Share

03. Perjodohan

Author: Die-din
last update Huling Na-update: 2024-03-06 10:26:50

Sang surya masih garang menebarkan sinarnya pada suatu sore. Menciptakan suasana panas yang bahkan mampu menembus tembok kubus kamar Iza. Kipas angin yang menempel di dinding kamar pun tak mampu menghadirkan udara sejuk. Malah meniupkan udarah panas yang terus diputar oleh baling-balingnya.

Suasana gerah itu membuat gadis perawan pemilik kamar terbangun dari tidurnya dengan bermandikan keringat. Iza melirik jam dinding yang berbentuk micky mouse. Jarum jam dinding menunjukkan pukul setengah lima sore.

"Wah nyenyak juga tidurku," Iza menguap dan menggeliatkan badan.

Iza merasa kelelahan setelah berjaga maraton dari shift malam yang berlanjut ke Sift pagi di rumah sakit. Bayangkan saja, dia harus berjaga dan berkonsentrasi penuh mulai jam sembilan malam kemarin sampai dengan tadi siang jam dua.

"Jangan tanya lagi gimana capek, jenuh dan ngantuknya ... Capek banget!" Iza menggumamkan gerutuan di bibirnya yang mungil.

Sepulang dari rumah sakit tadi Iza langsung mandi dan membersihkan diri dari aroma rumah sakit yang melekat di tubuhnya. Iza kemudian memakai daster favorit dan langsung tenggelam dalam lautan pulau kapuk yang empuk dan nyaman. Tidur dan beristirahat sampai merasakan badannya lebih fit dan kembali segar lagi.

"Akhirnya bangun juga kamu, Za?" sebuah sapaan menyambut Iza putri keluar dari kamarnya. Sapaan yang berasal dari Sri, ibu Iza.

"Enggih, Bu." Iza menjawab, sambil menghampiri sang ibu yang sedang berkutat di dapur.

"Ada acara apa hari ini, Bu? Kok banyak banget masaknya?" lanjut Iza bertanya. Heran arena melihat menu makanan yang sedang dimasak oleh ibunya lebih banyak daripada bisanya.

"Nanti akan ada Lek Soni dan anak istrinya mau main ke sini, Nduk." Sri menjawab sambil terus berkutat menumis bumbu di atas wajan.

"Lek Soni yang mana sih?" tanya Iza menyelidik. Firasatnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang terasa mencurigakan.

"Lek Soni itu saudara jauhnya bapakmu dari desa sebelah, Nduk. Yang anaknya Mbah Mina, sepupunya alharhumah nenekmu dulu." Sri menjelaskan dengan detail.

"Owalah." Iza pun menjawab dengan anggukan, meskipun tidak dapat mengetahui yang mana Soni ataupun silsilah keluarga ayahnya. Gadis itu pun beralih ke meja untuk menuang air putih ke gelas.

"Lek Soni itu punya anak laki-laki, namanya Rio. Katanya si Rio itu kepengen kenalan sama kamu, Za." Sri menambahkan dengan nada hati-hati.

"Oooh ya?" Iza bertanya sambil lalu. Dia tidak terlalu kaget mendengan penjelasan sang ibu. Karena ecurigaanya ternyata benar-benar tepat terjadi. Apalagi kalau bukan perjodohan lagi?

"Katanya kamu minta dicarikan calon? Yowes ibu dan bapakmu akhirnya nyariin buat kamu ini."

Iza tidak memberikan respons kali ini, hanya mampu membatin dalam hati, 'Mati aku! Kenapa bisa secepat ini sih?'. Dia tidak menyangka hanya dalam dua Minggu saja kedua orang tuanya bisa mendapatkan kandidat calon suami untuknya.

"Kok diem aja? Kenapa lagi? Kamu belum punya pacar kan?" Sang ibu bertanya menyelidik. Merasa heran dengan sikap diam Iza.

"Belum lah, Buk." Iza buru-buru menjawab kecurigaan ibunya.

"Berarti gak masalah toh, untuk kenalan dengan anaknya Lek Soni? Sapa tahu kali ini jodoh?" Desak Sri yang sekali pagi dibalas dengan aksi bungkam oleh putrinya.

"Dicoba dulu saja, jangan pilih-pilih lagi. Ingat usiamu sudah tiga puluh tiga tahun, sudah tua."

Iza semakin bungkam mendengar ucapan ibunya yang setajam belati. Tak ingin semakin sakit hati dengan melakukan pembelasn diri yang pasti akan berakhir percuma. Dan Iza harus menyesali keputusannya untuk berdiam diri, karena Sri malah melanjutkan untuk berbicara. untuk mempromosikan pria yang akan dikenalkan kepadanya. 

"Kamu itu sudah terlambat sekali jika dibandingkan dengan teman-teman sebayamu. Makanya kemarin ibu mau mengenalkan dengan pak Burhan yang sudah punya anak. Untuk mengejar ketertinggalan kamu, karena kamu bisa langsung punya anak kalau nikah sama dia."

"Ternyata kamu malah gak suka dengan gagasan itu ..." Sri menghela napas sejenak sebelum melanjutkan. "Tapi tenang aja, anaknya Lek Soni berbeda dengan Pak Burhan yang berstatus duda. Rio ini masih perjaka tong-tong."

"Soal umur juga masih muda kok. Bahkan dia lebih muda dari kamu. Dia masih umur dua puluh enam tahun. Kata bapakmu tampagnya juga ganteng dan punya kerjaan mapan lho."

"Kurang apa lagi coba? Kamu mau kan untuk ketemu Rio?" Sri mengakhiri dengan nada lebih mendesak.

"Iya deh." Iza menghela napas penjang sebelum akhirnya menjawab pasrah. Jawaban yang langsung bisa membuat ibunya tersenyum sumringah.

"Kalau gitu kamu cepat mandi yang wangi dan berdandan yang cantik. Siapa tahu si Rio nanti akan terpesona dan mau sama kamu." Sri melambaikan tangannya untuk mengusir Iza.

"Ngapain harus berdandan segala, Bu?" Iza tidak setuju dengan uulan ibunya untuk berdandan hanya demi menarik hati pria yang akan dikenalkan kepadanya.

"Mending gaya natural saja, agar dia tahu wajah asli Iza bagaimana."

"Nggak. Kalau gaya natural bangun tidur begitu mana ada yang mau?"

"Ya bukan gaya bangun tidur juga, Bu." Iza tertawa ringan menyadari ketakutan ibunya bahwa dirinya akan menemui sang priadengan gaya polos bangun tidur seperti saat ini.

"Wes talah, pokoke kamu harus tampil cantik. Pakai juga baju dan jilbabmu yang paling bagus!"

Iza sudah hapal betul dengan sifat ibunya sendiri yang keras kepala. Jika sampai sang ibu berkata 'Wes talah' maka tandanya beliau tidak mau lagi untuk didebat. Sehingga sekali lagi Iza memilih untuk mengalah dan mengakhiri pembicaraan.

"Yaudah kalau gitu aku mandi dulu." pamit gadis itu sebelum meninggalkan dapur.

Iza berjalan gontai ke bagian belakang rumah untuk mengambil handuk, dengan pikiran yang terbang kemana-mana. Dia melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Segala pikiran kusut dan rasa frustasi berkelebat di kepalanya, membuat Iza menyandarkan punggungnya di dinding kamar mandi sambil menjerit tanpa suara.

'Apa seorang perawan tua begitu rendah posisinya sehingga tidak berhak untuk memilih?'

'Bukan inginku menjadi perawan tua. Semua sudah takdir yang harus kuterima.'

'Tolong aku ya Allah, kuatkan hatiku dan kirimkan jodoh terbaik sebagai balasan dari kesabaranku ini.'

Selama beberapa waktu Iza hanya merenung tanpa bergegas mandi. Dia membayangkan berbagai kemungkinan yang bisa dia lakukan, apa harus menerima perjodohan atau kabur dan menghindarinya. Akan tetapi Iza bukanlah anak kecil yang suka kabur dari masalah, dia adalah gadis dewasa yang bisa mengatasi segala masalahnya sendiri. Dan untuk masalah perjodohan ini pun dia harus bisa menghadapinya, apapun yang akan terjadi nanti.

'Mungkin kali ini apa yang dikatakan ibu benar, aku harus mencobanya.' Iza pun membulatkan tekadnya. Kemudian mulai melepaskan baju dan membasuh tubuhnya dengan air dingin yang segar.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tambatan Hati Perawan Tua   50. Keluarga Bahagia

    Awal kehamilan Iza ditandai dengan sebuah pagi yang tampak biasa. Matahari baru menembus tirai tipis kamar mereka, sementara Yudi sudah bersiap berangkat lebih awal untuk operasi jadwal pagi. Namun Iza terbangun dengan perasaan aneh: ringan, melayang, tetapi juga mual yang menghantam tiba-tiba. Ia berlari kecil ke kamar mandi, memegang dinding sambil mencoba bernapas dengan teratur. “Za? Kamu baik?” suara Yudi muncul dari luar pintu, cemas. Iza membilas mulutnya, meraih gagang pintu, lalu membuka perlahan. Matanya sedikit berair. “Aku… mual. Tiba-tiba.” Yudi mendekat, menyentuh keningnya dengan punggung tangan. “Kamu demam?” Iza menggeleng. Tapi pandangan Yudi berubah—serius, tajam, seperti puzzle besar baru saja klik di kepalanya. “Kita tes,” katanya tegas. “Apa sekarang? Mas, kamu kan—” “Aku terlambat 10 menit lebih baik daripada terlambat memahami tanda paling penting dalam hidup kita,” potong Yudi. Dan begitulah, lima belas menit kemudian, mereka berdua duduk di tepi bath

  • Tambatan Hati Perawan Tua   49. Penantian Buah Hati

    Musim hujan baru saja tiba ketika Yudi dan Iza memasuki bulan keempat kehidupan rumah tangga mereka. Rumah itu kini dipenuhi aroma kayu manis setiap pagi, perpaduan dari diffuser yang disukai Iza dan kopi hitam yang selalu diseduh Yudi. Rutinitas mereka mulai stabil, penuh kompromi kecil dan tawa hangat. Suatu malam, setelah makan malam sederhana dan sesi menonton drama Korea yang selalu membuat Yudi protes tetapi tetap ditonton, Iza meletakkan kepala di pangkuan suaminya. “Mas,” bisiknya sambil menggambar lingkaran di lengan Yudi dengan jarinya. “Aku pengin ngomong sesuatu.” Yudi menghentikan dramanya, langsung fokus. “Apa?” Iza menarik napas panjang. “Aku… pengin kita mulai program punya anak.” Yudi menatapnya, tidak terkejut—lebih seperti seseorang yang sudah memikirkan hal itu sendiri. Ia mengusap rambut Iza perlahan. “Aku juga sudah mempertimbangkan,” ucap Yudi datar namun lembut. “Kalau kamu siap, kita bisa memulai.” Iza tersenyum bahagia, melingkarkan tangan di pinggang

  • Tambatan Hati Perawan Tua   48. Awal Kehidupan Rumah Tangga

    Rumah baru mereka berada di sudut kompleks mewah yang tenang—teduh oleh pepohonan besar dan jauh dari hiruk pikuk kota. Dari luar, bangunannya terlihat modern dan rapi, tapi begitu masuk ke dalam, suasananya langsung terasa hangat. Furnitur yang dipilih Bu Lastri dengan teliti berpadu dengan sentuhan kecil Iza yang lebih lembut dan natural. Mereka baru kembali dari bulan madu dua hari lalu, dan sekarang aroma rumah seperti memulai kisah baru yang menunggu dituliskan. Iza berdiri di dapur, memandangi rak bumbu dan panci-panci baru yang masih mengkilap. Semua ini terasa… resmi. Bukan lagi tamu, bukan lagi calon istri—ia sekarang adalah Nyonya Yudi, penghuni tetap rumah ini. Sementara itu, Yudi sedang menata berkas-berkas kerjanya di ruang kerja kecil di lantai dua. Bahkan di hari libur pertamanya setelah menikah, ia masih menata “workflow” untuk minggu depan. Kebiasaan lama yang sulit hilang. “Iza,” panggil Yudi dari tangga. “Mas mau kopi.” Iza tertawa kecil, memutar bola mata. “Bar

  • Tambatan Hati Perawan Tua   47. Bulan Madu

    Resort tepi pantai itu tampak seperti mimpi yang dibuat dari cahaya matahari dan suara ombak. Ketika mobil pengantar memasuki gerbang utama, Iza menatap pemandangan di luar jendela dengan mata berbinar. Hamparan laut biru kehijauan, pasir emas yang berkilau, dan pepohonan kelapa yang menari pelan ditiup angin. Yudi, yang duduk di sampingnya, menatap kepuasan di wajah istrinya dengan tersenyum. “Sepertinya kamu suka tempat ini,” komentarnya. Iza tidak menjawab. Ia terlalu terpukau. Baru setelah beberapa detik, ia menoleh dan tersenyum lembut. “Mas… ini indah sekali.” “Sama seperti kamu,” jawab Yudi datar, seakan itu adalah fakta ilmiah yang tak perlu diperdebatkan. "Kamu juga indah sekali." Wajah Iza memerah, dan Yudi tampak puas dengan efek kecil itu. Resort itu menyediakan private villa khusus bagi pasangan yang baru menikah. Villa mereka terletak tepat di pinggir pantai, dengan teras kayu yang menghadap laut luas dan kolam kecil pribadi yang memantulkan cahaya matahari sore yan

  • Tambatan Hati Perawan Tua   46. Deklarasi Kebahagiaan

    Empat bulan terasa seperti empat tahun bagi Iza. Setiap pagi yang ia lalui tanpa kehadiran Yudi terasa hampa, tetapi setiap malam, ketika panggilan video tepat pukul 21.00 WIB masuk, ia kembali merasa lengkap. Mereka menjalani hubungan jarak jauh bukan dengan rayuan atau kata-kata romantis setiap jam, tetapi dengan struktur—sesuatu yang sangat mencerminkan Yudi. Spreadsheet perencanaan pernikahan yang Yudi buat menjadi pegangan Iza selama empat bulan itu: kolom warna-warni, checklist, timeline, jadwal pembayaran DP vendor, dan estimasi anggaran. Semuanya sangat rinci. Bahkan Bu Lastri—yang terkenal perfeksionis dalam urusan acara keluarga—mengakui bahwa spreadsheet itu selevel wedding organizer profesional. Sementara di Singapura, Yudi bekerja dengan ritme yang hampir mekanis. Uji klinis, presentasi riset, evaluasi laboratorium, dan laporan akademik. Tetapi apa pun yang ia hadapi, panggilan video malam adalah hal yang tid

  • Tambatan Hati Perawan Tua   46. Akad Nikah

    Minggu pagi itu, udara terasa sejuk dan damai. Matahari belum sepenuhnya meninggi, sinarnya masih lembut, menembus sela-sela pepohonan mahoni di halaman masjid kecil itu. Burung-burung gereja berkicau pelan, seakan ikut menyambut hari sakral yang akan menjadi penanda awal sebuah kehidupan baru. Tidak ada hiruk pikuk dekorasi besar, tidak ada panggung megah atau gemerlap lampu seperti yang sering muncul di pesta pernikahan kota besar. Sesuai keinginan Iza dan Yudi, akad nikah ini diselenggarakan secara sederhana, intim, dan penuh kekhidmatan—hanya dihadiri oleh keluarga inti dari kedua belah pihak, tidak lebih dari lima puluh orang. Bagi mereka, esensi pernikahan terletak pada doa, restu, dan kehadiran orang-orang yang benar-benar berarti. Iza duduk di ruang tunggu pengantin wanita, ditemani Ibu Sri. Ruangan kecil itu harum oleh wangi melati dan jasmine tea yang disiapkan panitia masjid. Iza mengenakan kebaya putih tulang yang lembut, dihiasi motif bunga kecil yang dijahit dengan tang

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status