Flash back
*** Tanka.
***
Kembali di masa kini, di rumah James.
Tangis Tanka langsung pecah, meraung, menangis sejadinya.
Mengutuki diri sendiri atas semua kejadian yang dialaminya beberapa tahun terakhir ini.Lama Tanka terpuruk dengan keadaan, dalam ruang berlumur darah yang mulai mengering.Pembunuhan yang kini disebutnya sebuah hadiah manis yang terkemas dengan indah. Dan tak sedikit pun rasa sesal setelahnya.Tanka bangkit, masuk kamar mandi, membersihkan diri dari noda darah yang ada pada dirinya.
Lama dia menatap wajah ayu yang terlihat kuyu di dalam cermin.Mengusap wajahnya kasar, membenahi penampilan yang acak-acakan.Tanka menatap petakan papan di atas kepalanya, kembali menunduk dan mencoba menaiki closet yang berada di sebelah kakinya.
Tangannya mencoba membuka salah satu petak papan, setelah terbuka, Tanka melempar pistolnya asal dan menutupnya kembali lalu melangkah keluar.Tanka kembali menyesap wiski dan menghabiskan beberapa batang rokok sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkan ruangan yang menyakitkan dan penuh noda.
Kini Tanka mulai terbiasa, menghadapi situasi yang sangat menegangkan sekali pun.
Langkahnya mantap tanpa keraguan, keluar rumah menuju mobil yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri.Menatap rumah megah itu sejenak, sebelum masuk dalam mobil miliknya.Tanka menstater mobilnya, melaju pelan kemudian melesat cepat menyibak keramaian jalanan kota.
Di saat seperti ini, Tanka selalu pergi ke rumah Tony, menceritakan semua yang telah terjadi dan meminta solusi untuk dirinya.Tanka begitu mempercayai sahabatnya, Tony.
Karena hanya dialah teman yang masih setia dan mau menjadi tumpuan saat Tanka terpuruk."Minum dulu, Ka." Tony menyodorkan segelas teh hangat pada sahabatnya, Tanka.
Kemudian duduk menjajari gadis ayu itu.
Tanka menyandarkan kepala pada sofa yang didudukinya, menengadah, dan menarik nafasnya berulang.Tony yang hafal akan pribadi gadis itu, mengelus kepalanya pelan, dan menggenggam tangannya hangat.Bagai pelindung yang selalu terjaga, kala gadis itu merasa gelisah."Aku mengulanginya lagi." Tanka tertunduk, menatap tangannya yang sedikit gemetar.
"Maksudmu?" Tony menatap gadis itu, penasaran.
"Iya, aku telah menghabisi mereka berdua."
Tony terdiam, dia seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan gadis itu.
"Dia sahabat kecil kita, Ka!"
"Aku tau, tapi dia juga telah mengkhianatiku!"
Tanka kembali menyesap teh yang masih tersisa hingga tandas."Kamu kubur jasad mereka?"
"Tidak." Tanka berdiri menuang teh dalam gelas.
"Kamu nekat, Ka." Tony mendengus kesal dengan tindakan yang dilakukan Tanka.
"Itu konsekuensi dari seorang pengkhianat," jawabnya mantap.
"Terus, apa rencanamu selanjutnya?"
"Sepertinya aku akan menerima tawaran Paman Jo." Tony menatap gadis itu penuh tanya.
"Tawaran seperti apa yang dia berikan padamu?"
"Menyelidiki seseorang." Tanka menyulut kembali rokok yang tadi sempat padam.
"Membunuhkah?" Tony menaikkan alisnya.
"Jika itu dibutuhkan."
"Kamu jangan gila, Ka! Tidakkah kamu jera dengan tindakanmu yang bisa menyeretmu ke ranah hukum?" Tony ngotot.
"Semua sudah terlanjur." Tanka mengusap wajahnya kasar.
"Bagaimanapun kamu adalah sahabatku, aku tak ingin melihatmu terkurung dalam rumah pesakitan." Tony berlalu menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk mereka makan.
"Buruan mandi, Ka! Penampilanmu sungguh berantakan!" teriak Tony dari arah dapur.
Tanka dari kecil memang sudah terbiasa tinggal di rumah Tony, ayahnya pun demikian.
Usai membersihkan diri, Tanka menuju kamar yang biasa dipakainya. Saat hendak memasuki kamar, tiba-tiba Tony melangkah cepat dari arah belakang, membuka pintu kasar dan menyambar album foto yang tergeletak di atas nakas."Apa-apaan sih, kamu, Ton. Bikin kaget aja!"
Tony nyengir dan keluar dengan album di tangan."Foto mantan," ucap Tony seraya melangkah setengah berlari.
"Huh, dasar cowok, selalu tertutup tentang mantan." Tanka melenggang masuk dan menutup pintu rapat.
Di lain kamar, Tony menatap foto yang ada di album itu lekat, ada kesedihan di matanya, disertai senyum sinis yang menyiratkan dendam yang dalam.
Kesedihan yang tak mungkin bisa dihapus oleh siapapun.Suara bawel Tanka membuyarkan lamunannya, berharap Tony segera keluar dari persembunyian.
"Ish, kamu ngapain lama-lama di dalam?" tanya Tanka setelah mendapati pintu kamar terbuka.
"Biasalah, mengenang mantan," jawab Tony asal.
"Sok romantis, lu."
Tanka menarik tangan Tony menuju meja makan yang sudah tersedia nasi goreng di sana.
Hening, hanya suara sendok dan garpu yang terkadang saling berbenturan. Bagai perasaan yang terus berkelahi dengan ego diri, tak ada yang mau mengalah."Ton, aku masuk kamar dulu, ya? Capek, mau istirahat." Tanka bangkit setelah menghabiskan sarapannya, berlalu begitu saja meninggalkan Tony sendiri. Seperti biasa, Tony hanya mengangguk dan sibuk dengan ponselnya.
Tanpa terasa, sudah hampir satu minggu Tanka tinggal di rumah Tony.
Mereka hanya menghabiskan waktu dengan bermain game, dan nongkrong di cafe .Seperti saat ini, mereka tengah asik menikmati cappuccino hangat dengan beberapa cemilan ringan.Aktifitas mereka terhenti sesaat, kala salah satu stasiun televisi menyiarkan tentang berita pembunuhan di salah satu perumahan elite.Di layar televisi memperlihatkan sepasang kekasih tergeletak tak bernyawa dengan bercak darah yang mengering dan badan yang mulai membusuk.
"Siapa pembunuh mereka sebenarnya?" tanya seorang pengunjung kepada salah satu temannya.
"Pasti pacarnya, lok bukan saingan berat perusahaannya," jawab teman yang lain.
"Pembunuhnya sadis banget, si wanita ditembak bagian perut juga jantungnya, sedangkan si pria harus kehilangan burung kecilnya, sebelum ditembak kepalanya!" Teman yang satunya lagi menimpali.
"Sadis," ucap Tony menyadarkan sahabatnya .
"Ayo kita pulang, Ka!" ajak Tony. Usai meninggalkan uang selembaran berwarna merah.
Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam.
Tanpa sepatah katapun keluar mengurai ketegangan yang ada."Kamu benar-benar sudah tidak waras, Ka!"
Tony meletakkan kunci mobil asal, sebelum menjatuhkan bobotnya di sofa."Ini bukan salahku." Tanka berkelit.
"Terus siapa? Aku, gitu? Kamu itu orang terakhir yang menemui mereka," ucap Tony geram.
"Terus aku harus gimana? Sebentar lagi polisi pasti mencariku." Tanka mulai panik.
"Bersikap biasa saja, mungkin itu bisa menyelamatkanmu." Tony memberi saran.
"Apa mungkin aku bisa melakukannya?" Tanka mulai ragu akan dirinya sendiri.
"Bisa. Kamu pasti bisa melakukannya dengan baik," ucap Tony memberi semangat.
"Thank's, Ton. Kamu memang teman terbaikku." Tanka bangkit dan memeluk sahabat kecilnya itu.
Tony membalas pelukan sahabatnya. Matanya menyipit dengan senyum sinis di ujung bibirnya. Tangan yang mengepal kuat, menyimpan sejuta misteri yang tiada seorang pun mengetahuinya, termasuk Tanka.
Waktu terasa lamban berlalu, setelah berita tentang pembunuhan itu terekspost oleh awak media. Tanka merasa gelisah dan mulai enggan menunjukkan batang hidungnya, dia lebih memilih mengasah keahliannya dalam bermain pedang daripada harus melihat berita tentang pembunuhan yang telah dilakukannya.Lain halnya dengan Tony, dia nampak santai dengan game kesayangannya, kebiasaan yang dulu selalu mereka lalui bersama, semasa kecil. Walau terkadang Tony memperlihatkan gelagat yang aneh, penuh misteri.David Kavandra Saka, ayah Tanka. Dia adalah sosok yang cukup disegani oleh banyak orang, karena keahliannya dalam memainkan berbagai jenis benda tajam, terutama samurai.Dan keahliannya itu diwariskannya kepada Tanka, anak tunggal dari keluarga SAKA. Namun bukan hanya keahliannya saja yang diwariskan, harta yang tak terhitung nilainya pun turut menjadi aset terbesar Tanka.Namun bukanlah kebahagiaan yang dia rasakan, melainkan rasa sakit hati
Episode 4 " ada lalu menekan gambar yang berwarna hijau muda. "Maaf, nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi atau berada di luar jangkauan." Terdengar jawaban operator dari sambungan ponselnya. Dicobanya lagi menekan kontak yang sama, namun hasilnya tetap saja nihil. Gegas Tanka kembali masuk ke dalam kamar sahabatnya, membuka lemari baju dan mencari petunjuk yang berarti. Semua barang masih tersusun rapi, baju pun masih berada di tempatnya. Tanka mendengus kesal, Tony pergi begitu saja tanpa ada kabar berita. Tanka pun akhirnya memutuskan untuk segera masuk kamar dan mencoba memejamkan mata indahnya yang mulai diserang rasa kantuk. Tanpa terasa, sudah hampir satu minggu Tanka tinggal seorang diri di rumah itu. Tiada kabar dari sahabat kecilnya, Tony menghilang begitu saja tanpa kabar berita, bagaikan raib ditelan bumi. Tanka sudah mencari di tempat kerja juga tempat tongkrongan yang biasa Tony pakai bersama para sahabatnya. Nam
Episode 5Tanka mematikan mesin mobilnya sebelum masuk rumah Tony. Dengan langkah yang lesu lemas dia menuju dapur dan membuat teh hangat untuk mengembalikan semangat yang hilang. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mengiklaskan rumah miliknya.Yah, dia tidak tahu-menahu, tentang harta peninggalan dari orang tuanya. Semua diurus oleh pengacara kepercayaan David, ayah Tanka. Namun pada kenyataannya rumah itu sekarang telah berpindah kepemilikan.Sudah hampir satu bulan lamanya ia hanya berdiam diri di rumah Tony, tanpa sesuatu yang berarti.Hingga gadis itu ingat akan tawaran dari Paman Jo tempo hari. Tanpa berfikir panjang ia langsung menekan nomor yang tertera pada daftar kontaknya dan menghubungi nomor tersebut."Hallo!" Tanka menyapa seseorang dari ponselnya."Bisakah saya berbicara dengan Paman Jo?""Maaf, Paman. Saya Tanka. Bisakah kita bertemu di tempat biasa?" tanya gadis itu sebelum mematikan sambungan po
Episode 6"Sial ...!" Tanka berteriak lalu melempar tasnya di atas sofa."Siapa pria itu sebenarnya? Kenapa harus ada dia." Tanka menghempaskan tubuhnya pada sofa dan mengambil tas yang ada di sampingnya."Untung saja tas ini aman terkendali. Kalau tidak ... hancur reputasiku sebagai detektif." Tanka terkekeh. Dia membuka tas dan mengambil camera mini yang terselip di sana."Ah, saat nya melihat adegan panas." Gadis itu memasukkan memori dan memutar vidio yang telah direkamnya.Buk ...Gadis ayu itu langsung membanting ponselnya. Matanya merah dan tangannya mengepal kuat. Nampak emosinya memuncak."Arrrhhh." Tanka menyambar ponselnya yang tengah berbunyi karena ada panggilan masuk. Di sana tertera sebuah nama "Cungkring". Alih-alih bingung harus menjawab apa, gadis itu meninggalkan ponselnya begitu saja dan pergi mandi.Pagi pun menjelang.Tanka bersiap pergi menemui Paman Jo usai menghabiskan sarapannya.
Tanka segera pergi ke dapur untuk mengemasi beberapa belanjaan. Usai menyusun semua barang pada tempatnya, gadis itu beranjak perlahan mendekati kamar mandi dan membersihkan badannya terlebih dulu sebelum tidur.Tanka keluar dengan mengenakan baju tidur sementara handuk kecil melilit rambutnya yang basah. Gadis itu segera menyambar camera mini yang tergeletak di atas nakas lalu berbaring di ranjang. Dia memutar kembali rekaman vidio mesranya.Rasa penasaran yang besar membuatnya ingin segera menguak keganjilan yang ada. Namun saat gadis itu tengah berselancar dengan pikirannya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Perlahan ia pun meletakkan camera kemudian meraih ponsel itu kemudian menekan tombol berwarna hijau.Tanka seketika terbelalak, tangan kanannya membekap mulut, pelan. Matanya mulai mengembun siap meluncurkan bulir-bulir beningnya. Nampak jelas dari layar ponsel, sesosok tubuh tergeletak lemas di atas lantai dengan luka-luka di sekujur tubu
itu. "Aku terpaksa." Dony meremas rambutnya, frustasi. "Wanita itu tengah mengandung benih bosmu." Kakek itu menunduk lagi dan mengusap air matanya kasar. Derry dan Dony saling pandang. Mereka tidak mengira semua akan sejauh ini. "Mungkinkah sosok yang hadir sebelum kecelakaan itu--?" ucapan Derry menggantung. Dia melihat ke arah Dony dan Abah secara bergantian. "Wanita itu?" tanya Dony kemudian. "Jangan ngaco kamu, semua itu tidak mungkin. Aku tidak percaya dengan adanya hantu dan apalah itu," sanggah Dony lagi. "Siapa yang telah membocorkan keberadaan wanita itu?" tanya kakek. Lelaki tua itu mulai berdiri lalu duduk di kursi yang ada di sampingnya. "James," ucap Derry. Tanka terkejut mendengar percakapan mereka.Dia tidak menyangka mantan kekasihnya itu turut andil dalam sebuah pembunuhan. "Apa ini? Siapa yang mereka bicarakan sebenarnya? Apa ada kaitannya dengan lukisan itu?" Tanka bermon
Flash back **** " mengiyakan. Pikirannya menerawang jauh di mana saat dia tengah melukis Yara. "Saat itu malam buta, Kakek kedatangan tamu dari kota. Sepasang kekasih, kononnya mereka tidak direstui oleh ayah angkat pemuda itu." Kakek terdiam sesaat, menarik nafas dan menghembuskannya pelan. "Pemuda itu menitipkan kekasihnya yang bernama Yara. Namun baru beberapa hari Yara tinggal di sini, ada segerombolan orang dari kota datang bersama seseorang yang sangat tampan dan gagah. Sepertinya itu bosnya." Lanjut kakek lagi. "Setelah kedatangan mereka ke rumah ini, semua berubah tidak terkendali. Anak-anakku menjadi gila harta dan terjadilah hal yang tidak seharusnya." Kakek menghentikan ceritanya. Menyesap wedang kopi yang mulai dingin. "Siapa pemuda yang bersama Yara, Kek? Apakah dia tidak kembali lagi ke rumah Ini?" tanya Tanka penasaran. "Entahlah, semua berjalan begitu cepat. Hingga aku lupa menanyakan n
Hari begitu cepat berlalu, tanpa terasa Tanka sudah hampir satu minggu berada di desa itu. Desa yang secara tidak sengaja memberinya pelajaran yang sangat berharga. Juga sebuah petunjuk yang sulit terpecahkan. "Kakek, terima kasih atas tumpangannya," ucap Tanka setelah ia menyatakan niatnya untuk pulang. "Jangan sungkan, Non. Bila ada waktu mampirlah di pondokku lagi" jawab kakek sambil menyerahkan sekardus oleh-oleh yang berisi singkong dan pisang. Setelah berpamitan gadis itu meninggalkan desa dan melajukan mobilnya menuju rumah Tony. Tempat ia tinggal selama ini.Hampir seharian ia melakukan perjalanan untuk cepat sampai di rumah, jika berhenti pun hanya untuk makan lalu tancap gas lagi. Tepat pukul 8 malam, Tanka akhirnya sampai di rumah.Setelah melakukan ritual mandinya, gadis ayu itu mengenakan piama dan merebahkan badan sambil mendengarkan musik relaksasi.Namun tak lama berselang terdengar suara seseorang memanggil dari luar.