Share

Bab 5. Api Yang Membara

Penulis: Lily Dutch
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-10 21:53:23

Araya tidak bisa tidur malam itu. Bayangan jamuan makan malam terus menghantam pikirannya seperti ombak yang tak kunjung reda. Tatapan Adrien yang tajam, genggaman tangannya di pinggang Araya, serta bisikan lembut yang lebih menyerupai ancaman—semuanya berputar seperti racun yang merembes ke dalam nadinya.

Ia menggeliat di ranjang kecil yang diberikan untuknya, tapi udara seakan terlalu sesak. Tirai tipis jendela bergoyang perlahan, ditiup angin malam, seolah menertawakan kegelisahannya.

"Mengapa aku membiarkan dia menyentuhku seperti itu?" batinnya penuh amarah pada diri sendiri.

Tapi, sejujurnya, yang lebih menakutkan adalah—mengapa hatinya bergetar ketika Adrien membisikkan kata-kata itu.

Araya menutup wajah dengan kedua tangan, mencoba menyingkirkan rasa bersalah dan getir yang menyergap. Tubuhnya menolak, namun jiwanya berperang. Adrien baginya adalah musuh, sekaligus jurang yang perlahan-lahan menariknya jatuh.

Ketukan pelan di pintu kamarnya membuatnya tersentak.

“Masuklah,” ucapnya refleks dengan suara bergetar.

Pintu berderit. Sosok Adrien muncul dalam balutan kemeja hitam yang lengannya tergulung. Rambutnya sedikit acak, namun wajahnya tetap membawa aura dingin yang menusuk. Araya langsung menegakkan tubuh, jantungnya berdegup cepat tanpa kendali.

“Bersiaplah. Aku ingin bicara denganmu. Sekarang,” ucap Adrien singkat.

Araya ingin menolak, tapi sorot matanya tak memberi ruang untuk bantahan. Ia mengikuti Adrien menuju ruang kerja. Langkah pria itu panjang, mantap, sementara Araya nyaris berlari kecil di belakangnya.

---

Ruang Kerja Adrien

Lampu gantung kristal memantulkan cahaya keemasan, menyoroti rak penuh buku dan meja besar dari kayu hitam mengilap. Di balik jendela tinggi, malam tampak pekat, menelan seluruh dunia.

Adrien berdiri di depan jendela, menatap keluar. Bahunya tegap, siluet tubuhnya seolah menguasai ruangan. Araya merasa dirinya begitu kecil, nyaris lenyap.

“Duduk,” katanya tanpa menoleh.

Araya menuruti, duduk di kursi di hadapan meja. Tangannya bergetar halus di pangkuannya.

Keheningan menggantung. Adrien akhirnya berbalik, menatapnya dalam-dalam.

“Aku lihat tadi malam… ada seseorang yang terlalu memperhatikanmu.”

Araya menelan ludah. Ia ingat jelas, ada pria asing di jamuan itu—mata kelam yang menatapnya terlalu lama.

“Aku tidak mengenalnya,” jawab Araya, berusaha tegar.

Adrien mendekat, langkahnya pelan tapi penuh dominasi. Ia menunduk, kedua tangannya menahan sandaran kursi Araya, membuatnya terperangkap di antara tubuh pria itu dan meja. Wangi maskulin menyeruak, membuat napasnya tercekat.

“Aku tidak suka ada yang menatap milikku seperti itu,” bisik Adrien, suaranya berat, nyaris seperti geraman.

“M-Milikmu?” Araya mendongak, mencoba menatap balik dengan berani. “Aku bukan milik siapa pun. Aku hanya pembantu—”

“Pembantu?” Adrien menyeringai tipis, namun sorot matanya berbahaya. “Kau lebih dari itu. Kau adalah permainan yang aku pilih untuk kucengkeram… dan aku tidak suka jika ada orang lain mencoba menyentuh papan permainan ini.”

Araya menggertakkan gigi, hatinya berperang. Marah, takut, tapi juga—anehnya—terpikat.

“Kalau begitu lepaskan aku! Biarkan aku pergi, kalau memang aku hanya mainan!”

Adrien menunduk lebih dekat, bibirnya hampir menyentuh telinga Araya.

“Dan kau mau kembali pada keluargamu yang menjualmu? Atau mungkin… pada pria asing tadi malam?” Napasnya hangat di kulit leher Araya. “Katakan padaku, Araya… siapa yang benar-benar kau inginkan?”

Araya terperangkap. Matanya panas, bercampur air mata dan api yang membakar. Ia ingin meneriakkan kebebasan, tapi tubuhnya malah gemetar ketika Adrien menelusuri garis rahangnya dengan jemari dingin.

“Berhenti…” suara Araya lirih, nyaris memohon.

“Berhenti?” Adrien menatapnya penuh teka-teki. “Kau yakin?” Jemarinya turun ke dagu, mengangkat wajah Araya agar menatap langsung ke dalam matanya.

“Karena tubuhmu berkata lain.”

Araya terperanjat. Wajahnya memanas, malu sekaligus marah. Ia menepis tangan Adrien dengan keras, lalu berdiri.

“Kau kejam! Kau suka mempermainkan perasaan orang!” teriaknya, napas memburu.

Adrien hanya tertawa pendek, tapi matanya berkilat.

“Aku tidak mempermainkanmu, Sayang. Aku hanya membuka matamu pada sesuatu yang tidak ingin kau akui.”

Araya mundur selangkah, punggungnya menabrak rak buku. Adrien mendekat perlahan, tubuhnya bagai bayangan gelap yang mengurungnya.

“Aku benci kau…” suaranya pecah, namun matanya berkilau dengan emosi campur aduk.

“Tapi kau tidak bisa berhenti memikirkanku.” Adrien menyentuh bibir Araya dengan ibu jarinya, lembut namun penuh klaim. “Setiap kali aku mendekat, kau gemetar. Itu bukan benci, Araya. Itu sesuatu yang jauh lebih berbahaya.”

Air mata jatuh di pipi Araya, tapi tubuhnya bergetar bukan hanya karena takut. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam, sesuatu yang membuatnya lemah di hadapan pria ini.

Adrien akhirnya mundur sedikit, memberi ruang bernapas. Ia menyalakan sebatang rokok, menghembuskan asap dengan santai, meski sorot matanya tetap menusuk.

“Aku ingin kau berhati-hati dengan pria tadi malam. Namanya Leonhart. Dan dia bukan orang biasa.”

Araya menatap bingung. “Leonhart? Siapa dia?”

Adrien tidak menjawab langsung. Ia berjalan ke mejanya, menaruh rokok di asbak, lalu menatap Araya dengan dingin.

“Dia musuhku. Dan jika dia mendekatimu… itu berarti dia ingin melukai aku.”

Araya membeku. Jantungnya berdetak panik.

“Kenapa aku? Aku tidak ada hubungannya dengan ini…”

“Sekarang kau ada,” jawab Adrien singkat. “Karena kau berada di sisiku.”

Araya ingin membantah, tapi bibirnya kelu. Ia merasa dunia yang digelapkan Adrien kini menyeretnya lebih dalam. Dan entah kenapa, di balik ketakutannya, ada bagian kecil dalam dirinya yang merasa… dibutuhkan.

Keheningan panjang. Adrien menatap Araya dengan cara yang membuatnya sulit berpaling. Ada sesuatu dalam sorot itu—bukan hanya kuasa, tapi juga luka yang dalam.

“Kenapa aku?” tanya Araya lirih. “Dari semua orang, kenapa aku yang kau pilih untuk dipenjara di sini?”

Adrien berjalan mendekat lagi, kali ini lebih pelan, lebih intim. Ia berhenti tepat di depan Araya, menangkup wajahnya dengan kedua tangan.

“Karena kau membuatku kehilangan kendali,” bisiknya.

Araya menahan napas. Kata-kata itu membuat tubuhnya lemas. Adrien, pria yang begitu berkuasa, berkata bahwa dirinya—hanya dirinya—yang mampu mengguncang dunianya.

Dan sebelum Araya sempat berpikir lebih jauh, Adrien menunduk, bibirnya menyapu lembut pipi Araya, lalu turun ke garis rahang. Sentuhan itu membuat tubuhnya bergetar hebat. Ia harus mendorongnya, harus menolak, tapi tangannya justru meremas kemeja Adrien, seolah mencari pegangan.

“Adrien…” suaranya bergetar.

Pria itu berhenti sejenak, menatapnya dengan intens.

“Katakan padaku untuk berhenti. Katakan dengan sungguh-sungguh… dan aku akan berhenti.”

Araya terdiam. Bibirnya terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar. Matanya bertemu dengan tatapan Adrien, dan di sana ia melihat api yang sama—api yang menakutkan sekaligus memabukkan.

Akhirnya ia hanya memejamkan mata. Dan itu cukup. Adrien menutup jarak, mencium bibirnya dengan lembut namun penuh klaim.

Araya terperangkap dalam badai—antara benci dan gairah, antara ingin melarikan diri dan ingin tenggelam selamanya.

Ketika akhirnya Adrien menarik diri, napas mereka berdua terengah. Tatapan Adrien gelap, namun suaranya tenang.

“Mulai malam ini… kau bukan hanya pembantuku. Kau adalah milikku. Dan aku akan pastikan semua orang mengetahuinya.”

Araya terpaku, tubuhnya lemas, hatinya kacau. Kata-kata itu menghantamnya seperti belati sekaligus pelukan. Ia ingin berteriak, tapi tak ada suara keluar.

Dan sebelum ia bisa merespons, Adrien menambahkan dengan nada rendah yang menusuk:

“Oh, dan satu hal lagi… keluargamu tidak hanya menjualmu demi uang. Ada rahasia yang mereka sembunyikan darimu. Dan aku… adalah satu-satunya yang bisa mengungkapkannya.”

Araya membelalak. Dunia runtuh seketika.

“Apa maksudmu?” suaranya hampir tidak terdengar.

Adrien hanya tersenyum tipis, penuh rahasia.

“Kau akan tahu… pada waktunya.”

Lalu ia meninggalkan Araya yang gemetar, meninggalkan pertanyaan besar yang menggantung—dan api berbahaya yang kini tak mungkin dipadamkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 6. Bayangan Dibalik Kuasa

    Araya terbangun dengan kepala berat. Lampu-lampu kristal di langit-langit kamarnya masih menyala redup, menebarkan kilau lembut di dinding marmer yang dingin. Ia menatap kosong ke arah jendela, di mana tirai tipis bergoyang diterpa angin malam. Udara terasa menyesakkan, seperti ada sesuatu yang mencengkeram dada dan tak membiarkannya bernapas lega.Semalam, tubuhnya masih bergetar, pikirannya kacau. Sentuhan Adrien masih membekas, setiap bisikan pria itu terus bergema di telinganya. Ia benci. Ia ingin berteriak, ingin menghapus semua yang terjadi. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang membuatnya merasa hangat—terlalu hangat hingga membakar malu dan logikanya.Araya menggenggam erat sprei, menahan getar di tangannya. Aku harus menjauh darinya. Aku harus… Namun setiap kali ia mencoba menguatkan hati, wajah Adrien kembali muncul dalam pikirannya. Senyumnya yang licin, tatapannya yang menundukkan, cara tangannya menahan dagunya seakan ia hanyalah milik yang bisa dipermainkan.Ketukan pelan

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 5. Api Yang Membara

    Araya tidak bisa tidur malam itu. Bayangan jamuan makan malam terus menghantam pikirannya seperti ombak yang tak kunjung reda. Tatapan Adrien yang tajam, genggaman tangannya di pinggang Araya, serta bisikan lembut yang lebih menyerupai ancaman—semuanya berputar seperti racun yang merembes ke dalam nadinya.Ia menggeliat di ranjang kecil yang diberikan untuknya, tapi udara seakan terlalu sesak. Tirai tipis jendela bergoyang perlahan, ditiup angin malam, seolah menertawakan kegelisahannya."Mengapa aku membiarkan dia menyentuhku seperti itu?" batinnya penuh amarah pada diri sendiri.Tapi, sejujurnya, yang lebih menakutkan adalah—mengapa hatinya bergetar ketika Adrien membisikkan kata-kata itu.Araya menutup wajah dengan kedua tangan, mencoba menyingkirkan rasa bersalah dan getir yang menyergap. Tubuhnya menolak, namun jiwanya berperang. Adrien baginya adalah musuh, sekaligus jurang yang perlahan-lahan menariknya jatuh.Ketukan pelan di pintu kamarnya membuatnya tersentak.“Masuklah,” uc

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 4. Jamuan Yang Terlarang

    Hujan malam sebelumnya meninggalkan aroma tanah basah yang menyelinap masuk ke jendela kamar Araya. Pagi itu, ia menatap gaun hitam berpotongan elegan yang tergantung di depan cermin. Sutra halus itu tampak seperti jerat yang berkilau. Adrien memerintahkannya untuk mengenakan gaun tersebut malam ini, saat jamuan makan yang katanya hanya untuk kalangan tertentu.Araya menyentuh kain dingin itu dengan jemari gemetar.“Hadiah,” katanya semalam. “Karena aku satu-satunya yang berhak membuka balutanmu.”Kata-kata itu terus berdengung di telinga, mengikis perlawanannya.---Malam pun tiba.Gaun hitam itu membalut tubuh Araya dengan sempurna. Bahunya terbuka, belahan halus menghiasi sisi paha. Rambutnya digelung rapi, beberapa helai tergerai menggoda. Tatkala ia menatap bayangannya di cermin, jantungnya berdebar tak terkendali. Ia tampak seperti wanita lain—bukan seorang budak, tapi sesuatu yang lebih berbahaya.Ketukan pelan terdengar di pintu. Adrien masuk tanpa menunggu jawaban, seperti bi

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 3. Api Dalam Bayangan

    Suasana rumah itu malam ini lebih sunyi dari biasanya. Koridor panjang dengan lampu temaram membuat Araya merasa seperti berjalan di dalam labirin yang siap menelannya hidup-hidup. Clarisse sudah lama pamit ke kamarnya, para pelayan lain juga lenyap entah ke mana.Araya membawa baki berisi minuman—perintah langsung dari Adrien. Ia bahkan tak berani menolak, meski tubuhnya masih gemetar karena kelelahan setelah seharian bekerja.Pintu ruang kerja terbuka setengah. Aroma alkohol bercampur wangi kayu mahal langsung menyergapnya. Adrien duduk di balik meja besar, kemejanya terbuka dua kancing, dasi longgar menggantung di lehernya. Lampu meja menyinari wajahnya yang teduh sekaligus mengancam.“Masuk,” suaranya rendah, nyaris seperti perintah militer.Araya menunduk, melangkah masuk, lalu meletakkan baki di atas meja. “Minuman Anda, Tuan.”Adrien mengangkat alis. “Tuan?”Araya membeku.“Ulangi,” katanya lagi, tatapannya tajam.“…Adrien,” jawab Araya akhirnya, pelan, hampir tak terdengar.Se

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 2. Hari Pertama

    Matahari pagi menembus tirai sutra, memaksa Araya membuka mata dengan kepala berat. Malam tadi, ia hampir tidak tidur. Bayangan wajah Adrien, tatapan dinginnya, serta bisikan yang menelusup begitu dekat di telinganya, masih terasa nyata.Araya duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Ia harus ingat—ini bukan rumah, ini penjara. Ia bukan tamu, ia tawanan. Dan pria itu… pria itu adalah algojonya.Ketukan pintu membuyarkan pikirannya. Seorang wanita paruh baya masuk, mengenakan seragam pembantu rapi dengan senyum kaku.“Kau Araya, bukan?” tanyanya sambil menunduk sedikit.Araya hanya mengangguk.“Aku Clarisse. Kepala pelayan di sini. Mulai hari ini kau akan bekerja di bawah pengawasanku. Ada aturan yang harus kau ingat: jangan pernah menolak perintah Tuan Adrien. Dan jangan sekali pun melawan tatapannya. Itu… berbahaya.”Nada suaranya serius, membuat bulu kuduk Araya berdiri.“Aku hanya ingin… bekerja,” bisik Araya lirih.Clarisse tersenyum tipis. “Kalau itu saja yang kau inginkan, berta

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 1. Barang Dagangan

    Udara malam itu menusuk tulang. Araya menggenggam erat ujung kain tipis yang menutupi tubuhnya, berusaha menahan getaran yang bukan hanya berasal dari dingin, tapi juga dari ketakutan.Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan berakhir di sini—duduk di kursi belakang sebuah mobil mewah, diapit dua pria asing berjas hitam. Ayahnya hanya sempat berkata singkat sebelum menyerahkannya, “Maafkan kami, Nak. Hanya ini cara untuk menyelamatkan keluarga.”Seluruh dunia Araya runtuh dalam sekejap.---Mobil berhenti di depan sebuah gerbang besi tinggi yang tampak seperti mulut monster siap menelan siapa pun yang berani masuk. Di baliknya, sebuah mansion berdiri megah dengan cahaya lampu yang berkilau, namun dingin. Tidak ada kehangatan dalam cahaya itu. Hanya kemewahan yang mengintimidasi.“Turun,” perintah salah satu pria berjas. Suaranya berat, tak memberi ruang untuk penolakan.Araya menelan ludah. Kakinya gemetar ketika menapaki kerikil putih di halaman yang begitu luas. Aroma bunga mahal

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status