Hiriety memarkir mobilnya di basement apartemen. Dengan tangan yang menenteng tas belanjaannya dia memasuki lift. Detik-detik terakhir dalam lift terasa lebih lambat dari biasanya, seolah setiap lantai adalah ujian kesabaran.
Begitu pintu lift terbuka dan ia melangkah ke koridor. Tangannya menekan password pintu dan membukanya. Baru dua langkah masuk, Marco Valley langsung menariknya ke dalam pelukan erat—seolah menolak kenyataan bahwa ia telah ditinggal selama setengah hari.
Lengan Marco melingkar kuat di pinggang Hiriety, sementara wajahnya langsung tenggelam di leher tunangannya itu, menghirup aroma tubuhnya seperti sedang mencari ketenangan dari racun yang telah lama menggerogoti jiwanya.
“Terakhir kali aku merasakan detak jantungku sesakit ini… kau masih di Santorini” gumam Marco pelan, suaranya rendah dan parau. Ia menciumi kulit Hiriety seperti seseorang yang baru saja memenangkan kembali hidupnya.
Hiriety tak langsung bica
Marco duduk di meja makan, piring di depannya berisi hidangan yang dimasak oleh Hiriety. Aroma masakan itu menguar hangat, memenuhi ruangan kecil mereka dengan rasa nyaman yang jarang ia rasakan. Dengan gerakan perlahan, Marco mengambil suapan demi suapan, menikmati setiap rasa yang tertuang dari tangan Hiriety.Dia belum makan apapun sejak kemarin.Entah kenapa, sejak tunangannya itu meninggalkan apartemen siang tadi, hatinya terasa kosong. Tenggorokannya menolak makanan, pikirannya penuh dengan kemungkinan—ke mana Hiriety pergi, apa yang ia bicarakan dengan Erasmus, dan kenapa bayangan masa lalu terasa lebih dekat daripada biasanya.Sendok di tangannya berhenti bergerak. Ia mendongak menatap Hiriety yang baru saja duduk di seberangnya, tangan wanita itu menggenggam gelas air yang ia serahkan pada Marco“Apa yang kalian bicarakan?” tanya Marco, suaranya pelan tapi mengandung tekanan.Hiriety menatapnya beberapa detik, lalu menari
Hiriety memarkir mobilnya di basement apartemen. Dengan tangan yang menenteng tas belanjaannya dia memasuki lift. Detik-detik terakhir dalam lift terasa lebih lambat dari biasanya, seolah setiap lantai adalah ujian kesabaran.Begitu pintu lift terbuka dan ia melangkah ke koridor. Tangannya menekan password pintu dan membukanya. Baru dua langkah masuk, Marco Valley langsung menariknya ke dalam pelukan erat—seolah menolak kenyataan bahwa ia telah ditinggal selama setengah hari.Lengan Marco melingkar kuat di pinggang Hiriety, sementara wajahnya langsung tenggelam di leher tunangannya itu, menghirup aroma tubuhnya seperti sedang mencari ketenangan dari racun yang telah lama menggerogoti jiwanya.“Terakhir kali aku merasakan detak jantungku sesakit ini… kau masih di Santorini” gumam Marco pelan, suaranya rendah dan parau. Ia menciumi kulit Hiriety seperti seseorang yang baru saja memenangkan kembali hidupnya.Hiriety tak langsung bica
Marco duduk di balkon apartemen Hiriety, tangan kanan menggenggam sebatang rokok yang mulai membara, sementara tangan kiri menopang dagunya dengan erat. Angin malam Milan berhembus lembut, mengibarkan rambutnya yang acak-acakan, menambah kesan liar pada sosoknya yang tampak tenang namun penuh gejolak.Haus. Rasa itu menyelinap perlahan tapi membakar seluruh sarafnya. Haus akan kehadiran Hiriety, sentuhan lembutnya, dan cara dia mampu menguasai seluruh pikirannya tanpa harus berkata sepatah kata pun. Obsesinya bukan hanya tentang cinta—ini sudah menjadi kebutuhan yang mendalam, sebuah kebutuhan yang membuatnya gelisah saat mereka terpisah.Setiap helaan napasnya terasa berat, seolah-olah dirinya sendiri sedang menunggu Hiriety datang dan mengisi kekosongan di dadanya. Tangannya yang menggenggam rokok itu bergetar sedikit, bukan karena panasnya sinar matahari tak mengganggunya. Tetapi karena dirinya yang takkan bisa menahan diri saat jauh dari Hiriety.&ldqu
Hiriety mengayunkan mobilnya keluar dari basement apartemen tempat mereka tinggal. Jalanan Milan yang ramai menyambutnya dengan cahaya terik matahari di siang hari. Hiriety menekan pedal gas lebih dalam, mencoba mengusir segala kegelisahan yang menumpuk di dadanya.Sambil melajukan mobilnya dengan tenang, ia mengeluarkan ponsel dan langsung menekan tombol panggil. Setelah beberapa detik dering, suara Erasmus yang tenang namun khas langsung terdengar di ujung sana.“Halo” sapaan Erasmus selalu membawa ketenangan, tapi kali ini Hiriety membutuhkan lebih dari sekadar ketenangan.“Kau di mana?” suara Hiriety terdengar sedikit tegas“Rumah. Aku menunggu telponmu sejak pagi” jawab Erasmus. “Kau tahu, sebaiknya kau ke sini saja. Kita bisa bicara dengan tenang, tanpa gangguan.”Hiriety mengerutkan alis. “Aku tidak nyaman berdua di ruang tertutup, Erasmus. Jika Marco tahu dia akan mengamuk”
Hiriety melangkah keluar dari kamar mandi, membanting pintu tanpa kekuatan penuh, tapi cukup untuk memberi pesan yang jelas: ia sedang kesal, dan Marco sebaiknya tidak main-main lagi.Dengan bathrobe masih melilit tubuh, ia berjalan ke lemari, mengambil pakaian, lalu berganti tanpa sepatah kata pun. Biasanya, Marco akan muncul dari belakang, memeluknya, lalu membisikkan kalimat gombal atau permintaan maaf. Tapi kali ini ia tidak muncul.Dan anehnya, Hiriety merasa… kecewa.“Bodoh” gumamnya pada diri sendiri. Ia tidak seharusnya mengharapkan Marco bertingkah manis setelah membuatnya jengkel. Tapi entah kenapa, justru itulah yang ia inginkan.Hiriety sedang mengenakan kemeja hitam tipis ketika pintu kamar mandi terbuka pelan. Ia tak langsung menoleh, sudah bisa menebak siapa yang muncul di sana dengan gaya khas—seenaknya dan percaya diri luar biasa.Marco muncul sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil, tanpa repot meng
Tubuh Hiriety menggeliat pelan. Ada sensasi lembab yang menusuk kulitnya, membuatnya mengernyit dalam kantuk. Kelopak matanya berat, namun rasa dingin yang samar menyusup di sela-sela kehangatan air membuatnya perlahan membuka mata.Butuh beberapa detik untuk otaknya menyadari bahwa dirinya tak berada di tempat tidur.Cipratan air menyentuh kulitnya saat ia menggerakkan tangan, dan saat pandangannya mulai fokus, ia tersadar: mereka ada di dalam bathtub. Tubuhnya bersandar ke dada bidang Marco, yang duduk di belakangnya, memeluknya erat dalam keheningan yang nyaris suci.“Marco…” bisiknya pelan, suara serak karena tidur. “Apa yang… kita?”Marco menundukkan kepala, menyandarkannya di bahu Hiriety. Wajahnya setengah tenggelam dalam kabut uap air hangat. “Kau ketiduran setelah yang terakhir… dan aku tidak ingin jauh darimu. Jadi kupindahkan kita ke sini. Kupikir air hangat bisa membantu tubuhmu rileks dan sek