Beranda / Romansa / Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa / Bab 4. Jamuan Yang Terlarang

Share

Bab 4. Jamuan Yang Terlarang

Penulis: Lily Dutch
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-10 21:52:22

Hujan malam sebelumnya meninggalkan aroma tanah basah yang menyelinap masuk ke jendela kamar Araya. Pagi itu, ia menatap gaun hitam berpotongan elegan yang tergantung di depan cermin. Sutra halus itu tampak seperti jerat yang berkilau. Adrien memerintahkannya untuk mengenakan gaun tersebut malam ini, saat jamuan makan yang katanya hanya untuk kalangan tertentu.

Araya menyentuh kain dingin itu dengan jemari gemetar.

“Hadiah,” katanya semalam. “Karena aku satu-satunya yang berhak membuka balutanmu.”

Kata-kata itu terus berdengung di telinga, mengikis perlawanannya.

---

Malam pun tiba.

Gaun hitam itu membalut tubuh Araya dengan sempurna. Bahunya terbuka, belahan halus menghiasi sisi paha. Rambutnya digelung rapi, beberapa helai tergerai menggoda. Tatkala ia menatap bayangannya di cermin, jantungnya berdebar tak terkendali. Ia tampak seperti wanita lain—bukan seorang budak, tapi sesuatu yang lebih berbahaya.

Ketukan pelan terdengar di pintu. Adrien masuk tanpa menunggu jawaban, seperti biasa. Jas hitamnya terpotong sempurna, kemeja putihnya berkilau di bawah cahaya lampu. Tatapan abu-abunya menyapu Araya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Senyumnya tipis, berbahaya.

“Indah.” Suaranya dalam, menggores udara. Ia mendekat, jemarinya meraih dagu Araya, memaksanya menatap. “Lihat dirimu. Kau bahkan tak perlu berusaha. Semua pria nanti akan berhenti bernapas hanya karena kau berjalan melewati mereka.”

Araya ingin berkata sesuatu, tapi bibirnya kelu. Adrien menunduk sedikit, bibirnya hanya sejengkal dari telinganya. “Dan mereka semua akan tahu… kau milikku.”

Sebuah ciuman singkat mendarat di sudut bibir Araya sebelum ia sempat menolak. Panas menjalar, meninggalkan noda tak kasat mata. Adrien tersenyum puas lalu meraih tangannya, menyeretnya keluar.

---

Balai jamuan berdiri megah di sisi lain rumah besar itu. Kristal bergemerlap, lampu gantung raksasa menggantung di atas kepala. Para tamu mengenakan gaun berkilau dan jas mahal. Suara obrolan, denting gelas, dan musik klasik berpadu dalam atmosfer kemewahan yang mencekik.

Begitu memasuki ruangan, semua mata beralih pada Adrien—dan kemudian pada Araya yang menggandeng lengannya.

Bisikan mulai terdengar. Siapa wanita itu? Kenapa dia?

Araya bisa merasakan tatapan menusuk dari segala arah. Ia ingin bersembunyi, tapi genggaman Adrien pada pinggangnya terlalu erat, seolah menancapkan klaim di hadapan dunia.

Adrien menunduk, berbisik di telinganya. “Tersenyumlah, Araya. Jangan biarkan mereka mencium ketakutanmu. Atau… biarkan aku yang membuatmu tersenyum.”

Tangannya meremas pinggang Araya pelan, cukup untuk membuat darahnya berdesir. Araya menegakkan bahu, mencoba menjaga wajah tetap netral.

---

Mereka berhenti di hadapan seorang pria tua dengan rambut perak yang disisir rapi.

“Adrien,” sapanya ramah, meski ada nada hati-hati di balik senyum. “Dan… siapakah ini?”

Adrien menarik Araya sedikit lebih dekat. “Araya. Milikku.”

Kata-kata itu terdengar sederhana, namun menohok. Mata pria itu melebar sedikit, tapi ia hanya mengangguk. “Menarik sekali.”

Araya ingin berteriak, ingin menyangkal, tapi lidahnya kelu.

Jamuan berlanjut. Adrien memperkenalkan Araya pada banyak orang berkuasa—pebisnis, politikus, bangsawan. Dan setiap kali, ia selalu menekankan kata yang sama: milikku.

Araya menelan malu bercampur marah, namun bagian dalam dirinya gemetar oleh sesuatu yang lebih dari itu. Ada rasa aneh saat Adrien menunjukkan kepemilikannya di depan umum. Menyakitkan… sekaligus membakar.

---

Saat musik berganti, Adrien menarik Araya ke lantai dansa.

“Tidak, saya—” protesnya.

“Terlambat.”

Adrien sudah meraih pinggangnya, menuntun tubuhnya mengikuti irama. Langkahnya begitu teratur, sementara Araya kikuk, hampir terjatuh jika bukan karena pelukan kokoh itu.

“Tenang,” bisik Adrien. “Biarkan aku yang memimpin.”

Tangannya bergerak lembut namun penuh kuasa di punggung Araya, mendorong dan menarik sesuai irama. Tubuh mereka begitu dekat, dada Adrien nyaris menempel pada dadanya. Nafasnya terasa di leher, membuat bulu kuduk meremang.

“Mata semua orang ada pada kita,” ucap Adrien. “Mereka melihat bagaimana kau bersandar padaku. Bagaimana kau bergantung padaku.”

Araya mencoba menatap jauh, tapi tangan Adrien mengangkat dagunya, memaksanya menatap mata abu-abu itu.

“Tatap aku, Sayang. Hanya aku.”

Degupan jantung Araya makin liar. Ia membenci caranya tunduk pada irama yang Adrien ciptakan. Namun tubuhnya tak mampu melawan.

---

Tiba-tiba, di balik kerumunan, Araya melihat sosok asing: seorang pria berjas gelap, berdiri di tepi ruangan, menatap lurus ke arahnya. Tatapan matanya tajam, berbeda dari yang lain. Bukan kagum, bukan penasaran. Ada sesuatu… mengenali.

Araya terhenti sesaat, langkahnya kacau. Adrien langsung menahan, melingkarkan lengannya lebih erat. “Apa yang kau lihat?”

“Tidak… bukan apa-apa,” jawab Araya terbata.

Adrien menelusuri tatapannya ke arah kerumunan, tapi sosok itu sudah menghilang. Senyumnya tipis. “Jangan coba-coba berbohong padaku, Araya.”

---

Setelah tarian selesai, Adrien membawanya ke balkon. Udara malam menyapu wajah Araya yang panas. Adrien berdiri di belakangnya, tangannya menyusuri lengannya perlahan.

“Kau hampir jatuh tadi. Karena siapa?” bisiknya di telinga.

“Saya hanya… gugup.”

“Gugup… atau terganggu oleh sesuatu?”

Araya menggigit bibirnya, memilih diam. Adrien tertawa rendah, mencium pelan bagian belakang lehernya. “Aku bisa menghancurkan semua alasanmu dengan satu sentuhan. Jangan uji aku.”

Araya berbalik cepat, menatapnya dengan mata berapi. “Kenapa Anda melakukan ini? Mengapa saya?”

Adrien menatapnya lama, lalu jemarinya menelusuri pipinya. “Karena kau berbeda. Kau tidak tahu betapa menariknya melihat seseorang yang mencoba menolak, padahal tubuhnya berteriak sebaliknya.”

Araya gemetar, antara marah dan… tergoda.

“Adrien…” suaranya hampir tak terdengar.

Pria itu mendekat, bibirnya berhenti hanya sejengkal. “Katakan, Araya. Kau benci aku, atau kau benci dirimu sendiri karena menginginkanku?”

Araya menutup mata, dadanya naik turun cepat. Ia ingin menolak. Ia harus menolak. Tapi ketika bibir Adrien menyentuh bibirnya, semua niat runtuh.

Ciuman itu bukan lagi sekadar klaim, melainkan api. Dalam, panas, menuntut. Araya terjebak, tangannya menekan dada Adrien, namun bukannya mendorong, justru meraih erat seolah takut terjatuh.

Adrien mendesah pelan, menariknya lebih dekat, tubuh mereka menyatu. Dunia seakan hilang, hanya tersisa dentuman jantung dan rasa terbakar di setiap sentuhan.

---

Sampai suara langkah terdengar di balik pintu balkon.

Mereka segera menjauh. Adrien menoleh, wajahnya kembali tenang, namun matanya menyala marah.

Di ambang pintu berdiri pria yang tadi dilihat Araya. Kini jelas terlihat wajahnya: tegas, dengan tatapan gelap yang tak lepas dari Araya.

“Adrien,” ucap pria itu datar. “Kau tidak pernah berubah.”

Adrien menyipitkan mata. “Dan kau terlalu berani datang ke sini.”

Tatapan pria itu beralih pada Araya. Sesaat, ada kilatan halus di matanya—seperti pengakuan.

Araya menelan ludah, tubuhnya gemetar.

“Siapa dia?” bisiknya pada Adrien.

Adrien tidak menjawab. Hanya menggenggam tangannya lebih erat, seakan ingin memastikan bahwa tidak ada yang bisa merebutnya.

Namun di lubuk hati, Araya tahu: malam ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 25. Bayangan Yang Menyelimuti

    Sunyi setelah pengakuan itu menggantung lama di antara mereka, seolah udara di dalam ruangan menjadi beku. Adrien berdiri kaku di dekat jendela, punggungnya tegap namun bahunya tampak menanggung beban yang tak kasatmata. Araya masih di tempatnya, berdiri dengan napas tersengal, hatinya berdegup terlalu cepat hingga nyeri.Segala sesuatu yang ia ketahui tentang Adrien kini terasa berbeda. Ia bukan hanya penguasa kejam yang terobsesi padanya, melainkan juga seorang pria yang dihantui masa lalu, terbelenggu oleh rasa bersalah yang menolak padam.Namun, bukankah itu justru lebih berbahaya?Araya menutup matanya sejenak. Ia mencoba menenangkan dirinya, namun yang muncul justru wajah Adrien—sorot matanya ketika menyebut nama Elise, getaran suaranya saat mengaku tak tahu cara lain untuk mencintai. Semua itu membentuk retakan di pertahanan Araya.Saat membuka mata, Adrien masih menatap keluar jendela. Siluetnya seakan membelah cahaya remang dari luar, menciptakan kontras yang membuatnya tampa

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 24. Luka Yang Disembunyikan

    Malam itu, setelah pintu tertutup dengan keras, rumah besar Adrien seakan menahan napas. Araya masih berdiri di tempatnya, tubuh kaku, jantung berdegup kencang, sementara Adrien bersandar di pintu dengan mata terpejam. Bayangan pria misterius tadi masih menempel dalam benaknya—senyum tipisnya, tatapan penuh rahasia, dan terutama kalimat yang menusuk: “Kau ulangi pola yang sama, Adrien. Sama seperti dulu.”Araya menggigit bibir, menahan dorongan untuk bertanya. Tapi diam bukan lagi pilihan. “Siapa dia?” suaranya keluar lirih, namun jelas.Adrien tidak segera menjawab. Ia membuka matanya perlahan, lalu berjalan menuju meja, menuang segelas bourbon, dan meneguknya tanpa berkata apa-apa.“Adrien.” Kali ini nada Araya lebih tegas. “Siapa pria itu? Kenapa dia tahu namaku?”Suasana hening menggantung, hanya terdengar suara es beradu dalam gelas. Adrien menatap cairan keemasan itu, seolah mencari jawaban di sana. Akhirnya ia berkata pelan, “Namanya Lucien.”Araya mengulang dalam hati. Lucien.

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 23. Orang Asing

    Hawa di vila itu mendadak berubah dingin, seakan udara menahan napas. Araya duduk membeku, tubuhnya kaku, sementara pandangan tak bisa lepas dari dua pria yang berdiri saling berhadapan di ambang pintu. Adrien dengan bahu tegang, rahangnya mengeras, sedang pria misterius itu—dengan jas hitam rapi dan senyum tipis di bibirnya—terlihat begitu tenang, terlalu tenang.“Kau tidak seharusnya ada di sini,” suara Adrien terdengar rendah, namun tegas, seperti ancaman yang dipendam.Pria itu melangkah masuk tanpa menunggu undangan. “Kau tahu sebaiknya aku memang ada di sini. Kita punya urusan yang belum selesai, Adrien.”Araya menelan ludah, jemarinya mencengkeram ujung sofa. Pria misterius itu berjalan melewati pintu, langkahnya ringan namun setiap gerakannya membawa beban tak kasatmata. Ia berhenti tepat di tengah ruangan, menoleh pada Araya sekilas—tatapan itu membuatnya tercekat. Tatapan tajam, penuh tanda tanya, seakan ia adalah bagian penting dari permainan yang belum ia sadari.Adrien me

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 22. Sosok Pria Misterius

    Suasana malam di vila Adrien begitu lengang, seakan seluruh dunia sengaja ditahan agar waktu di dalamnya mengalir berbeda. Araya duduk di ruang baca, buku terbuka di pangkuannya, tapi matanya sama sekali tidak fokus. Halaman yang sama sudah ia tatap lebih dari lima belas menit, sementara pikirannya berkelana entah ke mana.Ia masih bisa merasakan gema kata-kata Adrien malam itu—tentang kehilangan, tentang tidak ingin runtuh. Ada sisi dalam dirinya yang ingin menolak, menutup telinga rapat-rapat. Tapi nyatanya, kalimat itu terus menghantui, berdengung di antara kesadarannya.Araya menutup buku dengan keras, berusaha memutus pikiran itu. Namun saat ia menoleh, ia mendapati Adrien berdiri di ambang pintu, bersandar santai sambil menatapnya. Pandangan itu membuat bulu kuduknya berdiri—tatapan yang penuh intensitas, namun kali ini tidak disertai ancaman, melainkan sesuatu yang lebih sulit ditebak.“Kau tidak tidur?” tanya Adrien, suaranya tenang.Araya mendengus, meletakkan buku ke meja. “

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 21. Terjebak Situasi Yang Dibenci

    Hening yang merayap di antara dinding kamar itu seakan menjerat pernapasan Araya. Ia duduk di ujung ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan, seakan mencoba menahan seluruh gemetar yang merayap dari ujung jari hingga ke dalam dadanya. Adrien tidak langsung bicara, hanya berdiri di dekat jendela dengan punggung menghadapnya, cahaya lampu jalan di luar membentuk siluet tubuh tegapnya. Namun justru keheningan itu lebih mencekik dibandingkan seribu kata kasar.Araya menatap punggung Adrien dengan tatapan penuh kewaspadaan. Ada bagian dirinya yang ingin berteriak, menuntut kebebasan, menyuruh pria itu pergi jauh dari hidupnya. Tapi ada bagian lain—bagian yang ia benci untuk mengakuinya—yang merasa terpaku, tidak bisa mengalihkan pandangan, seolah keberadaan Adrien sendiri telah menciptakan gravitasi yang tak tertahankan.Adrien akhirnya bergerak. Ia berbalik perlahan, tatapannya jatuh tepat ke arah Araya. Mata itu… dingin, tapi menyimpan sesuatu yang samar, yang tidak s

  • Tawanan Bilik Panas Tuan Penguasa   Bab 20. Di Ujung Tali

    Araya duduk di tepi ranjang, tubuhnya gemetar tanpa alasan yang jelas. Di luar, hujan turun deras, membasahi jendela dengan irama monoton. Namun yang membuatnya tak bisa bernapas bukanlah suara hujan—melainkan gema tatapan Adrien semalam di balkon, tatapan yang terus menghantui.Ia mengusap wajah dengan kedua tangan. “Aku gila,” bisiknya. “Aku benar-benar gila.”Satu sisi dirinya ingin lari sejauh mungkin, ingin menjerit dan merobek semua ikatan. Tapi sisi lain… sisi lain justru mencari-cari kehadiran Adrien, merindukan jeda rapuh yang ia lihat, merindukan suara rendah yang hanya keluar ketika topeng kekuasaan pria itu runtuh.Araya menunduk, menggigit bibir sampai perih. Ia merasa seperti seseorang yang diikat pada tali panjang: semakin keras ia menarik untuk bebas, semakin kencang simpul itu menjerat lehernya.Hari berikutnya, Adrien pulang larut. Araya semula berniat menghindar, tapi ketika mendengar langkahnya di lorong, hatinya just

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status