Share

Malam Para Penjemput

Penulis: Kelaras ijo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-12 15:49:57

Malam itu, langit desa seperti terbelah. Awan hitam menggulung tebal, menutup bulan sepenuhnya. Tak ada cahaya. Hanya suara malam yang aneh—sunyi, namun menyimpan sesuatu yang mengintai.

Reza berdiri di teras rumahnya, menatap ke arah bukit. Angin malam menyapu dedaunan, namun tak ada suara jangkrik, tak ada burung hantu. Bahkan suara kodok pun tak terdengar.

Lalu terdengar... bunyi kendang.

Pelan. Tapi ritmenya seperti denyut nadi.

Dug... dug... dug... dug...

Dari arah rawa.

---

Sementara itu, di rumah Pak Saman—seorang tetua kampung yang dikenal religius dan punya “mata batin”—istri dan anak-anaknya sedang tertidur. Tapi saat tengah malam, Pak Saman mendengar suara pintu terbuka sendiri.

Ia bangun, melangkah pelan menuju ruang depan.

Dan di sana... berdiri sesosok perempuan.

Rambutnya panjang menyapu lantai. Bajunya lusuh, penuh tanah basah dan lumut rawa. Wajahnya... tidak terlihat. Hanya rambut dan bayangan hitam seperti kabut.

“Maaf, Nduk... ini rumah siapa?” tanya Pak Saman dengan tenang.

Perempuan itu tidak menjawab. Hanya mengangkat tangannya—dan menunjuk dinding rumah yang tiba-tiba menghitam dan meleleh seperti lilin.

Lalu dia bicara. Suaranya dalam, berat, dan bergaung.

“KEMBALIKAN TANAH KAMI...”

Seketika lampu padam. Teriakan histeris menggema. Keesokan harinya, rumah Pak Saman kosong. Tak ada satu pun penghuni. Yang tersisa hanyalah sebuah kendi tua di tengah ruang tamu, dan dari dalamnya... keluar bisikan lirih yang hanya bisa didengar Reza saat ia tiba di sana.

---

Desa geger. Warga mulai mengungsi. Beberapa menuju desa tetangga. Tapi anehnya, setiap orang yang mencoba pergi, selalu kembali dengan linglung—seolah lupa tujuan, atau seperti ditarik kembali oleh sesuatu yang tak kasat mata.

Salah satu pemuda nekat merekam kejadian malam menggunakan ponsel. Tapi saat memutar hasil rekaman, yang terlihat hanya gambaran kabur rawa berdarah dan wajah-wajah membusuk mendekat ke kamera.

Beberapa warga mulai kerasukan. Tubuh mereka membeku, mata melotot, dan mulut mengucapkan kata-kata dalam bahasa yang tidak dikenali—campuran Belanda dan Jawa kuno.

“Verloren... wangsul... tumbal...”

---

Reza kembali menemui Bu Darmi, yang kini kondisinya semakin lemah. Ia menjelaskan bahwa makhluk-makhluk itu bukan sekadar lelembut biasa. Mereka adalah penjaga wilayah yang dulunya disembah oleh penduduk awal, jauh sebelum Belanda datang.

“Dan kamu, Za... kamu yang membuka gerbangnya,” ujar Bu Darmi lirih.

“Sekarang mereka menuntut seimbang. Mereka ingin tubuh. Mereka ingin... dunia.”

Reza mulai merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Setiap malam ia bermimpi berada di dasar sumur tua, dikelilingi ratusan tangan yang merayap dan menariknya. Ia melihat wajah-wajah yang mati penasaran. Anak-anak, orang tua, bahkan tentara Belanda.

Tapi yang paling aneh—ia melihat dirinya... bercermin dengan makhluk bersisik.

---

Malam berikutnya adalah puncaknya.

Di seluruh desa terdengar suara gong dan kendang, padahal tak ada yang menabuhnya.

Kabut turun tebal. Dan dari arah rawa... makhluk-makhluk itu datang.

Bukan bayangan. Bukan ilusi.

Mereka berjalan perlahan. Ada yang menyerupai manusia, tapi wajahnya terbalik. Ada yang tubuhnya setengah busuk dengan kain kafan sobek. Ada yang seperti wanita cantik, tapi tanpa mata dan darah menetes dari rongga kosongnya.

Warga yang melihat... langsung jatuh pingsan atau berteriak ketakutan.

Satu persatu rumah menjadi sunyi. Hanya terdengar suara angin yang membawa bau bangkai dan suara tangisan bayi yang tak tahu dari mana asalnya.

---

Reza mengambil kendi milik Bu Darmi, yang ternyata adalah media pengikat perjanjian lama. Ia menuju ke sumber mata air di tengah rawa, tempat di mana tanah larangan pertama kali dikutuk.

Ia tahu, ia harus mengembalikan benda itu. Atau... menukar dirinya.

Saat sampai di sana, ia melihat cermin air mulai bergelombang, dan dari dalamnya... muncul sesosok makhluk bersisik, lebih besar dan lebih menyeramkan dari sebelumnya.

“Kaulah yang memanggil... maka kaulah yang harus tinggal,” bisik suara itu.

“Beri kami tubuh... atau seluruh desa ini kami bawa.”

Reza menggenggam kendi erat-erat. Ia melangkah ke dalam air. Airnya dingin. Tapi tubuhnya justru terasa terbakar.

Langit menggelegar. Kabut menari.

Dan saat Reza mengangkat kendi tinggi-tinggi, makhluk itu membuka mulutnya lebar... menghisap kabut, angin, dan suara tangisan.

Lalu...

semua menjadi gelap.

---

Pagi hari, desa menjadi hening.

Langit cerah. Burung-burung kembali berkicau.

Orang-orang perlahan bangun, bingung, seperti lupa apa yang terjadi. Tapi mereka sadar satu hal:

Reza hilang.

Di pinggir rawa, hanya tersisa kendi tua... dan jejak kaki yang perlahan menghilang ke dasar air.

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penjaga yang Tak Terlihat

    Meski salah satu pohon beringin telah tumbang, desa itu tak kembali dalam kegelapan seperti dulu. Tak ada jeritan tengah malam, tak ada bayangan hitam melayang di atap rumah warga, tak ada lagi tubuh-tubuh kaku dengan mata kosong. Kehidupan berjalan seperti biasa, seperti tak ada apa-apa yang pernah terjadi.Namun, mereka yang peka tahu: tempat itu tetap sakral. Rawa itu tetap angker. Aroma kemenyan masih sesekali terbawa angin. Dan suara-suara yang tak terlihat asalnya, kadang masih terdengar sayup dari balik pepohonan dan kabut dini hari.Warga desa telah belajar. Belajar dari masa lalu yang nyaris menenggelamkan mereka dalam ketakutan. Kini, mereka hidup berdampingan dengan yang tak kasat mata. Mereka tak menantang, tak mencari tahu terlalu dalam. Jika ada sesuatu yang terasa ganjil, mereka cukup menunduk dan berdoa. Jika ada kegiatan besar—hajatan, panen, atau acara adat—mereka akan kirim sesaji. Mengirim doa. Mengirim izin kepada Putri Tanjung Biru, sang penguasa rawa yang tak pe

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tumbangnya Penjaga

    Waktu terus berjalan. Desa kecil itu hidup dalam ketenangan dan kemakmuran. Tak banyak yang menyadari bahwa semua keseimbangan itu bukan hanya karena kerja keras manusia, melainkan juga karena perjanjian halus yang mengikat antara dunia nyata dan dunia tak kasatmata. Dua pohon beringin yang berdiri kokoh di tepi rawa menjadi simbol dari penjagaan itu—penjaga batas antara dua dunia.Namun pagi itu, awan hitam menyelimuti langit sejak dini hari. Kabut turun tebal, lebih pekat dari biasanya, menyusup ke setiap sudut desa. Angin berhembus dengan suara lirih yang menggigit, seolah membawa pesan yang tak bisa diucapkan.Saat matahari mulai naik perlahan di balik awan kelabu, terdengar suara keras dari arah rawa. Suara seperti benda besar yang tumbang menghantam tanah. Tanah desa bergetar, membuat para warga keluar rumah dengan panik.Mereka berlari ke arah sumber suara—dan di sanalah mereka melihatnya.Salah satu pohon beringin tumbang. Akarnya terangkat dari tanah, seperti dicabut paksa ol

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kepergian yang Sunyi

    Sore itu langit mendung menggantung, tapi tak satu pun hujan jatuh. Suasana terasa ganjil namun tenang. Di gubuk dekat pohon beringin, Reza duduk berdampingan dengan istrinya. Tak banyak kata, hanya tatapan yang berbicara. Ada yang akan pergi… dan hanya mereka berdua yang tahu pasti ke mana.Menjelang magrib, Reza mendatangi rumah Bu Darmi. Langkahnya pelan, tapi mantap. Istrinya menunggu di kejauhan, berdiri di bawah cahaya jingga senja.“Bu… kami pamit,” ucap Reza pelan. “Waktunya sudah tiba.”Bu Darmi menatapnya lama, seperti menimbang-nimbang rasa. “Kamu yakin, Za?”Reza mengangguk. “Kami tidak akan jauh, tapi juga tak bisa sering kembali. Desa ini sudah aman. Pohon itu sudah tenang. Rawa itu pun sudah hidup.”Bu Darmi menghela napas, lalu menggenggam tangan Reza erat. “Kalau suatu saat kembali… kau tahu ke mana pulang.”Tanpa banyak tanya, tanpa ramai berpamitan, Reza dan istrinya berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju arah rawa. Dan saat malam benar-benar turun, kabut tip

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Hujan dan Rahasia yang Terungkap

    Siang itu langit menggantung kelabu, mendung menutup seluruh desa. Tak lama, hujan turun dengan derasnya, membasahi tanah, menenggelamkan suara-suara alam. Petir sesekali menyambar, membuat anak-anak kecil berlari masuk ke dalam rumah. Tak seperti hujan biasanya, kali ini seperti membawa hawa yang berbeda—dingin, lembap, dan menekan dada.Hujan baru mereda saat waktu Asar tiba. Azan menggema di udara yang masih lembab. Di sela gerimis kecil yang masih menetes dari langit, seorang perempuan terlihat berjalan pelan menuju ke arah gubuk Reza. Langkahnya ringan, seperti tak menyentuh tanah. Rambut panjangnya terurai, kain panjang yang dikenakannya basah menempel di tubuh, tapi tetap terlihat anggun.Seorang warga, Pak Midun, yang kebetulan sedang mengambil rumput untuk ternaknya, tanpa sengaja melihat perempuan itu. Ia tertegun, tak mampu berkata apa-apa. Bukan karena takut, tapi karena perempuan itu terlihat sangat cantik, sangat tenang, dan... bukan seperti perempuan biasa.Keesokan har

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Bayang di Antara Senja

    Kehidupan desa perlahan kembali seperti sediakala. Sawah kembali ditanami, suara anak-anak bermain terdengar lagi di jalan tanah yang berdebu, dan aroma masakan ibu-ibu menyatu dengan semilir angin senja. Namun di balik kedamaian itu, satu hal mulai jadi buah bibir warga: keberadaan istri Reza yang misterius.Setiap sore, warga yang melewati gubuk tua dekat pohon beringin sering melihat Reza duduk bersama seorang perempuan berwajah rupawan. Mereka berbincang, tertawa pelan, atau sekadar duduk berdua memandang langit jingga. Siapa pun yang melihat, pasti setuju—wanita itu sungguh cantik, tidak seperti perempuan biasa.Namun yang membuat bingung, saat pagi hari tiba, sosok perempuan itu tak pernah tampak. Gubuk itu selalu terlihat hanya dihuni Reza seorang diri. Bahkan saat ada warga yang sengaja datang pagi-pagi untuk mengantarkan makanan atau sekadar menyapa, Reza selalu menjawab dengan tenang, “Istriku sudah pulang.”Lama-lama, rasa penasaran warga pun memuncak. Ada yang berbisik, mu

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Pusaka dari Rawa

    Di tengah keheningan istana kristal yang berdiri anggun di jantung rawa, Putri Tanjung Biru membawa Reza dan Ayu menuju sebuah ruangan rahasia. Dindingnya berkilauan seperti permukaan air saat matahari terbit, dan di tengah ruangan, terdapat sebuah kotak kayu tua dengan ukiran bunga tanjung yang rumit. Dengan gerakan anggun, sang putri membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah pusaka: sebilah keris kecil bermata biru kehijauan, berkilau seperti embun pagi. Gagangnya dilapisi ukiran yang menggambarkan pohon beringin dan riak air. “Reza,” ucap Putri Tanjung Biru, “ini adalah Keris Tirta Banyu. Hanya orang yang memiliki hati bersih dan ikhlas melindungi yang lain yang dapat memilikinya. Pusaka ini bukan untuk bertarung, tapi untuk menjaga keseimbangan antara dunia kalian dan dunia kami.” Reza menerima keris itu dengan dua tangan, membungkuk dalam rasa hormat. Begitu pusaka itu berpindah tangan, udara di sekitar mereka terasa lebih hangat, lebih damai. Putri Tanjung Biru menatap k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status