Share

Episode 3

Waktu terasa lamban berlalu, setelah berita tentang pembunuhan itu terekspost oleh awak media. Tanka merasa gelisah dan mulai enggan menunjukkan batang hidungnya, dia lebih memilih mengasah keahliannya dalam bermain pedang daripada harus melihat berita tentang pembunuhan yang telah dilakukannya.

Lain halnya dengan Tony, dia nampak santai dengan game kesayangannya, kebiasaan yang dulu selalu mereka lalui bersama, semasa kecil. Walau terkadang  Tony memperlihatkan gelagat yang aneh, penuh misteri.

David Kavandra Saka, ayah Tanka. Dia adalah sosok yang cukup disegani oleh banyak orang, karena keahliannya dalam memainkan berbagai jenis benda tajam, terutama samurai. 

Dan keahliannya itu diwariskannya kepada Tanka, anak tunggal dari keluarga SAKA. Namun bukan hanya keahliannya saja yang diwariskan, harta yang tak terhitung nilainya pun turut menjadi aset terbesar Tanka.

Namun bukanlah kebahagiaan yang dia rasakan, melainkan rasa sakit hati yang tak kunjung sirna, meski ayahnya telah tiada. Semua itu menciptakan trauma yang mendalam di dalam hati dan ingatannya. Ditambah lagi pengkhianatan yang sama telah dilakukan oleh kekasih juga sahabat terbaiknya. Kejadian beruntun yang singgah di dalam hidupnya.

Bohong ... bila dia mengatakan bahwa dirinya dalam keadaan baik-baik saja. Karena sejatinya, hati dan jiwanya dipenuhi luka yang menganga. Berdarah meski tak berbekas.

Seperti hari ini, dia menyibukkan diri untuk menghibur hatinya yang tengah gundah gulana. Bukan tanpa sebab, dia melakukan itu. Semua berawal dari rasa yang tersia-sia, cinta suci yang berubah menjadi amarah tak terkendali. Menciptakan benci yang seketika membutakan hati nurani, mengalahkan akal sehatnya.

Meski cinta yang dia punya begitu dalam hingga tiada seorang pun bisa menggantikannya. Bagaimanapun Tanka hanyalah gadis belia yang masih sangat labil. Sulit baginya untuk menentukan jalan mana yang harus dia tempuh. Tanka, gadis belia yang belum mampu mengendalikan emosi yang berkobar di dalam hatinya.

"Duduklah! Jangan mondar-mandir kaya' setrika'an, gitu. Pusing aku lihatnya," tukas Tony seraya menarik tangan sahabatnya, hingga Tanka terduduk di sebelahnya.

"Arrrhhh!" teriak Tanka geram.

Gadis itu mengacak rambutnya asal, menarik nafas dalam dan menghembuskannya kasar. 

"Sudahlah, semua telah terjadi, kita ambil saja hikmahnya." Tony bangkit, berlalu pergi  meninggalkan Tanka dengan sejuta sesalnya.  

"Bisakah kau simpan rahasia ini?" ucapan Tanka berhasil menghentikan langkah lebar Tony. 

"Te-tentu saja." Tony meneruskan langkahnya  setelah memberikan jawaban. 

Keesokan harinya.

Tanka kembali mengurungkan niatnya untuk keluar rumah, ditatapnya mobil merah yang masih terparkir di tempat yang sama. 

Matanya terus menatap keluar, menelisik seluruh halaman rumah hingga seberang jalan. 

Dia terus saja mondar-mandir dengan tangan saling meremas. Siang malam pikirannya selalu terjaga, kejadian tragis itu selalu menghantuinya, setiap kali matanya mulai terpejam. 

Langkahnya terhenti seketika, saat sebuah mobil bertuliskan "POLICE" berhenti tepat di depan gerbang rumah yang dia tempati. 

Hatinya semakin kacau, setelah tiga orang dengan badan yang tegap keluar dari mobil tersebut. Nyali yang semula dimilikinya mulai menciut, tenggorokkannya serasa kering dan keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Tanka segera pergi ke dapur, meneguk air putih secukupnya seraya mengatur pernafasan yang terasa sesak.

"Aku harus bisa." Tanka berusaha meyakinkan diri yang mulai goyah. 

Tok 

Tok

Tok 

Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali, membuat kakinya semakin berat melangkah.

"Kok enggak dibukain to pintunya!" seru Tony seraya melangkah mendekati pintu dan membukanya perlahan.

Dari ambang pintu terlihat tiga pria lengkap  dengan seragam dinasnya.

"Selamat siang, Dik!" Seorang Polisi yang berkumis tebal menyapa Tony.

"Siang, Pak! Ada yang bisa saya bantu?" Tony menyapa santai. 

"Benarkah ini rumah Bapak Tony?" polisi itu bertanya lagi. 

"Benar, ada apa ya, Pak?" Tony balik bertanya.

"Begini, Dik. Menurut informasi yang kami dapat, Nyonya Tanka berada di sini, benar demikian?" Tony terdiam sejenak, senyum tipis terbentuk samar di bibirnya. 

"Benar sekali, Pak," jawab Tony.

"Bolehkah kami menemuinya sebentar?" Tony mengangguk dan beranjak masuk. 

"Ka, ada yang nyari'in tuh," ucap Tony setelah mendapati Tanka di dapur dengan segelas air putih di tangannya.

Tanka bergeming, hanya senyum getir yang nampak. Tanka perlahan mengayunkan kakinya menuju ketiga polisi itu berada. Berusaha tenang dengan sisa keberanian yang dia punya. 'Sungguh naif bila harus bilang bahwa aku bukanlah seorang pecundang.' Tanka mengumpat diri sendiri. Karena pada kenyataannya dia berusaha lari dari kejaran hukum. 

"Aku akan mempertanggung jawabkan semuanya, tapi tidak untuk saat ini," gumam Tanka lirih, sesaat sebelum langkahnya terhenti di depan tiga pria berseragam polisi tersebut. 

"Selamat siang, Pak!" Tanka menyapa seraya memberikan senyuman termanisnya, berusaha menutupi kegelisahan yang sedari tadi belum jua terkendali. 

"Siang! Apakah anda yang bernama Tanka?" Salah satu polisi yang berbadan gempal bertanya pada Tanka. 

"Iya, saya sendiri, ada apa ya, Pak?" 

Pak Polisi yang berkumis tebal mengambil selembar foto dan memberikannya pada Tanka. 

"Apakah anda mengenali wajah di dalam foto tersebut?" 

"Umh, tentu saja, Pak. Dia adalah tunangan saya," jawab Tanka santai. 

"Memangnya ada apa ya, Pak?" imbuh Tanka lagi. Pura-pura tidak tau. 

"Apakah anda benar tidak mengetahuinya?" Polisi yang satunya lagi bertanya 

"Tidak, karna setahu saya dia sedang pergi keluar kota." Tanka menjelaskan dengan kebohongannya. 

Mendengar penjelasan dari Tanka, ketiga polisi tersebut saling pandang dengan raut wajah penuh tanda tanya. 

Tanka berusaha tenang, meski gemuruh di dalam hatinya tak kunjung reda. 

"Baiklah, kami harap anda bersedia hadir ke kantor polisi untuk memberikan keterangan perihal pembunuhan yang menimpa  kekasih anda tersebut."  

Seketika kedua tangan gadis itu menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca menahan kesedihan yang mendalam. 

"A--apa maksud, Bapak?" Tanka terbata-bata, seakan tak percaya.  

"Untuk lebih jelasnya, nanti kita jelaskan di kantor polisi." Tanka mengangguk, menyeka air matanya dan berjalan mengikuti ketiga polisi tersebut. Tanka menatap Tony yang berdiri di ambang pintu, sebelum pada akhirnya masuk dalam mobil yang bertuliskan "POLICE" tersebut.

Setelah mobil yang ditumpangi Tanka pergi meninggalkan kediamannya. Tony yang masih berdiri di ambang pintu, perlahan  merogoh saku celana dan mengeluarkan benda pipih dari sana. Tony mulai menekan beberapa angka pada layar ponselnya, dan menempelkan pada daun telinganya.

"Kerja yang bagus," ucap Tony dengan seseorang di sambungan ponselnya.

Tony tersenyum puas di sela-sela perbincangannya. 

"Ok, aku akan segera mentransfer sisa pembayarannya," jawab Tony seraya melangkah menuju kursi di halaman rumahnya dan menjatuhkan bobotnya di sana. 

"Ingat, bereskan semuanya, aku tidak mau ada bukti yang tertinggal di sana, mengerti!" Tony menegaskan lagi, sebelum memutuskan sambungan ponsel miliknya. 

Tony menyelonjorkan kaki dan merentangkan tangannya. Menatap langit yang teramat cerah dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Tony kali ini bukan hanya tersenyum, namun dia tertawa lepas, membuat burung-burung di sekitarnya terbang berhamburan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status