Share

Masuk ke Cermin

Author: Kelaras ijo
last update Last Updated: 2025-04-12 15:19:56

Langit malam itu aneh—seperti luka hitam yang menganga. Bintang-bintang seolah padam, digantikan kerlip merah kecil yang menari di kejauhan. Udara panas, tapi dingin menyusup dari tanah. Desa terasa sunyi, terlalu sunyi. Seperti semua suara disedot oleh sesuatu yang tak terlihat.

Aku berdiri di halaman belakang rumah, di mana Bu Darmi sudah menyiapkan lingkaran dari abu dan jerami kering.

“Sekali kamu masuk, kamu harus tahu jalan keluar,” katanya pelan. “Kalau enggak, kamu akan tetap di sana, selamanya.”

Di hadapanku berdiri sebuah cermin besar, tua, usang, dan penuh bercak hitam. Itu cermin yang dulu disimpan di bedeng tua—salah satu benda terakhir dari zaman Belanda yang masih tersisa. Ditemukan kembali oleh warga dan diam-diam disimpan oleh Bu Darmi.

“Kenapa harus lewat cermin?” tanyaku.

“Karena dari sinilah mereka dulu keluar,” jawabnya, menaburkan garam di sekitar lingkaran. “Dan dari sinilah kamu bisa masuk. Tapi ingat, hanya bisa lewat satu kali. Kalau kamu gagal narik dia keluar, pintu akan nutup... selamanya.”

Aku menarik napas panjang. Tubuhku gemetar, tapi aku tahu ini satu-satunya jalan.

Bu Darmi memulai mantranya.

Suara gamelan mulai terdengar—pelan, padahal tak ada alat musik di sekitar kami. Bau bunga kenanga dan kemenyan menyengat, dan cermin itu... mulai bergetar. Permukaannya berubah seperti air, bergelombang.

“Ayo, Za... waktunya!” teriak Bu Darmi.

Tanpa pikir panjang, aku melangkah maju... dan masuk.

---

Aku merasa ditarik, seperti tenggelam ke dasar sungai berlumpur. Tubuhku berat, nafasku tercekat, dan suara-suara aneh berbisik di telingaku.

“Manungsa... manungsa... nyasar maneh...”

“Dagingmu anget... jiwamu anyar...”

Lalu semuanya gelap.

Saat aku membuka mata, aku berdiri di tempat yang familier... tapi berbeda.

Itu desa. Tapi bukan desa kami.

Rumah-rumah terlihat sama, tapi terbuat dari tulang dan kulit. Langit merah darah, dan suara angin terdengar seperti rintihan. Pohon beringin tumbuh di tengah kampung, menjulang tinggi, dan akar-akarnya menjulur seperti ular.

Dan di bawahnya... dia berdiri.

Gadis itu. Masih dengan wajah lelah dan mata kosong.

“Mas Reza... kamu datang,” katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.

“Cepat, sebelum mereka tahu... Kita harus ke sumur,” bisiknya.

Kami berlari melewati jalanan kampung yang basah dan licin. Dari balik rumah-rumah, makhluk-makhluk tinggi mulai muncul. Mata mereka menyala, lidah mereka menjulur panjang, dan mereka mengendus udara seperti anjing lapar.

“Dia datang...” gumam si gadis.

“Siapa?”

“Penjaga sumur... Pemilik cermin...”

---

Sumur itu berdiri di tengah tanah lapang, dikelilingi oleh bayangan yang terus bergerak. Uap keluar dari dalamnya, dan di pinggirnya, duduk sesosok makhluk besar—tingginya tiga meter, tubuhnya dilapisi sisik hitam, wajahnya datar, tak bermata.

Ia membuka mulutnya—dan suara jeritan terdengar, seperti ratusan suara manusia yang disiksa.

“Wayahe wes tekan... Sapa wani mbalekno nyawane, kudu nggo nyawane dewe...”

(Waktunya sudah datang... Siapa yang ingin mengembalikan jiwa, harus memakai jiwanya sendiri...)

Aku menatap gadis itu. Dia menatapku dengan tatapan putus asa.

“Kalau kamu narik aku keluar... salah satu dari kita... harus tinggal di sini.”

“Kenapa kamu gak bilang dari awal!?” teriakku.

“Karena kamu gak bakal mau nolong aku.”

Aku terdiam. Bayangan masa lalu muncul: malam-malam tanpa tidur, teror, pintu lemari yang terbuka sendiri, tangan yang merangkak keluar dari tempat tidur...

Aku menarik tangannya.

“Kalau aku tinggal, kamu harus hidup. Kamu harus balik dan... kasih tahu orang-orang. Jangan biarin ada yang masuk ke tempat ini lagi.”

Dia meneteskan air mata. “Tapi kamu masih muda...”

“Dan kamu sudah cukup lama di sini.”

Aku mendorongnya ke arah sumur. Tapi sebelum kami mencapai tepiannya, makhluk besar itu berdiri dan mengayunkan tangannya.

Aku terlempar ke tanah. Sakit. Darah mengalir dari kepalaku.

Gadis itu menjerit. Tapi di saat itulah, sesuatu dalam diriku berubah.

Aku berdiri. Menantang makhluk itu.

“Kalau kau mau jiwa, ambil milikku. Tapi biarkan dia pergi.”

Makhluk itu menghentikan gerakannya.

Lalu perlahan... ia mengangguk.

Dan dari sumur, keluar cahaya putih yang menyilaukan.

Aku mendorong gadis itu ke dalam cahaya.

Seketika, dunia itu mulai runtuh.

Tanah retak, pohon-pohon tumbang, langit merah terbakar. Aku berdiri sendiri, tubuhku hancur, tapi hatiku tenang.

Aku menutup mata.

---

Dan saat aku membukanya lagi... aku berada di kamarku.

Tubuhku gemetar. Napasku sesak. Tapi aku hidup.

Di meja, ada selembar kain tua... dengan motif Belanda. Bersih. Tak ada noda. Dan di atasnya, sehelai rambut hitam panjang.

Lalu aku dengar suara dari luar.

Suara perempuan... menyanyikan lagu Jawa lama.

“Ilir ilir... ilir ilir...”

Aku keluar ke teras. Dan di sana, berdiri dia—gadis itu. Tapi kini, wajahnya bersih, tersenyum. Ia hanya menatapku, lalu mengangguk... dan perlahan menghilang ke dalam kabut pagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Penjaga yang Tak Terlihat

    Meski salah satu pohon beringin telah tumbang, desa itu tak kembali dalam kegelapan seperti dulu. Tak ada jeritan tengah malam, tak ada bayangan hitam melayang di atap rumah warga, tak ada lagi tubuh-tubuh kaku dengan mata kosong. Kehidupan berjalan seperti biasa, seperti tak ada apa-apa yang pernah terjadi.Namun, mereka yang peka tahu: tempat itu tetap sakral. Rawa itu tetap angker. Aroma kemenyan masih sesekali terbawa angin. Dan suara-suara yang tak terlihat asalnya, kadang masih terdengar sayup dari balik pepohonan dan kabut dini hari.Warga desa telah belajar. Belajar dari masa lalu yang nyaris menenggelamkan mereka dalam ketakutan. Kini, mereka hidup berdampingan dengan yang tak kasat mata. Mereka tak menantang, tak mencari tahu terlalu dalam. Jika ada sesuatu yang terasa ganjil, mereka cukup menunduk dan berdoa. Jika ada kegiatan besar—hajatan, panen, atau acara adat—mereka akan kirim sesaji. Mengirim doa. Mengirim izin kepada Putri Tanjung Biru, sang penguasa rawa yang tak pe

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Tumbangnya Penjaga

    Waktu terus berjalan. Desa kecil itu hidup dalam ketenangan dan kemakmuran. Tak banyak yang menyadari bahwa semua keseimbangan itu bukan hanya karena kerja keras manusia, melainkan juga karena perjanjian halus yang mengikat antara dunia nyata dan dunia tak kasatmata. Dua pohon beringin yang berdiri kokoh di tepi rawa menjadi simbol dari penjagaan itu—penjaga batas antara dua dunia.Namun pagi itu, awan hitam menyelimuti langit sejak dini hari. Kabut turun tebal, lebih pekat dari biasanya, menyusup ke setiap sudut desa. Angin berhembus dengan suara lirih yang menggigit, seolah membawa pesan yang tak bisa diucapkan.Saat matahari mulai naik perlahan di balik awan kelabu, terdengar suara keras dari arah rawa. Suara seperti benda besar yang tumbang menghantam tanah. Tanah desa bergetar, membuat para warga keluar rumah dengan panik.Mereka berlari ke arah sumber suara—dan di sanalah mereka melihatnya.Salah satu pohon beringin tumbang. Akarnya terangkat dari tanah, seperti dicabut paksa ol

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Kepergian yang Sunyi

    Sore itu langit mendung menggantung, tapi tak satu pun hujan jatuh. Suasana terasa ganjil namun tenang. Di gubuk dekat pohon beringin, Reza duduk berdampingan dengan istrinya. Tak banyak kata, hanya tatapan yang berbicara. Ada yang akan pergi… dan hanya mereka berdua yang tahu pasti ke mana.Menjelang magrib, Reza mendatangi rumah Bu Darmi. Langkahnya pelan, tapi mantap. Istrinya menunggu di kejauhan, berdiri di bawah cahaya jingga senja.“Bu… kami pamit,” ucap Reza pelan. “Waktunya sudah tiba.”Bu Darmi menatapnya lama, seperti menimbang-nimbang rasa. “Kamu yakin, Za?”Reza mengangguk. “Kami tidak akan jauh, tapi juga tak bisa sering kembali. Desa ini sudah aman. Pohon itu sudah tenang. Rawa itu pun sudah hidup.”Bu Darmi menghela napas, lalu menggenggam tangan Reza erat. “Kalau suatu saat kembali… kau tahu ke mana pulang.”Tanpa banyak tanya, tanpa ramai berpamitan, Reza dan istrinya berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju arah rawa. Dan saat malam benar-benar turun, kabut tip

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Hujan dan Rahasia yang Terungkap

    Siang itu langit menggantung kelabu, mendung menutup seluruh desa. Tak lama, hujan turun dengan derasnya, membasahi tanah, menenggelamkan suara-suara alam. Petir sesekali menyambar, membuat anak-anak kecil berlari masuk ke dalam rumah. Tak seperti hujan biasanya, kali ini seperti membawa hawa yang berbeda—dingin, lembap, dan menekan dada.Hujan baru mereda saat waktu Asar tiba. Azan menggema di udara yang masih lembab. Di sela gerimis kecil yang masih menetes dari langit, seorang perempuan terlihat berjalan pelan menuju ke arah gubuk Reza. Langkahnya ringan, seperti tak menyentuh tanah. Rambut panjangnya terurai, kain panjang yang dikenakannya basah menempel di tubuh, tapi tetap terlihat anggun.Seorang warga, Pak Midun, yang kebetulan sedang mengambil rumput untuk ternaknya, tanpa sengaja melihat perempuan itu. Ia tertegun, tak mampu berkata apa-apa. Bukan karena takut, tapi karena perempuan itu terlihat sangat cantik, sangat tenang, dan... bukan seperti perempuan biasa.Keesokan har

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Bayang di Antara Senja

    Kehidupan desa perlahan kembali seperti sediakala. Sawah kembali ditanami, suara anak-anak bermain terdengar lagi di jalan tanah yang berdebu, dan aroma masakan ibu-ibu menyatu dengan semilir angin senja. Namun di balik kedamaian itu, satu hal mulai jadi buah bibir warga: keberadaan istri Reza yang misterius.Setiap sore, warga yang melewati gubuk tua dekat pohon beringin sering melihat Reza duduk bersama seorang perempuan berwajah rupawan. Mereka berbincang, tertawa pelan, atau sekadar duduk berdua memandang langit jingga. Siapa pun yang melihat, pasti setuju—wanita itu sungguh cantik, tidak seperti perempuan biasa.Namun yang membuat bingung, saat pagi hari tiba, sosok perempuan itu tak pernah tampak. Gubuk itu selalu terlihat hanya dihuni Reza seorang diri. Bahkan saat ada warga yang sengaja datang pagi-pagi untuk mengantarkan makanan atau sekadar menyapa, Reza selalu menjawab dengan tenang, “Istriku sudah pulang.”Lama-lama, rasa penasaran warga pun memuncak. Ada yang berbisik, mu

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Pusaka dari Rawa

    Di tengah keheningan istana kristal yang berdiri anggun di jantung rawa, Putri Tanjung Biru membawa Reza dan Ayu menuju sebuah ruangan rahasia. Dindingnya berkilauan seperti permukaan air saat matahari terbit, dan di tengah ruangan, terdapat sebuah kotak kayu tua dengan ukiran bunga tanjung yang rumit. Dengan gerakan anggun, sang putri membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah pusaka: sebilah keris kecil bermata biru kehijauan, berkilau seperti embun pagi. Gagangnya dilapisi ukiran yang menggambarkan pohon beringin dan riak air. “Reza,” ucap Putri Tanjung Biru, “ini adalah Keris Tirta Banyu. Hanya orang yang memiliki hati bersih dan ikhlas melindungi yang lain yang dapat memilikinya. Pusaka ini bukan untuk bertarung, tapi untuk menjaga keseimbangan antara dunia kalian dan dunia kami.” Reza menerima keris itu dengan dua tangan, membungkuk dalam rasa hormat. Begitu pusaka itu berpindah tangan, udara di sekitar mereka terasa lebih hangat, lebih damai. Putri Tanjung Biru menatap k

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Rahasia yang Disimpan untuk Satu Nama

    Malam mulai turun, perlahan menelan keramaian desa yang masih menyisakan bisik-bisik penasaran. Setelah sempat menenangkan warga dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, Reza meminta izin untuk beristirahat sejenak di rumah Bu Darmi. Perempuan yang datang bersamanya tetap tenang, tak banyak bicara, hanya melempar senyum halus kepada siapa pun yang menatapnya dengan rasa ingin tahu. Tatapannya tajam namun tak mengancam, seperti lautan dalam yang menyimpan ribuan rahasia. Setelah pintu rumah Bu Darmi tertutup rapat, hanya lampu temaram dan suara malam yang menemani perbincangan mereka bertiga. “Bu,” kata Reza pelan, duduk di tikar rotan yang sudah mulai usang, “banyak yang ingin aku ceritakan, tapi aku hanya ingin Ibu yang tahu dulu.” Bu Darmi menatap Reza lekat-lekat. “Kamu pergi lama, Za. Aku kira kamu sudah tidak kembali…” Reza menunduk sejenak, lalu menghela napas. “Aku tidak pergi tanpa tujuan. Aku dipanggil, bukan hanya sebagai penjaga dua pohon beringin itu… tapi sebagai

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Jejak yang Menghilang

    Tahun demi tahun berlalu sejak acara besar tujuh malam itu digelar, sejak para makhluk dari alam lain menari bersama manusia di bawah cahaya obor dan bunyi gamelan. Desa yang dulu mencekam, kini telah berubah menjadi tempat yang damai dan hidup. Anak-anak kembali bermain di lapangan, warga kembali menanam dan memanen hasil kebun, dan aroma dupa tak lagi tercium di setiap sudut. Namun, satu hal yang menjadi tanda tanya besar bagi semua orang: ke mana perginya Reza? Suatu pagi, Reza tidak terlihat di gubuk dekat pohon beringin tempat ia biasa menjaga. Awalnya warga mengira ia hanya turun ke desa. Tapi ketika berhari-hari berlalu dan tak ada kabar sedikit pun, kekhawatiran mulai tumbuh. Bu Darmi yang biasanya tahu banyak hal pun hanya bisa menggelengkan kepala. “Dia nggak pamit sama sekali, Bu?” tanya Pak RT saat rapat desa digelar khusus membahas hilangnya Reza. “Tidak,” jawab Bu Darmi pelan. “Semalam masih sempat ngirim air dari mata air untuk saya. Besoknya, hilang begitu saja.”

  • Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun   Di Gerbang Laut Kidul

    Reza berdiri terpaku di hadapan wanita cantik berwibawa itu. Angin malam berhenti berhembus, seolah tunduk kepada kehadirannya. Di sekeliling mereka, kabut mulai terbelah, memperlihatkan sebuah gerbang raksasa dari batu karang yang berdiri kokoh menghadap ke arah laut lepas. Gerbang itu tidak terlihat dari mata manusia biasa—ia hanya akan muncul bagi mereka yang diundang oleh penguasa Laut Kidul. Ki Harjo menundukkan kepala dengan hormat. Reza pun mengikuti gerakannya. Wanita itu hanya tersenyum samar. “Namaku Nyi Sekar Kencono, salah satu penjaga istana Laut Kidul,” ucapnya dengan suara yang tenang namun penuh kuasa. “Sebelum kau dipertemukan dengan Ratu kami, kau harus melewati penyucian jiwa. Tak semua yang datang bisa pulang membawa tubuh dan pikirannya utuh.” Tanpa menunggu jawaban, Nyi Sekar Kencono melangkah pelan menuju gerbang. Gerakan kakinya seolah tidak menyentuh pasir, mengambang. Reza menoleh pada Ki Harjo, yang mengangguk pelan. “Lanjutkan, Nak. Kau sudah sampai di

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status