“Sarah ... tunggulah, sebentar. Aku akan menyusulmu nanti.” Suara itu terdengar parau. Dan pelan sekali, karena bahkan dia tak ingin dianggap gila karena bicara dengan mayat oleh dua petugas yang duduk di depan.‘Aku tidak tahu bagaimana menjalani hari hariku nanti tanpamu Sarah. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan ke anak kita, bahwa aku adalah suami yang bodoh dan membiarkanmu pergi sendiri dalam keadaan marah pula. Aku bahkan tak sempat minta maaf, Sarah.’Pria itu menyesali setiap moment di akhir kisah mereka. Kenapa harus moment menyedihkan dan menyesakkan dada yang menjadi akhir dari semuanya. Affan tak ingin berpisah dengan cara seperti ini. Meski ia dibangunkan oleh penampakan Sarah, dan meminta maaf tetap saja itu tak cukup. Dia bahkan tak 100 persen yakin kalau memang itu adalah istrinya. Ini adalah perpisahan terberat di hari yang paling berat di dalam hidup Affan, bahkan kejadian buruk di masa lalu saat diusir keluarganya atau pun perpisahannya dengan Maya tak seujung k
Joko menatap tubuh yang kini sudah mandikan dan dikafani dengan rapi. Hanya tiggal beberapa menit, setelah ambulan siap jenazah Sarah akan disholatkan dulu di Masjid. Ia melihat bagaimana sedihnya ekspresi suami almarhumah. Meski wajah itu tersenyum, kentara bahwa hati Affan tengah dipenuhi beratnya beban duka.Ia merasa lega, akhirnya Affan mengambil uang yang dititipkannya lewar ustaz Alif, itu kenapa jenazah Sarah bisa ada di hadapan mereka sekarang. ‘Tak salah aku memilih ustaz Alif, pria itu pandai beretorika dan mempengaruhi lawan bicaranya. Semua akan berjalan lancar seperti harapan.’Saat Affan celingukan mencari sosok seseorang, Pak Joko pun sama. Pria itu mengikuti apa yang dilakukan Affan, mencari tahu siapa sebenarnya yang pemuda itu cari.‘Siapa yang tidak ada di sini?’ batin pria paling kaya di kampung itu.Saat melihat Abah Bisri, barulah Pak Joko sadar, kalau keponakan orang alim itu tidak ada di sana. Awalnya Joko tidak begitu mempedulikan. Mungkin ustaz Alif sedang m
“Ini bukan tanda baik,” ucap seorang pria tua, yang membuat Ucup dan Hasan yang mendengarnya bergidik.Pria sepuh itu menghela napas berat. Dia sudah lama hidup, setiap kali hujan turun saat mayat dikuburkan, liang menjadi banjir dan dipenuhi air. Bumi seolah menolak memeluk tubuh manusia yang telah mati hari itu. Entah karena dosanya atau suatu tanda belum waktunya dia meninggal.“Apa yang Bapak katakan?” Suara Abah Bisri menyela ucapan menakutkan orang tua itu. Mendengar ada yang nyeletuk di sampingnya, pria tua itu pun menoleh. Begitu juga Hasan dan Ucup di sampingnya.“Abah?” ceplos Ucup.“Hem, bahkan ketika para ulama meninggal, hujan gerimis turun. Seolah langit yang biasa bertasbih ke pada Allah tengah berduka karena kematiannya.” Abah Bisri menepuk bahu pemuda itu, lalu mendongak menatap langit yang muram. Seperti wajah kesedihan yang meneteskan air matanya dalam diam. Tanpa raungan dan gemuruh petir menyambar –nyambar dan menakutkan.Mendengar ucapan pria yang dikenal bijak i
“Ruqyah?” Abah Bisri bertanya.“Apa ini ada kaitannya dengan kematian Mbak Sarah?” cecar Pak RT.“Em itu, saya tidak yakin.”“Lalu apa hubungannya dengan Bapak memberi amlop berisi uang untuk Mas Affan? Bapak juga menghilang.”Joko mengangguk. “Benar. Tapi saya tidak yakin saya diruqyah karena ada kaitannya dengan Mbak Sarah. Tapi sekarang sudah aman kata kiai yang meruqyah.”“Apa ini pertama kalinya?” tanya Pak RT.“Sebenarnya tidak, Pak. Saya sudah langganan. Perlu proses panjang mengeluarkan jin kiriman di tubuh saya.”“Siapa yang mengirim? Bapak tahu?” tanya Abah.Pak RT menggeleng ragu. Meski ia dan istri sudah menduga –duganya, tapi tidak berani mengungkap ke orang lain sebelum menemukan bukti.Pak Bisri dan Pak RT saling pandang. Mereka baru tahu jika orang tua itu ternyata bolak balik ke seorang kiai di pesantren guna melepaskan sihir di tubuhnya. Itu artinya dugaan mereka salah, kalau Pak Joko lah dalang sihir di kampung ini. Padahal, hawa di tempat tinggal pria kaya itu meny
“Mas!” seru seorang pria yang tadi mengemudikan dan membawa ambulans ke makam.Affan seketika menoleh karena panggilan itu.“Mas, nggak ikut kami?” tanya sopir itu kemudian. Karena tadinya Affan ikut mobil mereka. Rasanya tidak mungkin jika mereka pergi begitu saja tanpa bertanya lebih dulu bagaimana cara pria itu akan pulang.“Ah, ya. Duluan saja. Saya akan naik taksi karena ada yang perlu diurus!” seru Affan menjawab pertanya pria itu, selagi langkahnya terayun.Lelaki itu enggan menunda walau bahkan sedetik saja karena takut tertinggal dan tidak menemukan jejak Pak RT dan Abah Bisri yang membawa Pak Joko. Pria yang paling ia curigai sebagai dalang kematian Sarah yang bercampur dengan hal –hal ganjil. Langkahnya terus bergerak semakin cepat ke arah jalan raya. Tanpa memperdulikan lagi panggilan orang –orang yang masih tinggal.Sampai di sisi jalan raya, Affan celingukan. Mencari –cari mobil Pak Joko yang sudah di ujung jalan, lalu melangkah agak ke tengah untuk menghentikan mobil ya
“Fan,” panggil ibu mertua yang membuat pria itu berjingkat kaget. Seketika ia menoleh ke asal suara.“Duduklah.” Ibu mertua mengucap dingin pada pria yang sudah membiarkan anaknya mati itu.“Ya.” Affan patuh dan duduk begitu saja. Di samping ibunya bersebelahan dengan Indah, dan ibu Sarah sebagai pembatas.Pria itu menatap ke arah Indah ragu –ragu. Ia hanya terkejut dan sedikit takut karena melihat dua sosok yang sama persis di tempat berbeda dan waktu yang nyaris sama. Tidak mungkin, Indah melakukan teleportasi dari tempat tinggalnya ke rumah orang tua.‘Pasti ada yang tidak beres.’ Affan membatin. Meski begitu, ia berusaha mengendalikan diri, agar tidak terlihat lemah di hadapan dua perempuan itu. “Ahm, ya Bu. Mbak?” Affan sedikit membungkukkan badan agar bisa menatap ke arah Indah.“Apa yang bisa saya bantu? Em, apa ini berhubungan dengan uang yang Mbak berikan ke pada saya semalam?”“Uang?” Ibu Sarah kontan menoleh ke arah Affan. Kenapa Indah memberikan uangnya ke pada Affan dan b
“Pulanglah dan bersiap, Fan. Kamu tak perlu berada di sini. Biar kami yang bereskan!” perintah ibu Sarah ke pada menantunya itu.“Hem, ya. Sebaiknya Mas Affan istirahat. Saya lihat, Mas terlalu lelah dan belum bisa berpikir dengan jernih.” Indah menimpali, setelah melihat reaksi Affan yang diam saja sejak dia bicara.“Ehm, ya, Bu.” Affan bangkit dari tempat duduknya dan berniat pulang ke rumahnya sendiri untuk mengikuti kemauan mertuanya itu.Namun, belum lagi Affan melangkah. Suara ibu mertua menghentikannya. “Fan, Ibu tidak minta kamu memikirkan dan memintamu memilih.”Ucapan itu tentu saja membuat Affan terkejut dan tak nyaman sekaligus. Pria yang sebelumnya sudah sempat memperlihatkan punggung ke pada dua wanita yang bersamanya tersebut, kontan membalik tubuh untuk berhadapan dengan mereka.”Maksud Ibu?” ia ingin memperjelasnya. Kenapa Affan tak diberi pilihan? Apa artinya dia harus mengiyakan kemuan mereka?“Ya, kamu pikir bisa mengembalikan uang Indah?” tanya ibu Sarah.“Bu, say
“Kenapa rumah Pak Joko sangat menyeramkan? He he. Saya dan anak –anak merasa di alam lain saat ke rumah di kampung sebelah,” tanya Pak RT.Kini mereka sudah mulai bisa berbicara santai, setelah Pak Joko mengatakan dirinya semalam berada di pesantren. Itu sudah cukup membuktikan bahwa dia tidak bersalah untuk saat ini.Karena bahkan, Abah Bisri tahu jika menilai orang lain itu sesuai apa yang terlihat dzahirnya. Bukan apa yang tersembunyi di dalam hati. Kita bahkan dilarang memberikan label munafik ke pada saudara kita sesama muslim.“Ehm, ya. Kiai bilang kalau rumah kami dihuni banyak jin kiriman seseorang untuk mengancam kami.” Pak Joko tersenyum miris. Dia tak tahu betul, sihir seperti apa yang sebenarnya dikaji oleh Indah.Hanya saja, sejak istri Joko keceplosan mengatakan kalau dulu Ikhwan suaminya adalah mantan Sarah, wanita itu sikapnya perlahan mulai berubah. Dan makin kentara begitu dia kehilangan suaminya. Istri Joko pikir, Indah sudah memiliki kelainan jiwa karena merasa san