Aku mulai membukakan mata, kulihat sekeliling, ruangan yang rapi, suasana hening, ada selang infus yang menancap di tanganku. Sudah kupastikan ini pasti sebuah ruang perawatan di rumah sakit. Seketika aku tersadar. Bayiku, bagaimana dengan bayiku?
"Alhamdulillah mbak, kamu sudah sadar," ucap seseorang. Aku menoleh, ada Mas Bian duduk di sisi kananku yang tak kusadari kehadirannya.
"Bayiku, bayiku gimana, mas?" tanyaku sembari meraba perut yang masih rata.
"Alhamdulillah, bayi mbak gak apa-apa."
"Beneran, mas? Aku gak keguguran kan?"
"Enggak. Nanti kalau dokter berkunjung, tanyakan langsung saja," sahut Mas Bian.
Aku mengangguk. Tak berselang lama, Bu dokter dan perawat datang. Perawat memeriksa tensi darahku lalu mencatatnya.
"Alhamdulillah semuanya normal, besok ibu sudah boleh pulang," ucap Bu dokter.
"Bayi saya tidak apa-apa kan, dokter?"
"Alhamdulillah tidak apa-apa. Lain kali harus dijaga ya, jangan sampai jatuh lag
POV BianAku tak mengerti apa yang ada dipikiran Amira, wanita itu seringkali menangis. Membuat hati ini ikut merasa iba. Kenapa air mata itu tak kunjung kering justru semakin banyak, padahal sudah berbulan-bulan, bahkan tiap hari dia selalu menitikkan air mata.Dia terlalu melankolis. Aku paham, masalah ini terlalu berat untuknya. Diceraikan oleh sang suami dengan tuduhan selingkuh denganku, serta video dia sedang mandi dan tetiba hamil, pasti dia sangat shock menjalani semuanya. Dikucilkan oleh para tetangga, bahkan ada yang hampir melecehkannya adalah sanksi sosial yang ia dapatkan dari ulah seseorang yang tak bertanggung jawab.Sedangkan disatu sisi, sang suami, maksudku sang mantan suami seakan angkat tangan tidak mau mencari tahu siapa sebenarnya yang sudah menjebak Amira. Bahkan dia sibuk mencari pembenaran sendiri, ingin rujuk lagi dengan Amira dan meminta aku menjadi muhalilnya. Ironis bukan?Sungguh aku tak habis pikir dengan jalan p
"Awas ya, Amira! Aku akan buat perhitungan denganmu!" ancam Lani sembari mengacungkan jari telunjuknya ke muka Amira.Lani kemudian pergi begitu saja meninggalkan Amira dengan dada yang berguncang emosi. Amira menghela nafas dalam-dalam."Mas Bian, keluarlah, jangan sembunyi terus!" seru Amira yang membuatku terkejut. Ah, jadi dia sudah tahu aku ada disini.Aku keluar dari persembunyian dan mensejajari langkahnya. Akuu tersenyum sembari menggaruk-garuk kepala yang tak gatal."Kenapa kau mengikutiku, Mas?" tanyanya yang membuatku gelagapan."Ah... Aku khawatir sama kamu," jawabku."Bukankah kamu sendiri yang nyuruh aku jadi wanita yang kuat? Yang harus bisa membela diri?" sanggahnya lagi."Emhh iya, itu benar. Tapi aku gak nyangka kamu bisa berubah secepat ini.""Iya, ini semua ini karena kamu. Terima kasih sudah selalu mendukungku. Ucapanmu tempo hari membuatku berpikir. Kamu benar, mas. Kalau bukan aku yang melindungi diri sen
"Ya, para tetangga pada ngomongin kalian. Seolah-olah rumor yang beredar bahwa kalian berselingkuh di belakang Andri itu benar, apalagi kamu sering datang kesini," ucap Budhe lagi."Budhe yang bilang sendiri kalau aku suruh nemanin Amira tiap hari," kilah Mas Bian."Iya, memang budhe yang nyuruh. Tapi makin kesini budhe makin tak nyaman dengan ocehan tetangga.""Baik, aku siap tanggung jawab. Aku akan menikahi Amira. Tapi apa Amira siap menikah denganku?" sahutku. Aku menatapnya lekat.Dia tertunduk, sepertinya malu. Aku justru terkekeh melihat tingkahnya yang tanpa sadar dia memegangi perut dan pipinya secara bergantian."Bagaimana denganmu, Amira? Kalian sudah sangat cocok," cetus Budhe lagi."Emmh... Aku... Maksudku, apa Mas Bian gak malu punya istri seperti aku? Mas Bian masih lajang, sedangkan aku...""Aku akan terima apapun kondisimu," tukasku dengan cepat.Wajahnya merona lagi, namun dia tetap diam."Kamu ma
TTD 14POV LaniHari itu aku melihat wajah Mas Andri muram, bahkan lebih muram dari biasanya. Setelah kutahu ternyata karena ia tak bisa rujuk dengan Amira. Bukankah harusnya aku bahagia? Tapi kenapa, walaupun mereka sudah berpisah, Mas Andri tetap saja cinta mati sama Amira dan bersikeras untuk kembali padanya?Padahal aku sudah berhasil memisahkan mereka, tapi aku belum berhasil merebut hatinya. Aku ingin sekali membuatnya bertekuk lutut padaku. Sebenarnya aku ingin membalaskan dendam padanya, ada satu alasan yang membuatku harus begini. Alih-alih ingin membalaskan dendam justru aku yang kepincut sendiri. Terkesima dengan pesona adik ipar.Aku pergi menjejakkan langkah entahlah mau kemana, pikiranku masih kalut. Bagaimana caranya biar Mas Andri melihatku. Reni aku tinggal di rumah bersama neneknya. Biarlah dia sudah besar, bisa main sendiri. Ayahnyapun jarang ngasih perhatian pada anak dan istri. Ah, sebenarnya aku sudah malas, ingin sekali
"Kamu itu udah punya anak malah pergi-pergi gak jelas!" omel ibu mertuaku, membuatku tambah benci padanya."Maaf bu, tadi memang Nita ngajaknya dadakan. Aku kira gak bakal lama, ternyata malah lama begini. Lani janji bu, lain kali gak akan diulangi lagi. Ya sudah, Lani permisi, mau mandi dulu," ucapku sambil ngeloyor pergi."Andri, baringkan Reni di kamarnya. Kasihan dia," pinta ibu yang samar-samar kudengar dari dalam.Aku langsung bebersih diri, menghilangkan aroma-aroma yang tadi menempel. Kusemprot dengan minyak wangi. Setelahnya aku bergegas ke dapur untuk membuatkan mereka teh manis yang aku campur dengan obat tidur.Kuhidangkan teh manis itu bersama cemilan yang tadi sempat kubeli."Ini tehnya bu, mas.""Tumben kamu bikinin ibu teh," sahut ibu. Tapi dia tetap menyesap teh buatanku.Aku tersenyum. "Sekali-kali gak apa-apa to bu, lagian Amira kan sudah gak ada. Jadi biar aku yang gantian melayani ibu," s
Seperti yang Mas Andri bilang, jam tujuh malam dia pulang ke rumah. Pekerjaan sedang sibuk, jadi ia baru bisa pulang sore hari."Mas sudah datang," sambutku dengan suka cita, tentu saja disertai dengan senyuman manja. Aku memeluknya dengan erat, namun dia berusaha melepaskan pelukanku. Aku menatapnya penuh tanda tanya."Jangan seperti ini, katanya takut ketahuan orang rumah," ucapnya sambil tersenyum."Ibu sama Reni sudah tidur, mas," sahutku."Tidur? Masih sore begini udah tidur?" tanya Mas Andri."Iya mas, maklumlah ibu kan sudah tua, jadi wajar kalau tidur cepat. Dia sangat lelah. Reni juga, dia habis main seharian mungkin mereka capek. Jadi udah pada tidur setelah makan malam tadi."Mas Andri manggut-manggut mengerti. "Mas sudah makan belum?" tanyaku."Belum.""Aku siapkan makan dulu ya...""Nanti saja, aku mau ketemu sama Amira dulu.""Buat apa ketemu Amira, Mas? Dia kan sudah selingkuh.""
POV AndriAku tidak tahu dari mana awalnya. Hingga tiap hari bayangan Lani selalu menari-nari di dalam pikiranku. Ia yang sedang tersenyum, sangat manis. Bahkan perhatiannya aku tak bisa lupa. Dia bagaikan wanita yang sempurna. Mengerti keinginanku, perhatian dan kasih sayang.Meskipun kutahu ini salah, dia istri kakakku. Aku merasa bersalah pada mas Restu, tapi rasa cintaku mengalahkan segalanya. Mengalahkan akal sehatku, apalagi Lani juga nampak mencintaiku. Ia selalu bermanja-manja ketika di dekatku. Memelukku dan menggelayut manja di lenganku. Aku tak pernah keberatan akan hal itu. Bahkan tak segan dia yang selalu menciumku lebih dulu. Agresif, tapi aku menyukainya. Entahlah aku tak tahu sejak kapan. Padahal dulu aku selalu suka gadis pemalu seperti Amira. Ah Amira, aku jadi benci padanya. Tega-teganya dia selingkuh dibelakangku sampai hamil.Kembali lagi tentang Lani, dia tahu menyenangkan seorang lelaki. Kemolekan wajahnya, tubuh mulusn
"Dasar adik dan istri tak tahu malu! Kalian benar-benar menjijikkan!" teriak mas Restu lagi dengan sorot mata penuh kebencian."Mulai sekarang juga, kamu bukan istriku lagi! Aku ceraikan kamu!!" teriak mas Restu menggema ke seluruh isi ruangan."Mas, jangan mas, jangan ceraikan aku... Aku masih butuh kamu mas..."Lani mendekati mas Restu dan memeluk kakinya. Namun dengan sekuat tenaga mas Restu"Kamu tidak butuh aku, kamu hanya butuh uangku!! Pergi sana! Kau tidak berhak ada disini lagi! Istri tak tahu diri!Lani masih menangis histeris dan menggelengkan kepalanya dengan cepat."Enggak mas! Jangan usir aku dari sini. Aku gak mau pergi mas!" isaknya dengan pilu. Ah, aku makin tak tega terhadapnya. Ingin sekali kudekap tubuhnya, namun tubuhku rasanya tak berdaya. Lemah, kepalaku pusing dan berdenyut. Semuanya terlihat berputar-putar.Dengan samar-samar kulihat mas Restu keluar dari kamar, tak lama ia kembali dan