Hiriety melangkah santai di dalam rumah besar itu, seolah-olah dia adalah pemiliknya, bukan seseorang yang baru saja diculik.
Rumah Marco Valley ternyata lebih megah daripada yang dia bayangkan—langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal, lorong panjang dengan lukisan-lukisan mahal, dan aroma kayu mahoni yang khas memenuhi udara. Bukan aroma kematian atau penyiksaan seperti yang mungkin dibayangkan kebanyakan orang tentang tempat persembunyian seorang pria seperti Marco Valley
Hiriety tersenyum kecil. "Cukup nyaman. Sudah kutebak dia itu gila kebersihan" gumamnya sambil menyentuh pilar di sepanjang lorong.
Sejauh ini, Hiriety tak menemukan setitik debupun dirumah besar ini dan melihat respon Marco, sepertinya benar jika pria itu OCD. Namun dia nampak tak masalah jika ada orang lain.
“Mungkin kau hanya lemah pada sentuhan..” Hiriety kembali bergumam
Beberapa pelayan yang lewat tampak terkejut melihatnya berkeliaran tanpa pengawalan, namun mereka tidak berani mengatakan apa pun. Salah satu pelayan wanita yang lebih tua bahkan tampak sedikit khawatir.
"Nona Walton..." wanita itu ragu-ragu sebelum melanjutkan, "Anda... baik-baik saja?"
Hiriety menoleh dengan ekspresi jenaka. "Kenapa tidak? Sejauh ini, tidak ada yang mengurungku di ruang bawah tanah atau mengikatku ke kursi. Aku harus berterima kasih pada Valley untuk itu, kan?" Hiriety berucap dengan polos, sifatnya yang umum dia tunjukan pada orang-orang sekitar
“Tapi..”
Pelayan itu tampak semakin canggung, tetapi Hiriety hanya tersenyum, lalu kembali melangkah santai menuju ruang tengah. Saat dia melintasi salah satu cermin besar di dinding, matanya menangkap bayangan dirinya—rambutnya sedikit berantakan, pipinya dipenuhi dengan goresan merah samar, dan lengan kanannya menggantung dengan cara yang tidak wajar.
Ah, benar. Tangannya patah.
Hiriety mengangkat alis, memperhatikan tangannya yang mulai membengkak. Lucu sekali. Dia bahkan tidak terlalu memikirkannya sejak tadi.
Tapi bukan berarti Marco peduli.
Tentu saja tidak. Pria itu bahkan tidak menawarinya perban atau sekadar sarkasme tentang kelemahannya. Dia hanya meninggalkannya begitu saja setelah pertarungan kecil mereka tadi malam.
Hiriety bahkan terbangun di sofa ruang tamu, dengan kondisi nyaris mati kedinginan
Hiriety tertawa pelan. "Dasar pria yang kejam."
Dengan tangan kirinya, dia merapikan gaunnya, lalu melanjutkan langkahnya ke dapur, disana beberapa pelayan langsung berhenti bekerja saat melihatnya masuk.
“Astaga.. nona....”
"Oh, jangan berhenti hanya karena aku" katanya santai, mengambil salah satu apel dari meja. "Aku hanya ingin melihat-lihat. Anggap saja aku tamu kehormatan dan aku minta ini satu"
Tidak ada yang berani membalas, tetapi ekspresi bingung mereka cukup menghibur bagi Hiriety. Dengan tangan kiri yang masih baik-baik saja, dia menggigit apel itu, lalu bersandar di meja dapur, menikmati bagaimana suasana di rumah ini mulai terasa akrab baginya.
Karena bagi Hiriety Berdine Walton—tidak peduli di mana dia berada, dialah yang mengendalikan situasi.
“Apa yang kalian buat?” tanya Hiriety
“Kami menyiapkan makan siang, nona. Biasanya Tuan selalu makan siang dirumah” Seorang pelayan yang cukup muda menjawab
“Bisa buatkan untukku juga?” tanya Hirie dengan senyum polosnya
Pelayan itu tampak ragu sejenak, melirik rekan-rekannya sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Tentu, Nona Walton. Apa ada sesuatu yang khusus yang Anda inginkan?” Pelayan itu menawari, sesuatu perlakuan khusus karena Hiriety yakin jika pelayan dirumah ini tahu siapa dirinya
Hiriety berpura-pura berpikir sejenak, mengayunkan apel di tangannya dengan ekspresi main-main. “Hmm… Aku ingin sesuatu yang enak. Yang dibuat dengan hati. Bagaimana?”
Pelayan muda itu tersentak sedikit, tetapi kemudian mengangguk lagi dan segera kembali bekerja, memberi isyarat kepada yang lain untuk melanjutkan. Hiriety tersenyum puas dan kembali menikmati apelnya, matanya berkeliling mengamati dapur yang bersih dan tertata dengan baik.
Setelah puas menjelajahi bagian dalam rumah, Hiriety melangkah keluar menuju bagian belakang. Udara terasa lebih segar di sini, dengan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma rumput dan tanah basah. Suasana yang nyaman sebelum matahari beranjak naik tepat diatas kepalanya
Lama Hiriety berada dibelakang hingga matanya membulat sedikit ketika melihat apa yang ada di hadapannya— pagar tinggi, dan didalamnya terdapat dua ekor singa berjalan santai.
“Oh?” Hiriety mendekat ke pagar, bibirnya melengkung membentuk senyum penuh ketertarikan “Sekarang ini menarik. Kalian pasangan” gumamnya
Singa jantan, dengan surai emas tebal, mengangkat kepalanya, matanya menatap Hiriety seolah mengenali kehadiran makhluk asing yang tidak biasa. Yang betina tampak tak terganggu, hanya berjalan dengan anggun atau berbaring malas di tanah.
Hiriety mencondongkan tubuhnya sedikit, matanya berbinar. "Jadi kau punya pasangan singa, huh, Valley?" gumamnya pada dirinya sendiri.
"Kemarilah, pus.. pus" Hiriety memanggil layaknya singa itu adalah kucing
Singa itu menggeram pelan setelahnya ia mengalihkan kepalanya membelakangi Hiriety, kakinya yang kokoh berjalan menuju sang betina
"So sweet sekali.." Gumamnya
"Seharusnya kau tidak berada di sini."
Suara berat dan familiar itu membuatnya menoleh. Marco Valley berdiri beberapa meter di belakangnya, tangannya terselip di saku celana dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak.
Alih-alih menurut, Hiriety justru menatapnya dengan seringai nakal. "Kenapa? Takut aku memberi tahu semua orang bahwa pria dingin sepertimu ternyata memiliki kelembutan untuk merawat binatang buas?"
Marco mendengus. "Mereka bukan hewan peliharaan."
"Tentu saja tidak" Hiriety menggigit bibirnya, berpura-pura berpikir. "Tapi mereka pasti lebih bisa diatur dibandingkan manusia, ya?"
Marco berjalan mendekat, matanya menyipit. "Aku tidak ingin ada mayat wanita keras kepala ditemukan di dalam kandang mereka, Walton."
Hiriety terkekeh. "Aku juga tidak ingin jadi santapan mereka. Tapi… sepertinya mereka menyukaiku."
Seolah menguatkan ucapannya, salah satu singa betina berdiri dan berjalan mendekati pagar, ekornya melambai santai. Hiriety mengulurkan tangannya, tidak cukup dekat untuk menyentuh, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa dia tidak takut.
Marco memperhatikan pemandangan itu dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Aku tidak tahu apakah kau terlalu berani atau terlalu bodoh."
Hiriety menoleh ke arahnya, matanya berkilat iseng. "Mungkin keduanya."
Marco tidak membalas, tapi ada sesuatu di tatapannya—sesuatu yang membuat Hiriety semakin tertarik untuk bermain lebih jauh.
Karena jika ada satu hal yang lebih menarik daripada singa-singa ini… itu adalah Marco Valley sendiri.
Villa Walton yang berada di Vigentino kini kembali ramai setelah pernikahan Marco dan Hiriety. Kali ini keramaian itu disebabkan oleh kedua keluarga yang berkumpul untuk menjenguk Hiriety yang memberikan kabar gembira jika dirinya hamil.Cahaya matahari sore menyelinap lewat jendela besar ruang tamu villa, memantul lembut pada permukaan kayu dan gelas-gelas teh yang belum disentuh. Di tengah ruang, Hiriety duduk di sofa panjang dengan selimut tipis di kakinya, dikelilingi oleh wajah-wajah yang akrab—dan ribut, seperti biasa.“Jangan terlalu stres, itu bisa mempengaruhi emosimu” Nasihat Lova sambil mengusap kepala putrinya yang bersandar pada pundaknyaHiriety terkekeh “Rasanya seperti mengulang masa lalu. Bagaimana jika aku kehilangan anak ini lagi ma?”Lova terdiam sesaat, namun tangannya tidak berhenti mengelus lembut rambut Hiriety. Wajahnya yang biasanya tegar kini tampak melembut, dipenuhi kenangan lama yang juga menyaki
Suara tembakan menggema di udara, memecah keheningan senja yang menyelimuti villa Walton—tempat sakral tempat mereka pernah mengikat janji dalam kebisuan yang penuh makna. Angin semilir membawa aroma pinus dan tanah basah, tapi juga menyapu suara detak jantung Marco yang tak karuan.Satu peluru menghantam papan target, nyaris sempurna di tengah.Marco berdiri di sisi belakang lapangan tembak, tubuhnya tegak namun pasrah, dengan rompi pelindung yang entah benar-benar melindungi atau sekadar menjadi simbol keputusasaan seorang suami yang terlalu mencintai istrinya.Hiriety berdiri sekitar sepuluh meter darinya. Perutnya belum menonjol banyak, tapi ada kelembutan baru di wajahnya—kelembutan yang justru membuatnya tampak lebih berbahaya. Ia mengangkat pistol ringan, matanya menyipit.“Jangan bergerak” katanya dengan nada ceria, seperti sedang meminta Marco berpose untuk lukisan, bukan menantang ajal.“Sudah pasti” ja
“A-apa ini, mia cara?” tanya Marco terbata. Suaranya nyaris hilang oleh suara detak jantungnya sendiri yang melonjak, menghantam tulang rusuk.Hiriety berdiri tegak di depan meja makan dengan hoodie lusuh milik Marco dan rambut yang dikuncir asal. Di tangannya, sebuah test pack dengan dua garis biru tegas tergenggam. Ia tak menyodorkannya dengan gaya dramatis, tak pula meneteskan air mata—wajahnya datar. Tenang. Seolah ia baru saja menyerahkan remote TV.“Positif,” ucapnya pelan, nyaris tanpa intonasi. “Aku hamil.”Marco terpaku. Bola matanya menatap dua garis itu, lalu berpindah ke wajah Hiriety. Matanya bergetar. Bibirnya terkatup kaku.Beberapa detik ia hanya berdiri di sana, seperti seluruh neuron dalam otaknya berhenti bekerja kecuali satu: yang berbisik lirih, anak... kami?Lalu sesuatu dalam dirinya retak.“Dio mio...” desis Marco. Ia mendekat perlahan, seperti takut gerakannya aka
Pukul 03.27 dini hari waktu MilanLangit masih pekat dan udara dingin menyelimuti kota yang tidur. Di sebuah jalanan tenang di distrik Brera, sebuah mobil hitam meluncur perlahan, tanpa suara berlebihan. Di dalamnya, Marco duduk dengan wajah dingin dan mata sayu yang tak pernah lepas dari layar ponselnya yang memutar ulang video Hiriety—yang ia pantau melalui cctv yang masih terpasang diapartemen tanpa sepengetahuan istrinya itu.Sopirnya, Vincenzo, melirik lewat kaca spion tapi tak berani berkata apa-apa. Ia tahu, jika tuannya sudah seperti itu, hanya ada satu tujuan: kembali ke sumber apinya.Tak lama, mobil itu berhenti di depan gedung apartemen mereka. Marco keluar, hanya membawa koper kecil dan satu jas yang disampirkan di lengannya. Ia tak meminta dibukakan pintu—ia tahu kode akses, bahkan tahu bagaimana caranya membuka pintu depan tanpa membangunkan sistem alarm.Langkahnya menyelinap naik. Di lorong apartemen yang gelap, ia berjalan de
Sebulan berlalu dengan cepat semenjak mereka kembali dari Cartagena. Hari-hari yang berlalu di Milan terasa monoton.Hiriety yang santai di apartemen, berbelanja atau bahkan mengganggu Marco saat bekerja.Namun, seminggu ini Marco harus berada di Washington untuk mengurus perusahaan secara langsung. Suaminya itu tak lagi bisa melakukan work from home karena urusan tender dan kartel Otoniel.Hiriety menatap ponselnya yang sunyi dari notifikasi. Sudah hampir 18 jam Marco tidak menghubunginya. Padahal sebelumnya, mereka nyaris tidak pernah absen menelepon meski hanya untuk mendengar satu sama lain bernapas.Ia berdiri dari sofa, berjalan ke dapur dan membuka lemari es hanya untuk menatap kosong isi di dalamnya. Lalu menutupnya kembali. Hiriety benci hari-hari seperti ini—sunyi, seolah Marco telah membawa denyut nadi dunianya bersamanya ke Amerika.Dan yang paling ia benci... adalah rasa khawatir yang ia sembunyikan dalam marah.Di mana ka
Pagi itu datang dengan angin lembut dan suara ombak yang menggoda di kejauhan. Matahari belum sepenuhnya terbit, tapi Hiriety sudah bangun lebih dulu, berdiri di balkon hotel sambil memeluk lengan sendiri. Rasa dingin bukan berasal dari udara, tapi dari kesadaran bahwa hari ini... mereka akan segera meninggalkan Cartagena.Marco belum bangun. Atau, tepatnya, berpura-pura belum bangun.Ia menatap Hiriety dari ranjang, diam-diam menikmati siluet istrinya yang diterpa sinar oranye keemasan. Gaun tidurnya berkibar pelan, rambutnya tergerai lembut. Satu sosok yang membuat kekacauan paling brutal sekalipun terasa seperti simfoni yang terorganisir.“Hey” panggil Marco akhirnya, suaranya serak dan dalam. “Pagi terakhir. Apa yang kau pikirkan?”Hiriety menoleh dan tersenyum, lalu kembali menatap laut. “Tentang kenapa semua yang indah terasa terlalu cepat berlalu.”Marco bangkit, mengenakan kemeja tipis dan langsung mengha