George menggertakkan rahangnya saat menyadari bahwa isi rekaman dari blackbox yang dia dapatkan ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Berkali-kali Gerorge mengeluh, mengusap wajahnya secara kasar hingga Dion—rekan seperjuangannya yang berada dalam satu ruangan dengannya pun tampak heran oleh sikap George yang terlihat sedikit frustrasi.Dion yang duduk di seberangnya dengan santai mengedikkan dagu. “Kenapa lo?” Kedua pipinya menggembung akibat roti keju yang sedang dia kunyah. “Percuma gue bawa kabur blackbox-nya. Nggak ada rekam jejak dia bertemu dengan Richardo di sini. Kayaknya ini bukan mobil yang biasa dia bawa.”Dion terkekeh lalu menyeruput kopinya yang sudah tak panas lagi. “Mafia kelas kakap kayak dia nggak mungkin seceroboh itu bawa mobil pribadi sendirian, George. Apalagi dekengannya seorang jenderal bintang dua.”“Argh!” George semakin kesal dengan ucapan temannya. Dia menjambak rambutnya sendiri, membuat Dion semakin terkekeh.“Lo nggak mau nyerah aja? Pak ketua
Danny makin diperam kelesah saat pria paruh baya di sebelahnya mendadak murka dan menjambak Danny hingga mendongak. “Kenapa dia bisa tau? Katanya kau mengeksekusi Jonathan tepat di blind spot CCTV?” geram pria itu dengan tatapan berapi-api. Danny hanya bisa meringis dan memohoh ampun. Pemuda itu rupanya tak berkutik dan sangat ketakutan menghadapi pria paruh baya di sebelahnya. “Siap! Maaf Komandan! Saya bersumpah bahwa saya tidak menemukan adanya CCTV lain di ruangan itu. Saya tidak tahu bagaimana George mengetahuinya.”Pria paruh baya itu melepas cengkraman pada rambut Danny setelah dia berhasil membenturkan kepalanya ke kaca mobil. “Kalau sudah begini, aku tak bisa membantumu. Kau harus menerima konsekuensinya, Danny.”Danny menoleh, sedikit terperanjat. Sebelah tangannya mengusap kening yang tampak benjol akibat benturan di kaca mobil. “Ma-maksud Komandan? Saya harus terima jika mendekam di penjara dan kehilangan seluruh pencapaian saya saat ini?”Pria paruh baya itu mengisa
“Siap, saya tidak tahu, Yang Mulia. Mungkin ajakan Brigjen J untuk memberikan surprise hanyalah alibi agar beliau bisa melancarkan aksinya untuk melecehkanku,” jawab Danny, berusaha tenang.“Sial!” geram George. “Mau sampai kapan kau terus berbohong, Danny?” “Senjata siapa yang kau gunakan untuk menembak?” “Siap, senjata saya sendiri, Yang Mulia. Namun setelah saya menemukan senjata milik beliau, saya menukarnya.”“Apa kau memang selalu membawa senjata kemana pun kau pergi?” “Siap, kadang-kadang, Yang mulia. Saat itu saya hanya khawatir di perjalanan karena hari sudah terlalu larut.”Hakim mengangguk, mendengar pernyataan Danny walau hal itu masih tak dapat diterima oleh George.Keterbatasan bukti CCTV membuat George kesulitan untuk membuktikan bahwa pernyataan Danny palsu atau benar adanya. Pasalnya, CCTV yang dimiliki George hanya dapat menampilkan gambar, tanpa adanya suara. Jadi baik dia beserta pihak pengadilan tak dapat mengetahui dengan pasti apa yang dibicarakan oleh Danny
Laporan George yang berkata bahwa Danny mengaku disuruh seseorang berhasil membuat gaduh seisi kantor. Bahkan berita itu sampai ke kantor pusat dari mulut ke mulut beberapa polisi yang gemar bergosip. Sayangnya laporan George tak dapat diproses karena tak ada bukti yang menyertakan ucapan tersebut. Peraturan yang melarang bawa ponsel saat membesuk narapidana membuat George kesulitan untuk merekam. Apalagi di era modern seperti ini dia tak kepikiran sama sekali untuk membawa alat perekam.“Argh! Kayaknya gue harus ketemu Danny lagi.” Sejak lima hari George membuat laporan, akhirnya dia memiliki waktu luang untuk bertemu kembali dengan Danny karena jadwalnya yang terlalu padat akhir-akhir ini. Pasalnya, George sedang mengikuti seleksi untuk menjadi anggota BIN. Baru saja George memarkirkan mobilnya di parkiran lapas, tiba-tiba dia mendengar suara ambulans dan beberapa keributan di pintu masuk. Entah kenapa perasaan George tak enak saat berniat KEPO dengan apa yang terjadi. “Siapa y
Richardo menyesap cerutunya setelah menghabiskan satu mangkuk ramen di ssbuah restauran. Rupanya dia mengajak George untuk makan siang bersama seraya berbicara satu dan lain hal. ‘Kenapa di mengajakku? Tumben sekali,’ batin George. Pemuda itu mengedarkan pandangannya hingga melihat dua ajudan yang duduk beberapa meter di sebelah kanan. “Santai saja, George. Aku sudah lama mengenal ayahmu. Aku turut berduka cita atas kepergiannya yang secepat ini.”George hanya mengangguk pelan, memaksakan senyumnya untuk menghormati sosok atasan di hadapannya. “Terima kasih komandan.”Richardo menghela napas gusar, bersamaan dengan gumpalan asap yang keluar melalui lubang hidungnya. “Sejujurnya aku tak percaya dengan pernyataan Danny bahwa Jonathan telah melecehkannya. Entah apa yang ada di otak anak itu, kenapa bisa memberikan suatu pernyataan yang tak masuk akal,” tutur Richardo. Dia memperhatikan George yang tengah mengaduk es teh manis dengan tatapan kosong. “Dia memang berbohong. Tujuan Dan
Setibanya di rumah, George segera berlari ke kamar Jonathan untuk menggeledah barang-barang sepeninggalannya. “Kenapa aku nggak mencurigainya dari awal?” desis George sambil sibuk membuka laci dan lemari. Pemuda itu baru menyadari satu hal bahwa Danny merupakan ajudan Richardo, mantan bawahan Jonathan yang karirnya melejit pesat dengan sangat mudah dan tak masuk akal. Bagaimana jika kecurigaan George benar? Bahwa orang yang memerintah Danny adalah Richardo. Terlebih lagi, kenapa pria paruh baya itu tiba-tiba mengajak George makan siang setelah mengetahui bahwa dia pergi untuk menemui Danny hari itu juga? Apa benar hanya sekadar berbela sungkawa? Namun, kenapa dia tak berbela sungkawa sejak awal? Sejak hari pertama George merasa terpukul dan kehilangan. Sebuah tanda tanya besar berkelindan dalam benak. Sampai akhirnya George berhasil menemukan sebuah brankas kecil di dalam lemari. Dia mencoba berbagai kata sandi tapi nihil. Brankasnya tak dapat dibuka hingga George bergeming beberap
Sebuah club malam dengan bangunan cukup besar terlihat di sudut jalanan sepi di pinggiran kota. Tulisan El Camorra yang dihias oleh lampu kerlap-kerlip membuat George yakin bahwa tempat itu memang tujuannya. Pemuda itu hanya bisa mengamati dari dalam mobil. Dia tak ingin bertindak gegabah untuk masuk begitu saja sebelum mencari tahu lebih detail mengenai El Camorra. “Sepertinya Ayah berkunjung ke sini akhir-akhir ini. Namun ada apa? Kenapa dia tak menulis penjelasan lebih detail mengenai club ini dalam buku catatannya?” George bermonolog sendiri. “Tak mungkin club sebesar El Camorra tak memiliki legalitas usaha dan tak terdaftar di pajak. Pasti ada seseorang yang menyokongnya dari belakang. Seseorang yang memiliki kekuatan hukum hingga berani memanipulasi data.”George mengetuk-ngetuk kemudi menggunakan telunjuknya sambil memandang club tersebut dengan mata terpicing. Tak lama berselang, sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan club. Tampak seorang pria tampan dengan rambut s
Gabby menenteng banyak sekali tas belanja di tangannya, dibantu oleh Raizel dan beberapa staff yang sudah siap siaga di depan rumah. Lascrea yang berdiri di ambang pintu masuk pun mengernyit heran melihat bosnya yang baru tiba bersama Gabby dengan begitu banyak belanjaan.“Bos, nggak salah?” bisik Lascrea, menghampiri Raizel yang tengah melangkah ke arah pintu masuk. Raizel menaikkan kedua alisnya, memperhatikan Gabby dan seluruh belanjaannya, lalu menoleh ke arah Lascrea sambil menggeleng. “Enggak! Emang salah kenapa?” “Bos beli apa aja sebanyak ini?” Lascrea pantas protes karena dia yang mengatur keuangan Raizel dan selalu mewanti-wanti kepada pria itu agar tidak menghambur-hamburkan uangnya, apalagi saat bisnis tidak berjalan lancar yang menyebabkan berkurangnya pemasukan. Raizel pun menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal. Kemudian terkekeh sambil menjawab, “Emm, ya buat baju ganti Gabby.” Lascrea menggeleng dengan tatapan nanar. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Raize