Share

Bab 7. Ayah kandung baby Aydan

Devina langsung menoleh terkejut ke arahku. Dengan tergesa-gesa dia melepas puting payudaranya dari mulut baby Aydan. Baby Aydan langsung menangis, mungkin karena belum kenyang menyusu.

Dengan gesit aku berlari mengejar Devina yang hendak kabur. Untung saja aku sudah mengunci pintu kamar ini sesuai arahan mas Gibran, kalau tidak Devina pasti sudah melarikan diri.

"Ternyata benar kecurigaan Mbak selama ini, kalau kamu adalah ibu kandungnya baby Aydan. Sekarang kamu bisa menjelaskan apa mengenai hal ini, Vina?"

Langsung saja aku todong dia dengan pertanyaan. Tidak akan kubiarkan Devina lolos begitu saja. Aku akan meminta kejelasan atas perbuatannya. Sebelum aku dapat penjelasannya, maka Devina akan tetap aku tahan.

Devina sangat gelisah terlihat dari gerakaan tangannya yang terus berusaha melepaskan diri. Bukan Lastri namaku kalau mengalah begitu saja. Langsung saja kueratkakn genggaman tanganku pada pergelangan tangan Devina hingga membuat Devina meringis kesakitan.

"Mau mencoba kabur?" Tanyaku sambil menyeringai.

"Mbak Las, tolong lepaskan!" Devina mengiba. Tentu saja aku tidak menurutinya. Di sini yang harus nurut itu Devina, bukan aku.

"Tidak, sebelum kamu menjelaskan tentang perbuatanmu." Aku tetap kekeh. Namun, ternyata Devina sama keras kepalanya. Dia menggigit tanganku sehingga refleks aku melepaskan cekalan tangan pada pergelangan tangannya.

Devina berlari ke arah jendela yang tidak terkunci. Namun, aku tidak kehabisan akal. Aku berteriak lantang mengancam Devina. "Kalau kamu tidak berhenti, maka aku akan memberitahu semua orang kalau ibu dari baby Aydan sekaligus yang meninggalkannya begitu saja di depan pintu rumahku adalah kamu."

Kaki Devina yang sudah ingin menaiki jendela sontak terhenti. Dia berbalik memandangku takut. Aku bersorak senang dalam hati karena ucapanku barusan berhasil membuatnya tidak jadi melarikan diri.

Perlahan Devina kembali menghampiri baby Aydan yang masih menangis. Dia membawa baby Aydan ke atas pahanya setelah mendudukan tubuh di atas ranjangku. Otomatis tangisan baby Aydan terhenti begitu rasa nyaman dekapan sang ibu ada pada kehangatannya.

Aku benar-benar tidak menyangka gadis pendiam seperti Devina bisa hamil di usianya yang masih belia. Lalu siapa laki-laki yang sudah menghamilinya? Aku meringis sedih menyayangkan masa depannya.

Devina yang aku pergoki saat tengah menyusui baby Aydan hanya bisa terdiam kaku. Mungkin dia terkejut karena tidak menyangka kelakuannya diketahui olehku.

Aku melangkah mendekati Devina yang kini sudah tertunduk malu. Aku tahu Devina menangis dari bahunya yang bergetar. Setelah aku tepat berada di depannya, aku berjongkok agar tinggiku sejaajar dengan baby Aydan yang kini ada di atas paha Devina.

Aku menatap Devina lembut, "kamu ibu kandung baby Aydan?" Tanyaku to the point. Walaupun aku tahu jawabannya adalah iya. Namun, aku tetap bertanya untk menghormati privasinya Devina.

Devina mengusap air matanya, "iya, Mbak Las."

Kuusap pipi gembul kemerahan baby Aydan. "Kamu sengaja meletakan baby Aydan di depan pintu rumah Mbak Las?"

Devina menatap langsung mataku. Dari matanya aku dapat melihat sejuta penyesalan dan tatapan terluka. Aku tidak tahu apa yang sudah gadis remaja ini lewati sehingga melahirkan baby Aydan, tapi yang pasti aku akan dengan senang hati mendengarkan kisahnya bila Devina mau bercerita.

"Maaf, Mbak Las. Aku bingung. Aku masih sekolah dan ibu juga tidak tahu kalau aku selama ini hamil." Devina terisak disela ucapannya. "Aku tahu Mbak Las sangat menginginkan seorang anak, jadi aku berpikir dengan meletakan anak aku di depan pintu Mbak Las, maka Mbak Las sama mas Gibran mau mengurusnya."

Aku berdiri dan ikut mendudukan tubuh di atas ranjang agar bersisian dengan Devina. Kupandang langit-langit kamar, lalu menghela napas perlahan. Ku tatap Devina lekat, "siapa laki-laki itu?"

"Dia... Aryo, teman sekelas aku, Mbak Las."

"Kenapa kamu sampai melakukan hal itu?" Aku tak habis pikir, apa sebelum melakukan hal terlarang itu Devina tidak mikir bagaimna kalau hamil? Harusnya sebagai seorang pelajar, Devina memikirkan masa depannya! Bukan malah merusaknya dengan hawa napsu sesaat.

"Aku.., aku juga gak tahu Mbak Las. Saat itu aku terbawa suasana. Saat sudah sadar, aku tahu bahwa mahkotaku sudah terenggut. Aku menyesal Mbak, aku sangat menyesal. Namun, saat aku meminta Aryo untuk mempertanggung jawabkannya, Aryo malah menyuruhku untuk menggugurkan anak dalam perut aku. Aku menolaknya, makanya selama ini aku selalu memakai jaket tebal untuk menutupi kehamilanku."

Aku membawa Devina ke dalam pelukan. "Apa kamu mau Mbak datangi Aryo itu?"

Aku tentu akan menyurih Aryo mempertanggung jawabkan perbuatannya. Habis manis sepah dibuang. Aryo ini sangat keterlaluan. Bagaimana bisa dia membiarkan Devina menanggung kesalahan mereka berdua? Pokonya aku akan memperjuangkan hak untuk Devina.

"Tidak usah, Mbak Las. Aku takut ibu malah mengetahuinya jika sampai Mbak Las mendatangi Aryo. Aku gak mau ibu mennggung malu, cukup aku saja yang berdosa dan menanggung semuanya sendiri."

Aku melepas pelukanku pada Devina. Aku tak mengerti, kenapa Devina ini tidak mengatakan hal sebenarnya saja pada bu Yulis. Alasan tidak mau bu Yulis menanggung malu, lalu apa perbuatan Devina yang menaruh sembarangan baby Aydan di depan rumahku itu tidak keterlaluan.

"Harusnya kamu katakan hal ini pada bu Yulis. Menaruh baby Aydan di depan pintu rumah Mbak juga tidak dapat dikatakan benar. Setidaknya kalau kamu mengatakan yang sebenarnya pada bu Yulis, baby Aydan akan diurus oleh bu Yulis. Kamu juga tidak perlu sembunyi-sembunyi mendatangi baby Aydan seperti ini."

Aku tahu perkataanku ini kejam. Namun, mau bagaimana pun, aku cukup marah pada pemikiran egois Devina yang seakan-akan perlakuannya pada bbay Aydan hanya semata demi melindungi nama baik dirinya serta nama baik bu Yulis saja. Lalu apa dia tidak memikirkan nasib baby Aydan kalau dia tidak bersedia mengurusnya?

Begitu mendengar perkataanku, Devina langsung menaruh baby Aydan di atas ranjang. Dia berdiri sambil menyorot aku dengan tatapan nyalang. "Jadi Mbak Las gak ikhlas ngurusin baby Aydan selama ini. Mbak Las gak ngerti. Mbak Las gak akan pernah mengerti dengan yang aku alami selama ini. Kalau sampai ibu mengetahui aku hamil, bukan hanya menyuruh untuk menggugurkannya saja, ibu juga akan menghukum aku habis-habisan. Kalau Mbak Las tidak mau mengurus anak aku, maka biarkan aku membawanya dan akan ku titipkan di panti asuhan. Setidaknya aku tahu anak aku ada di mana dan bisa melihatnya untuk memastikan dia baik-baik saja."

Aku kaget dengan jawaban Devina. Segera aku berdiri dan membantah perkataannya barusan. "Bukan seperti itu maksud Mbak, Vina. Mbak sangat ikhlas mengurus baby Aydan selama ini, jadi kamu jangan menuduh yang enggak-enggak. Sekarang kamu tenangin diri dulu."

Terlihat Devina melengoskan wajahnya marah. Apa perkataanku tadi benar-benar menyakiti hatinya. Aku tahu bu Yulis orang seperti apa, setidak sukanya dia saat mengetahui Devina hamil, aku yakin bu Yulis tidak akan menyuruh Devina menggugurkan kandungannya. Devina hanya terlalu dihantui ketakutan serta rasa bersalahnya yang berlebihan, makanya dia begitu parno dengan hal yang belum terjadi.

"Mbak minta maaf kalau perkatan Mbak tadi sudah menyinggungmu. Mbak tidak akan mengatakan apa-apa lagi. Mbak serahkan semua urusan ini di tanganmu. Jadi jangan marah, ya?" Aku berucap lembut dan perlahan. Jangan lupakan, walaupun sudah punya anak, nyatanya Devina ini masih remaja dengan emosi dan pemikiran labil. Jadi satu-satunya jalan untuk meredakan emosinya, aku sebagai wanita dewasa yang harus mengalah.

Devina mulai kembali melembutkan raut wajahnya. Dia mengangguk. "Iya, Mbak, tapi jangan kasih tahu ibu dulu!"

Aku mengangguk demi kenyamanan bersama. Namun, gedoran pintu membuat Devina terperanjat takut bercampur gelisah. Bukan takut akan gedorannya, melainkan suara nyaring bu Yulis yang memanggil nama Devina.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status