Beranda / Romansa / Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa / Bab 6. Bayangan Dibalik Kuasa

Share

Bab 6. Bayangan Dibalik Kuasa

Penulis: Lily Dutch
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-10 21:55:17

Araya terbangun dengan kepala berat. Lampu-lampu kristal di langit-langit kamarnya masih menyala redup, menebarkan kilau lembut di dinding marmer yang dingin. Ia menatap kosong ke arah jendela, di mana tirai tipis bergoyang diterpa angin malam. Udara terasa menyesakkan, seperti ada sesuatu yang mencengkeram dada dan tak membiarkannya bernapas lega.

Semalam, tubuhnya masih bergetar, pikirannya kacau. Sentuhan Adrien masih membekas, setiap bisikan pria itu terus bergema di telinganya. Ia benci. Ia ingin berteriak, ingin menghapus semua yang terjadi. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang membuatnya merasa hangat—terlalu hangat hingga membakar malu dan logikanya.

Araya menggenggam erat sprei, menahan getar di tangannya. Aku harus menjauh darinya. Aku harus… Namun setiap kali ia mencoba menguatkan hati, wajah Adrien kembali muncul dalam pikirannya. Senyumnya yang licin, tatapannya yang menundukkan, cara tangannya menahan dagunya seakan ia hanyalah milik yang bisa dipermainkan.

Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak.

“Masuk,” katanya datar.

Seorang pelayan masuk, membungkuk. “Tuan Adrien meminta nona untuk sarapan bersamanya. Di ruang makan utama.”

Araya menahan napas. Jantungnya berdegup tidak karuan. Kenapa harus sekarang? Kenapa setelah semua itu…?

Ia mengangguk tanpa kata. Setelah pelayan pergi, ia menatap pantulannya di cermin. Wajahnya pucat, namun matanya memancarkan kilau yang ia sendiri benci. Kilau yang lahir dari sesuatu yang ia tidak ingin akui.

Ruang makan utama tampak megah pagi itu. Lampu gantung raksasa memantulkan cahaya ke meja panjang yang penuh dengan hidangan mewah. Adrien duduk di ujung, tegap dan anggun dalam kemeja hitam yang menajamkan garis rahangnya. Tatapannya terangkat begitu Araya masuk.

“Kau terlambat,” katanya datar.

Araya menunduk. “Maaf.”

“Duduklah.” Adrien menunjuk kursi di dekatnya, bukan di ujung lain meja, melainkan cukup dekat sehingga jarak mereka hanya terpisah beberapa piring perak.

Araya duduk, berusaha menjaga sikap. Tangannya gemetar sedikit saat meraih sendok. Namun sebelum ia bisa menyentuh makanan, Adrien bersuara.

“Kau masih gelisah setelah semalam?”

Pertanyaan itu menghantam dadanya. Araya menoleh tajam. “Apa kau harus mengungkitnya?”

Adrien tersenyum tipis. “Aku hanya bertanya. Kau terlihat… bingung. Seperti seseorang yang tidak bisa memutuskan apakah ia membenci atau merindukan sentuhanku.”

Araya menahan napas. “Jangan berbicara seenaknya.”

“Aku tak pernah berbicara sembarangan.” Adrien mendekat sedikit, suaranya rendah dan menusuk. “Aku hanya mengatakan apa yang jelas dari matamu, Araya.”

Namanya meluncur dari bibir pria itu seperti mantra. Araya menggertakkan gigi. “Kau terlalu percaya diri.”

Adrien menyandarkan diri ke kursi, tertawa pelan. “Mungkin. Atau mungkin aku hanya tahu bagaimana caramu bernafas berubah setiap kali aku mendekat.”

Araya berusaha menyingkirkan tatapannya dari pria itu, fokus pada makanan. Namun ia hampir menjatuhkan sendok ketika Adrien tiba-tiba meletakkan map hitam di meja.

“Buka,” katanya singkat.

Dengan ragu, Araya menarik map itu ke arahnya. Saat ia membuka, matanya membelalak. Di dalamnya terdapat dokumen-dokumen: catatan utang keluarganya, tanda tangan ayahnya, hingga bukti transaksi yang ia kenal benar.

“Dari mana kau mendapatkan ini?” bisiknya, suara hampir pecah.

Adrien menatapnya lekat. “Kau lupa siapa aku? Tak ada yang kusembunyikan dari bawahanku. Dan keluargamu… terlalu mudah ditekan.”

Araya merasakan darahnya mendidih. “Jadi kau sudah tahu sejak awal? Kau tahu mereka menjualku padamu?”

Adrien tidak menjawab langsung. Ia hanya menyeringai, lalu mencondongkan tubuh. “Aku bukan sekadar tahu, Sayang. Aku yang mengatur.”

Kata-kata itu menghantam lebih keras daripada tamparan. Araya terpaku, napasnya tercekat. “Kau… kau yang—”

“—membuat keluargamu menyerahkanmu padaku,” Adrien menyelesaikan kalimat itu dengan tenang, seolah membicarakan hal remeh. “Utang mereka? Aku yang membeli. Tekanan yang membuat mereka putus asa? Aku yang menyalakan api. Semua jalannya sudah kuatur hingga akhirnya kau berada di sini. Di mejaku. Di rumahku. Di bawah kekuasaanku.”

Araya merasa dunia berputar. Tangannya mengepal di atas meja, air mata menekan sudut matanya. “Kau iblis.”

Adrien tersenyum miring. “Mungkin. Tapi aku iblis yang kini kau kenal lebih dari siapa pun.”

Araya berdiri, hampir menjatuhkan kursinya. “Aku tidak akan membiarkanmu terus mempermainkanku!”

Dalam sekejap, Adrien berdiri pula, melangkah cepat dan menangkap pergelangan tangannya. Sentuhan itu panas, mengikat. Ia menariknya hingga tubuh Araya terjebak di antara dirinya dan meja.

“Lepaskan!” Araya meronta.

Adrien menunduk, bibirnya nyaris menyentuh telinganya. “Kau bisa melawanku sekuat yang kau mau. Tapi aku tahu tubuhmu sudah berkhianat sejak lama.”

Araya terdiam, wajahnya merah padam. Ia ingin berteriak, namun suara tertahan di tenggorokannya. Adrien tersenyum tipis, lalu melepaskannya tiba-tiba.

“Pergilah kalau mau,” katanya dingin. “Tapi ingat, setiap langkahmu di dunia ini masih di bawah pengaruhku. Kau tidak bisa kabur dari permainan ini.”

Araya mundur, napasnya tersengal. Ia ingin lari, tapi kakinya kaku. Kata-kata Adrien membelitnya seperti rantai.

Malam harinya, Araya tak bisa tidur. Ia memikirkan dokumen itu, pengakuan Adrien, segalanya. Ia berdiri di balkon, menatap taman yang sunyi. Udara dingin menyusup ke kulitnya, namun pikirannya justru panas.

Tiba-tiba, ia melihat sosok di kejauhan. Seorang pria berjas hitam berdiri di tepi taman, samar dalam cahaya lampu taman. Araya terkejut—itu pria misterius yang menatapnya di jamuan. Ia tahu itu.

Pria itu mengangkat wajah, dan meski jarak jauh, Araya bisa merasakan intensitas tatapannya. Ada sesuatu di mata itu—peringatan, atau mungkin ajakan. Namun sebelum ia bisa memastikan, pria itu berbalik dan menghilang di balik kegelapan.

Araya menggenggam pagar balkon erat-erat. Siapa dia? Apa hubungannya dengan Adrien? Dan kenapa aku merasa… dia tahu sesuatu tentangku?

Keesokan paginya, Adrien kembali memanggilnya. Kali ini di ruang kerjanya yang penuh buku tua dan aroma tembakau.

“Apa kau menikmati udara malam?” tanyanya santai, seolah tahu apa yang dilihat Araya.

Araya menegakkan bahu. “Ada seseorang di tamanmu. Siapa dia?”

Adrien menatapnya tajam, lalu tersenyum samar. “Mungkin sekutu. Mungkin musuh. Mungkin hanya bayangan. Kau ingin tahu kebenarannya? Maka tetaplah di sisiku.”

Araya mengernyit. “Dan jika aku menolak?”

Adrien mendekat, menekan tubuhnya ke rak buku. “Maka kau akan hancur sebelum sempat melangkah. Dunia ini lebih gelap dari yang kau bayangkan, Sayang.”

Araya menatapnya, dada naik turun. “Aku tidak takut padamu.”

Adrien tersenyum, menunduk hingga bibirnya nyaris menyentuh bibirnya. “Bohong yang indah. Aku suka.”

Adrien melepaskan tekanan itu, lalu menyerahkan amplop kecil ke tangannya. “Buka ini malam nanti. Sendirian. Kau akan tahu sesuatu tentang keluargamu… dan tentangku.”

Araya memandang amplop itu dengan gemetar. Ada sesuatu di sana—kebenaran yang bisa menghancurkannya atau membebaskannya.

Namun sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, Adrien sudah melangkah pergi, meninggalkan aroma maskulinnya dan tatapan yang masih menancap di benaknya.

Araya menatap amplop itu. Tangannya bergetar. Jantungnya berdetak cepat.

Di dalam amplop itu, mungkin tersimpan jawaban tentang kenapa hidupnya hancur. Atau mungkin… awal dari neraka yang lebih dalam.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 12. Jerat Yang Tak Kasat Mata

    Araya bangun dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Malam sebelumnya ia hampir tidak tidur, bukan hanya karena bayangan Adrien yang terus menghantui, tetapi juga karena pikirannya dipenuhi strategi. Ia tahu, sekadar berani menatap atau melawan dengan kata-kata tidak akan cukup. Adrien bukan pria biasa, ia adalah predator yang selalu menemukan cara baru untuk menjebak mangsanya. Kalau Araya ingin bertahan, ia harus lebih dari sekadar berani—ia harus cerdas.Namun begitu ia keluar dari kamarnya pagi itu, sesuatu yang aneh terjadi. Para pelayan lain menatapnya dengan sikap berbeda. Ada yang memalingkan wajah seolah takut terlihat, ada yang berbisik-bisik. Araya merasakan sesuatu yang tidak beres. Adrien pasti sudah menyebarkan sesuatu. Sebuah permainan baru, pikirnya, dan ia kini menjadi pion yang paling mencolok.Ketika ia membawa baki ke ruang makan, Adrien sudah duduk, rapi seperti biasa dengan jas hitam yang sempurna membungkus tubuh tingginy

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 11. Api Yang Tak Padam

    Araya tidak bisa tidur malam itu. Matanya menatap kosong ke langit-langit, telinganya waspada pada setiap bunyi kecil yang mungkin menandakan Adrien kembali. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya masih menyala, terlalu penuh dengan adrenalin dan rasa takut yang bercampur menjadi satu. Seolah setiap helaan napas hanyalah pengingat bahwa ia masih berada dalam kandang singa.Namun, di balik semua kecemasan itu, ada satu hal yang menguatkan dirinya: ia sudah melawan. Kata-kata yang ia lontarkan, tatapan yang tidak lagi tunduk, menjadi perisai tipis yang melindunginya dari bayangan Adrien. Ia tahu, harga perlawanan itu akan sangat mahal. Tetapi untuk pertama kalinya, ia siap membayarnya.Pagi tiba dengan sunyi yang ganjil. Rumah besar itu berjalan dengan rutinitas seperti biasa—para pelayan menyiapkan sarapan, lorong-lorong dibersihkan, dan suara langkah-langkah bergaung. Tetapi ada sesuatu yang berbeda. Araya bisa merasakannya. Setiap tatapan pelayan lain yang mengarah pad

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 10. Araya Melawan

    Araya berdiri di ambang pintu kamar itu, tubuhnya bergetar, bukan lagi karena takut semata—melainkan karena amarah yang sejak lama ia tekan akhirnya menuntut keluar. Malam terasa pekat, hanya cahaya lampu gantung yang menyinari ruangan luas dengan dominasi warna gelap dan emas. Adrien duduk bersandar di kursinya, seakan menunggu mangsa, dengan sepasang mata tajam yang membuat siapa pun gentar.“Masuk.” Suaranya rendah, sebuah perintah yang dingin sekaligus penuh kuasa.Namun untuk pertama kalinya, Araya tidak langsung menurut. Tangannya mencengkeram kusen pintu, dan ia menatap balik pria itu. “Aku bukan boneka yang bisa kau suruh semaumu, Adrien.”Kedua alis Adrien terangkat, ekspresinya berubah dari tenang menjadi penuh minat. “Apa kau baru saja menantangku?”“Aku tidak menantang. Aku melawan.” Suara Araya bergetar, tapi matanya tidak bergeser.Sejenak keheningan merayap di antara mereka, hanya terdengar suara napas yang berat. Adri

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 9. Luka Yang Tak Terucap

    Araya menatap dirinya di cermin. Wajah pucat itu seperti bayangan asing; mata merah karena menangis semalaman, bibir bergetar menahan luka yang bahkan kata-kata tak mampu menampungnya. Isi amplop itu masih membekas jelas di benaknya, setiap huruf seolah terukir ke dalam jantungnya.Ia mendengar langkah mendekat di balik pintu. Nafasnya tercekat. Adrien.Pintu terbuka perlahan, menyingkap sosok pria itu dengan sorot mata gelap yang tajam. “Kau tidak makan,” katanya datar, seakan nada suaranya cukup untuk memerintah dunia.Araya memalingkan wajah. “Aku muak melihatmu.”Senyum samar terbit di bibir Adrien, tapi bukan senyum yang menenangkan—melainkan senyum seorang predator yang tahu mangsanya takkan bisa lari jauh. Ia menutup pintu, lalu mendekat.“Muak?” tanyanya pelan. “Atau justru semakin terikat?”Araya berdiri, tubuhnya bergetar. “Jangan memelintir segalanya. Kau tahu apa yang kulihat di amplop itu—kau bagian dari ke

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 8. Amplop Yang Terbuka

    Udara kamar itu terasa berat.Seberat dada Araya ketika jemarinya yang gemetar menyelipkan surat dari dalam amplop cokelat lusuh yang tadi dilempar Adrien ke hadapannya. Ia sempat ragu untuk membukanya, sempat menunda dengan menatap wajah pria itu yang kini bersandar di kursi kerja, seakan menikmati setiap detik penyiksaan batin yang dialaminya.“Buka saja,” suara Adrien terdengar dalam, serak, namun penuh tekanan. “Kebenaran tak pernah menunggu orang yang lemah.”Araya menelan ludah. Helaan napasnya tersengal ketika ia akhirnya menarik lembaran-lembaran kertas itu keluar. Begitu ia melihat deretan nama, angka, dan tanda tangan, tubuhnya langsung kaku. Matanya melebar, napasnya tercekat.Itu adalah kontrak penjualan.Bukan sekadar dokumen penggadaian atau utang. Di sana, dengan tinta hitam jelas, tertera nama ayahnya, ibunya, dan dirinya sendiri—ditukar dengan nominal yang lebih kecil dari harga sebuah mobil mewah.Araya merasakan sea

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 7. Bayangan Di Balik Kuasa

    Araya terbangun dengan kepala berat. Lampu-lampu kristal di langit-langit kamarnya masih menyala redup, menebarkan kilau lembut di dinding marmer yang dingin. Ia menatap kosong ke arah jendela, di mana tirai tipis bergoyang diterpa angin malam. Udara terasa menyesakkan, seperti ada sesuatu yang mencengkeram dada dan tak membiarkannya bernapas lega.Semalam, tubuhnya masih bergetar, pikirannya kacau. Sentuhan Adrien masih membekas, setiap bisikan pria itu terus bergema di telinganya. Ia benci. Ia ingin berteriak, ingin menghapus semua yang terjadi. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang membuatnya merasa hangat—terlalu hangat hingga membakar malu dan logikanya.Araya menggenggam erat sprei, menahan getar di tangannya. Aku harus menjauh darinya. Aku harus… Namun setiap kali ia mencoba menguatkan hati, wajah Adrien kembali muncul dalam pikirannya. Senyumnya yang licin, tatapannya yang menundukkan, cara tangannya menahan dagunya seakan ia hanyalah milik yang bis

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status