belakangnya. Dirga terlihat cemas. Pria itu mengumpulkan helai-helai rambut Kana yang tergerai dan memegangnya agar rambut hitam istri keduanya tersebut tidak terkena muntahan pemiliknya.

Pria itu muncul dalam balutan kemeja hitam polos, dengan dua kancing teratasnya masih terbuka tersebut. Dasi warna merah marun tersampir begitu saja di tengkuknya–Kana mencatat dalam otaknya sebelum ia kembali muntah ke dalam kloset.

“Kubantu berganti baju. Ayo kita ke rumah sakit.”

Kana menggeleng kuat, menolak ajakan suaminya. “Tidak apa-apa. Ini hanya morning sickness biasa,” sahutnya setelah berkumur, membersihkan sisa-sisa muntahan dari dalam mulutnya. “Ini normal, kata dokter. Kita hanya akan ditertawakan apabila ke rumah sakit untuk ini, sehari setelah aku dinyatakan hamil.”

Dirga cemberut dan bagi Kana, hal tersebut membuat paginya tidak begitu buruk.

Setelah mencuci tangan dan mengeringkan tangannya yang basah, Kana berbalik menghadap suaminya. Selanjutnya, ia mengancingkan kemeja Dirga dan memasangkan dasi pada pria tersebut sementara Dirga dengan nyaman menempatkan kedua tangannya di pinggul Kana.

Sayangnya, kemesraan sepasang suami istri tersebut lagi-lagi harus dirusak oleh ketukan pintu.

“Tuan, ada tamu mencari Nyonya Kana.” Sekali lagi, Sasmilah yang menjadi dalangnya.

Kana mengernyit, heran dan sedikit bingung tentang identitas tamu yang mengunjunginya sepagi ini–apalagi ini merupakan kediaman suaminya. “Siapa?” tanyanya usai bertukar pandang dengan suaminya.

“... Tuan Barra Mahendra. Adik Arka– Nyonya Kana.”

Guardiangel

Wah! Tokoh baru nih, teman-teman. Apa ya peran Barra di sini?

| Sukai
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Emeli Emelia
maaf kan aku thorr lupa aku lagi asik baca jgn lupa antara Helena dan Arkana......siapa yg hamil ternyata Arkana yg hamil
goodnovel comment avatar
Emeli Emelia
jadi lupa mau komen apa di bab 2 atau bab 3 y kirain akun Helena yg teryata Arkana to
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status