“Mas dari mana saja kamu?”
Malam itu, tepat jam satu malam, Mas Bhanu baru saja pulang.
“Kerja, Dek.” Pria itu duduk di kursi berlapis busa yang ada di ruang tamu. Dia mulai membuka sepatu yang dikenakannya.
Aku duduk di samping pria itu. Seketika aroma parfum menguar menusuk hidungku. Setahuku Mas Bhanu tak pernah memakai parfum. Apalagi dia baru pulang dari kerja seharian, harusnya aroma keringat yang menyengat yang menguar dari tubuhnya. Aku merasa ada sesuatu yang tak beres dari pria itu. Mungkinkah dia ada main di luar sana? Segera kutepis segala praduga. Mas Bhanu bekerja sebagai tukang ojek daring. Bisa saja parfum salah satu penumpangnya tak sengaja menempel di baju suamiku.
Usai melepas sepatu, Mas Bhanu melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Sebelumnya dia memintaku untuk mengambilkan handuk dan membawanya ke sana.
“Mas!” Beberapa kali aku mengetuk pintu kamar mandi. Tak butuh lama, pria itu membuka sedikit pintu kamar mandi. Tangannya mengulur ke luar. Aku pun menyodorkan handuk berwarna merah padanya.
“Mas kamu sudah makan belum?”
“Aku sudah makan. Kamu tidur saja,” ucapnya sedikit berteriak. Aku menuruti perkataan pria itu.
Ketika hendak melangkahkan kaki meninggalkan kamar mandi, tanpa sengaja, aku melihat secarik kertas menyembul dari saku pakaian Mas Bhanu yang dikenakannya tadi. Penasaran aku mengambilnya.
Aku membuka kertas tersebut dan membaca isinya. Aku begitu terkejut ketika membaca secarik kertas yang merupakan nota pembayaran sebuah hotel melati yang letaknya berada sebuah tempat wisata.
Kembali aku meletakan baju kotor Mas Bhanu ke dalam keranjang pakaian ketika suara kran air dimatikan. Tanda kalau pria itu telah selesai mandi. Sedangkan kertas itu, aku lipat dan masukan ke dalam saku bajuku. Bergegas aku menuju kamar.
Baru saja aku merebahkan diri, Mas Bhanu masuk dengan handuk melilit sebatas pinggang ke bawah. Rambut pria itu basah. Baru harum sampo menguar. Melihat hal itu aku semakin curiga.
“Kamu belum tidur, Deema?” tanyanya seraya membuka lemari tiga pintu yang berisi pakaian kami. Dia mengambil sebuah kaos berwarna biru dan celana pendek abu-abu.
Setelah berganti pakaian, pria itu mengeringkan rambut basahnya dengan handuk. Tak berselang lama, dia merebahkan diri di sampingku. Dalam sekejap terdengar dengkuran halus ke luar dari mulutnya. Sedangkan aku tak sedetik pun mampu memejamkan mata.
***
“Deema, kamu sudah siap?” tanya Liza yang berada di seberang telepon.
“Aku sudah sia, Liz.”
“Ok. Aku jemput sekarang, ya!”
Siang ini rencana kami akan ke rumah salah satu anak didikku. Kebetulan rumahnya tak jauh dari rumah sahabatku—Liza. Orang tua anak tersebut memintaku untuk mengajar les privat pada putrinya. Aku meminta Liza untuk mengantarkanku ke rumahnya.
Kami berdua sama-sama bekerja sebagai pengajar. Liza mengajar di sebuah sekolah menengah pertama di kota kami. Sedangkan aku mengajar di sebuah sekolah dasar.
Kebersamaan kami berawal ketika kami sama-sama duduk di bangku SMP. Namun, kami kuliah di sebuah Universitas yang berbeda. Liza masuk ke Universitas Negeri yang ada di ibukota. Kami sempat berpisah dan kembali bersama usai menyelesaikan kuliah kami.
Aku berdiri di depan gerbang usai Liza mengabarkan kalau dirinya sudah dekat dengan tempatku mengajar. Tak berselang lama, Liza datang mengendarai mobilnya. Aku pun langsung masuk ke dalam dan duduk di samping kemudi.
Nasib Liza memang lebih baik dariku. Setahun lalu dia diangkat menjadi pegawai negeri. Sedangkan aku, masih tetap menjadi guru honorer. Beberapa hari lalu aku juga mengikuti tes PPPK. Namun, nasib masih belum berpihak padaku.
“Oh iya, Deema. Orang tua Airin belum pulang jam segini. Bagaimana kalau kamu temani aku belanja dulu,” pinta Liza.
Airin adalah nama anak didik yang hendak kami datangi. Aku pun mengiyakan permintaannya.
Usai berbelanja Liza mengajakku untuk makan terlebih dahulu. Kami pun memilih makan di resto makanan cepat saji.
Baru saja kami menginjakkan kaki memasuki resto. Aku melihat Mas Bhanu sedang duduk dengan seorang wanita. Suamiku itu mengenakan kemeja berwarna biru, bukannya jaket ojek daring.
Bukan hanya itu. Yang membuat hatiku sakit, mereka tak sekedar makan bersama. Mas Bhanu juga menggenggam mesra tangan wanita di hadapannya. Wanita berambut panjang dengan rok berwarna biru balas menggenggam tangan Mas Bhanu.
Aku begitu kalut melihat semua itu dengan mata kepalaku sendiri. Hati istri mana yang tak terluka ketika melihat suaminya mendua. Begitu juga diriku. Tak tahan aku hendak melabrak mereka.
“Deema. Jangan!” Liza memegang tanganku erat. Wanita itu tak ingin aku mendekati mereka. Alasannya, dia tidak ingin aku tersakiti dan dipermalukan oleh mereka.
“Kenapa aku?” Aku menunjuk diriku sendiri. “Bukan aku yang salah, tapi dia. Jadi bukan aku yang akan menanggung malu, tapi mereka.”
Tak peduli dengan nasihat Liza, aku berjalan mendekati mereka.
Melihat kedatanganku, Mas Bhanu begitu terkejut. Namun, tidak dengan wanita di hadapannya. Wanita itu tampak santai, duduk dengan kaki kanan yang berada di atas satu kaki kirinya.
“Dia siapa, Mas?” Aku menunjuk wanita di hadapan Mas Bhanu.
“Dia, Afseen.” Mas Bhanu memandang wanita di hadapannya.
Wanita itu balik bertanya pada Mas Bhanu, siapa diriku.
“Dia istriku,” jawab Mas Bhanu.
Mendengarnya, wanita itu terkejut. Sontak dia berdiri memandangku dan Mas Bhanu bergantian. “Istri?”
“Iya. Namun, tak akan lama lagi dia akan menjadi mantanku.” Perkataan Mas Bhanu seperti belati yang menikam jantungku.
“Apa maksudmu, Mas?” Aku memandang Mas Bhanu tak percaya dengan apa yang dikatakannya.
Pria itu menarikku menjauhi wanita itu. Setengah berbisik pria itu memintaku untuk pulang dan membicarakan semuanya di rumah.
“Deema, jangan berulah kamu. Wanita itu ladang uang untukku.”
“Tapi, Mas ....”
“Pulang atau aku talak kamu sekarang juga!”
Bersambung ....
Perkataan Mas Bhanu berputar di kepalaku. Bahkan ketika bertemu dengan orang tua Airin konsentrasiku juga buyar. Beruntung ada Liza yang membantuku berbicara.Andai, tadi ayahnya Airin tak menghubungi, aku pasti sudah minta penjelasan terkait wanita itu pada Mas Bhanu.“Deema, bagaimana?” Liza memandangku. “Apa kamu menerima tawaran Pak Farabi?”Aku mengangguk setuju. Padahal aku sendiri tak tahu apa yang mereka bicarakan. Yang aku tangkap hanya les privat seminggu tiga kali, selasa, kamis, dan sabtu.Setelah semua urusan dengan Pak Farabi selesai, aku dan Liza pamit pulang.“Sudah jangan dipikirkan masalah tadi. Kamu masih muda, jangan takut kehilangan dia.” Liza menyentuh tanganku dengan tangan kirinya. Sedang tangan kanannya mengemudi.Aku tersenyum memandang wanita itu sebagai isyarat kalau aku dalam keadaan baik-baik saja.Memang benar kata Liza. Tak pantas untukku meratapi Mas Bhanu. Pri
“Apa-apaan kamu, Bhanu!”Ibu sangat marah ketika mendengar Mas Bhanu mengucapkan talak padaku. Wanita berusia 55 tahun itu datang pada waktu yang tidak tepat.Beliau menghampiri kami yang masih bersitegang di ruang tamu. Wanita bernama Nirmala itu memandang putranya nyalang.Nirmala—ibu mertuaku—meminta kami untuk duduk bersama.Kami bertiga duduk di ruang keluarga. Suasana sangat tegang pagi itu. Sesaat kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Mas Bhanu duduk menunduk di samping kanan Ibu. Sedangkan aku duduk di samping kiri.Beliau menasihati kami agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Semua harus diselesaikan dengan kepala dingin agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.“Bu, saya mencintai Afseen. Bukan Deema.”Aku hanya bisa mendengar perdebatan antara anak dan ibu itu. Ibu melarangku untuk ikut bicara. Hanya dia yang bisa merubah pemikiran pria itu.“Tapi ibu tidak
Untuk apa bertahan kalau pada akhirnya akan mengecewakan. Untuk apa tetap diam, kalau diam akan menjadi senjata paling tajam dalam menyakiti diri sendiri. Yang harus dilakukan melawan. Melawan hati yang tak pernah dicintai. Menghancurkan hati lain yang ingin menyakiti.“Deema, apa kamu yakin dengan keputusanmu itu?” Bu Nirmala mendekatiku yang sedang berkemas.Aku menghentikan aktivitas sejenak dan memandang Bu Nirmala. “Insya Allah Deema yakin, Bu.”Keputusanku sudah bulat untuk pergi dari Mas Bhanu. Jika aku bertahan, pria itu akan merasa menang dan memperlakukanku semakin semena-mena. Dia akan berpikir hidupku tergantung padanya. Aku tidak menginginkan itu. Hidup dalam belenggu seorang pria.Aku wanita merdeka. Bebas menentukan kehidupan sendiri. Aku punya pekerjaan. Masih juga memiliki orang tua. Ada tempat untukku bersandar.Setelah semua siap, aku menarik koperku hendak keluar dari rumah Mas Bhanu.“Deema.
Pagi itu aku sedang bersiap hendak berangkat mengajar. Aku baru mengenakan sepatu ketika Bu Nirmala datang ke rumah. Wajah wanita itu terlihat sebab. Entah berapa lama dia menangis. Tak tega aku mempersilakannya masuk.“Silakan diminum, Bu.” Usai membuatkannya minum, aku duduk di sampingnya.Tak ada salahnya untuk berbicara dengan wanita itu sebentar. Jam juga baru menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit.“Bu, ada apa dengan Ibu?”Masih dalam keadaan terisak Ibu menceritakan yang terjadi. Menurut wanita itu, kini Afseen tinggal di rumah Mas Bhanu. Tepatnya sejak aku tanpa sengaja bertemu dengan waktu itu di rumah Bu Nirmala.Ibu juga menceritakan kalau Mas Bhanu mendesak wanita itu untuk menjual rumah yang ditinggalinya. Pria itu beralasan hendak menggunakan uang tersebut sebagai modal usaha. Ibu menolaknya. Karena rumah itu peninggalan almarhum suami Ibu. Kalaupun dijual beliau tak lagi memiliki tempat dia. Bu Nirmala
Pukul sembilan malam. Aku masih sibuk dengan laptop di hadapan. Membuat soal ulangan untuk lusa. Bagaimana aku akan cepat menyelesaikannya. Sedangkan pikiranku terbagi dua. Pikiranku terus tertuju pada Bu Nirmala. Aku begitu khawatir dienggan keadaannya. Apalagi setelah tahu yang dilakukan putranya.“Deema.” Ayah mengetuk pintuku.“Masuk Ayah.”Ayah menghampiriku yang sedang menatap layar laptop di kamar. Pria itu duduk di tepi ranjang.“Ada apa, Ayah? Apa ada yang Ayah butuh kan?”Pria itu menjawab pertanyaanku dengan menggeleng. “Ayah tadi hendak ke kamar mandi. Melihat lampu kamarmu masih menyala, ayah ke sini.” Pria itu menatap laptop di hadapanku.“Deema, sedang membuat soal ulangan, Ayah,” jawabku.“Ayah tahu, kamu sedang memikirkan suamimu itu. Ayah juga tahu kalau kamu tadi dari rumahnya. Untuk apa kamu ke sana?”Aku menjelaskan semua
“Zafran.”Entah aku harus bahagia atau bersedih melihat pria itu. Melihatnya sama saja mengusik luka masa lalu. Andai dia tak menikahi Namira, saat ini pasti kami bersama.Aku kembali berjalan menuju tukang tambal ban. Menghindarinya adalah pilihan tepat. Nyatanya perkenalan yang cukup lama tak membuat kami berjodoh. Memang sedari awal kami tak mengikat diri dengan ikatan yang disebut pacaran. Hanya saja dia pernah berjanji untuk menikahiku usai kami lulus kuliah.“Deema, berhenti!” Pria itu turun dari mobilnya dan berlari menghampiriku. Zafran hendak mengambil alih motorku. Aku tahu pria itu hendak membantuku menuntunnya ke tukang tambal ban.“Tidak usah, aku bisa sendiri.” Aku menolak tawarannya.“Sini biar aku saja. Lihat badanmu penuh dengan keringat. Wajahmu juga pucat. Pasti kamu sangat kelelahan.”Aku memang merasakan lemas. Kepala juga rasanya seperti mendidih karena terlalu lama berjem
Zafran berjalan mendekati kami. Entah bagaimana bisa pria itu ada di sini.“Om, kapan pulang?” tanya Airin.Zafran berjalan mendekati gadis kecil itu.Aku bingung dengan mereka. Ada hubungan apa sebenarnya mereka.“Farabi ini kakakku.” Zafran memandang pria di hadapannya.Kalau dilihat tidak ada kemiripan di antara mereka. Kalaupun jalan bersama tidak ada yang mengira kalau mereka bersaudara.“Deema aku antar kamu pulang, ya.”Cepat aku menggelengkan kepala. Gegas aku berpamitan dan ke liar dari rumah itu.Kondisi yang tidak memungkinkan membuatku melajukan motor perlahan. Tanpa sengaja aku melihat sebuah mobil berjalan di belakangku. Mobil itu sama seperti milik Zafran. Pasti pria itu sengaja mengikuti.Setibanya di rumah, Ayah ternyata sudah menunggu kepulanganku. Pria itu berdiri di teras rumah. Senyumnya mengembang ketika melihatku memasuki halaman. Namun, ketika melihat sebuah mob
“Kenapa aku bukan kamu?” Aku menunjuknya. “Kamu yang hendak menikah dengan Afseen. Harusnya kamu yang mengurus segalanya.“Deema. Sulit untukku mengajukan perceraian ke pengadilan.”“Karena sulit atau memang pelit,” sanggahku. Pasti pria itu tak mau keluar uang untuk mengurus perceraian. Dia juga tidak mau repot mengurus semuanya. Enak aja. Aku tidak mau melakukannya. Dia yang berbuat salah, kenapa aku yang harus menanggung segalanya.Pria itu seperti bingung mendengar jawabanku. “Deema, bukan seperti itu. Tak ada alasan untukku mengajukan perceraian ke pengadilan. Tak ada kesalahan dalam dirimu. Jadi tak ada alasan untukku menceraikanmu Sedangkan kamu, bisa saja kamu menggugatku dengan alasan tidak memberimu nafkah selama enam bulan. Beres.”“Bayar pengacara, Mas. Kamu tinggal ongkang-ongkang di rumah. Pengacara yang akan urus segalanya. Beres.”Tak mau mendengar apa-apalagi, aku be