Share

Tarian Pemikat Serigala
Tarian Pemikat Serigala
Author: Siti Auliya

Bab 1. TURUN GUNUNG

Tolong ... tolong!" jerit seorang gadis sambil berlari sekuat tenaga. Ia tengah berusaha lolos dari kejaran seekor binatang buas. Napasnya terengah-engah tidak karuan. Degup jantungnya semakin cepat seiring gerakan kakinya berlari. Ia setengah mati membagi fokus antara jalan di depan dan binatang buas di belakang.

Gadis itu terus berlari. Wajahnya pucat hampir putus asa. Di depan sana, tepat di sebelah pepohonan, ia melihat semak-semak. Secepat kilat ia melewati pepohonan lalu melesat menyelinap ke balik semak. Diam, ketakutan bercampur kewaspadaan yang tak boleh berkurang sedikit pun.

Dia menunggu, hingga sekian waktu tak didapatinya suara langkah maupun tanda-tanda binatang yang mengejarnya tadi. Ia pun bisa menghela napas. Sebuah kelegaan hingga bisa meluruskan kakinya yang pegal dan sakit. Tanpa alas kaki, berlari di tengah hutan dengan membabi buta, tentu saja kaki dipenuhi goresan luka. Dengan meringis menahan perih, dirinya memijat pelan kedua kaki. Dalam hati berpikir, akhirnya keadaan aman.

Suara tawa keras mengagetkan gadis tersebut. Ia mendongak, sontak tubuhnya beringsut mundur. Sekuat tenaga berusaha menjauh dari sosok yang baru saja muncul di hadapannya.

"Ka ... kamu ... kamu ... manusia ... ma—" Belum sempat gadis itu menyelesaikan kalimat, cakar tajam telah menerkam wajahnya.

"Aarrghh!" Satu teriakan terakhir terdengar menggema di antara pepohonan. Gadis itu meronta, tangan masih berusaha mendorong perut binatang yang berada di atas tubuh. Ia masih ingin hidup. Sayang, malang tak dapat ditolak. Kesadaran gadis itu perlahan hilang. Hanya tertinggal suara geraman binatang disertai percikan darah dari tubuh yang tercabik-cabik.

"Grrrh grrrh!" Manusia serigala itu melompat lalu menghilang setelah melihat korban meregang nyawa.

**

Blaar.

Sebuah batu besar hancur dalam satu kali pukulan jarak jauh. Senyum puas tersungging di wajah seorang pemuda. Jurus Katumbiri yang dilatihnya selama ini telah berhasil dikuasai dengan sempurna.

“Murid Eyang Suwita … tiada lawan … ha ha ha …!” Pemuda itu bertepuk tangan sambil tergelak.

“Iya ‘kan Eyang?” Dia celingukan mencari sosok guru yang diingatnya memperhatikan dari belakang. Namun sosok tersebut raib entah ke mana.

Pemuda tersebut bernama Mardawa. Sejak kecil diasuh dan dilatih Eyang Suwita dalam gubuk sederhana di lereng Gunung Wingit.

“Eyang!” Suara Mardawa menggema di antara pepohonan sekitar. Tidak ada tanda-tanda sahutan atas panggilannya.

Mardawa berpindah tempat berdiri. Dia mulai merasa cemas padahal tahu jika ilmu sang Eyang jauh di atasnya.

“Eyang … Eyang di mana?” Teriakan Mardawa sekali lagi membuat kumpulan burung terganggu lalu terbang berhamburan. Sepi. Tak ada jawaban sama sekali.

Mardawa mendongak, menajamkan penglihatan, mencari sang guru di antara dahan pepohonan. Barangkali Eyang Suwita ada di salah satu dahan tengah melamun.

Sebuah kebiasaan yang kadang membuat Mardawa menggelengkan kepala. Entah sedang melamunkan apa. Mungkin mantan kekasih yang kini entah di mana rimbanya.

"Tidak ada. Eyang … Eyang!" Suara Mardawa nyaring di hutan itu. Pondok mereka memang terletak di tengah hutan. Seketika suara-suara binatang liar terhenti sejenak. Kaget dengan teriakan Mardawa.

Set set set.

Mardawa berkelebat di antara pepohonan besar. Dia teringat dengan satu tempat yang selalu dikunjungi oleh Eyang Suwita.

"Tidak ada juga." Mardawa mengeluh sambil garuk-garuk kepala.

Tangannya bersedekap sejenak, lalu jarinya mengetuk-ngetuk dahinya yang berkerut. Mulutnya mencang-mencong tandanya dia berpikir keras. Dia melanjutkan pencariannya ke sebuah air terjun yang tak jauh dari tempat itu.

"Rupanya ada di sini, Kakek. Aku mencarimu ke mana-mana." Mardawa berkata sambil menghempaskan bokongnya di dekat Eyang Suwita.

Eyang Suwita tidak menjawab. Dia masih asyik dengan batu-batu kecil yang dilemparkan ke kolam kecil di bawah air terjun. Mardawa akhirnya diam, ikut memandang kolam yang beriak-riak. Tempias air terjun sampai ke tempat duduknya.

"Apa yang membuat Kakek resah?" tanya Mardawa. Pemuda itu tidak tahan untuk tidak bertanya. Tidak biasanya Eyang Suwita bermuram durja. Beban berat nampak di wajahnya yang murung.

"Kamu harus segera pergi dari sini!" kata Eyang Suwita tegas.

“Apa? Aku harus pergi? Salahku apa? Mengapa Eyang mengusirku?” Dia sangat sedih mendengar kalimat Eyang Suwita barusan.

“Bukan mengusirmu Mardawa. Lebih tepatnya aku mengembankan amanah kepadamu.” Suara berat yang khas bercampur ketegasan membuat Mardawa terdiam menyimak.

“Keadaan Jatisari sedang tidak baik-baik saja, terutama di Jatiwarna. Ada kabar yang beredar tentang Pranata yang membuat warga tidak tenang. Belum lagi banyak kematian wanita penari ronggeng oleh binatang buas. Hanya saja … aku tidak yakin akan hal itu.”

“Siapa Pranata itu, Eyang?” tanya Mardawa sembari mengamati raut serius di tiap lekuk wajah sang guru.

“Dia adalah manusia yang tidak layak ada di bumi Jatisari.”

Mardawa paham apa yang baru saja diucapkan Eyang Suwita.

“Apa aku mampu untuk mengemban amanah itu, Eyang?” Mardawa meragukan kemampuan sendiri meski tadi dia sempat bertepuk tangan membanggakan jurus andalan Katumbiri.

“Jika bukan dirimu, lalu siapa lagi Mardawa? Usiaku sudah lanjut, tenaga pun tak lagi sama seperti dulu. Hampir semua ilmuku telah kuturunkan kepadamu. Sekarang saatnya kau menggunakannya untuk kebaikan sesama.”

Mardawa terdiam. Amanah sang guru adalah titah baginya. Tidak pernah sekalipun selama bersama, Mardawa menolak perintah Eyang Suwita. Meski diliputi rasa cemas dan ragu pada kemampuan diri sendiri, Mardawa tetap harus mengemban tugas tersebut.

“Baiklah, Eyang. Aku akan mengemban tugas yang kau berikan.” Mardawa berbalik, langkahnya pelan meninggalkan Eyang Suwita menuju pondok yang berada di balik sebuah pohon besar berusia ratusan tahun.

Menjelang sore, Mardawa yang telah berkemas siap berpamitan. Untuk pertama kalinya, Mardawa merasa sedih hendak meninggalkan pondok beserta satu-satunya orang yang dia miliki di dunia ini.

“Kek ….” Kalimat pemuda itu terpotong karena tenggorokan yang terasa penuh. Dia tidak ingat lagi apa yang akan dikatakan. Dada terasa sesak, mata kabur karena air mata. Semua kegagahannya tidak berarti saat menghadapi perpisahan.

Eyang Suwita menoleh. Jauh di lubuk hatinya dirinya ingin tinggal bersama Mardawa lebih lama lagi.

Pergilah!” suruh Eyang Suwita. Lelaki tua itu juga sama tengah menahan rasa haru. Dia memeluk Mardawa dengan erat, ditahannya air mata yang hampir mengalir. Dia tidak boleh kelihatan lemah di hadapan muridnya.

Tanpa berkata apa-apa lagi Mardawa berlalu dari hadapan Eyang Suwita. Sebelum mencapai kelokan jalan setapak, pemuda itu menoleh ke arah gurunya tersebut. Lama dia mematung, lalu berbalik dan berkelebat menuruni lereng gunung.

“Mardawa … cucuku …. Semoga kita bisa berjumpa lagi …,” gumam Eyang Suwita sedih. Mata memerah karena menahan tangis. Lelaki tua itu mengusap sudut mata. Tak urung setitik air mata terjatuh juga. Terakhir menangis saat dulu dia kehilangan adiknya. Kini, tak dipungkiri, ada rasa takut kehilangan sang cucu. Karena bagaimanapun, Mardawa pasti akan berhadapan dengan pendekar-pendekar hitam saat menjalan tugas darinya.

"Mengapa kamu memilih jalan sesat, Adikku." Eyang Suwita bergumam sambil melihat langit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status