Share

Bab 2. PRANATA

Mardawa terus berlari tanpa henti. Dia harus mencapai kampung terdekat sebelum malam tiba. Perasaan was-was muncul seketika karena tidak ada yang dikenalnya di daerah itu. Dirinya adalah orang asing, tak lepas kemungkinan dicurigai oleh masyarakat atas kejadian pembunuhan yang tengah meneror warga. 

Tiba di pinggir sungai Mardawa berhenti. Dia melepas dahaga dengan meminum air sungai itu. Tanpa disadari ada sepasang mata yang mengawasi dengan raut wajah ketakutan.

“Aaah … segarnya.” Mardawa berdiri sambil mengusap wajah. Sejenak dia memandang berkeliling sambil bertolak pinggang. 

“Aduh.” Seseorang terdengar mengaduh.

Mardawa cepat menoleh ke asal suara. Terlihat oleh pemuda itu seorang gadis sedang memegang salah satu kakinya yang berdarah. Dengan sigap Mardawa mendekati gadis tersebut.

“Mengapa kamu terluka? Tunggu, aku cari obatnya!” Mardawa tidak menunggu jawaban gadis itu. Dia segera mencari daun-daunan untuk menghentikan darah dari luka gadis tersebut. Gadis itu hanya melongo, dia cemas dan berniat akan pergi.

Dengan terpincang-pincang gadis itu berlalu. Dia harus sesegera mungkin sampai di kampung, menyesal tadi pergi ke sungai walau hari sudah sangat sore. Orang asing itu sudah membuat jantungnya dagdigdug dengan kencang. Walau tampak seperti orang baik, dirinya harus waspada. Banyak kejadian aneh akhir-akhir ini di kampung.

“Tunggu! Mengapa kamu pergi?” tanya Mardawa. Tiba-tiba saja pemuda itu sudah menghadang gadis tersebut dengan segenggam daun badotan di tangan. 

"Izinkan aku obati dulu lukamu, setelah itu silakan kalau kau ingin pergi.” Suara Mardawa membuat gadis itu seperti terhipnotis. Dia menurut saja disuruh duduk oleh pemuda asing di hadapan. Dengan cekatan, Mardawa menutup luka di kaki gadis itu dengan dedaunan yang didapatnya tadi.

"Nama kamu siapa?" tanya Mardawa sambil mendongak. Sejenak mata mereka bertemu. Rona merah menjalar di pipi gadis itu dan seketika menunduk.

Gadis itu diam tidak menjawab pertanyaan Mardawa. Sekilas tadi Mardawa melihat gadis itu tersipu sebelum dia menundukkan wajah menghindari tatapannya. 

Selesai membalurkan obat, Mardawa mundur memberi jarak antara dirinya dan gadis tersebut. 

“Sudah selesai. Lukamu akan sembuh dalam dua hari ini. Lain kali, berhati-hatilah. Tidak baik seorang gadis pergi sendirian saat senja begini,” ucap Mardawa sembari menegakkan badan.

Mendengar nasihat baik dari pemuda asing, gadis itu sontak mengalihkan pandang. Hidung mancung dan bibir tipis pemuda itu serta kulit wajah yang bersih mencuri perhatiannya. 

“Tidak ada pemuda di desa yang memiliki kulit sebersih dia,” puji gadis itu dalam hati. Namun, kekhawatiran dan rasa takut tiba-tiba datang merayapi hatinya. 

"Pergilah!" suruh Mardawa. Dia menatap paras gadis itu.  "Cantik sekali," batinnya. Tiba-tiba hatinya diselimuti rasa hangat, entah apa namanya, Mardawa tidak mengerti. "Ah … ada-ada saja." Tanpa sadar dia tersenyum kecil.

Mardawa yang menangkap sorot ketakutan   dalam mata gadis tersebut pun segera sadar lalu lekas berkata lagi, “Kau boleh pergi, Nyimas.”

Gadis itu berlalu dengan terburu-buru walau langkah sedikit pincang. Mardawa lega karena dia yakin, luka gadis tersebut akan segera sembuh. Mardawa memperhatikan gadis itu sampai hilang di belokan. Namun, tiba-tiba dia teringat sesuatu. 

Buru-buru Mardawa berteriak,"Eh … tunggu! Namamu siapa?"  Terlambat, gadis itu sudah menghilang dari pandangan.

"Aaah, sial!" umpat pemuda itu. Dia menyesali kesempatan untuk mengenal gadis tersebut dan mengetahui nama desa ini hilang sudah. "Sungguh tidak beruntung," rutuknya sekali lagi. Dia tertawa sendiri sambil menepuk jidatnya.

Sembari mengayunkan langkah, Mardawa mengulum senyum. Dia mengingat lesung pipit yang sempat dilihatnya di kedua pipi gadis tadi. Tanpa sadar, hatinya yang tadi gelisah telah berubah. Dia bersiul sambil meneruskan langkah.

"Tunggu, Kisanak!" 

Langkah Mardawa terhenti, sebuah suara mengagetkannya. Pemuda itu cepat-cepat berpaling ke belakang. Rupanya ada seorang pemuda berdiri dengan tatapan menyelidik. Memandang Mardawa dengan sikap waspada.

"Ya, ada apa?" tanya Mardawa. Pemuda itu diam-diam menyalurkan tenaga dalam ke tangannya. Berjaga-jaga dengan serangan mendadak yang bisa saja terjadi.

"Dari mana, mau ke mana?" tanya orang yang baru datang dengan curiga. “Sepertinya saya tidak pernah melihat Kisanak di sekitar sini. Jika boleh tahu, Kisanak dari mana dan hendak ke mana?” tanya orang tersebut dengan nada penuh kecurigaan.

Mardawa diam sejenak. Dia menelisik penampilan serta aura yang dimiliki pemuda di depannya. Tidak ada tanda-tanda niat buruk, maka Mardawa memutuskan menyebutkan nama. "Aku Mardawa, murid Eyang Suwita dari Gunung Wingit itu," jawab Mardawa sambil menunjuk gunung yang menjulang dari tempatnya.

 “Oooh, aku sering mendengar nama Eyang Suwita. Perkenalkan namaku Danu.” Pemuda tersebut tersenyum lebar mendengar penuturan Mardawa barusan. Eyang Suwita adalah pendekar yang cukup dikenal namanya di kampung terdekat. Beberapa tahun silam, memang terdengar kabar jika beliau mundur dari dunia persilatan dan mengasingkan diri di Gunung Wingit. Gunung yang sangat sulit ditempuh medannya dan terkenal wingit atau seram.

Melihat langit yang mulai gelap, Danu menawarkan rumahnya sebagai persinggahan bagi Mardawa. Melihat niat baik, Mardawa menerima tawaran tersebut. Sepanjang perjalanan menuju desa, dia banyak menggali informasi dari Danu tentang  Pranata dan beberapa pembunuhan ronggeng yang disampaikan Eyang Suwita.

**

Hiiburan di Desa Jatiwarna baru saja dimulai. Hampir setiap malam ada saja keramaian. Maklum lagi musim orang hajatan.

Bunyi gendang tambah ramai ditingkah para laki-laki yang sedang berjoget. Mereka tengah menghamburkan uang demi lirikan maut si Bintang Pentas--Nyi Ronggeng. Gadis cantik itu tengah asyik menari dan nyinden. Lagu Bangbung Hideung baru saja dimainkan.

“Eee … ieu abdi anu geulis, nu geulis kawanti-wanti

Nu endahna malih warna puputon kembang kadaton

Jungjunan ….” 

Nyi Ronggeng menyanyikan lagu tersebut dengan sangat merdu. Lagu wajib yang mesti dinyanyikan di setiap pertunjukannya. Banyak penonton yang menunggu saat tersebut. Mereka sudah menyiapkan uang yang banyak untuk memberikan saweran.

Lagu yang mampu memancarkan aura magis, menghipnotis pendengarnya untuk turut bergoyang. Seiring kendang sambil nyawer dengan kepingan uang logam emas dan perak.

“Pranata anu mana … Pranata anu mana … Pranata mangga ka payun!” Kali ini penari itu memanggil salah satu tamu yang punya hajatan. Suara tepuk tangan mengiringi Pranata naik panggung. Lelaki gagah setengah tua itu maju lalu menjura, tepuk tangan kembali bergemuruh.

Seorang pemuda gagah tidak ikut bertepuk-tangan. Ia menatap tajam ke arah lelaki tua itu. Hatinya berdebar saat melihat lelaki setengah tua itu.

“Dia orangnya, Mardawa,” bisik pemuda di samping lelaki gagah itu–Danu.

“Yang mana?” tanya Mardawa. Hatinya tiba-tiba berdebar-debar.  Ini kali pertama Mardawa akan melihat dengan jelas wajah Pranata, sosok yang tidak layak berada di Bumi Jatiwarna. Meski tidak berhadapan langsung, tapi Mardawa dapat menangkap aura hitam dari Pranata. Rasa penasaran membuatnya matanya tidak berkedip.

Seorang laki-laki setengah tua maju. Mukanya dingin dihiasi kumis baplang. Semua orang di kampung itu tahu siapa dia, Pranata. Mempunyai perguruan silat bernama Bangbung Hideung yang artinya kumbang hitam. Sebuah perguruan yang beraliran hitam. 

Mardawa dengan perasaan tegang mengamati laki-laki itu baik-baik. Jika suatu hari bertemu lagi dirinya langsung mengenalinya. Mardawa sangat terkejut saat dirinya memperhatikan wajah laki-laki itu.

"Wajahnya … wajahnya … mengapa begitu mirip dengan …." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status