Home / Pendekar / Tarian Pemikat Serigala / Bab 1. TURUN GUNUNG

Share

Tarian Pemikat Serigala
Tarian Pemikat Serigala
Author: Siti Auliya

Bab 1. TURUN GUNUNG

Author: Siti Auliya
last update Huling Na-update: 2023-04-08 08:58:12

Tolong ... tolong!" jerit seorang gadis sambil berlari sekuat tenaga. Ia tengah berusaha lolos dari kejaran seekor binatang buas. Napasnya terengah-engah tidak karuan. Degup jantungnya semakin cepat seiring gerakan kakinya berlari. Ia setengah mati membagi fokus antara jalan di depan dan binatang buas di belakang.

Gadis itu terus berlari. Wajahnya pucat hampir putus asa. Di depan sana, tepat di sebelah pepohonan, ia melihat semak-semak. Secepat kilat ia melewati pepohonan lalu melesat menyelinap ke balik semak. Diam, ketakutan bercampur kewaspadaan yang tak boleh berkurang sedikit pun.

Dia menunggu, hingga sekian waktu tak didapatinya suara langkah maupun tanda-tanda binatang yang mengejarnya tadi. Ia pun bisa menghela napas. Sebuah kelegaan hingga bisa meluruskan kakinya yang pegal dan sakit. Tanpa alas kaki, berlari di tengah hutan dengan membabi buta, tentu saja kaki dipenuhi goresan luka. Dengan meringis menahan perih, dirinya memijat pelan kedua kaki. Dalam hati berpikir, akhirnya keadaan aman.

Suara tawa keras mengagetkan gadis tersebut. Ia mendongak, sontak tubuhnya beringsut mundur. Sekuat tenaga berusaha menjauh dari sosok yang baru saja muncul di hadapannya.

"Ka ... kamu ... kamu ... manusia ... ma—" Belum sempat gadis itu menyelesaikan kalimat, cakar tajam telah menerkam wajahnya.

"Aarrghh!" Satu teriakan terakhir terdengar menggema di antara pepohonan. Gadis itu meronta, tangan masih berusaha mendorong perut binatang yang berada di atas tubuh. Ia masih ingin hidup. Sayang, malang tak dapat ditolak. Kesadaran gadis itu perlahan hilang. Hanya tertinggal suara geraman binatang disertai percikan darah dari tubuh yang tercabik-cabik.

"Grrrh grrrh!" Manusia serigala itu melompat lalu menghilang setelah melihat korban meregang nyawa.

**

Blaar.

Sebuah batu besar hancur dalam satu kali pukulan jarak jauh. Senyum puas tersungging di wajah seorang pemuda. Jurus Katumbiri yang dilatihnya selama ini telah berhasil dikuasai dengan sempurna.

“Murid Eyang Suwita … tiada lawan … ha ha ha …!” Pemuda itu bertepuk tangan sambil tergelak.

“Iya ‘kan Eyang?” Dia celingukan mencari sosok guru yang diingatnya memperhatikan dari belakang. Namun sosok tersebut raib entah ke mana.

Pemuda tersebut bernama Mardawa. Sejak kecil diasuh dan dilatih Eyang Suwita dalam gubuk sederhana di lereng Gunung Wingit.

“Eyang!” Suara Mardawa menggema di antara pepohonan sekitar. Tidak ada tanda-tanda sahutan atas panggilannya.

Mardawa berpindah tempat berdiri. Dia mulai merasa cemas padahal tahu jika ilmu sang Eyang jauh di atasnya.

“Eyang … Eyang di mana?” Teriakan Mardawa sekali lagi membuat kumpulan burung terganggu lalu terbang berhamburan. Sepi. Tak ada jawaban sama sekali.

Mardawa mendongak, menajamkan penglihatan, mencari sang guru di antara dahan pepohonan. Barangkali Eyang Suwita ada di salah satu dahan tengah melamun.

Sebuah kebiasaan yang kadang membuat Mardawa menggelengkan kepala. Entah sedang melamunkan apa. Mungkin mantan kekasih yang kini entah di mana rimbanya.

"Tidak ada. Eyang … Eyang!" Suara Mardawa nyaring di hutan itu. Pondok mereka memang terletak di tengah hutan. Seketika suara-suara binatang liar terhenti sejenak. Kaget dengan teriakan Mardawa.

Set set set.

Mardawa berkelebat di antara pepohonan besar. Dia teringat dengan satu tempat yang selalu dikunjungi oleh Eyang Suwita.

"Tidak ada juga." Mardawa mengeluh sambil garuk-garuk kepala.

Tangannya bersedekap sejenak, lalu jarinya mengetuk-ngetuk dahinya yang berkerut. Mulutnya mencang-mencong tandanya dia berpikir keras. Dia melanjutkan pencariannya ke sebuah air terjun yang tak jauh dari tempat itu.

"Rupanya ada di sini, Kakek. Aku mencarimu ke mana-mana." Mardawa berkata sambil menghempaskan bokongnya di dekat Eyang Suwita.

Eyang Suwita tidak menjawab. Dia masih asyik dengan batu-batu kecil yang dilemparkan ke kolam kecil di bawah air terjun. Mardawa akhirnya diam, ikut memandang kolam yang beriak-riak. Tempias air terjun sampai ke tempat duduknya.

"Apa yang membuat Kakek resah?" tanya Mardawa. Pemuda itu tidak tahan untuk tidak bertanya. Tidak biasanya Eyang Suwita bermuram durja. Beban berat nampak di wajahnya yang murung.

"Kamu harus segera pergi dari sini!" kata Eyang Suwita tegas.

“Apa? Aku harus pergi? Salahku apa? Mengapa Eyang mengusirku?” Dia sangat sedih mendengar kalimat Eyang Suwita barusan.

“Bukan mengusirmu Mardawa. Lebih tepatnya aku mengembankan amanah kepadamu.” Suara berat yang khas bercampur ketegasan membuat Mardawa terdiam menyimak.

“Keadaan Jatisari sedang tidak baik-baik saja, terutama di Jatiwarna. Ada kabar yang beredar tentang Pranata yang membuat warga tidak tenang. Belum lagi banyak kematian wanita penari ronggeng oleh binatang buas. Hanya saja … aku tidak yakin akan hal itu.”

“Siapa Pranata itu, Eyang?” tanya Mardawa sembari mengamati raut serius di tiap lekuk wajah sang guru.

“Dia adalah manusia yang tidak layak ada di bumi Jatisari.”

Mardawa paham apa yang baru saja diucapkan Eyang Suwita.

“Apa aku mampu untuk mengemban amanah itu, Eyang?” Mardawa meragukan kemampuan sendiri meski tadi dia sempat bertepuk tangan membanggakan jurus andalan Katumbiri.

“Jika bukan dirimu, lalu siapa lagi Mardawa? Usiaku sudah lanjut, tenaga pun tak lagi sama seperti dulu. Hampir semua ilmuku telah kuturunkan kepadamu. Sekarang saatnya kau menggunakannya untuk kebaikan sesama.”

Mardawa terdiam. Amanah sang guru adalah titah baginya. Tidak pernah sekalipun selama bersama, Mardawa menolak perintah Eyang Suwita. Meski diliputi rasa cemas dan ragu pada kemampuan diri sendiri, Mardawa tetap harus mengemban tugas tersebut.

“Baiklah, Eyang. Aku akan mengemban tugas yang kau berikan.” Mardawa berbalik, langkahnya pelan meninggalkan Eyang Suwita menuju pondok yang berada di balik sebuah pohon besar berusia ratusan tahun.

Menjelang sore, Mardawa yang telah berkemas siap berpamitan. Untuk pertama kalinya, Mardawa merasa sedih hendak meninggalkan pondok beserta satu-satunya orang yang dia miliki di dunia ini.

“Kek ….” Kalimat pemuda itu terpotong karena tenggorokan yang terasa penuh. Dia tidak ingat lagi apa yang akan dikatakan. Dada terasa sesak, mata kabur karena air mata. Semua kegagahannya tidak berarti saat menghadapi perpisahan.

Eyang Suwita menoleh. Jauh di lubuk hatinya dirinya ingin tinggal bersama Mardawa lebih lama lagi.

Pergilah!” suruh Eyang Suwita. Lelaki tua itu juga sama tengah menahan rasa haru. Dia memeluk Mardawa dengan erat, ditahannya air mata yang hampir mengalir. Dia tidak boleh kelihatan lemah di hadapan muridnya.

Tanpa berkata apa-apa lagi Mardawa berlalu dari hadapan Eyang Suwita. Sebelum mencapai kelokan jalan setapak, pemuda itu menoleh ke arah gurunya tersebut. Lama dia mematung, lalu berbalik dan berkelebat menuruni lereng gunung.

“Mardawa … cucuku …. Semoga kita bisa berjumpa lagi …,” gumam Eyang Suwita sedih. Mata memerah karena menahan tangis. Lelaki tua itu mengusap sudut mata. Tak urung setitik air mata terjatuh juga. Terakhir menangis saat dulu dia kehilangan adiknya. Kini, tak dipungkiri, ada rasa takut kehilangan sang cucu. Karena bagaimanapun, Mardawa pasti akan berhadapan dengan pendekar-pendekar hitam saat menjalan tugas darinya.

"Mengapa kamu memilih jalan sesat, Adikku." Eyang Suwita bergumam sambil melihat langit.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Alina Strkv
ada yang pengen aku tanyain
goodnovel comment avatar
Alina Strkv
kak mau nanya, dapet inspirasi subjudul Ratu Kali Wingit dari mana ya?
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Tarian Pemikat Serigala    Bab 115. PERTEMUAN

    Juragan Pranata hanya tertunduk mendengar semua ucapan Serigala Perak. Dia merasa salah karena sudah gagal melaksanakan tugas. “Menculik seorang gadis saja kamu tidak berhasil!” seru lelaki itu. Suaranya keras mengandung tenaga dalam yang menggetarkan. Rupanya misi Juragan Pranata adalah menculik seorang gadis, tapi siapa? Bukankah dia juga selalu berusaha untuk menculik Semboja, untuk dijadikan istrinya.“Ampun, Junjungan. Pemuda sialan itu selalu menghalanginya setiap berhasil membawanya. Aku tidak sanggup melawannya.” Juragan Pranata menunduk dalam-dalam setelah mengadukan alasan mengapa selalu gagal. “Siapa pemuda itu? Bukankah aku sudah memberimu ilmu kanuragan yang cukup memadai!” Serigala Perak kembali membentaknya. Lelaki itu sudah sangat marah karena gadis pujaannya tidak kunjung didapatkan.“Mardawa, Junjungan.” Akhirnya Juragan Pranata menyebutkan sebuah nama. Diam-diam Juragan Pranata mengintip reaksi Serigala Perak. Dia penasaran apa Serigala Perak mengenal pendekar s

  • Tarian Pemikat Serigala    Bab 114. KEGAGALAN JURAGAN PRANATA

    Wirya masygul, dia bingung harus bagaimana. Perjalanannya ke goa Nenek Wira tidak membuahkan hasil. Dia harus segera pulang menemui Juragan Pranata. Dengan langkah ragu dan hati yang kebat-kebit, sampai juga akhirnya ke Perguruan Serigala Putih. Wirya masuk dan menghadap gurunya."Apa? Kamu gagal Wirya?" tanya Juragan Pranata. Dia diam sejenak dengan muka tegang."Benar, Juragan." Wirya menjawab takut-takut. Bisa saja sewaktu-waktu juragannya itu murka dan menghajarnya."Mengapa sampai gagal?" tanya Juragan Pranata lagi membentak. Lelaki arogan itu memandang Wirya dengan tajam. Seperti ingin menelannya bulat-bulat.Wirya bingung harus bagaimana menjawabnya. Dia tidak tahu gagalnya di sebelah mana. Dirinya sudah bertempur mati-matian, malah pusakanya itu yang menghilang. Harusnya ketika dia menang bertarung, pedang itu menjadi miliknya."Pusaka itu menghilang." Akhirnya Wirya menjawab juga. Memang seperti itu adanya, Wirya merasa ragu bercerita tentang pendekar lain yang disebutkan se

  • Tarian Pemikat Serigala    Bab 113. PEDANG PUSAKA

    "Puuuh!" Indaku meniup mata Jayaprana. Dia sengaja melakukan itu agar lelaki itu bisa melihatnya. "Kau … kau, makhluk apa?" tanya Jayaprana terputus-putus. Dia kaget melihat seekor macan tengah berbaring di batu besar. Di mana dirinya tengah mencari seorang gadis yang tengah bermesraan dengan Mardawa. "Grrrh!" Macan tersebut malah menggeram. Suaranya membuat bumi yang dipijak bergetar. Jayaprana mundur, begitu juga Mardawa. Dua pemuda itu sama-sama bersikap waspada."Kaukah itu Indaku?" tanya Mardawa dengan ragu. Dia tidak menyangka sama sekali jika gadis yang mengaku sebagai istrinya itu adalah seekor macan. Beberapa saat turun gunung membuatnya menemui berbagai keanehan. Ada manusia peri dan ini manusia juga yang berubah menjadi macan. Mardawa jadi bimbang dan harus ekstra hati-hati setiap bertemu dengan orang baru.Macan itu memandang ke arah Mardawa. Ia mengangguk-angguk kepalanya. Beralih memandang ke arah Jayaprana, matanya merah seperti menyala."Tidak usah, Indaku. Pergil

  • Tarian Pemikat Serigala    Bab 112. INDAKU

    Oli masih seperti sebelumnya. Cengar-cengir gak jelas. Padahal jika di negerinya dia bisa berubah menjadi normal, sangat cantik dan anggun. Dirinya tidak bisa menjadi besar jika ada di negeri manusia."Ni bocah kenapa?" pikir Dewi Rimbu. Rupanya gadis itu tidak sabar untuk mengetahui bagaimana caranya peri kecil itu mengalahkan Jayaprana. Rasanya tidak mungkin jika beradu kekuatan. Bagaimanapun hebatnya jurus yang dimiliki Oli, tubuhnya hanya sebesar capung."Aku masuk ke telinganya. Hihihi hihi hihihi." Sambil masih tetap cengar-cengir Oli menjelaskan. Peri itu melompat-lompat di atas daun talas yang lebar. Rupanya dia masih merasa sangat hebat. "Lalu?" tanya Mardawa. Dia duduk di batu besar. Di sebelahnya juga duduk Dewi Rimbu dengan membawa buntelan bajunya."Aku masuk, gendang telinganya aku tendang-tendang. Tentu saja dia kesakitan, kan. Ehh … sakit gak ya?" tanya Oli sambil berpikir. Matanya memandang Mardawa mohon penjelasan."Paling terasa gatal. Hahaha hahaha hahaha," jawab

  • Tarian Pemikat Serigala    Bab 111. DISELAMATKAN OLI 

    Sesaat Dewi Rimbu terkesima melihat siapa yang datang. Lelaki itu kembali tepat saat dirinya dalam bahaya. Seperti punya firasat akan keselamatannya. Dewi Rimbu merasa sangat berterima kasih. “Mardawa," gumam gadis tersebut. "Bagaimana dia bisa ke sini." Dewi Rimbu tidak sempat berpikir karena Jayaprana sudah bersiap untuk menyerangnya. Dirinya tidak sempat mempersiapkan serangan. Dewi Rimbu pasrah dengan apa yang akan terjadi. Riwayatnya akan tamat hari ini. Lari! Sempat terlintas dalam benaknya. Namun, sampai kapan dia harus terus-menerus berlari dari Jayaprana. Kali ini, jika terhindar dari serangan pemuda itu, Dewi Rimbu akan menghadapinya dengan sekuat tenaga. Tadi, Mardawa sengaja mencari Dewi Rimbu karena curiga dengan Danu. Sekali sentakan, dengan sangat cepat pemuda itu menarik tangan gadis itu ke sebelah kanan. Serangan Jayaprana yang berbahaya lewat tanpa menyentuh gadis tersebut. Tampak Dewi Rimbu bernapas lega. Dia sedikit membungkuk, mengisyaratkan ucapan terima kasi

  • Tarian Pemikat Serigala    Bab 110. DENDAM

    Dewi Rimbu melesat tanpa menoleh lagi. Dirinya yakin jika Mardawa tidak mengikutinya. Gadis itu ingin segera tiba dan tidur dengan nyenyak. Tak ada tempat paling nyaman selain tempat punya sendiri. Walau itu hanya sekedar tempat tidur dari batu.Bulan yang semakin terang saat tengah malam berlalu, memudahkan Dewi Rimbu berlari. Saat dirinya mendongak, bulan tersebut seolah-olah ikut berlari bersamanya. Gadis itu berhenti sejenak, dia memperhatikan keindahan bulan di atas sana. “Indah sekali langit dini hari.” Gadis itu bergumam sambil memandang ke langit. Sesaat dia teringat dengan negeri peri yang baru saja ditinggalkan. Teringat betapa dirinya terpesona dengan keindahan alam di sana. Gadis itu, dia melihat sekeliling, suasana sangat sepi tidak dilihatnya ada orang.“Ah, mengapa aku teringat kepada Eyang Suwita. Mereka sepasang kekasih yang berbahagia. Dewi Rimbu tertunduk, teringat dengan kekasihnya.“Kakang maafkan aku, belum menemukan pembunuhmu. Aku berjanji akan menemukan siapa

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status