Arnold yang tengah bersantai di depan televisi tiba-tiba dikejutkan oleh suara bel yang menandakan ada seorang tamu yang tengah berdiri di depan rumah, menunggu untuk dibukakan pintu. Pria itu sempat menoleh dan berpikir sejenak dengan sebelah alis yang terangkat. 'Siapa yang datang malem-malem gini?' Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Pantas saja terasa janggal jika ada yang berkunjung ke rumahnya. Namun Arnold tak membiarkan perasaan bingung itu menghalangi niatnya untuk menerima tamu. Dalam hitungan detik, pria itu bangkit dari sofanya dan beranjak untuk membuka pintu. Baginya, tak mungkin ajudan di depan gerbang membiarkan seseorang masuk begitu saja jika tidak mengenal atau berhubungan dekat dengan bosnya. Sudah pasti tamu ini adalah seseorang yang Arnold kenal sehingga dia bisa sampai di pintu utama. Arnold menghela napas gusar, sebenarnya enggan untuk menerima tamu. Namun, rasa penasaran rupanya mengalahkan semuanya. Dengan berat hati akhirnya Arnold bangkit dan melan
"Argh!" Raizel mengerang seraya menjambak rambutnya sendiri. 'Gimana ceritanya aku bisa ga sadar?' Melihat tingkah aneh Raizel, gairah Gabby mendadak sirna dan berganti dengan kepanikan. Dia pun bangkit dari meja untuk berusaha menenangkan Raizel. "Are you ok?" Raizel menoleh secara perlahan dan menatap sepasang netra gadis itu. Ada sebuah perasaan bersalah yang sedikit menghantui meskipun Gabby pernah melakukan kesalahan serupa. Tanpa aba-aba, Raizel pun memeluk Gabby dengan erat seraya berbisik lirih. "Maafin aku!" Gabby mengernyit heran. "Kenapa tiba-tiba minta maaf?" Berat rasanya untuk menceritakan kejadian yang dia alami saat itu. Namun menyimpan masalah itu sendiri rupanya jauh lebih berat. Walau bagaimanapun, Raizel butuh sosok Gabby untuk bersandar dan menumpakan semua keluh kesahnya. Tak kunjung mendengar jawaban, akhirnya Gabby melepas pelukan itu lalu menangkup wajah Raizel serta menatap kedua matanya. "Kamu nggak mau cerita?" tanya Gabby lembut, berusaha unt
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat Gabby dan George mencari cara untuk mengawasi gerak-gerik Raizel secara intens, tiba-tiba saja Gabby mendapatkan tawaran sebagai asisten pribadinya dengan menggantikan sosok Lascrea. Bagaimana mungkin Gabby menolak jika hal tersebut dapat menguntungkannya? Dia akan jadi lebih mudah mengumpulkan bukti tentang bisnis kotor Raizel secara spesifik. Dengan menjadi asisten pribadinya, Gabby dapat mengikuti Raizel dengan mudah, kapan pun dan di mana pun. Di tengah lamunan yang diiringi perasaan antusias, tiba-tiba Gabby dikejutkan oleh pertanyaan Raizel yang tengah menanti jawabannya. "Jadi gmana, Gabby? Apa kamu mau jadi asisten pribadiku?"Sontak Gabby terperangah dan mengenyahkan lamunannya. Dia pun mengerjapkan mata seraya bertanya dengan raut kikuk. "Eh? Emang Lascrea ke mana?"Raizel menghela napas gusar. Sejujurnya dia enggan membahas wanita itu serta masalah yang tengah mereka alami. "Emm, Paniang ceritanya. Intinya Lascrea udah nggak tinggal di
Sepulangnya dari taman, Raizel menemukan sepucuk surat yang tergeletak di atas kasur. Dia menautkan kedua alisnya saat meraih selembar kertas itu, lalu terduduk di tepi kasur untuk membacanya dengan hikmat. Dear, Raizel Eleizer. Terima kasih sudah memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga selama sepuluh tahun ini. Aku sangat bahagia pernah menemanimu walau hanya sebatas asisten. Tapi sekarang aku mau minta maaf kalau aku nggak bisa lanjut kerja dan tinggal sama kamu lagi. Jaga diri baik-baik, Rai. Aku akan berusaha buang perasaan terlarang ini buat kamu. Semoga kita bisa dipertemukan kembali sebagai partner yang lebih baik. Thanks, Lascrea Raizel meremas surat itu usai membacanya, lalu melempar kertas yang sudah berubah menjadi gumpalan ke sembarang arah. "Argh!" Pemuda itu mengerang dalam kamarnya seraya mengacak rambut sendiri. Dia tak pernah berekspektasi bahwa keadaannya akan brakhir seperti ini. "Kalau udah kayak gini, siapa yang akan hanndle pekerjaanku ke depann
Raizel termenung di sebuah taman sambil membenamkan wajah di kedua telapak tangan. Kali ini ada yang berbeda darinya. Pria itu benar-benar sendiri tanpa ditemani ajudan maupun Lascrea. Dia cukup syok setelah mendengar kenyataan bahwa asisten sekaligus orang terdekatnya, ternyata memendam rasa. Terlebih lagi, pagi itu mereka terbangun tanpa busana setelah Raizel mabuk parah sebelumnya. "Aish! Apa yang udah gue lakuin malam itu? Kenapa gue nggak inget sedikit pun?" Raizel tampak frustrasi hingga mengacak-ngacak rambutnya sendiri. "Gue nggak mungkin segampang itu tidur sama dia kalau nggak ada sesuatu yang aneh." Raizel terus bermonolog hingga akhirnya raut yang tampak gusar itu seketika berubah setelah melihat kehadiran seseorang yang membuatnya terperangah. "Ga-Gaby?" Raizel tak berkedip sedetik pun. Bahkan kedua matanya terbelalak, disertai mulut yang terbuka lebar. "Ka-kamu Gabby, 'kan?" Raizel berdiri lalu mengucek matanya, seolah-olah tak percaya dengan apa yang dia lihat. Se
Setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan, George turun dengan menenteng beberapa kantung belanjaan dan memasuki villa yang kini ditempati oleh Gabby. Sorot matanya tampak berbinar disertai senyum merekah yang menghias wajah tampannya. Pria itu berlari kecil, memasuki villa sambil berseru, "Gabby ...!" Sementara sosok yang dipanggil tengah bersantai di depan televisi seraya memakan sepotong kue. Wanita itu menoleh ke arah seruan yang terdengar dari arah belakangnya. Sampai akhirnya dia melihat sosok George yang menenteng beberapa kantung belanjaan. "George?" lirih Gabby, tak kalah semringah. "Lihat, aku bawa apa!" George menaik-turunkan kedua alisnya sambil menunjukkan apa yang ada di tangannya. Sementara Gabby terlihat bingung hingga kedua alisnya bertaut. "Apa?" tanya Gabby. George pun terkekeh lalu melangkah, mendekati Gabby. "Aku beliin beberapa baju buat kamu. Nggak mungkin kan, kamu tiap hari pake baju papaku," jawab George seraya meletakkan kantung belanjaannya