MasukAraya tidak bisa tidur malam itu. Bayangan jamuan makan malam terus menghantam pikirannya seperti ombak yang tak kunjung reda. Tatapan Adrien yang tajam, genggaman tangannya di pinggang Araya, serta bisikan lembut yang lebih menyerupai ancaman—semuanya berputar seperti racun yang merembes ke dalam nadinya.
Ia menggeliat di ranjang kecil yang diberikan untuknya, tapi udara seakan terlalu sesak. Tirai tipis jendela bergoyang perlahan, ditiup angin malam, seolah menertawakan kegelisahannya.
"Mengapa aku membiarkan dia menyentuhku seperti itu?" batinnya penuh amarah pada diri sendiri.
Tapi, sejujurnya, yang lebih menakutkan adalah—mengapa hatinya bergetar ketika Adrien membisikkan kata-kata itu.Araya menutup wajah dengan kedua tangan, mencoba menyingkirkan rasa bersalah dan getir yang menyergap. Tubuhnya menolak, namun jiwanya berperang. Adrien baginya adalah musuh, sekaligus jurang yang perlahan-lahan menariknya jatuh.
Ketukan pelan di pintu kamarnya membuatnya tersentak.
“Masuklah,” ucapnya refleks dengan suara bergetar.
Pintu berderit. Sosok Adrien muncul dalam balutan kemeja hitam yang lengannya tergulung. Rambutnya sedikit acak, namun wajahnya tetap membawa aura dingin yang menusuk. Araya langsung menegakkan tubuh, jantungnya berdegup cepat tanpa kendali.
“Bersiaplah. Aku ingin bicara denganmu. Sekarang,” ucap Adrien singkat.
Araya ingin menolak, tapi sorot matanya tak memberi ruang untuk bantahan. Ia mengikuti Adrien menuju ruang kerja. Langkah pria itu panjang, mantap, sementara Araya nyaris berlari kecil di belakangnya.
---Ruang Kerja Adrien
Lampu gantung kristal memantulkan cahaya keemasan, menyoroti rak penuh buku dan meja besar dari kayu hitam mengilap. Di balik jendela tinggi, malam tampak pekat, menelan seluruh dunia.
Adrien berdiri di depan jendela, menatap keluar. Bahunya tegap, siluet tubuhnya seolah menguasai ruangan. Araya merasa dirinya begitu kecil, nyaris lenyap.
“Duduk,” katanya tanpa menoleh.
Araya menuruti, duduk di kursi di hadapan meja. Tangannya bergetar halus di pangkuannya.
Keheningan menggantung. Adrien akhirnya berbalik, menatapnya dalam-dalam.
“Aku lihat tadi malam… ada seseorang yang terlalu memperhatikanmu.”Araya menelan ludah. Ia ingat jelas, ada pria asing di jamuan itu—mata kelam yang menatapnya terlalu lama.
“Aku tidak mengenalnya,” jawab Araya, berusaha tegar.Adrien mendekat, langkahnya pelan tapi penuh dominasi. Ia menunduk, kedua tangannya menahan sandaran kursi Araya, membuatnya terperangkap di antara tubuh pria itu dan meja. Wangi maskulin menyeruak, membuat napasnya tercekat.
“Aku tidak suka ada yang menatap milikku seperti itu,” bisik Adrien, suaranya berat, nyaris seperti geraman.
“M-Milikmu?” Araya mendongak, mencoba menatap balik dengan berani. “Aku bukan milik siapa pun. Aku hanya pembantu—”
“Pembantu?” Adrien menyeringai tipis, namun sorot matanya berbahaya. “Kau lebih dari itu. Kau adalah permainan yang aku pilih untuk kucengkeram… dan aku tidak suka jika ada orang lain mencoba menyentuh papan permainan ini.”
Araya menggertakkan gigi, hatinya berperang. Marah, takut, tapi juga—anehnya—terpikat.
“Kalau begitu lepaskan aku! Biarkan aku pergi, kalau memang aku hanya mainan!”Adrien menunduk lebih dekat, bibirnya hampir menyentuh telinga Araya.
“Dan kau mau kembali pada keluargamu yang menjualmu? Atau mungkin… pada pria asing tadi malam?” Napasnya hangat di kulit leher Araya. “Katakan padaku, Araya… siapa yang benar-benar kau inginkan?”Araya terperangkap. Matanya panas, bercampur air mata dan api yang membakar. Ia ingin meneriakkan kebebasan, tapi tubuhnya malah gemetar ketika Adrien menelusuri garis rahangnya dengan jemari dingin.
“Berhenti…” suara Araya lirih, nyaris memohon.
“Berhenti?” Adrien menatapnya penuh teka-teki. “Kau yakin?” Jemarinya turun ke dagu, mengangkat wajah Araya agar menatap langsung ke dalam matanya.
“Karena tubuhmu berkata lain.”Araya terperanjat. Wajahnya memanas, malu sekaligus marah. Ia menepis tangan Adrien dengan keras, lalu berdiri.
“Kau kejam! Kau suka mempermainkan perasaan orang!” teriaknya, napas memburu.Adrien hanya tertawa pendek, tapi matanya berkilat.
“Aku tidak mempermainkanmu, Sayang. Aku hanya membuka matamu pada sesuatu yang tidak ingin kau akui.”Araya mundur selangkah, punggungnya menabrak rak buku. Adrien mendekat perlahan, tubuhnya bagai bayangan gelap yang mengurungnya.
“Aku benci kau…” suaranya pecah, namun matanya berkilau dengan emosi campur aduk.“Tapi kau tidak bisa berhenti memikirkanku.” Adrien menyentuh bibir Araya dengan ibu jarinya, lembut namun penuh klaim. “Setiap kali aku mendekat, kau gemetar. Itu bukan benci, Araya. Itu sesuatu yang jauh lebih berbahaya.”
Air mata jatuh di pipi Araya, tapi tubuhnya bergetar bukan hanya karena takut. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam, sesuatu yang membuatnya lemah di hadapan pria ini.
Adrien akhirnya mundur sedikit, memberi ruang bernapas. Ia menyalakan sebatang rokok, menghembuskan asap dengan santai, meski sorot matanya tetap menusuk.
“Aku ingin kau berhati-hati dengan pria tadi malam. Namanya Leonhart. Dan dia bukan orang biasa.”Araya menatap bingung. “Leonhart? Siapa dia?”
Adrien tidak menjawab langsung. Ia berjalan ke mejanya, menaruh rokok di asbak, lalu menatap Araya dengan dingin.
“Dia musuhku. Dan jika dia mendekatimu… itu berarti dia ingin melukai aku.”Araya membeku. Jantungnya berdetak panik.
“Kenapa aku? Aku tidak ada hubungannya dengan ini…”“Sekarang kau ada,” jawab Adrien singkat. “Karena kau berada di sisiku.”
Araya ingin membantah, tapi bibirnya kelu. Ia merasa dunia yang digelapkan Adrien kini menyeretnya lebih dalam. Dan entah kenapa, di balik ketakutannya, ada bagian kecil dalam dirinya yang merasa… dibutuhkan.
Keheningan panjang. Adrien menatap Araya dengan cara yang membuatnya sulit berpaling. Ada sesuatu dalam sorot itu—bukan hanya kuasa, tapi juga luka yang dalam.
“Kenapa aku?” tanya Araya lirih. “Dari semua orang, kenapa aku yang kau pilih untuk dipenjara di sini?”
Adrien berjalan mendekat lagi, kali ini lebih pelan, lebih intim. Ia berhenti tepat di depan Araya, menangkup wajahnya dengan kedua tangan.
“Karena kau membuatku kehilangan kendali,” bisiknya.Araya menahan napas. Kata-kata itu membuat tubuhnya lemas. Adrien, pria yang begitu berkuasa, berkata bahwa dirinya—hanya dirinya—yang mampu mengguncang dunianya.
Dan sebelum Araya sempat berpikir lebih jauh, Adrien menunduk, bibirnya menyapu lembut pipi Araya, lalu turun ke garis rahang. Sentuhan itu membuat tubuhnya bergetar hebat. Ia harus mendorongnya, harus menolak, tapi tangannya justru meremas kemeja Adrien, seolah mencari pegangan.
“Adrien…” suaranya bergetar.
Pria itu berhenti sejenak, menatapnya dengan intens.
“Katakan padaku untuk berhenti. Katakan dengan sungguh-sungguh… dan aku akan berhenti.”Araya terdiam. Bibirnya terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar. Matanya bertemu dengan tatapan Adrien, dan di sana ia melihat api yang sama—api yang menakutkan sekaligus memabukkan.
Akhirnya ia hanya memejamkan mata. Dan itu cukup. Adrien menutup jarak, mencium bibirnya dengan lembut namun penuh klaim.
Araya terperangkap dalam badai—antara benci dan gairah, antara ingin melarikan diri dan ingin tenggelam selamanya.
Ketika akhirnya Adrien menarik diri, napas mereka berdua terengah. Tatapan Adrien gelap, namun suaranya tenang.
“Mulai malam ini… kau bukan hanya pembantuku. Kau adalah milikku. Dan aku akan pastikan semua orang mengetahuinya.”Araya terpaku, tubuhnya lemas, hatinya kacau. Kata-kata itu menghantamnya seperti belati sekaligus pelukan. Ia ingin berteriak, tapi tak ada suara keluar.
Dan sebelum ia bisa merespons, Adrien menambahkan dengan nada rendah yang menusuk:
“Oh, dan satu hal lagi… keluargamu tidak hanya menjualmu demi uang. Ada rahasia yang mereka sembunyikan darimu. Dan aku… adalah satu-satunya yang bisa mengungkapkannya.”Araya membelalak. Dunia runtuh seketika.
“Apa maksudmu?” suaranya hampir tidak terdengar.Adrien hanya tersenyum tipis, penuh rahasia.
“Kau akan tahu… pada waktunya.”Lalu ia meninggalkan Araya yang gemetar, meninggalkan pertanyaan besar yang menggantung—dan api berbahaya yang kini tak mungkin dipadamkan.
Sunyi setelah pengakuan itu menggantung lama di antara mereka, seolah udara di dalam ruangan menjadi beku. Adrien berdiri kaku di dekat jendela, punggungnya tegap namun bahunya tampak menanggung beban yang tak kasatmata. Araya masih di tempatnya, berdiri dengan napas tersengal, hatinya berdegup terlalu cepat hingga nyeri.Segala sesuatu yang ia ketahui tentang Adrien kini terasa berbeda. Ia bukan hanya penguasa kejam yang terobsesi padanya, melainkan juga seorang pria yang dihantui masa lalu, terbelenggu oleh rasa bersalah yang menolak padam.Namun, bukankah itu justru lebih berbahaya?Araya menutup matanya sejenak. Ia mencoba menenangkan dirinya, namun yang muncul justru wajah Adrien—sorot matanya ketika menyebut nama Elise, getaran suaranya saat mengaku tak tahu cara lain untuk mencintai. Semua itu membentuk retakan di pertahanan Araya.Saat membuka mata, Adrien masih menatap keluar jendela. Siluetnya seakan membelah cahaya remang dari luar, menciptakan kontras yang membuatnya tampa
Malam itu, setelah pintu tertutup dengan keras, rumah besar Adrien seakan menahan napas. Araya masih berdiri di tempatnya, tubuh kaku, jantung berdegup kencang, sementara Adrien bersandar di pintu dengan mata terpejam. Bayangan pria misterius tadi masih menempel dalam benaknya—senyum tipisnya, tatapan penuh rahasia, dan terutama kalimat yang menusuk: “Kau ulangi pola yang sama, Adrien. Sama seperti dulu.”Araya menggigit bibir, menahan dorongan untuk bertanya. Tapi diam bukan lagi pilihan. “Siapa dia?” suaranya keluar lirih, namun jelas.Adrien tidak segera menjawab. Ia membuka matanya perlahan, lalu berjalan menuju meja, menuang segelas bourbon, dan meneguknya tanpa berkata apa-apa.“Adrien.” Kali ini nada Araya lebih tegas. “Siapa pria itu? Kenapa dia tahu namaku?”Suasana hening menggantung, hanya terdengar suara es beradu dalam gelas. Adrien menatap cairan keemasan itu, seolah mencari jawaban di sana. Akhirnya ia berkata pelan, “Namanya Lucien.”Araya mengulang dalam hati. Lucien.
Hawa di vila itu mendadak berubah dingin, seakan udara menahan napas. Araya duduk membeku, tubuhnya kaku, sementara pandangan tak bisa lepas dari dua pria yang berdiri saling berhadapan di ambang pintu. Adrien dengan bahu tegang, rahangnya mengeras, sedang pria misterius itu—dengan jas hitam rapi dan senyum tipis di bibirnya—terlihat begitu tenang, terlalu tenang.“Kau tidak seharusnya ada di sini,” suara Adrien terdengar rendah, namun tegas, seperti ancaman yang dipendam.Pria itu melangkah masuk tanpa menunggu undangan. “Kau tahu sebaiknya aku memang ada di sini. Kita punya urusan yang belum selesai, Adrien.”Araya menelan ludah, jemarinya mencengkeram ujung sofa. Pria misterius itu berjalan melewati pintu, langkahnya ringan namun setiap gerakannya membawa beban tak kasatmata. Ia berhenti tepat di tengah ruangan, menoleh pada Araya sekilas—tatapan itu membuatnya tercekat. Tatapan tajam, penuh tanda tanya, seakan ia adalah bagian penting dari permainan yang belum ia sadari.Adrien me
Suasana malam di vila Adrien begitu lengang, seakan seluruh dunia sengaja ditahan agar waktu di dalamnya mengalir berbeda. Araya duduk di ruang baca, buku terbuka di pangkuannya, tapi matanya sama sekali tidak fokus. Halaman yang sama sudah ia tatap lebih dari lima belas menit, sementara pikirannya berkelana entah ke mana.Ia masih bisa merasakan gema kata-kata Adrien malam itu—tentang kehilangan, tentang tidak ingin runtuh. Ada sisi dalam dirinya yang ingin menolak, menutup telinga rapat-rapat. Tapi nyatanya, kalimat itu terus menghantui, berdengung di antara kesadarannya.Araya menutup buku dengan keras, berusaha memutus pikiran itu. Namun saat ia menoleh, ia mendapati Adrien berdiri di ambang pintu, bersandar santai sambil menatapnya. Pandangan itu membuat bulu kuduknya berdiri—tatapan yang penuh intensitas, namun kali ini tidak disertai ancaman, melainkan sesuatu yang lebih sulit ditebak.“Kau tidak tidur?” tanya Adrien, suaranya tenang.Araya mendengus, meletakkan buku ke meja. “
Hening yang merayap di antara dinding kamar itu seakan menjerat pernapasan Araya. Ia duduk di ujung ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan, seakan mencoba menahan seluruh gemetar yang merayap dari ujung jari hingga ke dalam dadanya. Adrien tidak langsung bicara, hanya berdiri di dekat jendela dengan punggung menghadapnya, cahaya lampu jalan di luar membentuk siluet tubuh tegapnya. Namun justru keheningan itu lebih mencekik dibandingkan seribu kata kasar.Araya menatap punggung Adrien dengan tatapan penuh kewaspadaan. Ada bagian dirinya yang ingin berteriak, menuntut kebebasan, menyuruh pria itu pergi jauh dari hidupnya. Tapi ada bagian lain—bagian yang ia benci untuk mengakuinya—yang merasa terpaku, tidak bisa mengalihkan pandangan, seolah keberadaan Adrien sendiri telah menciptakan gravitasi yang tak tertahankan.Adrien akhirnya bergerak. Ia berbalik perlahan, tatapannya jatuh tepat ke arah Araya. Mata itu… dingin, tapi menyimpan sesuatu yang samar, yang tidak s
Araya duduk di tepi ranjang, tubuhnya gemetar tanpa alasan yang jelas. Di luar, hujan turun deras, membasahi jendela dengan irama monoton. Namun yang membuatnya tak bisa bernapas bukanlah suara hujan—melainkan gema tatapan Adrien semalam di balkon, tatapan yang terus menghantui.Ia mengusap wajah dengan kedua tangan. “Aku gila,” bisiknya. “Aku benar-benar gila.”Satu sisi dirinya ingin lari sejauh mungkin, ingin menjerit dan merobek semua ikatan. Tapi sisi lain… sisi lain justru mencari-cari kehadiran Adrien, merindukan jeda rapuh yang ia lihat, merindukan suara rendah yang hanya keluar ketika topeng kekuasaan pria itu runtuh.Araya menunduk, menggigit bibir sampai perih. Ia merasa seperti seseorang yang diikat pada tali panjang: semakin keras ia menarik untuk bebas, semakin kencang simpul itu menjerat lehernya.Hari berikutnya, Adrien pulang larut. Araya semula berniat menghindar, tapi ketika mendengar langkahnya di lorong, hatinya just







