Share

Bab 8. Calon suami Fika

"Mbak Las, gimana ini. Ibu tahu akau ada di rimahnya Mbak Las, padahal aku sudah pergi seapik mungkin agar ibu tidak mengetahuinya. Mbak Las, tolong aku!" Devina memohon-mohon supaya aku membantunya.

"Kamu yang tenang, Vina! Biar Mbak yang buka pintu, kamu jangan panik dulu!." Aku menenangkan Devina yang sudah menangis ketakutan.

Setelah mendapat anggukan dari Devina, bergegas aku membuka kunci kamar. Setelah menarik napas, kubuka pintu depan rumahku. "Ada apa Bu Yulis gedor-gedor pintu aku?" Aku bertanya seolah tidak tahu tujuan bu Yulis datang ke rumahnya untuk mencari Devina.

Bu Yulis curi-curi pandang ke dalam rumahku. Namun, secepatnya aku menutupi pandangan bu Yulis. Bu Yulis mencebikan bibir kesal, "Vina ada di rumah kamu, bukan?"

"Ada apa emangnya bu Yulis cari Vina?" Aku memasang senyum polos dan ramah.

Bu Yulis menatapku sinis. "Sudah deh, kamu gak usah sok baik gini. Aku sudah tahu kalau anaku Vina ada di rumah kamu. Bisa-bisanya kamu deketin anak saya, pasti buat disuruh jagain bayi haram itu."

Tanpa permisi, bu Yulis menerobos masuk ke dalam rumahku. Dia mendatangi setiap ruangan, termasuk kamarku juga.

"Pasti Vina ada di kamar ini," bu Yulis melirik sekilas ke arahku yang berjalan di belakangnya. Namun, saat pintu terbuka Vina sudah tidak ada. Pasti Vina sudah pergi lewat jendela. Ya, syukurlah Vina tidak jadi ketahuan.

"Tidak ada 'kan, bu Yulis?"

Bu Yulis masih tidak menyerah. Dia melihat bawah ranjang, kamar mandi yang terdapat di kamarku, bahkan bu Yulis sampai membuka lemari pakaianku yang aku tidak tahu muat atau tidak bila dimasuki tubuh seseorang karena ukuran lemari itu yang tidak terlalu besar.

Setelah melihat setiap sudut rumah dan tidak menemukan Devina, bu Yulis menatapku marah. "Di mana kamu sembunyikan anakku? Jelas-jelas tadi saya mendengar kamu berbicara keras dengan Devina. Kamu fitnah dia dengan mengatakan ibu dari bayi haram ini itu Devina. Sekarang aku tahu, kenapa bu Marisa begitu tidak menyukaimu. Selain kamu tidak hamil-hamil, kamu ternyata juga tukang fitnah."

Aku terkejut setelah mendengar ucapan bu Yulis. Kenapa dia bisa mendengar ucapanku tadi? Memang aku tadi bicara cukup keras, tapi aku yakin tidak sampai terdengar ke halaman depan apalagi ke rumahnya bu Yulis. Jadi, kenapa bisa bu Yulis mengatakan itu?

"Dengar baik-baik! Vina bukan ibu dari bayi haram ini, jadi jangan suruh dia mendatangi bayi ini lagi!" Bu Yulis berteriak marah.

"Bu Yulis masuk secara diam-diam ke dalam rumah aku?" Tanyaku tidak percaya. Setelah aku pikir-pikir lagi, tidak ada alasan lain yang bisa masuk ke dalam otakku selain ini. Tapi kenapa bu Yulis sampai nekat begitu?

"Mana ada, saya tadi cuma... cuma, cuma mau minta gula saja." Bu Yulis melengoskan wajahnya. Dari gelagatnya aku tahu ada yang disembunyikan bu Yulis.

Kenapa aku merasa kalau bu Yulis ini sebenarnya tahu kalau Devina itu ibu dari baby Aydan, tapi sengaja berpura-pura tidak tahu apa-apa. "Sebenarnya Bu Yulis sudah tahu 'kan kalau Vina itu ibu dari baby Aydan?"

Bu Yulis melotot marah, "heh, sudah saya katakan jangan mengatakan Vina itu ibu dari anak haram ini!"

Aku melipat tangan di depan dada. Ku pandangi wajah pucat pasi bu Yulis yang terlihat tidak nyaman. Aku mendengus tak percaya. Sudah dapat di tebak kalau bu Yulis selama ini memang sudah mengetahui kehamilan Devina. Namun, alasan dia tetap pura-pura tidak mengetahui putrinya itu hamil aku belum tahu. Apapun itu, bu Yulis ini keterlaluan. Di saat Devina kesusahan, dia malah hanya melihatnya dalam diam.

"Kenapa Bu Yulis pura-pura tidak tahu?"

"Apa yang kamu bicarakan? Sudah! Karena Devina tidak ada di sini, saya pulang dulu." Dengan terburu-buru bu Yulis meninggalkan rumahku.

Kupandangi kepergian bu Yulis sambil menggelengkan kepala pelan. Kasihan Devina. Dia mengira selama ini ibunya itu tidak mengetahui kehamilannya sehingga menanggung sendirian di saat kesusahannya, padahal bu Yulis tahu.

***

Aku tersenyum senang saat menginjakan kaki di mall. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin segera membeli semua baju jecil yang akan terlihat lucu bila dipakaikan pada baby Aydan. Ku dirong roda bayi dengan perasaan gembira menuju toko peralatan bayi.

Aku memasuki toko peralatan bayi. Kupilih beberapa baju, celana, dan beberapa kebutuhan lainnya. Setelah di rasa kebutuhan baby Aydan sudah terpenuhi, sekarang aku mau membeli baju untuku dan ms Gibran.

Sesekali aku memang selalu berbelanja seperti ini, entah itu di temani mas Gibran atau sendiri. Punya suami berpenghasilan lumayan, kenapa tidak aku pakai buat senang-senang sesekali. Aku bukannya boros. Namun, ada kalanya aku jenuh terus diam di rumah. Dan mall jelas sueganya para wanita yang gemar berbelanja.

Mas Gibran juga tidak mempermasalahkan uangnya aku pakai buat belanja seperti ini. Namun, yang mempermasalahkan justru mamah mertuku. Dia mengatakan jadi wanita itu harus hemat, cukup keluar uang buat beli bahan dapur saja. Selebihnya simpan buat masa depan. Lah, itu kalau aku dan mas Gibran hidup masih lama, ya uang itu bisa kepakai buat masa depan. Lalu bila aku mati besok, uangnya percuma dong disimpan. Lagipula aku bukan orang pelit untuk kebutuhan sendiri, bahkan ms Gibran yang menyuruhku langsung untuk belanja kesukaanku. Masalah uang, tentu saja tanpa sepengetahuan orang lain aku sudah menabung cukup banyak.

Sedang asyik memilih pakian, tak sengaja aku melihat Fika bersama seorang laki-laki. Aku menyeringai licik begitu melihat kemesraan mereka. Hm, jadi wanita seperti ini menantu idaman ibu mertuaku. Jadi gak sabar ingin melihat pertunjukan di masa depan.

Segera ku keluarkan handphonku. Setelah memastikan tidak ada orang yang memperhatikan, diam-diam aku mengambil beberapa poto Fika yang terlihat intim bersama laki-laki di sampingnya. Setelah merasa cukup, dengan seolah baru pertama berjumpa, aku memasang wajah kaget.

"Fika?" Tanyaku seolah tak percaya bisa bertemu di toko pakaian. Aku melirik laki-laki yang berdiri di samping Fika sambil merangkul mesra pinggang Fika.

Mengetahui ke mana arah pandangan mataku, segera Fika melepaskan tangan laki-laki itu dari pinggangnya. Seperyi orang tengah kepergok selingkuh, Fika terlihat gelisah.

"Siapa dia?" Tunjukku pada laki-laki yang kini menatap Fika dan aku bergantian. Mungkin dia tidak mengerti, kenapa seakan Fika ketakutan saat aku memergokinya.

"Ngapain kamu di sini?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Fika malah mengajukan pertanyaan lain padaku. Terlihat sekali dia mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Kupasang wajah angkuh dan sombong. "Belanja, memangnya apa lagi? Uang suamiku banyak, kalau tidak kubelanjakan takutnya makin tertumpuk."

Kualihkan pandanganku pada laki-laki yang dari tadi diam menyimak pembicaraanku dengan Fika. Terlihat Fika mulai memaang sikap waspda. "Ngomong-ngomong, Mas ini siapanya Fika?"

"Saya Calon Suaminya Fika."

Kubulatkan bibir sambil perlahan menggulirkan tatapan ke arah Fika yang sudah diam membeku.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status