Share

[2]. I get what I want

VANESSA POV

Aku memasukkan kunci kode apartemenku. Memang apartemen ini murah dan jauh dari pusat kota, tapi keamanannya benar-benar bisa kuandalkan. Semua apartemen disini sudah dipasang kunci angka di setiap pintunya, CCTV di setiap lantai dan tiga shift satpam yang siap menjaga 24 jam. Alasan apalagi yang bisa membuatmu menolak apartemen seperti ini?

“Kunci kode apartemenmu 1234?” tanya Richard heran.

Aku mengangguk, “Hmm. Kenapa?”

“Maaf, bukannya aku sengaja ingin melihat tadi. Tapi tidakkah kau berpikir itu terlalu mudah? Bagaimana jika ada orang yang ingin membobol kamarmu?”

Aku mengangkat bahuku ringan, “Kurasa karena aku bisa mengandalkan keamanan disini. Lagipula otakku sepertinya memang tercipta untuk membenci angka-angka. Aku tidak bisa mengingat angka yang rumit.”

“Kalau begitu kenapa tidak menggunakan angka kelahiranmu saja?”

Aku tergelak. “Bukannya itu malah lebih mudah ditebak?” jawabku sembari membuka pintu apartemenku. “Karena orang-orang biasanya menggunakan tanggal lahir agar lebih mudah diingat, kurasa bukan keputusan bijak untuk menggunakannya. Apalagi untuk kunci apartemen. Aku malah berpikir mungkin sebagian orang tidak akan menyangka bahwa kunci kode apartemenku menggunakan angka berurutan.”

Richard terdiam tampak memikirkan jawabanku, “Benar juga. Tapi kenapa kau tidak segera masuk?” tanyanya heran melihatku yang hanya berdiri diam.

Aku tersenyum polos padanya, “Sudah kubilang aku takut gelap.”

Richard tertawa geli, tampak menertawakan dirinya sendiri yang malah melupakan hal itu. Ia menyalakan senter dari ponselnya dan melangkah masuk ke apartemenku lebih dulu yang kemudian diikuti olehku. 

“Dimana saklarnya?” tanyanya.

Aku hampir saja menabrak dadanya saat ia tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berbalik padaku. Aku menunjuk saklar dekat pintu yang kemudian ia coba tapi tidak menghasilkan apapun selain bunyi cetik.

“Lihat?” kataku padanya. “Bagaimana menurutmu?”

“Melihat tidak ada respon sama sekali, sepertinya aliran listrik ke kamarmu terputus.”

“Begitu ya,” jawabku pelan meskipun aku tahu benar bukan itu alasan sebenarnya. Saklar itu hanya saklar kosong yang tidak terhubung dengan apapun di  apartemenku. Jadi ditekan beberapa kali pun tidak akan menyalakan apapun. Sepertinya pemilik sebelumnya entah bagaimana tidak lagi menggunakan arus listrik itu ketika merenovasi apartemen ini dulu. Atau mungkin pekerja renovasinya yang lupa untuk melepaaskannya. Entahlah. Tapi saat aku menempati apartemen ini, saklar itu menjadi salah satu alat keberuntunganku yang kugunakan untuk menjerat laki-laki manapun yang aku mau. I'm so lucky!

Kemudian aku masuk ke dalam, melewati Richard menuju ranjangku yang berada di tengah ruangan karena apartemenku hanyalah apartemen berukuran studio. Aku sengaja tidak menyalakan senter ponselku dan hanya mengandalkan pencahayaan minim dari luar yang terhalang tirai jendela tipis. Selagi Richard masih sibuk mengamati kenapa kamarku masih tidak mendapat pencahayaan, aku berjalan pelan mengambil gelas dari nakas di sebelah ranjang dan menyiram diriku sendiri dengan sengaja. Bunyi gelas terjatuh memenuhi kamarku. Aku berpura-pura terkejut dengan itu.

“Astaga!” kataku.

Cahaya senter Richard langsung menyorot ke arahku. “Kenapa? Ada apa?” Richard datang menghampiri.

“Aku tidak sengaja menjatuhkan gelas saat mencari senter,” jawabku memberi alasan. “Bajuku jadi basah semua.”

“Kenapa kau tidak menggunakan ponselmu saja?” tanya Richard heran.

“Baterai ponselku habis.”

Richard terdiam dengan alasan sederhana yang kulontarkan. Aku mengamatinya dengan seksama.

“Kalau begitu kurasa kau harus mengganti bajumu,” kata Richard kemudian.

Memang itu tujuanku, Richard sayang! Aku menahan senyum lebar di bibirku melihat semuanya benar-benar berjalan lancar sesuai rencanaku. Sangat lancar malah.

“Memang, tapi sepertinya aku tidak bisa mengganti baju di kamar mandi.”

“Kenapa tidak?” tanya Richard.

“Sudah kubilang aku takut gelap,” jawabku dengan nada yang aku yakin bisa membuat laki-laki manapun melakukan hal yang aku mau. “Bahkan dengan senter di tanganku, aku masih ketakutan. Jika sekarang kau tidak melihatnya, kurasa karena kau ada disini menemaniku.”

Lagi-lagi Richard terdiam, kali ini sepertinya ia sedang memikirkan cara lain agar aku bisa mengganti baju dengan nyaman. Tapi sepertinya aku tahu apa yang sedang dia pikirkan.

“Kalau begitu kau ganti baju disini saja dan aku akan menunggu diluar.”

“Ric, sudah kubilang aku takut gelap. Jika kau keluar dari kamarku, lebih baik aku juga mengikutimu keluar. Lebih baik memakai baju basah daripada aku sendirian gelap-gelapan begini,” kataku.

Dan entah kenapa sekilas aku menangkap raut wajahnya yang berubah. Meskipun karena pencahayaan minim membuatku tidak bisa melihatnya dengan jelas, aku bisa merasakan ada yang berubah dengan sikapnya padaku. Dadaku berdebar penuh antisipasi. Apa dia berpikir untuk menolakku? Tidak. Tidak. Aku tidak bisa membiarkannya melakukan itu.

“Aku bisa berganti pakaian disini dengan kau yang menghadap ke arah lain. Setidaknya itu akan membuatku lebih tenang dan masalah pakaianku yang basah bisa terselesaikan,” tambahku cepat kemudian.

Butuh beberapa saat bagi Richard untuk mengiyakan kata-kataku, “Baiklah.”

Aku tersenyum. Richard melewatiku dan menghadapkan dirinya kearah pintu, sedangkan aku berjalan membuka tirai jendela bermaksud menambahkan pencahayaan untuk kamarku. Sambil mengganti pakaianku, aku masih tersenyum dengan menatap punggung Richard yang tidak bergerak dari tempatnya.

“Kau sudah selesai?” tanyanya.

“Sebentar lagi,” jawabku. “Aw…” keluhku kemudian.

Richard menolehkan kepalanya sedikit tapi tidak menatapku, “Apa yang terjadi?”

“Sebentar. Sepertinya rambutku tersangkut resleting baju. Aish...”

Aku berpura-pura berkutat dengan rambutku yang dengan sengaja kujepitkan pada resleting gaunku. Lama mendengarku kewalahan dan tak kunjung selesai, Richard membalikkan badannya dan berjalan ke arahku, menawarkan bantuan.

“Biar kubantu,” katanya.

“Maaf ya,” sahutku dengan nada–pura-pura tentu saja–tak enak. “Malam ini aku banyak merepotkanmu.”

“Jangan khawatir.”

Aku membalikkan badan, menyerahkan punggungku yang terbuka lebar pada Richard. Aku menatap luar jendela sambil tersenyum penuh kemenangan saat Richard menyentuh resleting gaunku. Tangannya berusaha mengeluarkan rambut panjangku yang terjepit. Aku sempat mengaduh pelan saat Richard tidak sengaja menarik rambutku agak keras.

Sorry,” katanya, masih melanjutkan kegiatannya.

Aku tidak mengatakan apapun untuk menjawabnya. Aku menutup mataku, berusaha fokus pada sentuhan-sentuhan tidak sengaja kulit tangannya pada kulit punggungku. Suhu tubuhku mulai memanas. Dan sepertinya Richard mulai menyadarinya. Tangannya yang panas berhenti bergerak dan menempel pada punggungku.

“Kau sudah selesai, Ric?” aku menoleh sedikit pada Richard sembari mengumpulkan rambutku dan meletakkannya pada satu sisi bahuku, sengaja mengekspos leherku yang putih dan mulus.

Ekspresi Richard tidak terkatakan. Mulutnya sedikit terbuka menatapku hingga menambahkan kesan seksi pada dirinya. Dalam hati aku tahu aku sudah benar-benar berhasil mendapatkannya sekarang. Aku bisa melihat matanya yang menggelap diantara cahaya remang yang menerpanya.

Aku balas menatap matanya.

“Ric?” suaraku membelah kesunyian.

Dan Richard meletakkan bibirnya diatas bibirku, menciumku.

Aku tersenyum senang penuh kemenangan saat bibirnya menutup bibirku dengan lembut. Sudah kubilang bukan kalau aku akan mendapatkannya?

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status