Setelah menikmati relaksasi di sauna, Gabby memakai baju baru yang sudah Raizel belikan beberapa menit lalu saat sedang menunggu dirinya. Gabby bahkan diajak ke salon untuk didandani sebelum berkeliling di mall. Tak dapat dipungkiri bahwa gadis itu memiliki kecantikan alami di balik wajah lugunya. Citra pelayan yang akhir-akhir ini melekat dalam diri Gabby kini sirna, berganti dengan aura kecantikan yang membuat gadis itu terlihat berkelas dan elegan. Kurang lebih hampir serupa saat dia pertama kali menjadi penari di El Camorra. Bedanya, kini dia didandani bukan sebagai gadis nakal. Raizel terpana saat melihat Gabby yang menghampirinya dengan warna rambut yang berbeda. Gadis berkulit putih itu terlihat cocok dengan rambut ash grey- nya yang ditata menjadi bergelombang. Bahkan ada sedikit poni tipis ala-ala gadis korea yang membuatnya terlihat imut.Sejujurnya, sosok Gabby saat ini adalah salah satu tipe gadis idaman Raizel. Dia terlalu lelah berhadapan dengan gadis nakal yang selalu
Wanita itu terlihat cantik dan sangat berkelas dengan kaos lengan panjang turtle neck berwarna hitam dan rok motif kotak-kotak yang dihias ikat pinggang merek ternama. Sepertinya dia sangat mengenal Raizel. Namun tatapan sinisnya membuat Gabby benar-benar tak nyaman.“Kamu pacarnya Raizel, ya? Salam kenal aku Diana, mantannya Raizel,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.Gabby hanya tersenyum meringis, tak tahu harus bagaimana menghadapi situasi yang membingungkan tersebut.Untung saja Raizel peka dan buru-buru menepis tangan Diana sambil berkata, “Di, pacarku nggak nyaman kamu ajak kenalan.”“What?”Bukannya membuat Gabby tenang, ucapan Raizel malah membuat pikiran Gabby tambah runyam.“Bisa-bisanya dia bilang kita pacaran. Wah, kayaknya otaknya emang bener-bener konslet gara-gara mimpi buruk.”Diana manggut-manggut, merasa paham dengan apa yang dia lihat. “Oh, jadi beneran pacar kamu? Selera kamu emang selalu bagus ya, dari dulu.”Diana mencoba tersenyum dan memperhatikan Gabby sekal
“Bos sakit, ya?” tanya Gabby memicingkan matanya. Raizel terkekeh melihat gadis di hadapannya yang sedang kebingungan. “Kenapa jadi sakit, dah?”Gabby meletakkan garpu dan pisau lalu melipat kedua tangan di depan dada sambil menatap Raizel dengan penuh curiga. “Tunggu sebentar!”Raizel mengangkat sebelah alisnya, merasa heran akan sikap Gabby.“Kali ini aku bener-bener yakin kalau otak Pak Bos beneran konslet,” ucap Gabby, memicingkan matanya sambil menggeleng pelan. “Konslet?”Gabby mengembuskan napas kasar lalu meraih air mineral dan meminumnya sebelum melanjutkan obrolannya. “Abis dari tadi pagi sikap Pak Bos aneh banget. Udah ngomongnya halus, pake aku kamu, eh sekarang malah ....”“Malah apa Gabby?” Tatapan tajam Raizel lagi-lagi menggetarkan hati Gabby. Dia pun menunduk tersipu, tak mampu untuk melanjutkan ucapannya. Sampai akhirnya teringat perkataan Diana saat bertemu di restauran shabu-shabu.“Emmm, nggak deh. Tiba-tiba aku jadi keinget mantan Pak Bos tadi. Siapa namanya
George menggertakkan rahangnya saat menyadari bahwa isi rekaman dari blackbox yang dia dapatkan ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Berkali-kali Gerorge mengeluh, mengusap wajahnya secara kasar hingga Dion—rekan seperjuangannya yang berada dalam satu ruangan dengannya pun tampak heran oleh sikap George yang terlihat sedikit frustrasi.Dion yang duduk di seberangnya dengan santai mengedikkan dagu. “Kenapa lo?” Kedua pipinya menggembung akibat roti keju yang sedang dia kunyah. “Percuma gue bawa kabur blackbox-nya. Nggak ada rekam jejak dia bertemu dengan Richardo di sini. Kayaknya ini bukan mobil yang biasa dia bawa.”Dion terkekeh lalu menyeruput kopinya yang sudah tak panas lagi. “Mafia kelas kakap kayak dia nggak mungkin seceroboh itu bawa mobil pribadi sendirian, George. Apalagi dekengannya seorang jenderal bintang dua.”“Argh!” George semakin kesal dengan ucapan temannya. Dia menjambak rambutnya sendiri, membuat Dion semakin terkekeh.“Lo nggak mau nyerah aja? Pak ketua
Danny makin diperam kelesah saat pria paruh baya di sebelahnya mendadak murka dan menjambak Danny hingga mendongak. “Kenapa dia bisa tau? Katanya kau mengeksekusi Jonathan tepat di blind spot CCTV?” geram pria itu dengan tatapan berapi-api. Danny hanya bisa meringis dan memohoh ampun. Pemuda itu rupanya tak berkutik dan sangat ketakutan menghadapi pria paruh baya di sebelahnya. “Siap! Maaf Komandan! Saya bersumpah bahwa saya tidak menemukan adanya CCTV lain di ruangan itu. Saya tidak tahu bagaimana George mengetahuinya.”Pria paruh baya itu melepas cengkraman pada rambut Danny setelah dia berhasil membenturkan kepalanya ke kaca mobil. “Kalau sudah begini, aku tak bisa membantumu. Kau harus menerima konsekuensinya, Danny.”Danny menoleh, sedikit terperanjat. Sebelah tangannya mengusap kening yang tampak benjol akibat benturan di kaca mobil. “Ma-maksud Komandan? Saya harus terima jika mendekam di penjara dan kehilangan seluruh pencapaian saya saat ini?”Pria paruh baya itu mengisa
“Siap, saya tidak tahu, Yang Mulia. Mungkin ajakan Brigjen J untuk memberikan surprise hanyalah alibi agar beliau bisa melancarkan aksinya untuk melecehkanku,” jawab Danny, berusaha tenang.“Sial!” geram George. “Mau sampai kapan kau terus berbohong, Danny?” “Senjata siapa yang kau gunakan untuk menembak?” “Siap, senjata saya sendiri, Yang Mulia. Namun setelah saya menemukan senjata milik beliau, saya menukarnya.”“Apa kau memang selalu membawa senjata kemana pun kau pergi?” “Siap, kadang-kadang, Yang mulia. Saat itu saya hanya khawatir di perjalanan karena hari sudah terlalu larut.”Hakim mengangguk, mendengar pernyataan Danny walau hal itu masih tak dapat diterima oleh George.Keterbatasan bukti CCTV membuat George kesulitan untuk membuktikan bahwa pernyataan Danny palsu atau benar adanya. Pasalnya, CCTV yang dimiliki George hanya dapat menampilkan gambar, tanpa adanya suara. Jadi baik dia beserta pihak pengadilan tak dapat mengetahui dengan pasti apa yang dibicarakan oleh Danny
Laporan George yang berkata bahwa Danny mengaku disuruh seseorang berhasil membuat gaduh seisi kantor. Bahkan berita itu sampai ke kantor pusat dari mulut ke mulut beberapa polisi yang gemar bergosip. Sayangnya laporan George tak dapat diproses karena tak ada bukti yang menyertakan ucapan tersebut. Peraturan yang melarang bawa ponsel saat membesuk narapidana membuat George kesulitan untuk merekam. Apalagi di era modern seperti ini dia tak kepikiran sama sekali untuk membawa alat perekam.“Argh! Kayaknya gue harus ketemu Danny lagi.” Sejak lima hari George membuat laporan, akhirnya dia memiliki waktu luang untuk bertemu kembali dengan Danny karena jadwalnya yang terlalu padat akhir-akhir ini. Pasalnya, George sedang mengikuti seleksi untuk menjadi anggota BIN. Baru saja George memarkirkan mobilnya di parkiran lapas, tiba-tiba dia mendengar suara ambulans dan beberapa keributan di pintu masuk. Entah kenapa perasaan George tak enak saat berniat KEPO dengan apa yang terjadi. “Siapa y
Richardo menyesap cerutunya setelah menghabiskan satu mangkuk ramen di ssbuah restauran. Rupanya dia mengajak George untuk makan siang bersama seraya berbicara satu dan lain hal. ‘Kenapa di mengajakku? Tumben sekali,’ batin George. Pemuda itu mengedarkan pandangannya hingga melihat dua ajudan yang duduk beberapa meter di sebelah kanan. “Santai saja, George. Aku sudah lama mengenal ayahmu. Aku turut berduka cita atas kepergiannya yang secepat ini.”George hanya mengangguk pelan, memaksakan senyumnya untuk menghormati sosok atasan di hadapannya. “Terima kasih komandan.”Richardo menghela napas gusar, bersamaan dengan gumpalan asap yang keluar melalui lubang hidungnya. “Sejujurnya aku tak percaya dengan pernyataan Danny bahwa Jonathan telah melecehkannya. Entah apa yang ada di otak anak itu, kenapa bisa memberikan suatu pernyataan yang tak masuk akal,” tutur Richardo. Dia memperhatikan George yang tengah mengaduk es teh manis dengan tatapan kosong. “Dia memang berbohong. Tujuan Dan