Share

Kutukan yang Bangkit

Author: Kelaras ijo
last update Last Updated: 2025-04-12 15:31:23

Sudah tiga hari sejak Reza kembali dari tempat itu—dari dunia di balik cermin yang tak semestinya dijamah manusia. Tubuhnya masih terasa lemas, tapi pikirannya jauh lebih berat. Ia terus teringat sosok makhluk bersisik itu... dan suara-suara yang masih terngiang meski ia sudah terbangun.

Namun yang paling mengganggunya adalah desa. Segalanya tidak lagi sama.

Burung-burung tak berkicau di pagi hari. Embun yang biasanya menyejukkan kini terasa berat, seperti air dari sumur yang tak pernah disentuh cahaya. Anak-anak berhenti bermain di dekat rawa. Bahkan para tetua, yang biasa duduk di gardu sambil mengunyah sirih, kini hanya berdiam diri, menatap kosong ke arah bukit kecil tempat pohon beringin kembar itu tumbuh.

Dan malam pertama setelah ritual...

Langit desa berubah menjadi merah darah.

---

“Za, kamu harus datang ke rumahku,” suara Bu Darmi gemetar di ujung telepon.

Reza melangkah cepat ke rumah wanita tua itu. Begitu tiba, ia mencium bau amis yang sangat kuat—seperti darah busuk bercampur lumpur rawa.

“Lihat ini,” kata Bu Darmi sambil menunjuk dinding belakang rumahnya.

Ada cakar hitam tercetak di tembok. Lima jari panjang, dengan bekas luka seperti dibakar.

“Ini bukan dari manusia. Bukan juga dari binatang,” bisik Bu Darmi.

“Lelembut... marah,” lanjutnya. “Kamu ambil satu dari mereka. Dan sekarang mereka mau ganti tumbal.”

Reza menatap tangan tuanya yang gemetar.

“Warga gak tahu apa-apa. Tapi mulai semalam, Pak Roji—tukang tambal ban—ditemukan meninggal di pinggir sawah. Tubuhnya kering, seperti diisap sesuatu.”

Dan keesokan paginya, mayat anak kecil ditemukan mengambang di rawa. Matanya terbuka lebar. Tapi yang paling menyeramkan—tubuhnya penuh lumpur, dan di bibirnya tumbuh jamur putih kecil. Tidak lazim. Terlalu aneh untuk ukuran kematian wajar.

---

Desa mulai panik.

Rumor menyebar: bahwa tanah itu kembali haus darah.

“Kayak dulu... waktu zaman simbah-simbah,” bisik beberapa warga. “Dulu banyak yang hilang tanpa jejak. Sekarang mulai lagi.”

Lalu... kejadian malam ketiga menghantam semuanya.

---

Salah satu keluarga dukun lokal ditemukan tak bernyawa.

Bukan karena luka. Tapi karena semua tubuh mereka tertutup sisik—persis seperti makhluk dari balik sumur itu. Rumahnya hancur seperti dilempar badai dari dalam. Di dinding, tergores tulisan yang seolah ditulis pakai kuku:

"KEMBALIKAN YANG TELAH DIAMBIL."

---

Reza tidak bisa lagi tinggal diam.

Ia kembali menemui Bu Darmi, dan untuk pertama kalinya, wanita itu membukakan buku tua—kitab kuno berbahasa Jawa Kuno dan Belanda. Di dalamnya tertulis sejarah kelam tanah mereka.

Ternyata, bedeng Belanda yang dulu berdiri di dekat rawa bukanlah bangunan biasa.

Ia dibangun di atas makam kuno—tanah persembahan untuk bangsa lelembut. Orang Belanda yang pertama tinggal di situ menggunakan sumur tua itu sebagai media komunikasi untuk “menguasai wilayah”.

“Mereka bikin perjanjian. Minta kekayaan, hasil panen, bahkan keselamatan. Tapi dibayar dengan nyawa. Tiap bulan, satu tumbal,” jelas Bu Darmi dengan suara gemetar.

“Lalu bedeng itu runtuh... bukan karena usia. Tapi karena mereka yang di dalam tanah marah.”

Dan yang lebih buruk: perjanjian belum selesai.

Setiap kali seseorang mencoba mengganggu keseimbangan—masuk ke wilayah mereka, menyentuh sumur, memanggil nama mereka tanpa izin—kutukan akan bangkit kembali.

---

Dan Reza... sudah melanggar semuanya.

Malam itu, hujan turun deras.

Petir menyambar tanpa henti. Langit seperti berteriak.

Reza berdiam di rumah, tapi seluruh jendela bergetar. Dari kaca, ia bisa melihat... bayangan seseorang berdiri di halaman. Tubuh tinggi, rambut panjang basah kuyup. Tapi wajahnya tertutup kain putih.

Saat Reza membuka pintu—

tidak ada siapa-siapa.

Namun dari tanah, muncul jejak kaki hitam menuju dalam rumah.

Pintu belakang terbuka pelan... dan suara gamelan mulai terdengar samar-samar, seolah dari bawah lantai rumah.

"Ilir... ilir... tandure wus sumilir..."

Reza menutup telinganya. Tapi suara itu tetap terdengar—bukan dari luar, tapi dari dalam kepala.

---

Pagi harinya, satu keluarga lagi hilang.

Hanya tersisa bayi mereka—menangis tanpa suara di dalam ayunan. Dan di dahinya... tercetak tanda lingkaran abu, persis seperti yang digunakan Bu Darmi saat membuka portal cermin.

---

“Za... ini baru awalnya,” kata Bu Darmi dengan wajah yang kini tampak pucat dan tua. “Yang kamu bangunkan... bukan cuma satu.”

Reza hanya bisa mengangguk, tatapannya kosong menatap perbukitan yang tertutup kabut.

Ia sadar, perang belum selesai.

Dan kali ini... semua desa jadi medan tempurnya.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penjaga yang Tak Terlihat

    Meski salah satu pohon beringin telah tumbang, desa itu tak kembali dalam kegelapan seperti dulu. Tak ada jeritan tengah malam, tak ada bayangan hitam melayang di atap rumah warga, tak ada lagi tubuh-tubuh kaku dengan mata kosong. Kehidupan berjalan seperti biasa, seperti tak ada apa-apa yang pernah terjadi.Namun, mereka yang peka tahu: tempat itu tetap sakral. Rawa itu tetap angker. Aroma kemenyan masih sesekali terbawa angin. Dan suara-suara yang tak terlihat asalnya, kadang masih terdengar sayup dari balik pepohonan dan kabut dini hari.Warga desa telah belajar. Belajar dari masa lalu yang nyaris menenggelamkan mereka dalam ketakutan. Kini, mereka hidup berdampingan dengan yang tak kasat mata. Mereka tak menantang, tak mencari tahu terlalu dalam. Jika ada sesuatu yang terasa ganjil, mereka cukup menunduk dan berdoa. Jika ada kegiatan besar—hajatan, panen, atau acara adat—mereka akan kirim sesaji. Mengirim doa. Mengirim izin kepada Putri Tanjung Biru, sang penguasa rawa yang tak pe

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tumbangnya Penjaga

    Waktu terus berjalan. Desa kecil itu hidup dalam ketenangan dan kemakmuran. Tak banyak yang menyadari bahwa semua keseimbangan itu bukan hanya karena kerja keras manusia, melainkan juga karena perjanjian halus yang mengikat antara dunia nyata dan dunia tak kasatmata. Dua pohon beringin yang berdiri kokoh di tepi rawa menjadi simbol dari penjagaan itu—penjaga batas antara dua dunia.Namun pagi itu, awan hitam menyelimuti langit sejak dini hari. Kabut turun tebal, lebih pekat dari biasanya, menyusup ke setiap sudut desa. Angin berhembus dengan suara lirih yang menggigit, seolah membawa pesan yang tak bisa diucapkan.Saat matahari mulai naik perlahan di balik awan kelabu, terdengar suara keras dari arah rawa. Suara seperti benda besar yang tumbang menghantam tanah. Tanah desa bergetar, membuat para warga keluar rumah dengan panik.Mereka berlari ke arah sumber suara—dan di sanalah mereka melihatnya.Salah satu pohon beringin tumbang. Akarnya terangkat dari tanah, seperti dicabut paksa ol

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kepergian yang Sunyi

    Sore itu langit mendung menggantung, tapi tak satu pun hujan jatuh. Suasana terasa ganjil namun tenang. Di gubuk dekat pohon beringin, Reza duduk berdampingan dengan istrinya. Tak banyak kata, hanya tatapan yang berbicara. Ada yang akan pergi… dan hanya mereka berdua yang tahu pasti ke mana.Menjelang magrib, Reza mendatangi rumah Bu Darmi. Langkahnya pelan, tapi mantap. Istrinya menunggu di kejauhan, berdiri di bawah cahaya jingga senja.“Bu… kami pamit,” ucap Reza pelan. “Waktunya sudah tiba.”Bu Darmi menatapnya lama, seperti menimbang-nimbang rasa. “Kamu yakin, Za?”Reza mengangguk. “Kami tidak akan jauh, tapi juga tak bisa sering kembali. Desa ini sudah aman. Pohon itu sudah tenang. Rawa itu pun sudah hidup.”Bu Darmi menghela napas, lalu menggenggam tangan Reza erat. “Kalau suatu saat kembali… kau tahu ke mana pulang.”Tanpa banyak tanya, tanpa ramai berpamitan, Reza dan istrinya berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju arah rawa. Dan saat malam benar-benar turun, kabut tip

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Hujan dan Rahasia yang Terungkap

    Siang itu langit menggantung kelabu, mendung menutup seluruh desa. Tak lama, hujan turun dengan derasnya, membasahi tanah, menenggelamkan suara-suara alam. Petir sesekali menyambar, membuat anak-anak kecil berlari masuk ke dalam rumah. Tak seperti hujan biasanya, kali ini seperti membawa hawa yang berbeda—dingin, lembap, dan menekan dada.Hujan baru mereda saat waktu Asar tiba. Azan menggema di udara yang masih lembab. Di sela gerimis kecil yang masih menetes dari langit, seorang perempuan terlihat berjalan pelan menuju ke arah gubuk Reza. Langkahnya ringan, seperti tak menyentuh tanah. Rambut panjangnya terurai, kain panjang yang dikenakannya basah menempel di tubuh, tapi tetap terlihat anggun.Seorang warga, Pak Midun, yang kebetulan sedang mengambil rumput untuk ternaknya, tanpa sengaja melihat perempuan itu. Ia tertegun, tak mampu berkata apa-apa. Bukan karena takut, tapi karena perempuan itu terlihat sangat cantik, sangat tenang, dan... bukan seperti perempuan biasa.Keesokan har

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Bayang di Antara Senja

    Kehidupan desa perlahan kembali seperti sediakala. Sawah kembali ditanami, suara anak-anak bermain terdengar lagi di jalan tanah yang berdebu, dan aroma masakan ibu-ibu menyatu dengan semilir angin senja. Namun di balik kedamaian itu, satu hal mulai jadi buah bibir warga: keberadaan istri Reza yang misterius.Setiap sore, warga yang melewati gubuk tua dekat pohon beringin sering melihat Reza duduk bersama seorang perempuan berwajah rupawan. Mereka berbincang, tertawa pelan, atau sekadar duduk berdua memandang langit jingga. Siapa pun yang melihat, pasti setuju—wanita itu sungguh cantik, tidak seperti perempuan biasa.Namun yang membuat bingung, saat pagi hari tiba, sosok perempuan itu tak pernah tampak. Gubuk itu selalu terlihat hanya dihuni Reza seorang diri. Bahkan saat ada warga yang sengaja datang pagi-pagi untuk mengantarkan makanan atau sekadar menyapa, Reza selalu menjawab dengan tenang, “Istriku sudah pulang.”Lama-lama, rasa penasaran warga pun memuncak. Ada yang berbisik, mu

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Pusaka dari Rawa

    Di tengah keheningan istana kristal yang berdiri anggun di jantung rawa, Putri Tanjung Biru membawa Reza dan Ayu menuju sebuah ruangan rahasia. Dindingnya berkilauan seperti permukaan air saat matahari terbit, dan di tengah ruangan, terdapat sebuah kotak kayu tua dengan ukiran bunga tanjung yang rumit. Dengan gerakan anggun, sang putri membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah pusaka: sebilah keris kecil bermata biru kehijauan, berkilau seperti embun pagi. Gagangnya dilapisi ukiran yang menggambarkan pohon beringin dan riak air. “Reza,” ucap Putri Tanjung Biru, “ini adalah Keris Tirta Banyu. Hanya orang yang memiliki hati bersih dan ikhlas melindungi yang lain yang dapat memilikinya. Pusaka ini bukan untuk bertarung, tapi untuk menjaga keseimbangan antara dunia kalian dan dunia kami.” Reza menerima keris itu dengan dua tangan, membungkuk dalam rasa hormat. Begitu pusaka itu berpindah tangan, udara di sekitar mereka terasa lebih hangat, lebih damai. Putri Tanjung Biru menatap k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status