Share

Bab 4. Mask

Author: Strrose
last update Last Updated: 2025-03-27 09:49:33

Hiriety melangkah santai di dalam rumah besar itu, seolah-olah dia adalah pemiliknya, bukan seseorang yang baru saja diculik.

Rumah Marco Valley ternyata lebih megah daripada yang dia bayangkan—langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal, lorong panjang dengan lukisan-lukisan mahal, dan aroma kayu mahoni yang khas memenuhi udara. Bukan aroma kematian atau penyiksaan seperti yang mungkin dibayangkan kebanyakan orang tentang tempat persembunyian seorang pria seperti Marco Valley

Hiriety tersenyum kecil. "Cukup nyaman. Sudah kutebak dia itu gila kebersihan" gumamnya sambil menyentuh pilar di sepanjang lorong.

Sejauh ini, Hiriety tak menemukan setitik debupun dirumah besar ini dan melihat respon Marco, sepertinya benar jika pria itu OCD. Namun dia nampak tak masalah jika ada orang lain.

“Mungkin kau hanya lemah pada sentuhan..” Hiriety kembali bergumam

Beberapa pelayan yang lewat tampak terkejut melihatnya berkeliaran tanpa pengawalan, namun mereka tidak berani mengatakan apa pun. Salah satu pelayan wanita yang lebih tua bahkan tampak sedikit khawatir.

"Nona Walton..." wanita itu ragu-ragu sebelum melanjutkan, "Anda... baik-baik saja?"

Hiriety menoleh dengan ekspresi jenaka. "Kenapa tidak? Sejauh ini, tidak ada yang mengurungku di ruang bawah tanah atau mengikatku ke kursi. Aku harus berterima kasih pada Valley untuk itu, kan?" Hiriety berucap dengan polos, sifatnya yang umum dia tunjukan pada orang-orang sekitar

“Tapi..”

Pelayan itu tampak semakin canggung, tetapi Hiriety hanya tersenyum, lalu kembali melangkah santai menuju ruang tengah. Saat dia melintasi salah satu cermin besar di dinding, matanya menangkap bayangan dirinya—rambutnya sedikit berantakan, pipinya dipenuhi dengan goresan merah samar, dan lengan kanannya menggantung dengan cara yang tidak wajar.

Ah, benar. Tangannya patah.

Hiriety mengangkat alis, memperhatikan tangannya yang mulai membengkak. Lucu sekali. Dia bahkan tidak terlalu memikirkannya sejak tadi.

Tapi bukan berarti Marco peduli.

Tentu saja tidak. Pria itu bahkan tidak menawarinya perban atau sekadar sarkasme tentang kelemahannya. Dia hanya meninggalkannya begitu saja setelah pertarungan kecil mereka tadi malam.

Hiriety bahkan terbangun di sofa ruang tamu, dengan kondisi nyaris mati kedinginan

Hiriety tertawa pelan. "Dasar pria yang kejam."

Dengan tangan kirinya, dia merapikan gaunnya, lalu melanjutkan langkahnya ke dapur, disana beberapa pelayan langsung berhenti bekerja saat melihatnya masuk.

“Astaga.. nona....”

"Oh, jangan berhenti hanya karena aku" katanya santai, mengambil salah satu apel dari meja. "Aku hanya ingin melihat-lihat. Anggap saja aku tamu kehormatan dan aku minta ini satu"

Tidak ada yang berani membalas, tetapi ekspresi bingung mereka cukup menghibur bagi Hiriety. Dengan tangan kiri yang masih baik-baik saja, dia menggigit apel itu, lalu bersandar di meja dapur, menikmati bagaimana suasana di rumah ini mulai terasa akrab baginya.

Karena bagi Hiriety Berdine Walton—tidak peduli di mana dia berada, dialah yang mengendalikan situasi.

“Apa yang kalian buat?” tanya Hiriety

“Kami menyiapkan makan siang, nona. Biasanya Tuan selalu makan siang dirumah” Seorang pelayan yang cukup muda menjawab

“Bisa buatkan untukku juga?” tanya Hirie dengan senyum polosnya

Pelayan itu tampak ragu sejenak, melirik rekan-rekannya sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Tentu, Nona Walton. Apa ada sesuatu yang khusus yang Anda inginkan?” Pelayan itu menawari, sesuatu perlakuan khusus karena Hiriety yakin jika pelayan dirumah ini tahu siapa dirinya

Hiriety berpura-pura berpikir sejenak, mengayunkan apel di tangannya dengan ekspresi main-main. “Hmm… Aku ingin sesuatu yang enak. Yang dibuat dengan hati. Bagaimana?”

Pelayan muda itu tersentak sedikit, tetapi kemudian mengangguk lagi dan segera kembali bekerja, memberi isyarat kepada yang lain untuk melanjutkan. Hiriety tersenyum puas dan kembali menikmati apelnya, matanya berkeliling mengamati dapur yang bersih dan tertata dengan baik.

Setelah puas menjelajahi bagian dalam rumah, Hiriety melangkah keluar menuju bagian belakang. Udara terasa lebih segar di sini, dengan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma rumput dan tanah basah. Suasana yang nyaman sebelum matahari beranjak naik tepat diatas kepalanya

Lama Hiriety berada dibelakang hingga matanya membulat sedikit ketika melihat apa yang ada di hadapannya— pagar tinggi, dan didalamnya terdapat dua ekor singa berjalan santai.

“Oh?” Hiriety mendekat ke pagar, bibirnya melengkung membentuk senyum penuh ketertarikan “Sekarang ini menarik. Kalian pasangan” gumamnya

Singa jantan, dengan surai emas tebal, mengangkat kepalanya, matanya menatap Hiriety seolah mengenali kehadiran makhluk asing yang tidak biasa. Yang betina tampak tak terganggu, hanya berjalan dengan anggun atau berbaring malas di tanah.

Hiriety mencondongkan tubuhnya sedikit, matanya berbinar. "Jadi kau punya pasangan singa, huh, Valley?" gumamnya pada dirinya sendiri.

"Kemarilah, pus.. pus" Hiriety memanggil layaknya singa itu adalah kucing

Singa itu menggeram pelan setelahnya ia mengalihkan kepalanya membelakangi Hiriety, kakinya yang kokoh berjalan menuju sang betina

"So sweet sekali.." Gumamnya 

"Seharusnya kau tidak berada di sini."

Suara berat dan familiar itu membuatnya menoleh. Marco Valley berdiri beberapa meter di belakangnya, tangannya terselip di saku celana dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak.

Alih-alih menurut, Hiriety justru menatapnya dengan seringai nakal. "Kenapa? Takut aku memberi tahu semua orang bahwa pria dingin sepertimu ternyata memiliki kelembutan untuk merawat binatang buas?"

Marco mendengus. "Mereka bukan hewan peliharaan."

"Tentu saja tidak" Hiriety menggigit bibirnya, berpura-pura berpikir. "Tapi mereka pasti lebih bisa diatur dibandingkan manusia, ya?"

Marco berjalan mendekat, matanya menyipit. "Aku tidak ingin ada mayat wanita keras kepala ditemukan di dalam kandang mereka, Walton."

Hiriety terkekeh. "Aku juga tidak ingin jadi santapan mereka. Tapi… sepertinya mereka menyukaiku."

Seolah menguatkan ucapannya, salah satu singa betina berdiri dan berjalan mendekati pagar, ekornya melambai santai. Hiriety mengulurkan tangannya, tidak cukup dekat untuk menyentuh, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa dia tidak takut.

Marco memperhatikan pemandangan itu dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Aku tidak tahu apakah kau terlalu berani atau terlalu bodoh."

Hiriety menoleh ke arahnya, matanya berkilat iseng. "Mungkin keduanya."

Marco tidak membalas, tapi ada sesuatu di tatapannya—sesuatu yang membuat Hiriety semakin tertarik untuk bermain lebih jauh.

Karena jika ada satu hal yang lebih menarik daripada singa-singa ini… itu adalah Marco Valley sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tawanan Cinta Sang Penguasa   Bab 161. Selamat datang sweetheart

    Tiga minggu kemudian — Rumah Sakit Columbia Medical Center, New YorkJam menunjukkan pukul 03.47 dini hari.Langit di luar gelap pekat, tapi di dalam kamar bersalin, waktu tidak lagi punya arti. Semua terasa mendesak. Napas Hiriety memburu, peluh membasahi dahinya, dan suara detak jantung janin berdetak kencang dari monitor di samping tempat tidur.Marco berdiri di sampingnya, mengenakan scrub hijau kebesaran yang menggantung aneh di tubuhnya. Tangannya tak lepas dari menggenggam tangan Hiriety yang basah dan gemetar.“Kau bisa, mia cara. Tarik napas. Fokus padaku” katanya, meski suaranya sendiri bergetar.Hiriety menoleh, matanya merah, tapi masih menyala. “Kalau kau ulangi kata ‘fokus padaku’ satu kali lagi, aku akan lempar alat EKG ke wajahmu.”Marco langsung mengangkat tangan satunya. “Diterima. Tidak akan diulang. Maaf.”Perawat sudah bersiap. Dokter kandungan mereka, Dr. Elea

  • Tawanan Cinta Sang Penguasa   Bab 160. Be our self

    Udara musim semi menyambut mereka dengan aroma tanah basah dan sinar matahari hangat. Pepohonan di sepanjang jalan mulai menumbuhkan tunas-tunas hijau muda, dan burung-burung gereja terdengar ramai berceloteh di dahan yang baru saja bangkit dari tidur panjang musim dingin.Mobil berhenti di depan sebuah rumah bergaya kolonial yang tenang namun elegan, tersembunyi di tengah kawasan Cleveland Park—lingkungan tua yang penuh sejarah dan pepohonan besar yang teduh. Rumah itu tidak mencolok, tapi berkelas. Warna putih tulang berpadu dengan jendela-jendela besar berbingkai hitam. Teras depannya memiliki dua kursi goyang dan pot gantung berisi tanaman lavender yang baru mekar.Marco keluar lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Hiriety yang sedang hamil tua. “Tunggu di situ. Aku bantu.”Hiriety turun perlahan, memandang bangunan di depannya dengan kening sedikit berkerut. “Ini… bukan hotel, kan?”Marco tersenyum, lalu mengeluark

  • Tawanan Cinta Sang Penguasa   Bab 159. Memantik gairah

    Jam sudah lewat tengah malam. Lampu kota memantulkan cahaya lembut ke jendela kamar penthouse tempat Marco dan Hiriety menginap sementara setelah menengok Selena dan bayinya dirumah sakit. Kamar mereka tenang, hanya ada suara mesin pemanas yang menderu lembut di sudut ruangan.Marco baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, dan mengenakan kaus lusuh serta celana tidur. Hiriety sedang duduk di tepi ranjang, kedua tangannya menopang perutnya yang sudah besar. Wajahnya sedikit tegang.Marco langsung menyadari ada yang berubah. “Mia cara?” tanyanya sambil mendekat.Hiriety tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, lalu menoleh pelan. “Aku… merasakan sesuatu. Seperti… perutku mengencang. Lalu... ada rasa nyeri dari pinggul ke bawah.”Marco langsung duduk di sebelahnya. “Sakitnya seperti apa? Menusuk? Atau seperti ditarik-tarik?”“Lebih ke… ditekan. Dalam. Seperti kr

  • Tawanan Cinta Sang Penguasa   Bab 158. Bagaimana rasanya?

    Ruang rawat itu hanya menyisakan kedua perempuan beserta bayi mungil laki-laki yang tetap tidur dalam pelukan Selena“Merasa lebih baik?” Tanya HirietyHiriety duduk pelan di sofa dekat ranjang. Ia mengamati wajah sahabat sekaligus kakak iparnya itu. Mulai dari matanya, pipinya, seluruh raut wajah yang baru saja melewati perang besar.Selena mengulas senyum tipis lalu mengangguk “aku bahagia” UcapnyaSelena mentapnya lalu ikut mengulas senyum “Aura keibuanmu sudah keluar” ucap Hiriety, jujur dari hati“Apa karena aku sudah punya anak yaa” Kekeh Selena pelanHiriety menggeleng “Dari dulu sudah terasa, hanya saja.. kali ini benar-benar berbeda” jelasnya“Berbeda seperti apa?”“Entahlah, susah diucapkan dengan kata-kata. Ngomong-ngomong bagaimana rasanya melahirkan? Mengeluarkan bibit Matthias dari badan sekecil itu?” Tanya Hiriety“Lu

  • Tawanan Cinta Sang Penguasa   Bab 157. Sweet little baby

    Beberapa jam setelah kelahiran bayi laki-laki mungilnya, Selena dipindahkan ke ruang inap VIP. Cahaya sore menembus tirai jendela besar, menyinari interior yang bersih dan hangat dengan aroma antiseptik samar yang tidak terlalu menyengat.Selena berbaring di ranjang dengan bantal empuk menopang punggungnya. Matanya masih tertutup, efek obat bius yang belum sepenuhnya hilang. Wajahnya tenang, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari perjuangan yang baru saja dilaluinya.Di sudut ruangan, Matthias duduk di kursi berlapis kain krem. Di pelukannya, sesosok bayi kecil terbungkus selimut putih bergaris biru muda. Bayi itu tidur pulas, dadanya naik turun perlahan dengan suara napas yang hampir tak terdengar. Jemari mungilnya tergenggam, sesekali bergerak refleks seperti sedang memegang sesuatu dalam mimpi.Matthias menatap anaknya, nyaris tak percaya. Ia telah mendengar tangis pertama itu, telah melihat tubuh kecil itu bergerak untuk pertama kalinya di dunia ini. Tap

  • Tawanan Cinta Sang Penguasa   Bab 156. Kelahiran putra Matthias

    Washington, D.C. USALangit musim semi menutupi kota dengan awan tipis yang bergerak malas. Di dalam rumah sakit bersalin terbesar di pusat kota, suasana jauh dari tenang. Ruang tunggu di luar ruang operasi penuh dengan ketegangan, dan di tengahnya, Matthias mondar-mandir seperti tahanan yang menunggu vonis.Marco duduk santai di kursi panjang, satu tangan menggenggam tangan Hiriety yang sudah mulai bengkak karena kehamilannya, dan tangan lain memegang botol air mineral yang belum dibuka.“Dude, kau mau bikin lubang di lantai?” tanya Marco, alis terangkat sambil melihat Matthias yang tak berhenti berjalan maju mundur. Baru kali ini dia melihat pewaris Walton itu tampak sangat cemas.Matthias menoleh, wajahnya pucat, rambut acak-acakan, dan kemejanya tampak seperti sudah dipakai dua hari berturut-turut. “Berisik. Istriku di dalam ruang operasi. Dia—dia sedang melahirkan dan aku lupa cara napas! Dokter itu mela

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status