Share

Aku Tak Sanggup Lagi

Aku pasrah, apa pun yang akan dilakukan Mas Raka padaku. Bukankah setiap hari pun aku selalu mendapatkan perlakuan yang tidak baik. Jadi, jika hari ini pun dia akan berbuat kasar padaku, aku sudah siap.

Mas Raka terus menatapku. Ia menatap nyalang Seperti seorang harimau yang tengah menatap mangsanya. Aku beranikan diri untuk mendongak menatap balik tatapan Mas Raka.

"Kamu sekarang mulai berani, ya sama aku." ujarnya dan aku sama sekali tidak mengerti dengan maksud kata berani.

Berani apa yang Mas Raka maksud? Karena sungguh aku sama sekali tidak merasa berbuat hal yang menurutku di luar batas kewajaran.

"Maksud Mas apa?" Tanyaku tidak kalah sewotnya dan sekali lagi aku tahu harusnya aku tidak boleh meninggikan suaraku dihadapan Mas Raka.

"Kau sudah berselingkuh. Istri macam apa kamu, hah?"

Aku terkejut atas tuduhan Mas Raka. Berselingkuh! Lucu! Dia menuduhku yang tidak-tidak. Entah apa yang ada dipikirannya.

"Aku tidak berselingkuh, Mas. Mas jangan asal menuduh tanpa bukti."

"Apa masih kurang bukti? Bukankah bukti kamu berselingkuh adalah tadi, saat kau berduaan dengan seorang pria berjas. Mas gak nyangka ternyata selera kamu sekarang tinggi, ya. Selingkuh pun langsung dengan orang kaya. Hebat!"

Sekarang aku paham, Mas Raka menuduh Marvel adalah selingkuhan ku. Padahal apa yang Mas Raka tuduhkan tidak benar. Tapi, jika memang Mas Raka berpikir seperti itu. Baguslah. Aku ingin tahu sejauh mana ia memiliki rasa cemburu. Aku juga ingin tahu apakah Mas Raka bisa kembali seperti dulu jika seandainya aku memanas-manasi Mas Raka.

"Jelas saja Mas aku mencari pria yang lebih dari kamu. Pria yang mau menghargai aku, pria yang mau menerima Najma, pria yang bersedia membahagiakanku bukan pria seperti kamu yang bisanya hanya membebankan semua padaku. Ingat mas! Aku ini seorang istri bukan tulang punggung keluarga. Mungkin aku tidak akan protes jika posisi kamu memang tidak memungkinkan untuk menjadi tulang punggung. Ini? Kamu sehat, segar, kuat. Tapi kenapa kamu malah melimpahkan semua padaku. Kenapa, Mas?!"

Aku sudah tidak kuat, sungguh ingin rasanya aku memaki-maki suamiku. Tapi, aku masih menghargai dia karena masih berstatus suamiku. Suami yang harusnya ada untuk melindungi, mengayomi anak dan istri. Bukan membuat menderita seperti ini.

Ya Allah aku sadar, diri ini tidak bisa seperti Sayyidatina Fatimah yang senantiasa patuh dan sabar dalam menghadapi kesulitan. Aku juga bukanlah Asiah yang sabar dalam menghadapi suami zalimnya. Aku... Aku hanyalah wanita akhir zaman yang memiliki kesabaran setipis tissue.

Aku tidak sanggup, jika harus hidup dengan Mas Raka. Suami yang tidak memiliki sama sekali rasa tanggung jawab, rasa peduli dan rasa kasih sayang. Bagaimana aku mau berbakti jika suamiku saja seperti ini. Entahlah, akan dia bawa ke mana bahtera rumah tangga ini. Berulang kali aku mencoba untuk menyadarkan dirinya bahkan doa tidak pernah putus untuk Suamiku. Kenapa? Semakin ke sini justru tabiatnya semakin menjadi.

"Aku hanya ingin memberikan kamu kesempatan untuk meraih surga. Bukankah istri yang berbakti itu balasannya surga? Jadi manfaat kesempatan ini. Lagi pula tidak ada salahnya istri membantu perekonomian keluarga, bukan? Di luar sana banyak kok wanita yang kerja sementara suaminya tidak. Tapi kenapa kamu malah riweh seperti ini, santai saja."

Astaghfirullah, apa telingaku tidak salah dengar? Setumpul itukah pemikiran suamiku? Jika memang pemikirannya seperti itu lalu apa gunanya ia sebagai seorang kepala keluarga? Dia telah melalaikan kewajibannya hingga melupakan hak-hak yang harus aku dan Najma peroleh.

"Oh, jadi Mas maunya aku yang kerja sementara kamu malas-malasan di rumah? Oke kalau gitu kita tukar tugas. Aku yang cari nafkah sedangkan kamu urus rumah dan Najma..."

"Tidak bisa gitu dong!"

Mas Raka langsung menyela perkataanku. Dia sepertinya protes berat atas usulan yang baru saja aku ajukan.

"Harga diriku mau ditaruh di mana jika aku harus mengurus rumah dan Najma?"

Hah? Harga diri? Sempat-sempatnya ia protes mengenai harga diri. Padahal harga dirinya sebagai seorang suami sudah hilang bertepatan dengan dirinya yang memutuskan untuk tidak mencari nafkah.

"Apa tidak salah, Mas membahas tentang harga diri? Ingat Mas salah satu harga diri seorang suami itu bekerja. Dan sekarang coba lihatlah! Secara tidak langsung harga dirimu jatuh."

"Ayu!"

Mas Raka kembali mengangkat tangannya. Dan untuk ketiga kalinya ia menamparku. Saking kerasnya tamparan Mas Raka sudut bibirku sampai berdarah. Tega! Hanya itu yang bisa aku katakan.

Pipi dan bibirku terasa perih, tidak hanya perih fisik batinku pun ikut merasakan perih. Aku pegang pipi bekas ditampar Mas Raka, seraya menatap penuh benci padanya. Sebenarnya apa yang ada dipikiran suamiku hingga ia begitu tega padaku.

Air mataku berlinang, aku terus menatap suamiku. Dan dengan penuh kesadaran aku mengucapkan kalimat yang sejak dulu selalu Mas Raka larang. "Talak aku, Mas! Aku sudah tidak sanggup lagi hidup denganmu. Mana surga yang selalu kamu janjikan? Kau masih ingat kan? Kalimat-kalimat yang selalu kamu ucapkan sebelum kita menikah? Mana semua janji-janjimu, Mas?"

"Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mentalak mu, Ayu!"

"Tapi kenapa? Jika kamu tidak mau... tolong jangan seperti ini, kembalilah seperti suamiku yang dulu."

"Kamu tidak perlu tahu alasannya, Ayu."

"TAPI AKU HARUS TAHU, MAS!"

Saking kesalnya aku meninggikan suaranya dan sungguh aku melihat Mas Raka tidak suka dengan apa yang aku lakukan barusan.

"Kau sudah kurang ajar! Ikut aku! Sepertinya kau harus aku aku kasih pelajaran."

Mas Raka menarikku, aku menjerit meminta untuk dilepaskan. Tapi jeritanku sama sekali tidak ia dengarkan. Ia terus menyeretku ia membawaku ke kamar mandi lalu ia mendorongku hingga tubuhnya berbenturan dengan tembok kamar mandi. Sakit! Rasanya sakit sekujur tubuhku. Tidak hanya itu dia juga terus menyiramiku dengan air. Aku pasrah!

."Jika aku dengar kau minta talak dariku, maka aku akan melakukan hal yang lebih dari ini."

Selepas itu Mas Raka pergi, meninggalkan aku yang meringkuk kesakitan dan kedinginan di bawah guyuran air shower.

Ya Allah, apakah suami seperti ini yang harus aku pertahankan? Apakah rumah tangga seperti ini yang harus aku perjuangkan? Aku tidak sanggup lagi, ya Allah. Tidak!

Meksipun aku tahu mungkin saja ada hikmah dari setiap kejadian yang aku alami. Dan aku yakin kau menyatukan aku dan suamiku karena ada suatu misi kebaikan yang harus aku jalankan. Tapi.. ini sudah lima tahun, ya Allah. Selama itu aku harus bisa bertahan menghadapi keegoisan suami, ketidakadilan suami serta kezaliman suamiku. Dan sekarang puncak keputus asaanku.

Sekarang aku ingin menyerah. Jika memang nanti Mas Raka mempersulit proses perpisahan Ini, aku akan tetap memilih terus melanjutkan dan melakukan khulu'. Karena aku merasa hubungan ini sudah tidak bisa dilanjutkan. Yang ada aku terus melakukan dosa dan terus mendapatkan perlakuan tidak manusiawi seperti ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status