Share

Bab 5. Lunch

Penulis: Strrose
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-27 09:50:15

Cahaya matahari siang menyusup melalui jendela besar ruang makan, memantulkan sinarnya pada meja panjang yang telah ditata dengan elegan. Piring-piring porselen, perak yang mengilap, serta berbagai hidangan menggoda tersaji rapi di hadapan mereka.

Marco Valley duduk di ujung meja, mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku, memperlihatkan otot-otot lengannya yang kencang. Rahangnya tegas, garis wajahnya tajam, dan matanya yang gelap menatap makanannya dengan fokus yang intens—seolah dia mencoba mengabaikan fakta bahwa Hiriety sedang duduk di hadapannya.

Hiriety sendiri, dengan tangan yang masih patah tetap tidak kehilangan pesonanya, duduk dengan anggun. Dia menyilangkan kakinya, menikmati setiap suapan makanan yang ia ambil dengan tangan kirinya, sesekali melirik ke arah Marco dengan mata abu-abunya yang penuh minat.

Tanpa malu-malu, dia meletakkan garpunya, menyandarkan dagunya di atas punggung tangannya, lalu menatap Marco terang-terangan.

"Aku harus mengakuinya, Valley" ucapnya dengan nada santai, tapi penuh arti. "Kau adalah pria yang luar biasa menarik."

Marco mengangkat alisnya, akhirnya mengangkat tatapannya dari piring. "Apa?"

Hiriety menyeringai, ujung jari jemarinya mengetuk pelan permukaan meja. "Aku tidak hanya bicara soal wajah tampanmu, meskipun, oh... kita tidak bisa mengabaikan fakta itu, bukan?" Matanya menyusuri setiap garis tajam wajah pria itu, mulai dari rahang kokoh hingga hidungnya yang lurus sempurna. "Mata gelap yang penuh misteri, ekspresi dingin yang membuat orang bertanya-tanya apa yang ada di kepalamu... ditambah postur tubuh tinggi dan kekar yang jelas-jelas dibuat untuk dominasi."

Marco menatapnya tanpa ekspresi, tapi ada kilatan samar di matanya—sesuatu antara ketidakpercayaan dan godaan yang coba ia redam. "Kau selalu seperti ini?" tanyanya akhirnya, suaranya rendah dan penuh perhitungan.

"Seperti apa?" Hiriety bertanya balik, kepalanya sedikit dimiringkan.

"Menggoda tanpa rasa takut."

Hiriety tersenyum. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Lagipula, seseorang harus mengapresiasi keindahan, bukan? Dan kau, Marco Valley, adalah salah satu karya terbaik yang pernah kulihat."

Marco terdiam selama beberapa detik, lalu ia mengambil gelas anggurnya, menyesap isinya tanpa tergesa-gesa. Tatapannya tetap terkunci pada Hiriety, mencoba mencari celah dalam permainan yang sedang dimainkan wanita itu.

Tapi Hiriety hanya tersenyum lebih lebar.

Karena kali ini, Marco tidak membantahnya.

“Aku suka membaca, kau tahu..” Hiriety mulai bercerita “Aku juga suka menonton, karena itu aku memiliki fantasi yang tinggi”

Marco tidak menanggapi, tetapi matanya tetap memperhatikan wanita di hadapannya dengan tajam, seolah menunggu langkah selanjutnya dalam permainan yang tengah mereka mainkan.

Hiriety tersenyum tipis, menikmati bagaimana pria itu tetap dalam mode bertahan. "Fantasi-fantasi itu bisa bermacam-macam," lanjutnya, jemarinya yang ramping dengan santai melingkari leher gelas anggurnya. "Seperti... bagaimana seorang pria yang sangat dominan akhirnya kehilangan kendali di hadapan seseorang yang tahu cara mengusiknya."

Marco terkekeh kecil, nada rendah suaranya mengandung ejekan. “Jika itu cara halusmu untuk mengatakan bahwa kau ingin membuatku kehilangan kendali, Walton, maka aku harus memperingatkanmu—aku bukan tipe pria yang mudah tergoyahkan.”

Hiriety mengangkat bahunya dengan anggun, matanya masih menatap Marco dengan penuh ketertarikan

“Apa kau tahu siapa yang meracuniku dengan fantasi itu?” Tanya Hiriety

Marco terlihat tak berminat menjawab

“Lumia, Mommy Selena”

Marco menegakkan punggungnya sedikit, ekspresinya tetap datar, tetapi ada ketegangan halus yang melintas di matanya sesaat setelah nama itu disebut. Lumia, ibu dari wanita dambaannya.

“Aku menghabiskan sebagian dari hidupku bersama dengan Selena dan aku tahu jika Selena akan berakhir dengan Matthias. Jadi bisa kau hentikan rencana gilamu untuk merebutnya? Aku tak ingin terjadi pertumpahan darah”

Marco menatap Hiriety lama, ekspresinya sulit ditebak.

Hening sejenak menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara dentingan halus sendok perak saat Marco mengetuk ringan tepi piringnya. Hiriety tidak mengalihkan pandangannya, menikmati ketegangan yang perlahan merayapi udara di antara mereka.

“Jadi itu yang kau inginkan?” Marco akhirnya berbicara, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan bahaya. “Kedamaian?”

Hiriety tersenyum kecil, mengangkat gelas anggurnya, mengamatinya sejenak sebelum menyesap perlahan. “Kedamaian mungkin terdengar membosankan bagimu, Valley. Tapi percayalah, itu jauh lebih baik daripada menyaksikan dunia runtuh hanya karena ambisi seorang pria yang keras kepala.”

Marco meletakkan sendoknya dengan tenang, lalu bersandar ke kursinya. “Kau benar-benar berpikir aku akan menyerah hanya karena kau meminta?”

Hiriety tertawa kecil. “Oh, tentu saja tidak. Aku tidak cukup naif untuk berpikir kau akan mundur begitu saja.” Dia menyandarkan dagunya di tangannya, menatap Marco dengan penuh minat. “Tapi aku penasaran, seberapa jauh kau akan bertahan sebelum akhirnya menyadari bahwa ini semua sia-sia?”

Marco tidak segera menjawab. Matanya yang gelap menelusuri wajah Hiriety, mencari celah, mencari maksud tersembunyi di balik kata-katanya.

“Aku tidak percaya takdir, Walton.” Marco akhirnya berkata. “Aku tidak percaya pada konsep bahwa seseorang sudah ‘ditakdirkan’ untuk yang lain. Jika aku menginginkan sesuatu, aku akan mengambilnya.”

Hiriety terkekeh, nada suaranya mengandung sesuatu yang nyaris seperti simpati. “Dan itu sebabnya kau akan berakhir dengan tangan kosong.”

Marco mengetukkan jarinya ke permukaan meja, ekspresinya semakin gelap. “Dan apa untungnya bagimu? Kau bicara seolah-olah kau peduli pada Matthias, tapi aku tahu kau bukan wanita yang bertindak tanpa motif.”

Hiriety tersenyum samar, tetapi ada kilatan emosi dalam matanya—sesuatu yang nyaris tak terlihat. “Aku hanya ingin melihat sesuatu berjalan sesuai dengan apa yang seharusnya. Sesederhana itu.”

Marco menyipitkan matanya. “Atau mungkin kau hanya ingin memastikan aku tidak mendapatkan Selena, agar kau bisa terus bermain-main denganku.”

Hiriety tidak menjawab, tetapi seringainya semakin lebar, seolah mengatakan bahwa Marco akhirnya mulai mengerti permainannya.

“Oh, Valley…” bisiknya, jemarinya dengan santai mengusap pinggiran gelas anggurnya. “Siapa bilang aku tidak menikmatinya?”

Ketegangan di antara mereka semakin memanas, tetapi kali ini, bukan hanya karena permusuhan.

Marco tersenyum miring. “Kau adalah masalah, Walton.”

Hiriety mengangkat bahu. “Dan kau selalu tertarik pada masalah.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tawanan Cinta Sang Penguasa   Bab 154. Kekhawatiran Hiriety

    Villa Walton yang berada di Vigentino kini kembali ramai setelah pernikahan Marco dan Hiriety. Kali ini keramaian itu disebabkan oleh kedua keluarga yang berkumpul untuk menjenguk Hiriety yang memberikan kabar gembira jika dirinya hamil.Cahaya matahari sore menyelinap lewat jendela besar ruang tamu villa, memantul lembut pada permukaan kayu dan gelas-gelas teh yang belum disentuh. Di tengah ruang, Hiriety duduk di sofa panjang dengan selimut tipis di kakinya, dikelilingi oleh wajah-wajah yang akrab—dan ribut, seperti biasa.“Jangan terlalu stres, itu bisa mempengaruhi emosimu” Nasihat Lova sambil mengusap kepala putrinya yang bersandar pada pundaknyaHiriety terkekeh “Rasanya seperti mengulang masa lalu. Bagaimana jika aku kehilangan anak ini lagi ma?”Lova terdiam sesaat, namun tangannya tidak berhenti mengelus lembut rambut Hiriety. Wajahnya yang biasanya tegar kini tampak melembut, dipenuhi kenangan lama yang juga menyaki

  • Tawanan Cinta Sang Penguasa   Bab 153. Ingin menembakmu

    Suara tembakan menggema di udara, memecah keheningan senja yang menyelimuti villa Walton—tempat sakral tempat mereka pernah mengikat janji dalam kebisuan yang penuh makna. Angin semilir membawa aroma pinus dan tanah basah, tapi juga menyapu suara detak jantung Marco yang tak karuan.Satu peluru menghantam papan target, nyaris sempurna di tengah.Marco berdiri di sisi belakang lapangan tembak, tubuhnya tegak namun pasrah, dengan rompi pelindung yang entah benar-benar melindungi atau sekadar menjadi simbol keputusasaan seorang suami yang terlalu mencintai istrinya.Hiriety berdiri sekitar sepuluh meter darinya. Perutnya belum menonjol banyak, tapi ada kelembutan baru di wajahnya—kelembutan yang justru membuatnya tampak lebih berbahaya. Ia mengangkat pistol ringan, matanya menyipit.“Jangan bergerak” katanya dengan nada ceria, seperti sedang meminta Marco berpose untuk lukisan, bukan menantang ajal.“Sudah pasti” ja

  • Tawanan Cinta Sang Penguasa   Bab 152. Good News

    “A-apa ini, mia cara?” tanya Marco terbata. Suaranya nyaris hilang oleh suara detak jantungnya sendiri yang melonjak, menghantam tulang rusuk.Hiriety berdiri tegak di depan meja makan dengan hoodie lusuh milik Marco dan rambut yang dikuncir asal. Di tangannya, sebuah test pack dengan dua garis biru tegas tergenggam. Ia tak menyodorkannya dengan gaya dramatis, tak pula meneteskan air mata—wajahnya datar. Tenang. Seolah ia baru saja menyerahkan remote TV.“Positif,” ucapnya pelan, nyaris tanpa intonasi. “Aku hamil.”Marco terpaku. Bola matanya menatap dua garis itu, lalu berpindah ke wajah Hiriety. Matanya bergetar. Bibirnya terkatup kaku.Beberapa detik ia hanya berdiri di sana, seperti seluruh neuron dalam otaknya berhenti bekerja kecuali satu: yang berbisik lirih, anak... kami?Lalu sesuatu dalam dirinya retak.“Dio mio...” desis Marco. Ia mendekat perlahan, seperti takut gerakannya aka

  • Tawanan Cinta Sang Penguasa   Bab 151. Comeback

    Pukul 03.27 dini hari waktu MilanLangit masih pekat dan udara dingin menyelimuti kota yang tidur. Di sebuah jalanan tenang di distrik Brera, sebuah mobil hitam meluncur perlahan, tanpa suara berlebihan. Di dalamnya, Marco duduk dengan wajah dingin dan mata sayu yang tak pernah lepas dari layar ponselnya yang memutar ulang video Hiriety—yang ia pantau melalui cctv yang masih terpasang diapartemen tanpa sepengetahuan istrinya itu.Sopirnya, Vincenzo, melirik lewat kaca spion tapi tak berani berkata apa-apa. Ia tahu, jika tuannya sudah seperti itu, hanya ada satu tujuan: kembali ke sumber apinya.Tak lama, mobil itu berhenti di depan gedung apartemen mereka. Marco keluar, hanya membawa koper kecil dan satu jas yang disampirkan di lengannya. Ia tak meminta dibukakan pintu—ia tahu kode akses, bahkan tahu bagaimana caranya membuka pintu depan tanpa membangunkan sistem alarm.Langkahnya menyelinap naik. Di lorong apartemen yang gelap, ia berjalan de

  • Tawanan Cinta Sang Penguasa   Bab 150. Distance

    Sebulan berlalu dengan cepat semenjak mereka kembali dari Cartagena. Hari-hari yang berlalu di Milan terasa monoton.Hiriety yang santai di apartemen, berbelanja atau bahkan mengganggu Marco saat bekerja.Namun, seminggu ini Marco harus berada di Washington untuk mengurus perusahaan secara langsung. Suaminya itu tak lagi bisa melakukan work from home karena urusan tender dan kartel Otoniel.Hiriety menatap ponselnya yang sunyi dari notifikasi. Sudah hampir 18 jam Marco tidak menghubunginya. Padahal sebelumnya, mereka nyaris tidak pernah absen menelepon meski hanya untuk mendengar satu sama lain bernapas.Ia berdiri dari sofa, berjalan ke dapur dan membuka lemari es hanya untuk menatap kosong isi di dalamnya. Lalu menutupnya kembali. Hiriety benci hari-hari seperti ini—sunyi, seolah Marco telah membawa denyut nadi dunianya bersamanya ke Amerika.Dan yang paling ia benci... adalah rasa khawatir yang ia sembunyikan dalam marah.Di mana ka

  • Tawanan Cinta Sang Penguasa   Bab 149. Forever together

    Pagi itu datang dengan angin lembut dan suara ombak yang menggoda di kejauhan. Matahari belum sepenuhnya terbit, tapi Hiriety sudah bangun lebih dulu, berdiri di balkon hotel sambil memeluk lengan sendiri. Rasa dingin bukan berasal dari udara, tapi dari kesadaran bahwa hari ini... mereka akan segera meninggalkan Cartagena.Marco belum bangun. Atau, tepatnya, berpura-pura belum bangun.Ia menatap Hiriety dari ranjang, diam-diam menikmati siluet istrinya yang diterpa sinar oranye keemasan. Gaun tidurnya berkibar pelan, rambutnya tergerai lembut. Satu sosok yang membuat kekacauan paling brutal sekalipun terasa seperti simfoni yang terorganisir.“Hey” panggil Marco akhirnya, suaranya serak dan dalam. “Pagi terakhir. Apa yang kau pikirkan?”Hiriety menoleh dan tersenyum, lalu kembali menatap laut. “Tentang kenapa semua yang indah terasa terlalu cepat berlalu.”Marco bangkit, mengenakan kemeja tipis dan langsung mengha

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status