Share

[3]. Mengejarnya

VIKTOR POV

Kulambatkan laju mobilku dan menghentikannya tepat saat aku tidak sengaja melihat seseorang yang kukenal turun dari mobil hitam yang terparkir di depan kawasan apartemen yang kuhuni.

“Vanessa?” gumamku ragu. 

Tak butuh waktu lama bagiku untuk memastikan bahwa orang yang kulihat benar-benar tetangga penghuni apartemen sebelahku ketika perempuan itu menoleh menatap lawan bicaranya dan tersenyum padanya. Dahiku mengernyit dan mataku menyipit tanpa sadar. Lalu aku mulai mendengus keras saat aku menyadari aku tidak familiar dengan laki-laki yang Vanessa bawa masuk ke apartemennya. Astaga… Laki-laki mana lagi itu yang perempuan itu bawa? Sepertinya perempuan itu belum juga kapok dengan apa yang terjadi baru-baru ini. Apa dia sudah lupa? Bahkan hanya mengingatnya saja bisa membuatku berdecih pelan. Bagaimana bisa perempuan itu selalu menemukan orang baru hampir setiap minggunya? Dan lagi bagaimana bisa semua laki-laki yang ia bawa sama-sama bodoh hingga bisa terjebak dengan kata-katanya? 

Dengan tidak sabaran, kubanting pintu mobilku dengan keras dan segera mengikuti mereka berdua. Kupercepat langkahku saat mereka berdua masuk ke dalam lift, berusaha sebisa mungkin menyusul dan menghentikan apapun rencana Vanessa saat ini. Tapi terlambat. Pintu lift sudah menutup dan mengantarkan mereka ke lantai apartemen kami. 

Aku menggerutu pelan. Menyebalkan. Apa aku tidak usah menghentikannya sekalian saja ya? Lagian urusannya kan bukan urusanku? Ia mungkin hanya akan mengomeliku dan bersikap sinis padaku kalau aku ikut campur lagi dengan hobinya yang aneh itu. Tapi… Tidak. Tidak. Aku menggeleng pelan, menghentikan pikiran apapun yang lewat di otakku saat ini. Kulirik pintu untuk tangga darurat yang berada tak jauh dari lift. Apartemen kami berada di lantai 5 dan membayangkan harus menaiki tangga di jam segini setelah pulang bekerja sudah membuatku merasa jauh lebih lelah, jadi ku urungkan niatku dan memutuskan menunggu lift saja. Toh tidak mungkin terjadi apapun dalam 5 menit kedepan bukan? Kuharap begitu.

Sembari menunggu, aku mengingat kembali kejadian baru-baru ini yang menimpa Vanessa yang membuatku tahu tentang hobi anehnya itu.

Sejujurnya bukan sifatku untuk ingin tahu tentang hidup orang lain. Tapi mungkin sedari awal tanpa kusadari aku tahu Vanessa berbeda. Entah bagaimana aku tahu saja dia benar-benar berbeda dari kebanyakan wanita yang pernah kutemui. Bahkan sejak pertama kali kami bertukar pandangan. Bahkan saat aku belum mengetahui hobi anehnya itu. Dan tahu-tahu saja aku sudah berakhir menjadi pengamat kehidupannya.

Dari yang bisa kuamati, Vanessa bukanlah tipe orang yang ingin terlihat mencolok. Ia hidup biasa-biasa saja. Pulang-pergi ke kantor, bertemu teman, belanja atau menyempatkan diri mengundangku makan saat ia punya banyak makanan lebih. Hidupnya berjalan sebiasa cara berpakaiannya. Tidak ada yang spesial darinya, sungguh, tapi entah bagaimana aku menjelaskannya, dia sepertinya punya magnet tidak terlihat yang membuatku ingin terus berada di sekitarnya. Yah, itulah yang kupikirkan tentangnya selama ini sampai aku tidak sengaja memergokinya terlibat masalah dengan wanita lain yang merasa Vanessa merebut pacarnya.

Plak!

Aku menghentikan pintu apartemenku yang baru kubuka setengah saat melihat seorang wanita menampar Vanessa di depan apartemennya dan dengan beringas menarik kuat rambutnya. Vanessa tidak membalas. Ia menerima perlakuan tidak menyenangkan itu dan hanya balik menatap wanita itu tajam.

“Berani-beraninya,” teriak wanita itu. “Berani-beraninya perempuan sepertimu merebut pacarku! Dasar nggak tahu diri!”

Wanita itu siap memberikan satu tamparan lagi saat Vanessa bergerak menahan tangan itu di udara dan membebaskan rambutnya dengan paksa.

“Bisa nggak sih kalo ngomong sama mulut aja, nggak usah pake tangan?” tanya Vanessa.

“Nggak usah pura-pura bego,” balas wanita itu geram. “Perempuan sepertimu emang cocoknya harus ngomong sama tangan dulu daripada pakai mulut."

"Ah, begitu? Lalu kau sendiri?" Dengan gerakan tidak terduga, Vanessa menampar wanita di depannya itu dengan keras. Wanita itu terlihat syok dan tidak percaya dengan apa yang barusan terjadi padanya. Ia memegang pipinya yang mulai memerah dan menatap garang Vanessa. Wajahnya merah padam penuh amarah. Vanessa melirik telapak tangan kanannya yang ia layangkan tadi sebelum balas menatap wanita itu santai. "Hmm. Entah bagaimana menjelaskannya tapi sepertinya kau juga cocok untuk bicara dengan tangan dulu daripada dengan mulut," sindir Vanessa.

"Kau…" geram wanita itu tidak terima.

"Jadi kau memang harus ditampar dulu baru mau ngomong sama mulut?" sela Vanessa. 

"Kau benar-benar…"

Aku dengan cepat bergerak menahan tangan wanita itu yang mulai terangkat lagi sebelum Vanessa melakukan apapun untuk menghentikannya. Dahi wanita itu mengernyit tidak suka melihatku menghentikan tangannya. Vanessa tidak terlihat terkejut melihat apa yang kulakukan, tapi ia sempat melirikku sejenak sebelum kembali menghadapi wanita yang tengah marah itu.

"Seorang wanita harusnya tidak memulai apapun dengan kekerasan,” kataku.

“Jangan ikut campur,” sergah wanita itu. Ia menarik tangannya lepas dariku. “Apa kau pikir aku bisa berbicara baik-baik dengan pelakor semacam ini?”

“Pelakor?” ulangku tidak mengerti.

“Ya. Pelakor,” wanita itu dengan cepat mengiyakan pertanyaanku. “Dia…” Tudingnya dengan jari telunjuk mengarah lurus pada Vanessa. “Dia yang merebut pacarku. DIA BERSELINGKUH DENGANNYA!!!” tambah wanita itu murka. “Padahal dia tahu pasti aku sangat mencintai pria itu.”

Aku berbalik tidak percaya menatap Vanessa yang menunjukkan seraut wajah datar. Apakah itu benar? Tidak mungkin! Dari luar Vanessa tidak mungkin melakukan hal rendahan semacam itu. Ia berlaku baik pada siapapun. Tidak hanya aku, semua orang yang tinggal disini bahkan satpam sekalipun akan tidak akan percaya dengan omong kosong itu. Aku lebih percaya jika pacar wanita itu yang salah paham pada Vanessa ketimbang Vanessa yang merebut pacar orang.

“Apa buktinya? Apa bukti yang membuatmu berpikir aku selingkuh dengannya?” tanya Vanessa.

“Banyak! Dia sekarang lebih memilih mengajakmu keluar diam-diam ketimbang bertemu denganku. Dia juga sekarang lebih sering bertanya tentangmu padaku. Dia juga lebih memilih untuk bertukar chat denganmu daripada memperhatikan ucapanku. Dia…”

Aku mengernyit. Tunggu dulu. Aku merasa ada yang salah dari penjelasannya ini.

“Dia kan? Bukan aku,” sela Vanessa sinis. “Dia yang melakukan semua itu padamu. Lalu kenapa kau menyalahkanku?”

Benar juga! Wanita itu hanya memberi alasan dari sudut pandangnya tentang pacarnya. Bukan bukti kuat yang menunjukkan kalau Vanessa berselingkuh dengan pacarnya.

Wanita itu menghentikan mulutnya yang terbuka lebar, menghentikan setiap perkataannya yang akan keluar saat mendengar perkataan sinis Vanessa. Tak lama terdengar sanggahannya, “Tapi ia tidak akan begitu jika saja kau tidak meladeninya!”

Aku mendengar Vanessa mendengus sedikit sebelum menjawab, “Jadi sekarang bersikap baik pada pacar teman itu sebuah kesalahan?”

Wanita itu terdiam. Masih menunjukkan raut tidak suka tapi tidak bisa membantah apapun.

“Aku bersikap baik padanya karena dia pacarmu. Dia bertanya segala sesuatu tentangmu yang kupikir akan membantu hubungan kalian berkembang. Karena itu aku selalu meladeninya. Aku mengiyakan ajakannya keluar karena dia bilang akan mencari hadiah buatmu tapi tidak tahu harus memberi apa. Dan sebagai gantinya ia biasanya mengajakku makan atau hanya duduk-duduk di cafe,” jelas Vanessa panjang. Ia menarik nafas sejenak. “Jadi jika dia tertarik padaku, itu bukan salahku, Els. Karena aku tidak melakukan apapun yang bisa membuatnya tertarik padaku.” 

Aku tersenyum samar penuh kelegaan mendengar penjelasan Vanessa. Seperti dugaanku sebelumnya. Pasti laki-laki itu yang salah paham dengan kebaikan-kebaikan yang Vanessa lakukan padanya. Padahal Vanessa tidak hanya baik padanya saja, karena ia memang punya sifat baik pada semua orang. Dan karena itu juga Vanessa harus menerima semua ini?  Dasar laki-laki bodoh! Apa ia tidak bisa melihat mana perempuan yang sungguh menyukainya atau hanya baik padanya? Dan lagi ia merasa Vanessa menyukainya saat ia sendiri punya seorang pacar cantik seperti wanita ini? Entah dimana otaknya itu hilang, sungutku dalam hati.

“Pembohong,” geram wanita yang dipanggil Els oleh Vanessa yang kuduga namanya pasti Elsa atau Else. “Jika kau sungguh tidak melakukan apapun, lalu kenapa semua pacar teman kita yang dikenalkan padamu, semuanya berakhir menyukaimu? Ini bukan kejadian satu-dua kali, Ca. Kejadian ini sudah terjadi berkali-kali meskipun awalnya aku tidak mempercayainya.”

Aku mengernyit tidak percaya. Apa? Semua temannya yang mengenalkan pacar mereka mengalami hal yang sama? Kulirik raut muka Vanessa yang berubah tapi aku tidak bisa mengira apa yang sedang dia pikirkan saat ini.

“Kupikir itu hanya rumor. Dan karena aku lebih percaya padamu, aku mengenalkan pacarku,” tambah Els. “Awalnya kupikir itu adalah kesalahanku karena tidak percaya dengan rumor yang beredar. Tapi setelah dipikir-pikir lagi sepertinya itu bukan keputusan yang terlalu buruk, karena aku mulai mengerti teman macam apa kau ini.”

Tatapanku masih tertuju pada Vanessa yang memilih untuk diam. Ia hanya balas menatap Els dan sepertinya tidak berniat menyelanya sedikitpun. .

“Kusarankan kau berhenti melakukan hal seperti ini. Atau karma buruk akan mendatangimu sebagai gantinya,” kata Els sebelum meninggalkan kami berdua.

Vanessa tersenyum sinis dan bergumam pelan, “Karma buruk ya? Tidak apa. Toh aku sudah pernah mengalaminya.”

Aku berpura-pura tidak mendengarkan gumamannya dan dengan cepat mengalihkan perhatian saat tatapan Vanessa beralih padaku. 

“Kita harus bicara,” katanya padaku. 

Ting! 

Suara lift membuyarkan lamunanku. Aku dengan cepat masuk saat pintu lift terbuka dan menekan tombol lantai 5 seraya berharap aku bisa menghentikan Vanessa.

*****

Aku mengernyit melihat pintu apartemen Vanessa yang tidak tertutup sempurna dan ruangannya yang gelap. Vanessa pernah bilang ia takut gelap karena itu aku yakin ada yang tidak beres di dalam sana. Aku membukanya perlahan, sedikit penasaran kenapa ia tidak menyalakan lampunya. 

Aku mencoba menekan saklar samping pintu. Kebetulan karena aku sudah pernah masuk ke apartemennya, aku tahu benar letak saklar lampu. Sepertinya semua apartemen disini punya tata letak saklar lampu yang sama, karena di apartemenku pun begitu. Tapi kemudian pemandangan paling kusesali seumur hidup terpampang di hadapanku.

Sialan! Laki-laki itu mencium Vanessa-ku.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status