Share

Episode 2

Flash back 

*** Tanka.

***

Kembali di masa kini, di rumah James.

Tangis Tanka langsung pecah, meraung, menangis sejadinya. 

Mengutuki diri sendiri atas semua kejadian yang dialaminya beberapa tahun terakhir ini.

Lama Tanka terpuruk dengan keadaan, dalam ruang berlumur darah yang mulai mengering.

Pembunuhan yang kini disebutnya sebuah hadiah manis yang terkemas dengan indah. Dan tak sedikit pun rasa sesal setelahnya.

Tanka bangkit, masuk kamar mandi, membersihkan diri dari noda darah yang ada pada dirinya.

Lama dia menatap wajah ayu yang terlihat kuyu di dalam cermin.

Mengusap wajahnya kasar, membenahi penampilan yang acak-acakan.

Tanka menatap petakan papan di atas kepalanya, kembali  menunduk dan mencoba menaiki closet yang berada di sebelah kakinya.

Tangannya mencoba membuka salah satu petak papan, setelah terbuka, Tanka melempar pistolnya asal dan menutupnya kembali lalu melangkah keluar.

Tanka kembali menyesap wiski dan menghabiskan beberapa batang rokok sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkan ruangan yang menyakitkan dan penuh noda.

Kini Tanka mulai terbiasa, menghadapi situasi yang sangat menegangkan sekali pun.

Langkahnya mantap tanpa keraguan, keluar rumah menuju mobil yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri.

Menatap rumah megah itu sejenak, sebelum masuk dalam mobil miliknya.

Tanka menstater mobilnya, melaju pelan  kemudian melesat cepat menyibak keramaian jalanan kota.

Di saat seperti ini, Tanka selalu pergi ke rumah Tony, menceritakan semua yang telah terjadi  dan meminta solusi untuk dirinya.

Tanka begitu mempercayai sahabatnya, Tony.

Karena hanya dialah teman yang masih setia dan mau menjadi tumpuan saat Tanka terpuruk. 

"Minum dulu, Ka." Tony menyodorkan segelas teh hangat pada sahabatnya, Tanka. 

Kemudian duduk menjajari gadis ayu itu. 

Tanka menyandarkan kepala pada sofa yang didudukinya, menengadah, dan menarik nafasnya berulang.

Tony yang hafal akan pribadi gadis itu, mengelus kepalanya pelan, dan menggenggam tangannya hangat.

Bagai pelindung yang selalu terjaga, kala gadis itu merasa gelisah.

"Aku mengulanginya lagi." Tanka tertunduk, menatap tangannya yang sedikit gemetar.

"Maksudmu?" Tony menatap gadis itu, penasaran.

"Iya, aku telah menghabisi mereka berdua."

Tony terdiam, dia seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan gadis itu.

"Dia sahabat kecil kita, Ka!"

"Aku tau, tapi dia juga telah mengkhianatiku!" 

Tanka kembali menyesap teh yang masih tersisa hingga tandas.

"Kamu kubur jasad mereka?" 

"Tidak." Tanka berdiri menuang teh dalam gelas. 

"Kamu nekat, Ka." Tony mendengus kesal dengan tindakan yang dilakukan Tanka.

"Itu konsekuensi dari seorang pengkhianat," jawabnya mantap. 

"Terus, apa rencanamu selanjutnya?" 

"Sepertinya aku akan menerima tawaran Paman Jo." Tony menatap gadis itu penuh tanya.

"Tawaran seperti apa yang dia berikan padamu?" 

"Menyelidiki seseorang." Tanka menyulut kembali rokok yang tadi sempat padam. 

"Membunuhkah?" Tony menaikkan alisnya.

"Jika itu dibutuhkan."

"Kamu jangan gila, Ka! Tidakkah kamu jera dengan tindakanmu yang bisa menyeretmu ke ranah hukum?" Tony ngotot.

"Semua sudah terlanjur." Tanka mengusap wajahnya kasar.

"Bagaimanapun kamu adalah sahabatku, aku tak ingin melihatmu terkurung dalam rumah pesakitan." Tony berlalu menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk mereka makan.

"Buruan mandi, Ka! Penampilanmu sungguh berantakan!" teriak Tony dari arah dapur.

Tanka dari kecil memang sudah terbiasa tinggal di rumah Tony, ayahnya pun demikian. 

Usai membersihkan diri, Tanka menuju kamar yang biasa dipakainya. 

Saat hendak memasuki kamar, tiba-tiba Tony melangkah cepat dari arah belakang, membuka pintu kasar dan menyambar album foto yang tergeletak di atas nakas.

"Apa-apaan sih, kamu, Ton. Bikin kaget aja!" 

Tony nyengir dan keluar dengan album di tangan.

"Foto mantan," ucap Tony seraya melangkah setengah berlari.

"Huh, dasar cowok, selalu tertutup tentang mantan." Tanka melenggang masuk dan menutup pintu rapat.

Di lain kamar, Tony menatap foto yang ada di album itu lekat, ada kesedihan di matanya, disertai senyum sinis yang menyiratkan dendam yang dalam. 

Kesedihan yang tak mungkin bisa dihapus oleh siapapun.

Suara bawel Tanka membuyarkan lamunannya, berharap Tony segera keluar dari persembunyian.

"Ish, kamu ngapain lama-lama di dalam?" tanya Tanka setelah mendapati pintu kamar terbuka.

"Biasalah, mengenang mantan," jawab Tony asal.

"Sok romantis, lu." 

Tanka menarik tangan Tony menuju meja makan yang sudah tersedia nasi goreng di sana.

Hening, hanya suara sendok dan garpu yang terkadang saling berbenturan. 

Bagai perasaan yang terus berkelahi dengan ego diri, tak ada yang  mau mengalah. 

"Ton, aku masuk kamar dulu, ya? Capek, mau istirahat." Tanka bangkit setelah menghabiskan sarapannya, berlalu begitu saja meninggalkan Tony sendiri. Seperti biasa, Tony hanya mengangguk dan sibuk dengan ponselnya.

Tanpa terasa, sudah hampir satu minggu Tanka tinggal di rumah Tony. 

Mereka hanya menghabiskan waktu dengan bermain game, dan nongkrong di cafe .

Seperti saat ini, mereka tengah asik menikmati cappuccino hangat dengan beberapa cemilan ringan.

Aktifitas mereka terhenti sesaat, kala salah satu stasiun televisi menyiarkan tentang berita pembunuhan di salah satu perumahan elite. 

Di layar televisi memperlihatkan sepasang kekasih tergeletak tak bernyawa dengan bercak darah yang mengering dan badan yang mulai membusuk. 

"Siapa pembunuh mereka sebenarnya?" tanya seorang pengunjung kepada salah satu temannya.

"Pasti pacarnya, lok bukan saingan berat perusahaannya," jawab teman yang lain.

"Pembunuhnya sadis banget, si wanita ditembak bagian perut juga jantungnya, sedangkan si pria harus kehilangan burung kecilnya, sebelum ditembak kepalanya!" Teman yang satunya lagi menimpali.

"Sadis," ucap Tony menyadarkan sahabatnya . 

"Ayo kita pulang, Ka!" ajak Tony. Usai meninggalkan uang selembaran berwarna merah. 

Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam.

Tanpa sepatah katapun keluar mengurai ketegangan yang ada. 

"Kamu benar-benar sudah tidak waras, Ka!" 

Tony meletakkan kunci mobil asal, sebelum menjatuhkan bobotnya di sofa. 

"Ini bukan salahku." Tanka berkelit. 

"Terus siapa? Aku, gitu? Kamu itu orang terakhir yang menemui mereka," ucap Tony geram.

"Terus aku harus gimana? Sebentar lagi polisi pasti mencariku." Tanka mulai panik. 

"Bersikap biasa saja, mungkin itu bisa menyelamatkanmu." Tony memberi saran.

"Apa mungkin aku bisa melakukannya?" Tanka mulai ragu akan dirinya sendiri.

"Bisa. Kamu pasti bisa melakukannya dengan baik," ucap Tony memberi semangat.

"Thank's, Ton. Kamu memang teman terbaikku." Tanka bangkit dan memeluk sahabat kecilnya itu.

Tony membalas pelukan sahabatnya. Matanya menyipit dengan senyum sinis di ujung bibirnya. Tangan yang mengepal kuat, menyimpan sejuta misteri yang tiada seorang pun mengetahuinya, termasuk Tanka. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status