Sang surya masih garang menebarkan sinarnya pada suatu sore. Menciptakan suasana panas yang bahkan mampu menembus tembok kubus kamar Iza. Kipas angin yang menempel di dinding kamar pun tak mampu menghadirkan udara sejuk. Malah meniupkan udarah panas yang terus diputar oleh baling-balingnya.
Suasana gerah itu membuat gadis perawan pemilik kamar terbangun dari tidurnya dengan bermandikan keringat. Iza melirik jam dinding yang berbentuk micky mouse. Jarum jam dinding menunjukkan pukul setengah lima sore."Wah nyenyak juga tidurku," Iza menguap dan menggeliatkan badan.Iza merasa kelelahan setelah berjaga maraton dari shift malam yang berlanjut ke Sift pagi di rumah sakit. Bayangkan saja, dia harus berjaga dan berkonsentrasi penuh mulai jam sembilan malam kemarin sampai dengan tadi siang jam dua."Jangan tanya lagi gimana capek, jenuh dan ngantuknya ... Capek banget!" Iza menggumamkan gerutuan di bibirnya yang mungil.Sepulang dari rumah sakit tadi Iza langsung mandi dan membersihkan diri dari aroma rumah sakit yang melekat di tubuhnya. Iza kemudian memakai daster favorit dan langsung tenggelam dalam lautan pulau kapuk yang empuk dan nyaman. Tidur dan beristirahat sampai merasakan badannya lebih fit dan kembali segar lagi."Akhirnya bangun juga kamu, Za?" sebuah sapaan menyambut Iza putri keluar dari kamarnya. Sapaan yang berasal dari Sri, ibu Iza."Enggih, Bu." Iza menjawab, sambil menghampiri sang ibu yang sedang berkutat di dapur."Ada acara apa hari ini, Bu? Kok banyak banget masaknya?" lanjut Iza bertanya. Heran arena melihat menu makanan yang sedang dimasak oleh ibunya lebih banyak daripada bisanya."Nanti akan ada Lek Soni dan anak istrinya mau main ke sini, Nduk." Sri menjawab sambil terus berkutat menumis bumbu di atas wajan."Lek Soni yang mana sih?" tanya Iza menyelidik. Firasatnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang terasa mencurigakan."Lek Soni itu saudara jauhnya bapakmu dari desa sebelah, Nduk. Yang anaknya Mbah Mina, sepupunya alharhumah nenekmu dulu." Sri menjelaskan dengan detail."Owalah." Iza pun menjawab dengan anggukan, meskipun tidak dapat mengetahui yang mana Soni ataupun silsilah keluarga ayahnya. Gadis itu pun beralih ke meja untuk menuang air putih ke gelas."Lek Soni itu punya anak laki-laki, namanya Rio. Katanya si Rio itu kepengen kenalan sama kamu, Za." Sri menambahkan dengan nada hati-hati."Oooh ya?" Iza bertanya sambil lalu. Dia tidak terlalu kaget mendengan penjelasan sang ibu. Karena ecurigaanya ternyata benar-benar tepat terjadi. Apalagi kalau bukan perjodohan lagi?"Katanya kamu minta dicarikan calon? Yowes ibu dan bapakmu akhirnya nyariin buat kamu ini."Iza tidak memberikan respons kali ini, hanya mampu membatin dalam hati, 'Mati aku! Kenapa bisa secepat ini sih?'. Dia tidak menyangka hanya dalam dua Minggu saja kedua orang tuanya bisa mendapatkan kandidat calon suami untuknya."Kok diem aja? Kenapa lagi? Kamu belum punya pacar kan?" Sang ibu bertanya menyelidik. Merasa heran dengan sikap diam Iza."Belum lah, Buk." Iza buru-buru menjawab kecurigaan ibunya."Berarti gak masalah toh, untuk kenalan dengan anaknya Lek Soni? Sapa tahu kali ini jodoh?" Desak Sri yang sekali pagi dibalas dengan aksi bungkam oleh putrinya."Dicoba dulu saja, jangan pilih-pilih lagi. Ingat usiamu sudah tiga puluh tiga tahun, sudah tua."Iza semakin bungkam mendengar ucapan ibunya yang setajam belati. Tak ingin semakin sakit hati dengan melakukan pembelasn diri yang pasti akan berakhir percuma. Dan Iza harus menyesali keputusannya untuk berdiam diri, karena Sri malah melanjutkan untuk berbicara. untuk mempromosikan pria yang akan dikenalkan kepadanya."Kamu itu sudah terlambat sekali jika dibandingkan dengan teman-teman sebayamu. Makanya kemarin ibu mau mengenalkan dengan pak Burhan yang sudah punya anak. Untuk mengejar ketertinggalan kamu, karena kamu bisa langsung punya anak kalau nikah sama dia."
"Ternyata kamu malah gak suka dengan gagasan itu ..." Sri menghela napas sejenak sebelum melanjutkan. "Tapi tenang aja, anaknya Lek Soni berbeda dengan Pak Burhan yang berstatus duda. Rio ini masih perjaka tong-tong."
"Soal umur juga masih muda kok. Bahkan dia lebih muda dari kamu. Dia masih umur dua puluh enam tahun. Kata bapakmu tampagnya juga ganteng dan punya kerjaan mapan lho."
"Kurang apa lagi coba? Kamu mau kan untuk ketemu Rio?" Sri mengakhiri dengan nada lebih mendesak.
"Iya deh." Iza menghela napas penjang sebelum akhirnya menjawab pasrah. Jawaban yang langsung bisa membuat ibunya tersenyum sumringah."Kalau gitu kamu cepat mandi yang wangi dan berdandan yang cantik. Siapa tahu si Rio nanti akan terpesona dan mau sama kamu." Sri melambaikan tangannya untuk mengusir Iza.
"Ngapain harus berdandan segala, Bu?" Iza tidak setuju dengan uulan ibunya untuk berdandan hanya demi menarik hati pria yang akan dikenalkan kepadanya.
"Mending gaya natural saja, agar dia tahu wajah asli Iza bagaimana."
"Nggak. Kalau gaya natural bangun tidur begitu mana ada yang mau?"
"Ya bukan gaya bangun tidur juga, Bu." Iza tertawa ringan menyadari ketakutan ibunya bahwa dirinya akan menemui sang priadengan gaya polos bangun tidur seperti saat ini.
"Wes talah, pokoke kamu harus tampil cantik. Pakai juga baju dan jilbabmu yang paling bagus!"
Iza sudah hapal betul dengan sifat ibunya sendiri yang keras kepala. Jika sampai sang ibu berkata 'Wes talah' maka tandanya beliau tidak mau lagi untuk didebat. Sehingga sekali lagi Iza memilih untuk mengalah dan mengakhiri pembicaraan.
"Yaudah kalau gitu aku mandi dulu." pamit gadis itu sebelum meninggalkan dapur.
Iza berjalan gontai ke bagian belakang rumah untuk mengambil handuk, dengan pikiran yang terbang kemana-mana. Dia melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Segala pikiran kusut dan rasa frustasi berkelebat di kepalanya, membuat Iza menyandarkan punggungnya di dinding kamar mandi sambil menjerit tanpa suara.
'Apa seorang perawan tua begitu rendah posisinya sehingga tidak berhak untuk memilih?''Bukan inginku menjadi perawan tua. Semua sudah takdir yang harus kuterima.''Tolong aku ya Allah, kuatkan hatiku dan kirimkan jodoh terbaik sebagai balasan dari kesabaranku ini.'
Selama beberapa waktu Iza hanya merenung tanpa bergegas mandi. Dia membayangkan berbagai kemungkinan yang bisa dia lakukan, apa harus menerima perjodohan atau kabur dan menghindarinya. Akan tetapi Iza bukanlah anak kecil yang suka kabur dari masalah, dia adalah gadis dewasa yang bisa mengatasi segala masalahnya sendiri. Dan untuk masalah perjodohan ini pun dia harus bisa menghadapinya, apapun yang akan terjadi nanti.
'Mungkin kali ini apa yang dikatakan ibu benar, aku harus mencobanya.' Iza pun membulatkan tekadnya. Kemudian mulai melepaskan baju dan membasuh tubuhnya dengan air dingin yang segar.
Sekitar jam tujuh malam, tamu yang ditunggu akhirnya tiba di kediaman keluarga Iza. Para tamu itu sudah dipersilahkan untuk singgah di ruang tamu. Lek Soni bersama dengan istri dan seorang pria muda, yang pasti adalah Rio, anak laki-laki mereka.Yono, ayah Iza yang pertama menyambut mereka di ruang tamu. Untuk beramah tamah sebentar sebelum memanggil istri dan anaknya untuk bergabung bersama mereka."Bagaimana kabar semuanya? Sudah lama ya tidak pernah ketemu seperti ini? Wes pirang tahun Bu-ne? Sampai lupa kalau punya saudara jauh." Yono memulai ramah tamah."Iya ya, sudah lama sekali." Sri ikut menambahi ucapan sang suami. "Ini Mas Rio yang masih kecil dulu itu yah? Wah sudah gede dan ganteng sekarang.""Nggeh, Bu De." Rio menjawab canggung pujian dari Sri."Waktu ketemu dulu kan kalian masih kecil-kecil. Kalau begitu, sebaiknya kenalan lagi. Mas Rio, perkenalkan ini Iza anaknya Pak De." Yono memfokuskan perkenalan kepada kedua anak muda yang akan dijodohkan, Rio dan Iza. Karena ked
"Saya tidak keberatan dengan wacana untuk mempererat hubungan silaturahmi antara kedua keluarga ini. Akan tetapi Iza dan Rio kan baru saja berkenalan.""Jadi saya rasa akan lebih baik jika mereka bisa lebih saling mengenal, satu sama lainnya lebih baik lagi." Yono memberikan jawaban yang netral.Iza menghela napas lega mendengar ucapan sang ayah. Tidak seperti Sri, Yono memang lebih adem dan tidak pernah terang-terangan memaksa Iza untuk cepat-cepat menikah. Beliau lebih memahami bahwa urusan jodoh dan rejeki murni terletak di tangan Tuhan."Sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan segala sesuatu semau kita. Biarkan anak-anak sendiri yang nanti membuat keputusan untuk kehidupan mereka. Karena semua akan berpengaruh pada masa depan mereka sendiri.""Saya percaya bahwa Iza dan Rio sudah sama-sama dewasa. Jadi mereka dapat mempertanggung jawabkan keputusan masing-masing." Yono menekankan ucapannya. Untuk memberi kebebasan sepenuhnya kepada Iza dan Rio."Benar sekali Mas Yono. Saya j
"Dokter Yudi itu idaman banyak wanita waktu jaman mahasiswa dulu, Mbak. Orangnya kan cool banget, selalu bikin penasaran siapa saja yang dekat dengannya." Ucapan dokter Eka terngiang di kepala Iza. Eka juga sedikit bercerita kepada Iza tentang Yudi yang sudah dikenalnya sejak beberapa tahun yang lalu. Kedua dokter itu memang belajar di kampus yang sama waktu masa pendidikan dokter. Selanjutnya tak perlu waktu bagi Iza untuk membuktikan kebenaran dari perkataan dokter Eka. Selama seminggu menggantikan shift jaga dokter Ceicillia, dokter Yudi tidak banyak bergaul dengan para perawat atau pegawai rumah sakit lain. Dia hanya berbicara seperlunya saja, saat pelayanan pasien atau memberikan advice tindakan kepada para tenaga medis lainnya.'Dia benar-benar orang yang diam-diam menghanyutkan.' Iza membatin sambil menatap dari jauh sang dokter. Yudi yang sedang duduk di kursi dokter jaga. Dia berkutat dengan buku tebal tentang kedokteran yang selalu dibawanya dan dibaca saat ada waktu luang
Sebuah mikrolet menepi dengan mulus di sebuah jalan pedesaan, kemudian berhenti selama beberapa menit untuk menunggu salah satu penumpangnya turun. Seorang gadis berjilbab yang mengenakan setelan seragam berwarna hijau dari sebuah rumah sakit swasta, tak lama kemudian turun dari mikrolet itu. Sebelum kendaraan umum beroda empat itu kembali melaju membelah aspal jalanan untuk mengantarkan penumpangnya yang lain. Gadis yang baru turun dari mikrolet itu adalah Iza, Oriza Sativa. Gadis itu berjalan perlahan dari arah jalan raya ke kompleks perumahan padat penduduk. Langkah kaki Iza terhenti tepat di depan gang rumahnya sendiri. Padahal hanya perlu sekitar lima puluhan meter lagi jarak yang harus ditepuhnya untuk sampai ke rumah dari posisinya saat ini. Namun Iza harus melewati cobaan berat menghadang. Kerumunan ibu-ibu kompleks sedang berkumpul di sebuah gardu siskamling "Huuuuuh ..." Iza menghela napas panjang untuk menguatkan hatinya sebelum melanjutkan langkah melewati kerumunan itu.
Butiran-butiran air turun dari langit malam yang gelap. Sebagian jatuh ke pepohonan yang menyambut dengan riang gembira, sebagian jatuh ke genting-genting yang menjadi bersih dari debu. Sebagian lainnya jatuh ke tanah atau berakhir di saluran pembuangan dan sungai.Iza mengamati tetesan air yang membentuk salur-salur tak beraturan di jendela kaca depan instalasi gawat darurat. Suasana yang dingin dan syahdu di malam hujan membuat waktu shift sore terasa lebih lama. Membuat Iza bersama Rani dan dokter Eka yang sedang berjaga di bagian gawat darurat rumah sakit Harapan Sehat menjadi bosan.Kesunyian malam itu dipecahkan oleh bunyi sebuah nada dering dari sebuah ponsel. Ketiga para medis itu pun kompak mencari-cari sumber suara yang ternyata berasal dari ponsel milik dokter Eka. Sang dokter pun segera mengangkat dan menerima panggilan di ponselnya."Aduh gimana ya, Mbak ... Jemputanku sudah datang nih di depan." Eka berkata dengan sungkan kepada Iza dan Rani beberapa saat kemudian, sete