Share

Bertemu

Sesuai dengan permintaan Sinta, setelah bengkel tutup aku langsung menuju ke Kopi Tiam. Tempat itu berada di sebuah mall yang terletak di tengah kota.

Sebuah pesan kukirim ke Riska untuk mengabari kalau aku akan pulang malam hari ini. Alasanku karena ada keperluan dengan seorang teman lama. Untunglah dia mengerti. Aku merasa sedikit lega saat dia tak banyak bertanya dan hanya membalas 'iya'.

Sesampainya di sana ternyata Sinta sudah menunggu. Seperti biasa, dengan penampilan yang glamour juga dandanan menor. Wanita itu memang sejak dulu tak banyak berubah, mengandalkan kecantikan fisik untuk menggoda lawan jenis.

"Mau pesan apa?" Sinta menyodorkan daftar menu.

Aku langsung menolaknya karena memang tak ada niat untuk berbincang lama di sini. Aku hanya sekadar ingin tahu apa maunya. Itu saja.

"Minum dulu, Rahman. Jangan buru-buru gitu," ucapnya dengan penuh harap. Tangannya bahkan hendak menyentuh jemariku. Namun, sebelum itu terjadi, aku dengan cepat menariknya.

Aku duduk berhadapan dengan Sinta sembari menatapnya dengan tajam. Sikapku itu justru malah disalah-artikan. Wajah wanita itu semakin tersipu setiap kali melihatku. Sepertinya dia malah senang.

"Tante mau apa lagi?" tanyaku tegas.

"Aku mau kita kayak dulu. Bersama lagi. Aku sayang kamu, Rahman. Sampai sekarang masih gak bisa lupain malam-malam kita," katanya dengan nada suara yang sengaja dilembutkan.

Aku tahu dia mencoba menggoda, tetapi maaf itu tidak akan berhasil. Pertahananku kokoh dan tak akan runtuh hanya karena rayuan.

Kutepis tangannya yang hendak menyentuhku lagi. Jijik. Entah dulu mengapa aku bisa khilaf memilih jalan itu untuk membiaya hidup.

"Tante gak malu bersikap kayak gini?" Kulipat tangan di dada. Sengaja memasang wajah galak supaya dia berubah pikiran.

Bukannya menjawab, Sinta malah dengan santainya mengambil minuman dan menyesapnya pelan.

"Aku gak peduli," katanya setelah isi gelas itu berkurang menjadi setengahnya.

Aku terdiam sejenak, menimbang apa yang yang harus aku ucapkan lagi, secara dia masih nekat mengejarku.

"Kalau Tante sampai berani nyebarin foto itu, bukannya keluarga Tante sendiri yang bakal tercemar?" tanyaku balik.

Sinta tergelak lalu menutup mulut untuk menjaga image-nya.

"Aku bisa bayar orang buat bersihkan nama. Sementara rahasia kamu terbongkar," ancamnya.

Aku tak berkutik. Ternyata Sinta cerdas juga. Lalu, bagaimana caranya agar dia berhenti menggangu dan menjauhiku?

"Kalau kamu gak mau, Riska bakalan terima foto-foto kita dalam waktu dekat. Bukan cuma itu, tapi yang lain," ancamnya lagi dengan senyum mengejek.

"Terserah!" bentakku lalu berdiri dan meninggalkannya begitu saja.

***

Jarum jam menunjukkan angka sembilan saat aku tiba di rumah. Lampu masih menyala, itu berarti Riska menunggu kedatanganku.

Kubuka pintu dengan kunci cadangan, lalu menyandarkan diri di sofa untuk melepas penat sesaat.

"Mau makan, Mas?" Dia bertanya saat menyambutku di ruang tamu, lalu mengambil tas dan meletakkannya di nakas.

"Boleh. Kamu masak apa?" tanyaku sembari mengekorinya berjalan menuju dapur.

Biasanya aku akan mengganti pakaian dan membersihkan diri. Tapi sepertinya perut sudah minta diisi, jadinya hanya tangan yang kubersihkan di wastafel.

"Gak masak. Kerjaan lagi banyak. Ini aku beli aja pas tadi pulang." Sinta membuka lemari es, lalu mengambil beberapa box makanan dan menghangatkannya di microwave.

Sambil menunggu Riska menyiapkan semua, aku duduk dan mulai membuka ponsel, melihat apa yang saja berita yang sedang hangat dibicarakan. Aku juga membuka beberapa akun media sosial untuk melihat kabar teman-teman.

Aku sendiri jarang membuat postingan. Setiap hari berteman dengan oli dan mesin membuatku tak sempat mengupload foto seperti kebanyakan orang.

"Rendangnya udah siap, Mas."

Riska meletakkan makanan itu di meja bersama dengan sajian yang lain. Tangannya dengan cekatan menyendookkan nasi dan menyodorkannya kepadaku. Dalam sekejap, semua habis tak bersisa. Ternyata sejak tadi dia juga belum makan karena mengungguku pulang.

"Dek. Gimana kalau kita ambil anak dari panti asuhan?" tanyaku setelah selesai makan. Entah mengapa tiba-tiba ide itu terlintas begitu saja.

Rumah ini begitu sepi jika hanya kami tempati berdua. Mungkin dengan adanya bayi, sekalipun itu bukan anak kandung sendiri, bisa menjadi pelepas penat dan penyejuk hati.

"Reaksi keluarga kita gimana nanti?" ucapnya ragu.

Selama ini Riska yang menjadi tertuduh tidak subur, sehingga jika mengambil keputusan penting, dia akan bertanya berkali-kali kepadaku untuk memastikan.

"Terserah kita, Dek. Ini kan keputusan berdua," jawabku bijak.

Ada hal-hal yang tidak boleh keluarga campuri dalam rumah tangga suatu oasangan.

"Kalau memang mau minta pendapat mereka ya boleh. Tapi keputusan tetap di tangan kita, Dek," lanjutku lagi.

Kutarik selembar tissue untuk membersihkan mulut, lalu mengambil sebuah pisang raja dan mulai melahapnya. Ada puding cokelat dalam cup kecil yang diletakkan Riska tadi, tetapi aku sedang tak berselera mencicipinya.

"Apa sebaiknya kita bilang saja yang sebenarnya, Mas?" pintanya.

Aku menatapnya dalam, lalu mengabiskan suapan pisang yang terakhir. Keteguk air dengan cepat lalu membuang tissue di piring kotor.

"Jangan sekarang. Tunggu waktu yang tepat. Aku pasti akan bicara," jelasku menenangkan.

"Kapan?" tanyanya tak bersemangat. Riska meletakkan sendok di piring dengan lemas, padahal makannya belum selesai.

"Tunggu ada acara keluarga. Kita umumkan hasil tes. Terus nanti kita bilang kalau mau ambil anak asuh. Ya?" bujukku.

Riska mengangguk, kemudian membereskan sisa makan kami tadi. Saat terdengar bunyi air ketika dia mencuci piring, aku kembali ke kamar untuk membersihkan diri.

Setelah selesai mandi, kurebahkan diri sambil memejamkan mata. Bengkel beberapa bulan ini sepi. Omset menurun drastis. Tadi aku mengecek catatan di pembukuan lalu berpikir keras darimana mendapatkan uang untuk membayar THR karyawan. Padahal beberapa bulan ke depan hari raya akan tiba.

"Mas ini kok mirip kamu, ya? Bajunya sama."

Tiba-tiba Riska masuk ke kamar dan mengatakan hal itu. Aku segera duduk dan bersandar di headboard ranjang.

"Apa sih, Dek?" tanyaku kebingungan karena tak mengerti dengan apa yang dia ucapkan.

Riska menunjukkan ponsel. Aku meraih benda itu dan melihat apa yang ditunjuknya. Tampaklah gambar punggung lelaki di sebuah tempat makan.

"Ini status siapa?" tanyaku keheranan. Ini memang aku. Tadi, di Kopi Tiam.

"Tante Sinta." Dia menantapku dengan curiga.

Aku tersentak dan menatap Riska dengan gamang. Setika dunia terasa akan runtuh.

Mungkin mirip. Baju itu memang pasaran. Jadi, banyak yang pakai," elakku sembari merengkuh tubuhnya.

Sebelum sempat Riska berucap, aku menyentuh bibirnya untuk mengalihkan pembicaran agar tak banyak bertanya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status