Share

Skandal

Penulis: Babytiran
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-25 08:06:50

Cahaya mentari masuk dari jendela dengan gorden yang dibuka lebar. Rhea mengernyit, merasa terganggu. Dia menggeliat, lalu merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Matanya mengerjap. Kemudian dia tersadar berapa di tempat asing.

Matanya membelalak, penggalan ingatan semalam muncul memenuhi dirinya, kejadian panas dia dan seorang pria asing tak terelakkan.

"Tidak!"

"Ini hanya khayalan. Ya! ini hanya mimpi." elaknya.

Rhea tertunduk dengan kedua tangan yang menarik kuat rambutnya. Tatapannya kosong, "Ini tidak mungkin! ini tak mungkin terjadi padaku!" dia bergumam, bersikeras menolaknya.

Rhea terdiam, kala menyadari sekarang dia bangun tanpa mengenakan seutas benang pun, dengan baju tercecer sembarang di lantai. Kemudian air matanya menetes begitu saja.

Bulir keringat bermunculan didahinya dengan butiranya yang perlahan bergulir. "Argh!!" Rhea berteriak dalam benak. Ekspresinya sangat kacau.

"Bagaimana bisa? bagaimana bisa ini terjadi padaku?!" gumamnya berkali-kali dengan putus asa. Rhea menyeka wajahnya dengan tubuh gemetar.

Lalu terdengar suara seseorang memutar keran air, tampaknya pria semalam tengah mandi.

Jantung Rhea berdegub kencang, dengan perasaan ketakuan yang kian mencekik. Dia buru-buru mengenakan bajunya, dia tak ingin pria itu mendapatinya yang telah terbangun. Lalu dia dengan hati-hati keluar dari kamar itu. Tak lupa meraih ponselnya yang ada di meja.

Setelah berhasil keluar dari kamar itu. Rhea tak meminta bantuan pada orang-orang hotel, dia takut jika orang-orang di sana bekerja sama dengan pria itu. Rhea berlarian kencang meninggalkan tempat itu.

Syok dan takut. Tentu saja bagi seorang Rhea De Dominic yang usianya 25 tahun, dia sangat menjaga kesuciannya. Dia tak pernah berharap akan direnggut mudah dengan cara keji. Rhea duduk di trotoar jalanan dengan perasaan pedih, air matanya menetes deras.

__

Sampai di kediamannya, Rhea bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Keran wastafel dia putar, membiarkan air membersihkan tubuhnya. Dia memeluk diri erat. Kali ini dia tak mampu menahan air mata yang terbendung. "Kotor!! menjijikan!!"dia menangis terisak.

Rhea menyender pada tembok, tertunduk pelan, tangannya menarik kasar rambutnya. Tatapannya kosong, seakan dia membenci dirinya sekarang. Rasanya lelah, beberapa kali dihadapkan dengan banyak kesialan.

Setelah terisak dan menyalahkan diri. Rhea memberanikan menatap diri di cermin. Banyak bekas kecupan di bagian tubuhnya. "Tanda sialan ini!! aku membenci ini!!" teriaknya dengan air mata berderai. Dia berusaha keras menghilangkan tanda kecupan dengan mengusap kasar tubuhnya, namun itu sia-sia kulitnya menjadi tergores.

Lama meratapi diri didalam kamar mandi, sekarang Rhea sedikit lebih tenang. Toh, dia tak bisa mengembalikan hal yang telah terjadi. Dia hanya perlu sedikit lebih kuat, lagi pula dia sudah terbiasa berpura baik-baik saja.

Rhea memilih menenangkan diri dengan merebahkan tubuh ke kasur. Dia ingin istirahat dengan tidur tenang. Dengan harapan segala kesedihan akan sirna.

"RHEA DE DOMINIC!!"

Terdengar lengkingan suara Ayah memanggil namanya lantang. Berisi emosi menggebu yang siap mengamuk.

Rhea terperanjat kaget, dia menjadi cemas. Dalam benaknya dia menebak-nebak alasan apa yang membuat Ayahnya marah. "Mungkinkah Ayah tahu sesuatu?"

Rhea beranjak dari kasurnya, hendak keluar dan menemui sang Ayah.

Brak!!

Pintu didorong paksa. Rhea yang tak kunjung keluar membuat Ayahnya yang sudah tak sabaran menemuinya dengan amarah kian tersulut. Wajah tegas itu tampak merah penuh emosi yang meledak-ledak.

Prak!

Lalu beberapa foto dilemparkan tepat di wajahnya, sembari tatapan menusuk terarah padanya.

"Itu yang kau katakan bekerja lembur? Apa ini pekerjaanmu sebenarnya?!"

"Bermain-main seperti wanita murahan?! tindakan hinamu menjatuhkan martabat keluargamu!!"

"Dimana kewarasanmu huh!!" pekik Ayahnya lantang.

Rhea memunguti beberapa selembaran foto dengan perasaan resah. Kala melihat foto itu, dia tak terkejut.

Seperti yang diduga, dengan cepat seseorang telah mengambil fotonya semalam.

Dalam industri film ataupun sutradara sekali pun tentu ada persaingan, atau beberapa oknum yang menggunakan sedikit kelemahan untuk keuntungan mereka. Berhasil merusak nama Hendra De Dominic akan menjadi kesenangan pesaingnya.

Setidaknya itu bukan foto adegan panasnya. Hanya fotonya yang masuk ke hotel dengan dibopong dua orang pria.

"Benar! Dua pria bajingan yang menyeretku dalam masalah ini." benak Rhea, dia amat membenci dua pria sialan itu.

Pikiran Rhea yang melayang membuatnya mengabaikan segala ucapan yang di lontarkan padanya, sampai...

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipi kananya. Rhea membelalak kaget, jemarinya spontan mengelus pipi yang di tampar Ayahnya. Rasa sakitnya sangat pedih bertambah dan terus saja bertambah.

"Itu akibat kau seolah mengabaikan Ayahmu yang tengah berbicara serius!" Ayahnya melotot menatapnya tajam.

Rhea mengeratkan rahangnya, matanya berkaca-kaca. Dia berusaha keras menahan diri dari emosi yang kian memenuhi.

Dia memang salah, namun siapa yang tahu hal ini akan terjadi. Hanya saja hal yang menyakitkan ketika Ayah adalah orang yang diharapkan lebih memperhatikannya, sama sekali abai padanya dan sekarang tangan besar itu berani menamparnya. Kesakitan apa yang belum di rasakan dari pria bernama 'Ayah' ini.

"Ayah tak habis pikir, mengapa kau terus menerus mencemari nama keluarga?! Dari hanya karyawan biasa dan sekarang kau berusaha membuat skandal lain, huh!"

"Apa kau tak tau, Ayah harus mengeluarkan banyak uang untuk menutup mulut mereka. Dari identitasmu yang karyawan biasa, dan sekarang kau malah membuat skandal baru. Mereka memerasku lebih banyak sekarang! Semua semata agar kelakuanmu tak bocor!"

Ayah menunjuk-nunjuk kearah Rhea kesal.

Rhea menarik napas pelan, mengatur diri agar tangisnya tak pecah "Tidak. Ayah hanya menyelamatkan citra Ayah! Juga citra Lili yang sebentar lagi akan bermain peran, itu bukan semata untukku!"

"Kenapa kau seperti ini? Sekarang kau jauh keras kepala!"

Rhea menggigit kuat bibirnya, apa yang di ketahui Ayah tentangnya. Hanya marah dan menyudutkannya.

Rhea mengepal jemarinya kuat dengan gumaman pelan. "Pernahkah Ayah bertanya apa aku baik-baik saja? Aku tak mengerti mengapa Ayah begitu keras menyembunyikan identitasku. Itu bukan hal yang memalukan, aku masuk di perusahaan besar atas usahaku sendiri." 

Jika masalah skandal, itu di luar kendalinya. Dia pun tak berkeinginan melakukan hal hina semacam itu. Ayahnya sendiri yang mempersulit dirinya tanpa merasa puas atas pilihannya.

Kemudian Rhea menatap Ayahnya tajam. "Aku kacau karena Ayah, segalanya karena Ayah! Andai Ayah tak membawa wanita itu, maka hidupku akan lebih baik dengan Ibu yang masih di sisiku!" ucap Rhea lantang dengan air mata berderai, dia tak mampu menahannya lagi.

Rhea mengusap kasar air matanya. "Sedikit uang bukan masalah. Lakukan seperti sebelumnya, skandal Ayah dan wanitamu kala itu. Ah, Ayah perlu mengeluarkan sedikit uang lagi untuk putrimu ini."

Rhea tersenyum pahit.

Itu berhasil memprovokasi Ayahnya, tangan yang besar itu melayang ke arahnya lagi. Namun, Nenek datang menengahi keduanya.

"Ada apa ini? Apa tadi tak cukup, dan sekarang kau meluapkan kekesalan pada cucuku di sini?!"

Nenek menatap Hendra marah. Dia sangat tak suka cucunya diperlakukan buruk oleh anaknya yang bergelar sebagai Ayah.

Rhea bergegas menyembunyikan fotonya, dia tak ingin nenek melihatnya dan membuat kesehatan nenek memburuk.

Ayahnya juga sama tak ingin kesehatan Ibunya kian memburuk maka dari itu dia memilih melepaskan Rhea kali ini. Selagi bukan hal fatal mungkin masih bisa ditolerir.

"Jika sampai hal-hal seperti ini terjadi lagi, maka Ayah tak akan membiarkanmu. Rupanya kau tak berbeda dengan Ibumu sangat keras kepala!!"

Rhea mengepal kuat jemarinya menatap punggung Ayahnya yang kian menjauh. Lalu, sentuhan lembut Nenek berhasil menenangkannya.

"Pipimu merah. Ah, anak itu dia memperlakukanmu dengan kasar." Nenek meminta Rhea sedikit menunduk.

Rhea menurut, nenek mengelus pelan pipinya "Maafkan Ayahmu itu. Nenek tak tau mengapa sikapnya sangat buruk."

Rhea menatap neneknya lekat. Rahina De Dominic, ketika muda adalah wanita cantik yang tak kalah pamor dari sang Ayah sebagai sutradara. Sekarang meski sudah berumur, beberapa wajahnya berkerut dengan rambut putih memenuhi, neneknya tetap cantik.

Terlebih dalam rumah ini neneknya selalu mendukung mendiang Ibunya. Namun tetap saja dia kalah dari ego anaknya sendiri yang lebih memilih wanita barunya.

Nenek yang sama sekali tak mengharuskannya mengikuti jejak keluarga. Memberikannya kasih sayang dan dukungan penuh. Tapi apa yang dia lakukan?

Rhea mencengkeram erat roknya, dia tertunduk dengan air mata menetes. Dia merasa sangat bersalah pada neneknya, dia menyembunyikan rahasia besar.

Jika neneknya tahu, bagaimana? Rhea sedikit gelisah, mungkinkah neneknya akan tetap lembut atau sikapnya akan berubah karena kecewa?

Beruntung lagi Ibu dan adik tiri Rhea tak ada di rumah jika mereka disini maka keributan besar tak bisa terelakan. Dia sangat lelah dihadapkan dengan banyak hal.

Nenek menariknya dalam pelukannya membiarkannya menangis lebih lama lagi. "Tidak apa-apa."

Kalimat itu berhasil menenangkan hati Rhea.

Lalu neneknya sadar mengenai pakaian Rhea sekarang "Jarang sekali kau mengenakan baju dengan bagian leher tertutup begini?"

Rhea membuang muka, lalu menjawab "Ah, aku hanya ingin."

Nenek bahkan tak bertanya apapun, mengapa Ayahnya begitu marah. Karena hal itu bukan sekali dua kali terjadi.

"Hey, mengapa lehermu tampak memar kemerahan?" tanya neneknya yang melihat ada yang aneh di leher Rhea.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tanda Cinta Tuan Benjamin   Berikan pelukan

    Rhea termenung di atas kasur nya. Sampai pagi menyapa, Benjamin benar-benar tak menemuinya. Ya! ketenangan yang dia inginkan sejak kemarin. "Namun, mengapa aku sedikit kecewa?" Entah mengapa hatinya terasa resah sejak semalam. Keseharian yang tak biasa Rhea lewati tanpa adanya kehadiran Benjamin. Rhea ingat bahwa setidaknya setiap Benjamin pergi untuk mengurus pekerjaannya. Dia tak pernah pergi tanpa menemuinya lebih dulu. Dia akan datang dengan kata manis yang di rangkai indah, lalu bersikap manja padanya. Marah sekalipun pada akhirnya Benjamin akan menemuinya bak tak terjadi hal apapun, dan hari-hari akan berjalan seperti biasa. "Untuk apa aku memikirkannya." Rhea tak akan ambil pusing tentang Benjamin lagi. Lagipula pria yang membawa wanita yang katanya di cintai namun tak berniat menjadikannya rumah. Rasanya sia-sia. Rhea menghabiskan waktu nya seperti biasa. Dia sibuk dengan kegiatan barunya merajut baju. Hingga malam tiba, Benjamin benar-benar tak terlihat.

  • Tanda Cinta Tuan Benjamin   Kesabaran dan ambang batas

    “Wajah tertekuk dengan dahi mengkerut tak cocok dengan mu!” tukas Benjamin. “Ha! Memang siapa yang membuatku begini?” gumam Rhea. Rhea berusaha keras terlepas dari genggaman tangan Benjamin, namun apa daya genggamannya sangat kuat.Kesal! jelas itu tergambar di wajah Rhea. Dia ingin mencaci, memarahinya, dan memukul kuat pria yang mengekangnya dengan perhatian yang membuatnya kebingungan dan sulit berkutik.Pada akhirnya dia mengurungkan niatnya, sudah jelas pria besar ini tak akan pernah berniat kalah darinya hal sekecil apapun itu. Dia menatap datar wajah Benjamin yang bahkan tampak santai dengan senyum yang terukir indah dibibirnya. Bak tak menyadari kekesalan diwajah istrinya atau dia pura-pura tak tahu bahwa istrinya tengah menahan amarahnya? Kesabaran ada ambang batasnya dan diperlakukan seperti orang bodoh, memilih tetap diam juga melelahkan.Rhea menghela napas, dia lelah dan tak ingin berdebat lagi. Berdebat dengan Benjamin hanya membuat tensinya naik. Senyum terpaksa Rh

  • Tanda Cinta Tuan Benjamin   Berikan kecupan!

    Bayangan bahwa semua perkataan Benjamin akan di tepati, nyatanya janji-janjinya hanya angin lalu yang terhembus begitu saja. Bertemu dengan keluarga Benjamin? Tak pernah sekalipun itu terjadi. Ketika Rhea menanyakan perihal tersebut. Selalu saja Benjamin mengalihkan pembicaraan. Semua berlalu hingga lima bulan, dan kehamilan Rhea telah memasuki delapan bulan. Tak sekalipun kalimat Benjamin terealisasikan. Hingga Rhea lelah untuk menanyakan hal itu lagi dan memilih diam. Kehamilan 8 bulan membuat Rhea kesulitan berjalan, terlebih pergerakan bayinya menjadi lebih aktif. Rhea lebih banyak menghabiskan harinya berjalan-jalan di sekitar halaman rumah. Meski dia bosan, namun dia merasa jauh lebih aman untuknya tetap berada di sekitar rumah. Rhea duduk di kursi taman belakang rumah. Dia menghela napas pelan sembari mengelus-elus perutnya yang membesar, sesekali terasa pergerakan bayinya yang menendang-nendang. “Sebentar lagi kau akan lahir. Itu tak terasa sekali.” Rhea tersenyum ma

  • Tanda Cinta Tuan Benjamin   Membangunkan adik kecil

    “Bagaimana, aku sudah wangi bukan?!” Benjamin tersenyum nakal. Rhea menarik dirinya sedikit menjauh. “Ya, kau sudah wangi.” jawabnya. “Tak perlu sampai mencumbu ku, dari jauh aku bisa mencium bau sabun dari mu.” uap Rhea sembari mendorong pelan Benjamin menjauh darinya. “Ah! Kau perlu merasakan langsung diriku yang sudah wangi ini.” goda Benjamin, dia menunduk menatap Rhea yang terlihat kesal padanya. Rhea bangkit dari duduknya. Dia tampak menghindari situasi yang jelas akan terarah kemana. “Ben sangat berbahaya jika menuruti godaan nya. Mengapa dia bertelanjang dada dan hanya menutupi bagian bawahnya dengan handuk kecil. Otot-otot dadanya sangat menarik perhatianku.” benak Rhea. Dia berdiri didekat jendela, menghindari Benjamin dengan wajah merona merah. Meski Rhea terkesan menolak dan menghindar, nyatanya pikirannya tengah kacau dan tertuju pada dada bidang Benjamin. “Pikiran mesum apa ini.” Rhea berusaha memblokir pikirannya yang terus tertuju pada Ben. Dia bahkan memukul

  • Tanda Cinta Tuan Benjamin   Karena Bunga

    Sepanjang hari Rhea termenung dikursi dengan menatap kearah luar jendela, menatap langit, cuaca yang berubah-ubah, lalu lalang burung yang berterbangan, dan pesawat yang melintas beberapa kali.Semua itu adalah upayanya mengalihkan pikirannya.“Apa yang tengah kau lakukan?!” Rhea tersentak lantas menoleh, disebelahnya dia mendapati Benjamin. Dia bahkan tak menyadari kapan tepatnya kedatangannya. “Ini untukmu.” Benjamin memberikan buket bunga pada Rhea. Benjamin memberikannya begitu saja dengan wajah datarnya. Dia terlihat kaku.Mata Rhea membulat dengan ragu-ragu dia menyentuh buket bunga itu. “Kebetulan sekali aku menyukai mawar merah.” benak Rhea. “Ini sangat indah.” puji Rhea. “Aku senang kau menyukainya.” tukas Benjamin lantas menatap lekat wajah istrinya. “Mengapa tiba-tiba bunga?!” tanya Rhea penasaran. “Tak ada alasan.” jawab Benjamin.“Mm, biasanya bunga di berikan pada hari spesial. Mungkin ulang tahun, anniversary, Valentine, ya hari semacam itu. Aku tak tengah beru

  • Tanda Cinta Tuan Benjamin   Club

    Setengah hari berlalu dan Rhea lebih banyak berdiam dikamarnya. Setelah mengetahui bahwa yang kakek itu katakana bohong. Rhea merasa bodoh, percaya dengan ucapan dari orang asing. Rhea lebih banyak merebahkan diri diatas kasur dengan mata terpejam, namun tak mampu tertidur. Itu adalah bentuk kekhawatiran dan stres berlebihan tanpa dia sadari. Kemudian Rhea bangkit dari kasurnya, dia duduk di kursi dan mulai membaca buku yang sebelumnya telah dia minta ambilkan pada pelayan Ina. Rhea ingin mengalihkan pikiran-pikiran yang membuatnya frustasi, terlebih tentang Benjamin. Sedetik kemudian air mata Rhea menetes begitu saja. “Bohong jika aku tak khawatir, bohong jika aku tak takut.” Rhea menyeka air matanya dan berusaha menenangkan diri. Lalu pembahasan mengenai Vantoni yang masih belum menemukan titik temu membuat kekesalan dalam diri Benjamin kian memuncak. Ditambah dengan Rhea yang semakin penasaran dan bergerak untuk mencari tau tentangnya. "Saat ini aku masih bisa menyembunyi

  • Tanda Cinta Tuan Benjamin   Memuaskan penasaran

    Rhea mendorong dada Benjamin. “Tidak. Aku tak ingin kau menyentuhku malam ini.” “Apa yang kau pikirkan itu hanya kecupan selamat malam.” Jelas Benjamin sembari tertawa. “Aku tak akan tertipu.” Rhea tak percaya, sering kali Benjamin berkata demikian, namun berbeda dengan tindakannya. “Sungguh?!” goda Benjamin. Rhea menjauh dari Benjamin. Dia bahkan membelakangginya. Keresahan memenuhinya dan engan menyambut sentuhan-sentuhan Benjamin. Tak ada protes atau kata-kata tajam dari Benjamin. Benjamin malah memeluk Rhea dari belakang, lantas memejamkan matanya, beberapa menit dia telah tertidur dengan pulas. Rhea tak menduga bahwa malam ini Benjamin sungguh tak melakukan hal-hal mesum seperti yang di pikirannya. Wajah Rhea merona malu, rupanya sungguh hanya dia yang memikirkan itu. Kemudian dia ikut tertidur dengan pulas. Dia akan memastikan ruangan itu esok harinya. Pagi harinya Benjamin telah bersiap. Dia menatap Rhea yang masih tertidur pulas. Dia mendekati Rhea, lantas berkat

  • Tanda Cinta Tuan Benjamin   Membuatnya Hanya membutuhkan ku

    "Jangan malu dengan panggilan Sayang dariku!" goda Benjamin. Rhea meluruskan tangannya tepat ke arah Benjamin, dia bak meminta Benjamin untuk berhenti menggoda nya. Rhea tak ingin berakhir lagi dengan panas yang menggelora. Rhea berusaha memblokir pikiran-pikiran mesumnya. Kemudian dia berjalan lebih dulu menaiki tangga, mendahului Benjamin. Rhea tak ingin terjebak dengan situasi yang akan sulit dia hadapi nantinya. Terlebih Benjamin sangat suka menyentuh bagian-bagian sensitif nya. Rhea terus melangkah, namun dalam benaknya dia sungguh penasaran dengan ruangan itu. Dia ingin memastikan sendiri kalimat dari kakek itu. Rhea menoleh kearah ruangan itu sepintas dengan kaki yang terus melangkah menaiki anak tangga. Benjamin yang berada tepat dibelakang mengamati gerik Rhea, tatapannya tajam. Lantas Benjamin mempercepat langkahnya, dia merangkul pinggang Rhea. Dengan cepat ekspresi nya berubah lebih hangat. “Jalanmu sungguh lambat.” Ucap Benjamin menoleh kearah Rhea. “Mm, aku sedi

  • Tanda Cinta Tuan Benjamin   Penasaran yang tinggi

    Kekhawatiran dan rasa cemas memenuhinya. Rhea terus memikirkan kalimat kakek itu hingga malam tiba. Rhea tak tenang hingga sulit memejamkan matanya. Rhea sampai tak menyadari. Detik, dan menit terus berjalan. Hingga suara langkah kaki terdengar mendekat. Rhea berpura memejamkan matanya. "Benjamin sudah pulang." benak Rhea menebak. Karena tak mungkin orang lain masuk ke kamarnya di tengah malam. Kemudian langkah kaki Benjamin mengarah ke kamar mandi, suara air mulai terdengar. Rhea semakin gelisah. “Sebaiknya ku katakan saja mengenai perkataan kakek tadi?!” “Tidak! Aku akan memeriksa dan memastikan lebih dulu mengenai perkataan kakek itu.” benaknya. Ceklek!! Suara pintu kamar mandi terbuka. Terdengar langkah kaki Benjamin yang mengarah padanya. Rhea kembali memejamkan mata. Rhea merasa risih, dia merasakan tatapan tajam terarah padanya. “Hm! Kelopak matamu bergerak-gerak. Kau tak pandai berbohong.” tukas Benjamin. Kala mendengar kalimat Benjamin, tanpa sadar Rhea mengerutka

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status