Masuk"Saya tidak keberatan dengan wacana untuk mempererat hubungan silaturahmi antara kedua keluarga ini. Akan tetapi Iza dan Rio kan baru saja berkenalan."
"Jadi saya rasa akan lebih baik jika mereka bisa lebih saling mengenal, satu sama lainnya lebih baik lagi." Yono memberikan jawaban yang netral.
Iza menghela napas lega mendengar ucapan sang ayah. Tidak seperti Sri, Yono memang lebih adem dan tidak pernah terang-terangan memaksa Iza untuk cepat-cepat menikah. Beliau lebih memahami bahwa urusan jodoh dan rejeki murni terletak di tangan Tuhan.
"Sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan segala sesuatu semau kita. Biarkan anak-anak sendiri yang nanti membuat keputusan untuk kehidupan mereka. Karena semua akan berpengaruh pada masa depan mereka sendiri."
"Saya percaya bahwa Iza dan Rio sudah sama-sama dewasa. Jadi mereka dapat mempertanggung jawabkan keputusan masing-masing." Yono menekankan ucapannya. Untuk memberi kebebasan sepenuhnya kepada Iza dan Rio.
"Benar sekali Mas Yono. Saya juga sangat setuju dengan pemikiran itu. Tidak boleh ada unsur paksaan dalam hubungan dua orang manusia. Harus ada keikhlasan dan penerimaan dari kedua belah pihak." Soni dengan bijaksana juga menyetujui dan menghargai keputusan Yono.
Terjadi kebisuan selama beberapa saat setelah pembicaraan yang terasa berat itu. Sampai Sri, sebagai nyonya rumah kembali menawarkan beberapa menu makanan di meja. "Lho kok makanannya masih utuh? Ayo dicicipin semuanya hidangan ala kadarnya dari kami."
"Monggo-monggo! Silahkan!" Yono ikut menawarkan, bahkan juga menyodorkan sepiring ayam panggang ke arah tamunya.
Pada akhirnya kedua keluarga itu pun melanjutkan makan malam mereka. Suasana terasa hangat tanpa adanya topik yang terlalu berat lagi. Hanya ada obrolan santai yang sesekali dilanyangkan. Barulah setelah makan malam, Iza dan Rio diberi kesempatan untuk mengobrol berduaan di ruang tamu. Sementara para orang tua mereka melanjutkan ramah tamah di ruang makan sambil menonton Televisi.
"Kalau boleh tahu usia kamu berapa?" Iza bertanya to the point kepada pria yang duduk di hadapannya.
"Ehhm ... Aku tahun ini dua puluh enam tahun." Rio menjawab dengan senyuman manis yang menampakkan lesung di salah satu pipinya.
'Astaga! Dua puluh enam tahun? Itu artinya dia lebih muda tujuh tahun dariku?' Iza semakin tidak tenang mengetahui selisih usianya dengan Rio yang terlalu jauh. Dia memang sudah mengira bahwa usia Rio lebih mudah darinya, tapi tidak menyangka kalau sejauh itu.
'Masa aku harus nikah sama brondong?'
"Kenapa, Mbak?" Rio balik bertanya, dapat menangkap perubahan rona wajah Iza.
"Nggak kok. Kamu masih muda, kenapa mau saja dijodohkan begini sama orang tua?" Lagi-lagi Iza bertanya dengan tanpa tedeng aling-aling.
"Hahaha, masih muda? Teman sebayaku sudah banyak yang nikah dan punya anak, Mbak."
"Tapi yang belum nikah juga banyak kan? Yang masih sibuk mengejar karir?"
"Ehmm iya juga sih ..."
Iza dapat menangkap kebingungan dari nada bicara Rio. Dia pun memanfaatkan kesempatan itu untuk berkata, "Kalau begitu sebaiknya kamu mencari perempuan yang sama mudanya dengan kamu."
"Sama mudanya? Mbak Iza kan juga masih muda?" Rio malah tertawa mendengar ucapan gadis berhijab pink di hadapannya.
Iza menghela napas panjang mendengan jawaban Rio. Mungkin kedua orang tua pria itu tidak memberi tahukan bahwa akan dijodohkan dengan seorang 'perawan tua'.
"Aku sudah tua. Usiaku bahkan tujuh tahun di atas kamu." Iza membuat pernyataan tegas.
Rio tertegun untuk sesaat setelah mendengar ucapan Iza. Kedua matanya melebar dan mulutnya sedikit terbuka. Butuh beberapa detik sebelum tersadar dan mulai memindai gadis di hadapannya dari ujung kepala sampai kaki.
Gadis yang mengenakan gamis berwarna nude dipadukan jilbab berwarna pink itu memiliki perawakan tubuh yang kecil dan langsing. Wajahnya bersih dan enak untuk dilihat, bahkan segar dan energik, tidak seperti wanita tiga puluhan yang biasanya terkesan lebih dewasa.
"Beneran tiga puluh tiga?" Rio kembali bertanya memastikan dalam bentuk gumam tidak percaya.
Iza hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.
"Kok gak kelihatan ya, Mbak Iza masih cantik kayak berusia dua puluhan?" Rio kembali menimpali.
"Tapi umur tidak bisa bohong. Walaupun aku terlihat muda tapi tetap saja aku jauh lebih tua dari kamu. Anggap saja kamu masih duduk di bangku TK dan aku sudah SMP. Sejauh itu selisihnya ..."
Iza berhenti sejenak untuk mengamati perubahan mimik wajah Rio. Mungkin dengan mengetahui kenyataan ini, pria itu akan mundur teratur dan tidak mau meneruskan perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua mereka ini. Namun ternyata apa yang diperkirakan Iza salah. Bukannya terlihat kecewa atau ingin menyerah, Rio malah menyunggingkan senyum simpul di bibirnya.
"Terus kenapa?"
"Haaah? Kok malah kenapa? Apa kamu mau dijodohkan dengan perawan tua?" Iza menelan ludah beberapa kali saat mengucapkan kata sepahit sembilu itu, 'perawan tua'.
"Tidak masalah. Yang penting aku suka." Rio menjawab dengan mantap. "Dan aku sekarang jadi semakin penasaran sama kamu. Aku suka dengan gadis yang sudah berani berkata jujur."
Iza mengerutkan kening demi mendengar ucapan Rio dan membatin. 'Dasar anak muda, dia pasti tidak banyak berpikir. Hanya menuruti hawa nafsu semata.'
"Sebelum semuanya menjadi semakin jauh, sebaiknya kita akhiri saja wacana perjodohan aneh ini."
Iza mencoba untuk bernegosiasi dengan Rio. Karena jika dirinya yang meminta membatalkan, pasti akan dikira pilih-pilih lagi. oleh ibunya Berbeda dengan jika Rio yang melakukan hal itu, dengan memakai dalih usia atau apapun juga.
'Karena laki-laki menang dalam memilih. Sedangkan perempuan menang dalam menolak.'
"Kok begitu? Kita bahkan belum mencoba untuk saling mengenal satu sama lain." Rio menolak mentah-mentah usulan Iza.
"Kasih aku kesempatan dulu, Mbak. Siapa tahu nanti kita bisa menemukan kecocokan?"
Iza terdiam tanpa memberikan jawaban. Hanya menilai penampilan pria bertubuh kekar di hadapannya. Masih merasa tidak tenang dan curiga. Bagiamana pria muda berusia dua puluh enam tahun mau untuk dijodohkan dengan dirinya? Padahal dia memiliki wajah yang lumayan, tubuh atletis dan pekerjaan yang cukup keren.
'Bukankah dengan semua itu dia gampang untuk mendapatkan banyak wanita?'
"Aku suka sama kamu, Mbak." Rio mencoba untuk meyakinkan Iza. Perkataan yang membuat gadis itu semakin mengerutkan kening heran.
'Bagaimana dia bisa mengatakan suka semudah itu? Apakah dia pria buaya?'
"Dan satu lagi kamu adalah wanita pilihan ibu dan bapakku. Jadi sudah dipastikan kalau kamu adalah wanita yang baik." Rio mencoba untuk memberi alasan yang masuk akal.
"Paling tidak kalau sama kamu, restu sudah dikatongi kan? Gak perlu usaha lagi." Pria itu mengakhiri ucapannya dengan sebuah kekehan kecil.
Iza masih merasa tidak tenang dengan alasan yang dikemukakan Rio. Alasan yang terdengar manis, namun Iza yang sudah kenyang dengan pahitnya dunia tentu tidak akan tegoda. Otaknya yang rasional tidak dapat menerima hal-hal yang diluar logika seperti ini.
"Begini saja deh ..." Rio mengalihkan pandangan untuk dapat langsung berhadapan dan menatap mata Iza. Seolah ingin menunjukkan tekad dan keseriusannya. "Bagaimana kalau kita jalani dulu? Mungkin kita bisa pacaran dulu? Kalau cocok lanjut, kalau nggak kita bisa mengakhiri hubungan ini?"
"Tapi tidak akan segampang itu." Iza tidak ingin memupuk harapan-harapan palsu. Dia sudah lelah dengan semua keadaan ini. Yang dia inginkan hanyalah seorang pria yang serius untuk berkomitmen dengannya. Bukan hanya untuk sekedar berpacaran.
"Kita tidak akan tahu sebelum mencoba. Kasih aku kesempatan ya, Mbak Iza ..." Rio mencoba meraih tangan Iza, namu gadis itu mengelaknya.
"Maaf kita bukan muhrim."
"Maaf ... Tapi aku serius dengan ucapanku, Mbak. Dan akan aku buktikan sama kamu agar kamu percaya."
"Ya sudah, terserah kamu aja." Iza pun akhirnya mencoba untuk menerima keadaan. Dan Rio langsung terlihat sumringah mendengar keputusan itu.
"Makasih, Mbak Iza!" Ujar Rio sambil memberikan love sign dengan menautkan jemari jempol dan telunjuknya.
Iza mengerutkan dahi melihat tingkah pria itu. 'Dasar bocah penebar pesona. Entah berapa banyak wanita yang sudah jatuh dalam rayuan manisnya?'
Awal kehamilan Iza ditandai dengan sebuah pagi yang tampak biasa. Matahari baru menembus tirai tipis kamar mereka, sementara Yudi sudah bersiap berangkat lebih awal untuk operasi jadwal pagi. Namun Iza terbangun dengan perasaan aneh: ringan, melayang, tetapi juga mual yang menghantam tiba-tiba. Ia berlari kecil ke kamar mandi, memegang dinding sambil mencoba bernapas dengan teratur. “Za? Kamu baik?” suara Yudi muncul dari luar pintu, cemas. Iza membilas mulutnya, meraih gagang pintu, lalu membuka perlahan. Matanya sedikit berair. “Aku… mual. Tiba-tiba.” Yudi mendekat, menyentuh keningnya dengan punggung tangan. “Kamu demam?” Iza menggeleng. Tapi pandangan Yudi berubah—serius, tajam, seperti puzzle besar baru saja klik di kepalanya. “Kita tes,” katanya tegas. “Apa sekarang? Mas, kamu kan—” “Aku terlambat 10 menit lebih baik daripada terlambat memahami tanda paling penting dalam hidup kita,” potong Yudi. Dan begitulah, lima belas menit kemudian, mereka berdua duduk di tepi bath
Musim hujan baru saja tiba ketika Yudi dan Iza memasuki bulan keempat kehidupan rumah tangga mereka. Rumah itu kini dipenuhi aroma kayu manis setiap pagi, perpaduan dari diffuser yang disukai Iza dan kopi hitam yang selalu diseduh Yudi. Rutinitas mereka mulai stabil, penuh kompromi kecil dan tawa hangat. Suatu malam, setelah makan malam sederhana dan sesi menonton drama Korea yang selalu membuat Yudi protes tetapi tetap ditonton, Iza meletakkan kepala di pangkuan suaminya. “Mas,” bisiknya sambil menggambar lingkaran di lengan Yudi dengan jarinya. “Aku pengin ngomong sesuatu.” Yudi menghentikan dramanya, langsung fokus. “Apa?” Iza menarik napas panjang. “Aku… pengin kita mulai program punya anak.” Yudi menatapnya, tidak terkejut—lebih seperti seseorang yang sudah memikirkan hal itu sendiri. Ia mengusap rambut Iza perlahan. “Aku juga sudah mempertimbangkan,” ucap Yudi datar namun lembut. “Kalau kamu siap, kita bisa memulai.” Iza tersenyum bahagia, melingkarkan tangan di pinggang
Rumah baru mereka berada di sudut kompleks mewah yang tenang—teduh oleh pepohonan besar dan jauh dari hiruk pikuk kota. Dari luar, bangunannya terlihat modern dan rapi, tapi begitu masuk ke dalam, suasananya langsung terasa hangat. Furnitur yang dipilih Bu Lastri dengan teliti berpadu dengan sentuhan kecil Iza yang lebih lembut dan natural. Mereka baru kembali dari bulan madu dua hari lalu, dan sekarang aroma rumah seperti memulai kisah baru yang menunggu dituliskan. Iza berdiri di dapur, memandangi rak bumbu dan panci-panci baru yang masih mengkilap. Semua ini terasa… resmi. Bukan lagi tamu, bukan lagi calon istri—ia sekarang adalah Nyonya Yudi, penghuni tetap rumah ini. Sementara itu, Yudi sedang menata berkas-berkas kerjanya di ruang kerja kecil di lantai dua. Bahkan di hari libur pertamanya setelah menikah, ia masih menata “workflow” untuk minggu depan. Kebiasaan lama yang sulit hilang. “Iza,” panggil Yudi dari tangga. “Mas mau kopi.” Iza tertawa kecil, memutar bola mata. “Bar
Resort tepi pantai itu tampak seperti mimpi yang dibuat dari cahaya matahari dan suara ombak. Ketika mobil pengantar memasuki gerbang utama, Iza menatap pemandangan di luar jendela dengan mata berbinar. Hamparan laut biru kehijauan, pasir emas yang berkilau, dan pepohonan kelapa yang menari pelan ditiup angin. Yudi, yang duduk di sampingnya, menatap kepuasan di wajah istrinya dengan tersenyum. “Sepertinya kamu suka tempat ini,” komentarnya. Iza tidak menjawab. Ia terlalu terpukau. Baru setelah beberapa detik, ia menoleh dan tersenyum lembut. “Mas… ini indah sekali.” “Sama seperti kamu,” jawab Yudi datar, seakan itu adalah fakta ilmiah yang tak perlu diperdebatkan. "Kamu juga indah sekali." Wajah Iza memerah, dan Yudi tampak puas dengan efek kecil itu. Resort itu menyediakan private villa khusus bagi pasangan yang baru menikah. Villa mereka terletak tepat di pinggir pantai, dengan teras kayu yang menghadap laut luas dan kolam kecil pribadi yang memantulkan cahaya matahari sore yan
Empat bulan terasa seperti empat tahun bagi Iza. Setiap pagi yang ia lalui tanpa kehadiran Yudi terasa hampa, tetapi setiap malam, ketika panggilan video tepat pukul 21.00 WIB masuk, ia kembali merasa lengkap. Mereka menjalani hubungan jarak jauh bukan dengan rayuan atau kata-kata romantis setiap jam, tetapi dengan struktur—sesuatu yang sangat mencerminkan Yudi. Spreadsheet perencanaan pernikahan yang Yudi buat menjadi pegangan Iza selama empat bulan itu: kolom warna-warni, checklist, timeline, jadwal pembayaran DP vendor, dan estimasi anggaran. Semuanya sangat rinci. Bahkan Bu Lastri—yang terkenal perfeksionis dalam urusan acara keluarga—mengakui bahwa spreadsheet itu selevel wedding organizer profesional. Sementara di Singapura, Yudi bekerja dengan ritme yang hampir mekanis. Uji klinis, presentasi riset, evaluasi laboratorium, dan laporan akademik. Tetapi apa pun yang ia hadapi, panggilan video malam adalah hal yang tid
Minggu pagi itu, udara terasa sejuk dan damai. Matahari belum sepenuhnya meninggi, sinarnya masih lembut, menembus sela-sela pepohonan mahoni di halaman masjid kecil itu. Burung-burung gereja berkicau pelan, seakan ikut menyambut hari sakral yang akan menjadi penanda awal sebuah kehidupan baru. Tidak ada hiruk pikuk dekorasi besar, tidak ada panggung megah atau gemerlap lampu seperti yang sering muncul di pesta pernikahan kota besar. Sesuai keinginan Iza dan Yudi, akad nikah ini diselenggarakan secara sederhana, intim, dan penuh kekhidmatan—hanya dihadiri oleh keluarga inti dari kedua belah pihak, tidak lebih dari lima puluh orang. Bagi mereka, esensi pernikahan terletak pada doa, restu, dan kehadiran orang-orang yang benar-benar berarti. Iza duduk di ruang tunggu pengantin wanita, ditemani Ibu Sri. Ruangan kecil itu harum oleh wangi melati dan jasmine tea yang disiapkan panitia masjid. Iza mengenakan kebaya putih tulang yang lembut, dihiasi motif bunga kecil yang dijahit dengan tang







