Share

[1]. Beraksi

VANESSA POV

Aku menghela nafas pelan sembari mencoba menikmati ice americano yang kupesan. Aku berpura-pura tertarik dengan apa yang sedang Debby, teman sedivisiku, bicarakan. Meskipun dalam hati aku sebenarnya lebih memilih pergi ketimbang mendengarkannya. Saat ini, ia sedang menceritakan pacar barunya--yang baru 2 minggu ini ia pacari--yang katanya sangat-sangat baik, pengertian dan perhatian padanya. Tipe laki-laki ideal yang ia ocehkan dengan mulut berbusa yang ia kira akan membuat banyak orang iri padanya.

Aku mendengus tidak ketara dan berdecih dalam hati. Cih, cuma itu doang dan dia bangga? Apa seleranya memang serendah itu? Harusnya dia lebih bangga jika punya pacar ganteng dan kaya. Karena jika benar begitu, aku akan dengan senang hati memakluminya. Dan mungkin lebih bersemangat mendengarkan ocehan-ocehannya sekarang. Tapi sejauh aku bisa menyimpulkan dari cerita-ceritanya, aku tidak menemukan tanda-tanda pacarnya mempunyai dua ciri-ciri seperti yang kusebut. 

Aku memalingkan muka sebentar, menyempatkan diri memutar mata saat Debby menceritakan lagi--yang jika kuingat sudah kelima kalinya--saat bagaimana ia bertemu dengan kekasihnya dan bagaimana ia merasa laki-laki itu adalah takdirnya sejak awal. 

Haduh… tolong ya, apa gunanya bertemu dan berpacaran dengan laki-laki jika ia tidak kaya? Apa baik dan perhatian saja bisa membuatmu kenyang? Sejujurnya bagiku itu tidak ada manfaatnya sama sekali. Bahkan jika ia tidak cukup kaya, kurasa kau bisa cukup terhibur saat kau punya pacar ganteng. Yah… siapa sih yang tidak suka memandangi salah satu keajaiban dunia--muka ganteng--seseorang yang notabene pacarmu? Seseorang yang akan kau lihat setiap hari setiap saat selama waktu terbatas yang kalian punya. Jadi, jika itu terjadi padaku tentu saja aku akan senang-senang saja. Dan apa kau penasaran kenapa pacaran kubilang punya waktu terbatas? Karena menurut pandanganku, hanya ada dua hal di dunia ini yang bisa membuat pacarmu pergi darimu: Tuhan atau temanmu sendiri. Yah… kau pasti tahulah maksudku.

Kulirik Debby yang tengah mengangkat ponselnya yang tadi sempat bergetar. Melihat nada suaranya yang melembut dan raut wajahnya yang lebih cerah dibanding sebelumnya, aku tahu dia sedang mengangkat telepon dari pacarnya yang ia sebut-sebut itu. Aku mendengus kecil dan tersenyum sinis tak ketara. Ya ampun… Apa semua orang yang baru berpacaran memang menyembunyikan sifat-sifat aslinya? Aku tidak akan bilang kalau Debby perempuan tidak baik, tapi bicara lembut seperti itu jelas bukan dirinya. Ia punya kebiasaan bicara dengan nada sedikit arogan dan cenderung merendahkan untuk segala hal. Wah, jika dipikir-pikir lagi dunia benar-benar menakutkan ya? Bahkan di depan orang yang kau bilang kau cintai saja, kau harus menjaga image-mu agar tidak terlihat buruk. Benar-benar palsu!

Tapi aku tidak bisa protes lebih jauh dari ini. Aku sendiri pun juga menutupi bagaimana diriku sebenarnya dengan image polos gadis baik-baik. Jika kau melihat Debby dan aku bersebelahan, kau mungkin tidak akan mengira bahwa aku punya banyak sifat liar dalam diriku. Debby yang cantik--walaupun tetep cantikan aku sih kemana-mana--dengan baju stylish ala pekerja muda keren, blazer warna cokelat muda yang dikombinasikan dengan tanktop putih didalamnya dan make up yang tidak bisa kubilang tipis karena baru saja ia touch up sebelum datang kemari dibandingkan dengan aku yang hampir tidak terlihat memakai make up--yep, inilah kekuatan make up tipis ala korea hohoho--dengan dandanan yang mungkin bisa dibilang biasa aja, hanya gaun one piece hitam yang kututupi dengan jaket denim kebesaran. Meskipun begitu, siapapun yang melihat kami jelas tahu siapa yang paling cantik diantara kami. Jelas aku orangnya!

Aku mengecek ponselku sembari tetap mencuri dengar perkataan Debby di telepon. Debby menyebutkan dengan jelas alamat cafe yang kami datangi saat ini yang membuatku langsung tahu kalau pacarnya akan menjemput Debby kemari.

"Pacarmu?" tanyaku basa-basi.

Debby mengangguk, "Yap. Dia bilang akan menjemputku kemari." 

"Benarkah?" tanyaku pura-pura antusias ikut bahagia. "Ciyee… Dijemput pacar baru."

"Apaan sih?!" Debby tersenyum malu.

Aku tersenyum sinis dalam hati. Please deh nggak usah lebay! Kita berdua sudah hampir berusia seperempat abad dan kau masih bisa tersipu seperti abg yang baru jatuh cinta kayak gitu? Lagipula aku yakin kau tadi bicara keras-keras begitu agar kau bisa memamerkan pacar barumu padaku kan? 

"Kalau dia menjemputmu kemari, sebaiknya aku pesan taxi online saja sekarang. Kita kan tadi kesini nebeng Fina," kataku mengangkat ponsel dengan ketara berharap Debby akan menghentikanku. Fina adalah teman sedivisi kami juga, hanya saja dia sedang tidak ingin ikut nongkrong saat ini.

Dan gotcha! Debby benar-benar melakukan seperti apa yang kuharapkan. "Nggak usah! Ngapain sih? Nanti bareng kita aja. Pacarku bawa mobil kok."

"Beneran? Nggak ngerepotin nih?" kataku mencoba terlihat sungkan. "Nggak. Nggak. Masa aku jadi obat nyamuk?! Nggak usah deh. Apartemenku kan jauh."

"Hei, apaan sih? Nggak usah sungkan begitu. Lagian rumah pacarku emang searah denganmu kok. Nggak ngerepotin sama sekali."

Dan sekali lagi aku berpura-pura menerimanya dengan terpaksa, menyunggingkan senyum sungkan yang tampak tulus sembari mengucapkan terimakasih. Bagus! Kalau memang rumah pacarnya searah dengan tempat kosku, ini artinya Debby mungkin akan diturunkan lebih dulu. Aku tertawa senang dalam hati. Haruskah kurebut pacarnya malam ini juga? Hmm… ide yang tidak terlalu buruk. Well, itupun kalau setidaknya pacarnya ganteng atau kaya tentu saja. Kalau tidak… Meh, mari kita lupakan.

Kami melanjutkan obrolan sampai seseorang datang menghampiri Debby dan memeluknya dari belakang. Aku mendongak sedikit. Ia jangkung, berwajah ganteng dengan hidung mancung yang ingin sekali kupegang, serta tubuh tidak terlalu kurus yang ditutupi dengan stylish ala cowok-cowok keren. Hanya satu kata yang bisa menggambarkannya, WOW! Ciptaan indah manalagi yang sudah kau ciptakan ini, Tuhan…

Aku mengulurkan tanganku sopan, bergaya seperti gadis-gadis polos pada umumnya, saat Debby memperkenalkan kami berdua.

“Richard,” katanya memperkenalkan diri.

Aku menahan senyum lebarku. Wah… Bahkan suaranya yang khas benar-benar bisa langsung memikatku ditempat. Aku menggigit bibir bagian dalamku, mencoba menahan diri untuk tidak mengatakan dengan keras isi pikiran kotorku tentangnya. Tenang sedikit, Vanessa, kataku menenangkan dalam hati. Aku harus mengingatkan diri berulang kali, image-ku sekarang adalah cewek polos dan baik-baik, jadi saat ini aku hanya bisa membalasnya dengan mengucapkan nama panggilanku.

Aroma parfum Richard tercium inderaku saat ia bergerak lewat untuk duduk sebentar di kursi sebelah Debby. Aroma parfumnya yang lembut tapi maskulin langsung memenuhi rongga dadaku. Membuatku bertanya-tanya bagaimana rasanya kulitnya di bibirku dengan aku yang tengah menggigit kecil lehernya yang beraroma campuran keringatnya dan parfumnya yang harum. Aku benar-benar ingin menciumnya dengan lumatan keras dan basah saat ini juga. 

Aku menggelengkan kepalaku pelan. Berusaha mengenyahkan pikiranku padanya. Astaga… Otakku benar-benar kotor. Bagaimana bisa aku semudah ini ditaklukkan? Tidak. Tidak. Aku Vanessa. Aku yang menaklukkan para laki-laki. Meskipun jujur saja, saat Debby menceritakannya, aku tidak bisa membayangkan kalau pacarnya akan semenarik ini. Apalagi baru kali ini rasanya ada seorang  yang berhasil memikatku dalam beberapa menit kehadirannya. Dan tentu saja aku tidak mungkin melepaskan seseorang seperti dia begitu saja, bukan?

Jadi sudah kuputuskan. Malam ini aku harus memulai langkah kecilku.

“Maaf ya, kita harus pulang sekarang. Apa kau tidak apa-apa?” tanyanya lembut padaku.

Aw, selain dia ganteng, dia juga sopan dan berlaku manis sekali. Pantas saja Debby terlihat sedikit tergila-gila padanya. Aku tidak bisa menyalahkannya untuk itu.

Aku membalas senyumnya, “Tidak apa-apa. Kami juga sudah agak lama disini.”

Dan begitulah. Aku akhirnya pulang bersama dengan Richard yang sudah menurunkan Debby terlebih dahulu. Aku yang masih duduk di belakang merasa sedikit tidak nyaman dan sepertinya Richard tahu hal itu. Ia menawarkanku duduk di kursi samping pengemudi tempat Debby duduk tadi.

“Maaf merepotkanmu,” kataku pelan, mencoba membuat obrolan dengannya sembari menarik seatbelt melewati dadaku. Sialan! Kenapa seatbelt ini susah sekali ditarik?

“Tidak apa-apa. Bukan masalah besar,” jawabnya.

Aku masih berusaha menarik seatbelt sialan yang macet itu saat tiba-tiba rasanya oksigen di sekitarku mendadak menipis dan membuatku menahan nafas tanpa sadar saat Richard mencondongkan tubuhnya ke arahku. Tangannya yang melewatiku berusaha menggapai seatbelt yang belum berhasil kutarik. Kulit tangannya tanpa sengaja menyentuh kulit tanganku yang masih memegangi seatbelt, mengirimkan sengatan listrik kecil yang menjalar hingga pangkal lenganku. Tak lama ia mencondongkan tubuhnya lebih lagi--hampir seperti seseorang yang terlihat akan mencumbu kekasihnya--saat seatbelt yang macet itu sedikit ia tarik paksa. Hidungnya yang mancung sempat tanpa sengaja menggesek pipiku pelan sebelum ia berhasil memakaikan seatbelt terkutuk itu padaku.

“Maaf. Sejak dulu memang sedikit susah menggunakan seatbelt mobil ini,” katanya.

Mendengar kata-katanya aku menarik nafas dengan cepat. Mengisi paru-paruku yang sempat kosong karena kejadian tadi. Aku menjawabnya dengan setengah tergagap, “Ti-tidak apa-apa.”

Richard kemudian memastikan alamatku yang ia dengar dari Debby dan aku mengangguk mengiyakannya. Kami kemudian mengobrol banyak hal untuk membunuh waktu termasuk bagaimana ia bisa mengenal Debby dan berpacaran dengannya atau tentang pekerjaan membosankanku sembari aku memutar otak mencari alasan untuk menjeratnya masuk ke apartemenku. Tak lama, kami kemudian sampai di depan alamat tempat tinggalku. Sebuah kawasan apartemen murah yang letaknya memang sedikit jauh dari pusat kota.

“Kenapa?” tanya Richard saat melihatku terlihat ragu ingin mengatakan sesuatu.

Aku mulai menjalankan rencanaku. Aku membuka dan menutup mulutku, memperlihatkan dengan jelas bahwa aku sedang ragu. Aku bahkan menutup mataku sejenak seolah-olah aku tidak enak untuk mengatakan itu padanya. Disaat seperti inilah terkadang aku ingin memuji diriku sendiri untuk bakat akting yang entah bagaimana bisa ada dalam diriku padahal aku sama sekali tidak pernah tertarik dengan teater.

“Hei, ada apa?” tanyanya lagi.

“Itu… Aku… Bagaimana mengatakannya ya…”

Richard menunggu dengan sabar.

“Aku takut gelap,” lanjutku sembari menggigit bibir. “Tadi pagi mendadak seluruh lampu apartemenku mati. Dan karena pekerjaanku di kantor dari pagi, aku lupa meminta pak satpam untuk mengeceknya. Dan kalau aku memintanya mengecek apartemenku tengah malam begini…”

Aku tidak meneruskan kalimatku, tapi sepertinya Richard paham apa maksudku. Ia terdiam sebentar seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Oh ayolah, Richard! Apa kau akan membiarkan seorang gadis cantik sendirian di apartemennya yang gelap? Atau setidaknya apartemenku yang memang sengaja kubuat gelap?

“Aku benar-benar lupa. Harusnya aku menginap di apartemen Debby saja tadi,” tambahku dengan nada seakan-akan aku meruntuki kecerobohanku.

Tidak butuh waktu lama sampai Richard merespon, “Ayo kuantar. Aku bisa mengecek apakah  memang arus listriknya yang terputus atau kau hanya perlu mengganti lampu.”

Yes! I did it again! Aku tertawa keras dalam hati seperti singa yang berhasil menjebak mangsanya.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status