Share

Tambatan Hati Perawan Tua
Tambatan Hati Perawan Tua
Author: Die-din

01. Perawan Tua

Sebuah mikrolet menepi dengan mulus di sebuah jalan pedesaan, kemudian berhenti selama beberapa menit untuk menunggu salah satu penumpangnya turun. Seorang gadis berjilbab yang mengenakan setelan seragam berwarna hijau dari sebuah rumah sakit swasta, tak lama kemudian turun dari mikrolet itu. Sebelum kendaraan umum beroda empat itu kembali melaju membelah aspal jalanan untuk mengantarkan penumpangnya yang lain.

Gadis yang baru turun dari mikrolet itu adalah Iza, Oriza Sativa. Gadis itu berjalan perlahan dari arah jalan raya ke kompleks perumahan padat penduduk. Langkah kaki Iza terhenti tepat di depan gang rumahnya sendiri.

Padahal hanya perlu sekitar lima puluhan meter lagi jarak yang harus ditepuhnya untuk sampai ke rumah dari posisinya saat ini. Namun Iza harus melewati cobaan berat menghadang. Kerumunan ibu-ibu kompleks sedang berkumpul di sebuah gardu siskamling

"Huuuuuh ..." Iza menghela napas panjang untuk menguatkan hatinya sebelum melanjutkan langkah melewati kerumunan itu. Ada yang sedang menggendong dan menyuapi anaknya, sedang mengawasi anaknya yang sedang bermain, ada pula yang hanya nongkrong untuk bertukar gosip aktual seputar kompleks RT, RW bahkan desa tempat mereka tinggal.

Obrolan ibu-ibu itu terlihat sangat seru. Iza dapat mendengar bahwa mereka sedang membicarakan tentang seorang artis yang sedang mengami KDRT. Namun seperti yang sudah Iza duga, keseruan mereka kontan terhenti saat menyadari dirinya berjalan ke arah mereka. Berubah menjadi tatapan penuh minat kepadanya, seakan mendapatkan hiburan baru.

"Permisi ..." Iza berusaha mengabaikan tatapan mereka dan mengembangkan sebuah senyuman indah untuk menyapa kepada kumpulan ibu-ibu itu, sebagai sopan santun.

Oriza Sativa, nama lengkap Iza adalah nama ilmiah dari tumbuhan padi. Entah apa yang dipikirkan oleh kedua orangnya saat menganugerahkan nama itu kepada Iza dulu. Mungkin mereka ingin agar Iza bisa tumbuh menjadi orang yang bisa memberikan manfaat bagi orang lain, seperti halnya dengan tumbuhan padi. Doa dan harapan mulia yang berusaha Iza wujudkan dengan menjadi seorang perawat yang bekerja di sebuah rumah sakit swasta. Sebuah profesi yang bisa memberikan manfaat kepada orang lain.

'Semakin tua, maka akan semakin menunduk,' filosofi akan tumbuhan padi ini juga Iza rasakan ikut melekat pada dirinya. Bukan hanya menunduk untuk bersikap tidak sombong, namun juga sebaliknya. Iza selalu menunduk agar tidak terlihat mencolok. Bahkan jika bisa dia ingin menghilang tanpa terlihat oleh orang lain. Terutama pada situasi yang sedang dia hadapi saat ini.

"Monggo." Para ibu pun kompak menjawab bersamaan kepada Iza. Kemudian kompak pula melayangkan pandangan yang memindai penampilan gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Eh Mbak Iza?"

“Baru pulang kerja, Mbak?”

“Tumben jalan kaki?”

Beberapa ibu coba berbasa-basi kepada Iza. Yang hanya dibalas dengan anggukan kepala oleh gadis itu. Kemudian dia melanjutkan langkah, tidak berminat untuk berlama-lama di sana. Dan lagi-lagi, sesuai dengan perkiraan Iza, saat posisinya sedikit menjauh ibu-ibu itu melanjutkan obrolan sambil berbisik-bisik. Yang kini telah beralih topik, tentu saja membahas dirinya.

"Mbak Iza itu kan sudah tua, kok belum nikah aja ya? Padahal wajahnya cantik lho."

“Umur berapa sih dia?”

"Kayaknya Iza itu sepantaran anakku yang pertama. Sekarang anakku udah punya anak tiga."

"Anakku yang sekolahnya jadi adik kelasn Iza juga sudah punya anak dua."

"Kebanyakan pilih-pilih kali?"

"Gak tahu deh cari yang gimana lagi, pilih-pilih ntar dapatnya yang sisa."

"Biasa lah, mentang-mentang kerja dan punya gaji sendiri jadi mintanya yang wah."

Sayup-sayup Iza dapat mendengar berbagai komentar-komentar tanpa filter dari ibu-ibu itu. Iza memilih untuk terus berjalan ke arah rumahnya, dengan memasang telinga tebal.

"Hari ini apes banget sih?" Iza membatinkan kekesalan dalam hati.

Biasanya Iza tidak perlu mendengar gunjingan atau beramah tamah seperti ini jika pulang kerja dengan mengendarai motor. Namun hari ini motor putih yang biasa dikendarai Iza untuk berangkat dan pulang kerja sedang masuk bengkel, sehingga dia harus menaiki kendaraan umum.

Gadis berperawakan mungil itu memijit keningnya yang terasa sedikit pening begitu mencapai pintu rumah. Merasa beberapa kali lebih lelah karena berbagai gunjingan tetangga kepadanya tadi. Pembicaraan seolah-olah dirinya adalah gadis paling malang di seluruh desa, hanya karena tidak juga kunjung menikah.

"Andaikan mencari seorang suami semudah membeli barang di aplikasi shoping? Pasti aku sudah melakukannya sejak dahulu." Iza menyuarakan jeritan hatinya, sambil melanjutkan langkah memasuki rumah.

Perkara menanti kedatangan jodoh memang sangat tidak mudah bagi Iza. Didikan keluarganya yang keras sebagai anak sulung dan contoh bagi adiknya, membuat Iza hanya fokus sekolah saat masih muda. Hal itu membuat Iza tidak pernah memiliki pacar. pada masa sekolah, bahkan sampai dia duduk di bangku kuliah.

Setelah lulus kuliah dan bekerja menjadi seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta, Iza malah semakin sibuk dengan pekerjaannya. Sampai tanpa terasa, usia Iza kini menginjak tiga puluh tiga tahun. Usia yang bisa dibilang sudah tidak muda lagi, dan dianggap cukup terlambat untuk menikah bagi masyarakat di desa tempatnya tinggal.

"Kanapa, Nduk? Pulang kerja kok mukanya jutek begitu?" Sri, ibu dari Iza menanyai putrinya yang baru melewati dapur, tempatnya sedang memasak.

"Biasa, Buk. Habis jalan melewati CCTV hidup." Iza meletakkan tas kerja yang ditentengnya di kamar. Kemudian dia beranjak ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan kaki.

"CCTV hidup?" Sebagai orang desa, Sri kebingungan dengan istilah asing yang diucapkan putrinya.

"Ya itu ibu-ibu tetangga yang kurang kerjaan." Iza mengambil posisi di dapur, untuk membantu ibunya memasak. "Masa yang diomongin soal nikah dan nikah melulu?"

"Gimana lagi, memang cuma kamu satu-satunya gadis perawan yang sudah tua tapi belum juga menikah di gang kita." Bukannya membela Iza, sang ibu malah ikut menyudutkan gadis itu.

"Buk, masalah jodoh, rejeki, dan ajal itu sudah ada Tuhan yang menentukan. Tidak bisa dipaksakan." Iza pun kembali memupuk kesabaran ekstra untuk mengingatkan sang ibu untuk kesekian kalinya.

"Iya memang. Tapi bisa juga karena kamu yang terlalu pilih-pilih calon."

"Beli baju yang dipakai beberapa waktu saja kita milihnya lama, masa untuk suami yang akan hidup bersama selamanya gak boleh milih, Buk?"

"Tuh kan, kamu itu kalau dibilangin selalu membantah terus." Sri semakin kesal, kemudian melanjutkan mengomel sambil mengiris sayuran di hadapannya.

"Kapan hari itu ada pak Burhan yang mau ngelamar, malah kamu tolak. Padahal usianya belum empat puluh limat tahun. Dia juga sudah mapan dan punya anak gede-gede, kurang apa lagi?"

'Kurang cocok, Bu!' Iza lagi-lagi hanya bisa menjerit dalam hati. Tidak ingin dianggap sebagai anak durhaka yang selalu membantah kepada ibunya.

“Terserah kamu saja. Ibu sudah capek.” Sri mengakhiri omelannya dengan helaan napas berat.

"Apa tidak ada yang lebih baik lagi, Bu?" Iza mencoba memperbaiki pandangan Sri kepadanya.

"Kamu itu terlalu pemilih. Ibu dan bapak sudah malu sama warga satu desa, yang selalu menanyakan kapan kamu menikah."

Iza memejamkan kedua matanya rapat-rapat, merasa semakin lelah dengan keluhan sang ibu. Bukannya menguatkan atau memberi dukungan kepada Iza, ibu dan bapaknya malah semakin memberikan tekanan kepadanya. Padahal Iza sudah bersabar untuk dilangkahi oleh adik laki-lakinya yang menikah terlebih dahulu. Dia juga berulang kali menurut untuk dikenalkan dengan beberapa pria oleh kedua orang tua dan saudara-saudaranya.

Keadaan di rumahnya inilah yang membuat Iza lebih senang untuk menghabiskan waktu di rumah sakit tempat bekerja. Daripada mendengar gunjingan tetangga, atau bahkan keluhan dari ibu dan ayahnya sendiri.

'Menikah adalah masalah hati yang tidak bisa seenaknya.'

'Aku hanya ingin pria yang pantas, bukan asal pilih dan akan menyesal kemudian.'

"Mungkin kalau ada lagi yang lebih baik, Iza akan mau mempertimbangkan." Iza lebih memilih mengalah dalam perdebatan dengan ibunya itu.

"Paling juga kamu tolak lagi?"

"Mboten, Buk. Percaya deh, yang berikutnya Iza akan mencobanya." Iza menyakinkan kepada sang ibu. Keputusan yang kelak akan dia sesali di kemudian hari.

"Yaudah, sana kamu mandi dulu. Nanti kita makan sore bareng kalau bapakmu pulang kerja." Sri mengingatkan kepada Iza akan kebiasaan mereka untuk makan malam bersama. Karena penghuni rumah mereka cuma tinggal tiga orang, setelah Doni, adik Iza menikah dan tinggal bersama istrinya.

"Nggih, Buk." Gadis berhijab itu pun beranjak kembali ke dalam kamar. Mengurung diri di sana, dan hanya keluar jika nanti dipanggil untuk makan malam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status