Butiran-butiran air turun dari langit malam yang gelap. Sebagian jatuh ke pepohonan yang menyambut dengan riang gembira, sebagian jatuh ke genting-genting yang menjadi bersih dari debu. Sebagian lainnya jatuh ke tanah atau berakhir di saluran pembuangan dan sungai.
Iza mengamati tetesan air yang membentuk salur-salur tak beraturan di jendela kaca depan instalasi gawat darurat. Suasana yang dingin dan syahdu di malam hujan membuat waktu shift sore terasa lebih lama. Membuat Iza bersama Rani dan dokter Eka yang sedang berjaga di bagian gawat darurat rumah sakit Harapan Sehat menjadi bosan.
Kesunyian malam itu dipecahkan oleh bunyi sebuah nada dering dari sebuah ponsel. Ketiga para medis itu pun kompak mencari-cari sumber suara yang ternyata berasal dari ponsel milik dokter Eka. Sang dokter pun segera mengangkat dan menerima panggilan di ponselnya.
"Aduh gimana ya, Mbak ... Jemputanku sudah datang nih di depan." Eka berkata dengan sungkan kepada Iza dan Rani beberapa saat kemudian, setelah menutup panggilan telponnya.
"Gak pa-pa, Dok. Pulang duluan saja." Iza menanggapi kepada sang dokter. Memberikan maklum kepada dokter muda itu yang dijemput oleh kekasihnya untuk acara malam Mingguan.
"Beneran nih? Tapi kan jadwal jagaku masih ada 30 menit lagi." Eka merasa tidak enak dan sungkan.
"Cuma setengah jam aja kok. Lagian kayaknya aman malam ini, Dok." Rani mendukung ucapan Iza. Tidak keberatan juga untuk ditinggal lebih awal oleh sang dokter.
"Yaudah, aku duluan deh kalau gitu. Nanti aku suruh dokter Yudi biar datang tepat waktu." Eka akhirnya menuruti perkataan kedua perawatnya. Tak lupa mengirimkan pesan kepada dokter Yudi yang nanti akan bertugas jaga shift malam.
Dokter Eka melepaskan snelly, jas putih yang sedang dipakainya dan segera berpamitan. Dia keluar dari ruangan dan berjalan menuju ke sedan hitam yang sudah menunggunya di depan pintu masuk UGD. Sementara Iza dan Rani saling melempar senyuman geli melihat tingkah dokter muda itu.
'Dokter juga manusia, bisa jatuh cinta dan butuh malam mingguan juga.'
"Tinggal berdua aja nih kita sekarang, semoga aman deh sampai pulang." Rani memanjatkan doanya setelah mengantar kepergian mobil yang menjemput Eka dengan pandangannya.
"Amiiin." Iza mengamini doa rekannya, melanjutkan kegiatan menulis di buku register pasien.
Biasanya pada malam hujan yang dingin seperti saat ini keadaan rumah sakit menjadi lenggang. Aman tanpa ada pasien yang datang untuk periksa di poli umum. Namun tidak jarang juga ada pasien UGD, karena mengalami kecelakaan di jalan yang licin.
Jantung Iza serasa melorot beberapa centimeter karena kejadian jarang itu benar-benar terjadi malam ini. Suasana rumah sakit seketika berubah menjadi heboh karena ada pasien yang baru masuk. Pasien kecelakaan lalu lintas. Iza melirik jam tangan yang melingr di pergelangan tangan. Kombinasi jarum panjang dan pendek di sana menunjukkan pukul 19.55.
'Sial, hanya 5 menit sebelum berakhir shift jaga. Dan dokter jaga penggantinya dokter Eka belum datang juga.' Iza membatin frustasi.
"Pasien wanita 30 tahun post kecelakaan lalu lintas." Seorang petugas polisi yang mengantarkan pasien, memberikan laporan kepada Iza dan Rani. Kedua perawat itu pun dengan sigap menerima sang pasien.
"Baik, Pak. Mungkin pasien membawa kartu identitas. Jadi tolong didaftarkan dahulu ke rekan saya." Iza dengan cekatan membagi tugas, dia menghampiri pasien yang telah diletakkan di bed perawatan UGD. Sementara Rani mengurus administrasi dan pendataan rekam medis di pasien.
Iza mengamati sang pasien yang masih sadar dan merintih kesakitan itu. Pasien itu menderita luka-luka di kaki sebelah kanan bawah yang mengalami perdarahan. Sebagai perawat yang berpengalaman, Iza tentu tahu prosedur yang harus dia lakukan. Dengan cekatan gadis berhijab itu memasang infuse set, membuka dan membersihkan luka-luka pasien, kemudian memasukkan antibiotik dan analgesik injeksi.
"Kok darahnya banyak sekali ya?" Iza membatin curiga saat membersihkan luka di kaki kanan pasien yang tak kunjung bersih. Karena darah yang terus mengalir di sana.
"jangan-jangan ada pembuluh darah yang terkena." Iza sudah hendak meminta bantuan Rani, saat seorang pria mendatangi dirinya dan berkata.
"Jelaskan situasinya, Mbak."
"Dokter Yudi?" Iza bertanya untuk memastikan kepada pria muda yang berdiri di hadapannya. Karena Iza belum pernah bertemu dengan dokter Yudi mulai hari ini berjaga menggantikan jadwal jaga dokter Cecilia yang sedang cuti melahirkan.
Sekilas Iza melirik pria berusia sekitar pertengahan tiga puluhan mengenakan kemeja kasual tanpa snelly. Pria itu terlihat tenang, tegas dan tidak takut melihat keadaan pasien yang berdarah-darah. Jadi dapat dipastikan bahwa dia adalah seorang para medis yang sudah berpengalaman.
"Iya saya Dokter Yudi, pengganti dokter Cecil." Pria itu memberikan jawaban. Kemudian dengan cekatan mengambil dan memasang hand gloves di kedua tangan, serta masker wajahnya.
"Maaf dok, ada pasien kecelakaan lalu lintas. Perdarahan banyak sekali, sepertinya kena pembuluh darah." Iza pun menjelaskan kesulitannya dalam menangani pasien itu.
"Baik, saya mengerti." Yudi menjawab dan mengambil posisi menggantikan Iza menangani pasien.
Yudi sudah bersiap di sisi pasien dengan kedua tangan yang sudah memakai hand gloves steril. Kali ini Iza bertindak sebagai asisten sekaligus operator alat yang sudah siap sedia di troli untuk sang dokter.
"Torniquet!" Yudi meminta sebuah alat ikat yang dapat berfungsi untuk menghambat aliran darah. Dengan cekatan Iza memberikan apa yang diminta dan dokter muda itu memasangnya di bagian paha pasien.
Aliran darah yang mengalir sudah mulai berkurang jauh setelah pemasang alat. Yudi kemudian mulai mengulaskan antiseptik ke bagian kaki pasien yang terluka. Kemudian dia menyuntikkan larutan anastesi ke area yang akan dijahitnya. Mereka menunggu beberapa saat sampai anastesi bereaksi dan pasien tidak dapat merasakan sakit lagi.
"Arteri klem!" Yudi meminta salah satu alat pada lain pada Iza, alat untuk menjepit pembuluh darah arteri. Yang langsung dia turuti dengan cekatan.
Yudi memasang klem itu di pembuluh darah pasien untuk menghentikan perdarahan secara total. Setelah itu barulah dia menjahit pembuluh darah pasien yang terluka untuk memperbaiki, dan menyambung pembuluh darah yang putus itu.
Proses ini memakan waktu cukup lama karena memerlukan ketelitian dan konsentrasi tinggi. Maklum saja pembuluh darah memiliki ukuran diameter hanya beberapa milimeter.
Iza memperhatikan cara kerja dokter Yudi yang terlihat sangat cekatan dan efisien. Dia bahkan sama sekali tidak tremor atau gemetar saat memegang pinset dan needle holder, pemegang jarum jahit pada proses penjahitan. Sangat tenang, dan terlihat sangat berpengalaman.
'Dokter Yudi ini katanya sedang residensi paru ya? Calon dokter spesialis, pantesan pinter dan cekatan banget.' Iza mengagumi dokter di hadapannya.
"Ehhm ... Permisi, dok." Iza meminta ijin untuk membantu mengelap keringat di dahi Yudi dengan tisue. Agar tetesan air itu tidak turun ke mata dan mengganggu penglihatan sang dokter.
Untuk sesaat gerakan tangan Yudi terhenti dan memberikan tatapan bertanya kepada Iza atas tindakannya.
Deg! Jantung Iza seakan berhenti berdetak untuk saat mendapati tatapan tajam sang dokter. Saat itu juga dia menyadari bahwa Yudi memiliki wajah yang enak dipandang mata, ganteng.
"Ma, maaf .." Buru-buru dia meminta maaf, tak ingin dianggap lancang.
Yudi hanya mengangguk tanpa menjawab, tetap berkonsentrasi untuk menyelesaikan pekerjaan menjahitnya. Berkutat dengan luka di kaki sang pasien. Iza pun dengan cekatan melakukan pekerjaannya.
Setelah penjahitan pembuluh darah selesai, Yudi kemudian melanjutkan menjahit luka di bagian otot dan kulit pasien itu. Sebelum akhirnya menutupnya dengan kasa steril.
"Observasi perdarahan dan keadaan umumnya. Jika sudah stabil pindahkan ke ruang bedah." Yudi memberi perintah kepada Iza. Melepas hand gloves dan membuangnya ke tempat sampah medis.
"Baik, Dok." Iza menawan sebelum Yudi beranjak ke meja dokter jaga untuk mengisi rekam medis.
"Izaaa ..." Rani yang sudah selesai mengurusi bagian administrasi mendatangi Iza dan berbisik. "Dokter Yudi keren banget ya?"
"He-em." Iza mengiyakan sambil membereskan alat-alat. Dan membersihkan darah yang tercecer di sekitar bed dan tubuh pasien.
"Dia adalah pria yang tenang dan bertangan dingin. Skillnya juga bagus, Dokter UGD idaman deh." Rani meneruskan komentar kekaguman sambil mengamati Yudi yang menulis di meja.
"Boleh dikagumi, tapi tidak untuk dimiliki." Iza mengingatkan temannya akan kenyataan. Perbedaan status yang jelas antara dokter dan perawat.
"Yaaah layu sebelum berkembang."
"Hahaha." Kedua perawat yang berstatus singel itu tertawa bersama. Sadar diri akan posisi mereka masing-masing.
Berbekal restu dari sang ibu, Iza kini tidak ragu lagi untuk memulai hubungan baru dengan dokter Yudi. Dia berniat mengutarakan perasaanya dan menanyakan jika penawaran Yudi kepadanya beberapa waktu yang lalu masih berlaku. 'Tapi gimana cara bilangnya? Masa aku harus nembak duluan?' 'Eh tapi dokter Yudi kan yang sudah nembak duluan, jadi anggap saja aku cuma menjawab.' Iza pun mengajak Yudi untuk keluar sore itu, ajakan yang disambut dengan senang hati oleh yang diajak. Mungkin bagi Yudi, dengan Iza mau mengajaknya keluar terlebih dahulu saja sudah menjadi pertanda baik bagi hubungan mereka. Dan sesuai dengan perjanjian, Yudi pun datang menjemput Iza di rumahnya. Dengan tidak lupa berpamitan kepada kedua orang tua gadis itu. Iza dan Yudi berjalan beriringan dari parkiran mobil ke arah mall dengan sedikit canggung. Yudi berjalan mendahului sedangkan Iza mengikuti di belakangnya dengan jarak beberapa langkah. "Kita mau ke mana?" Yudi menanyai Iza setelah mereka berdiri di loby la
Iza dan Yudi menikmati sajian makan siang bersama di ruang keluarga. Saking kakunya sampai tak ada yang berkata-kata di antara mereka. Entah mengapa mereka menjadi canggung dan bingung untuk memulai pembicaraan. Keadaan rumah yang sepi, kenyataan bahwa mereka hanya berduaan semakin memperparah suasana. Keduanya hanya bisa sesekali saling melemparkan pandangan, melirik, lalu kembali berkutat dengan makanan yang ada di hadapan masing-masing. 'Aduh kenapa tadi aku menawari makan siang ya? Gimana kalau para tetangga bergunjing?' 'Baru saja gagal bertunangan malah sudah memasukkan pria lain ke dalam rumah.' Iza menyesali keputusannya yang tidak pikir panjang. Dan kalau sudah begini tidak mungkin juga untuk mengusir Yudi begitu saja. "Maaf ya Mbak Iza, saya jadi merepotkan." Yudi sepertinya dapat merasakan
Yudi mengamati layar monitor yang menampilkan laporan kasus salah satu pasien dengan penyakit paru yang sedang dia tangani. Laporan-laporan yang akan dipakainya untuk ujian penentuan gelar spesialis paru yang sedang dia perjuangkan. Yudi beralih kepada lembaran foto ronsen thorax dengan kontras hitam putih milik pasien tersebut. Mengamati dan mencocokkan apa yang dilihatnya dengan apa yang tertulis di laporan. Tentang perkembangan penyakit pasien TBC setelah dilakukan pengobatan. Cukup lama Yudi tenggelam dalam kesibukannya itu, sampai tak terasa jam kerja pun berakhir. "Aku pulang duluan ya." Yudi berpamitan kepada perawat jaga di poli paru. Kemudian dia beranjak mengambil barang pribadinya dan keluar dari gedung rumah sakit. Melajukan mobil Brio merahn membelah aspal jalanan yang terik di siang hari. Rasanya sungguh sangat melelahkan kehidupan sebagai seorang PPDS. Seharian sibuk dengan banyak pasien rawat inap yang harus dia visite hari ini. Setelah vis
Iza tertegun mendengarkan ucapan Yudi yang sama sekali tidak terduga olehnya. Seluruh logika dan akal sehat gadis itu sama sekali tidak dapat mempercayai apa yang dia dengar. Oleh karena itu, Iza pun memberanikan diri untuk berkata.“Dokter Yudi jangan becanda donk. Nanti saya bisa baper.” Iza menambahi dengan tawa ringan, seperti sedang menanggapi sebuah candaan dari temannya.Yudi mengerutkan keningnya dalam-dalam mendengar jawaban dari Iza. Bukannya penerimaan atau penolakan yang diberikan, malah terkesan gadis itu meragukan keseriusan dari ucapannya.Padahal Yudi adalah orang yang tidak mungkin untuk bercanda, terutama dalam hal yang menyangkut perasaan seperti ini.“Saya serius," Yudi menegaskan.Iza tetap terdiam, masih tidak akan berani berharap bahwa dokter Yudi, sang idaman wanita ini akan berkata seperti itu kepadanya.‘Dia bilang mau sama aku itu maksudnya gimana ya? Mau apa?’“Saya menyukai kamu, Mbak Iza.”
Iza mengira bahwa masalah akan selesai setelah dia memutuskan hubungn pertunangan dan membatalakan pernikahan dengan Rio. Masalahnya dengan Rio pribadi sudah selesai, dengan keluarga inti Rio juga sudah selesai. Namun dengan keluarga besar dan para tetangga satu kompleks malah timbul berbagai rumor tidak sedap. Rumor yang mengatakan dan menyalahkan Iza, yang membatalkan pernikahan dengan sepihak.“Mau cari yang gimana lagi sih Mbak Iza itu?”“Gak inget apa udah tua umurnya? Paling sebentar lagi juga sudah keriput dan tidak cantik lagi.”“Mau cari yang bagaimana lagi sih? Dilamar duda gak mau katanya ketuaan, ini dilamar perjaka masih muda juga tetap saja ditolak.”“Seleranya yang kaya raya kali, biar bisa diantar jemput pakai mobil.”“Mungkin memang gak niat buat nikah kali ya?”“Nanti kalau sudah terlambat pasti akan menyesal sendiri.”Berbagai gunjingan miring s
Setelah kesepakatan yang dibuat Iza dan Rio untuk membatalkan pernikahan mereka, Iza pun meminta kepada kedua orang tuanya untuk mengantarkan berkunjung ke rumah Rio. Untuk membahas tentang wacana pembatalan pernikahan serta mengembalikan seserahan yang telah diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Terutama untuk barang-barang berharga seperti perhiasan.Maka di sore yang cerah itu, Iza bersama kedua orang tuanya sudah duduk ruang tamu rumah Rio. Berhadapan tiga lawan tiga dengan Rio dan kedua orang tuanya. Suasana terasa begitu canggung setelah sapaan dan ramah tamah. Tidak ada yang berani untuk bersuara, meskipun mereka sudah tahu tujuan kedatangan Iza dan keluarganya."Hemmm begini, saya mohon maaf sekali sebelumnya kepada Nak Rio, Dek Soni dan Dek Nanik. Maksud kedatangan kami kali ini adalah untuk membatalkan rencana pernikahan kedua anak kita.""Lho kenapa? Gak bisa begitu lah." Nanik kontan melayangkan protesnya."Saya dengan dari Iz