Cahaya matahari siang menyusup melalui jendela besar ruang makan, memantulkan sinarnya pada meja panjang yang telah ditata dengan elegan. Piring-piring porselen, perak yang mengilap, serta berbagai hidangan menggoda tersaji rapi di hadapan mereka.
Marco Valley duduk di ujung meja, mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku, memperlihatkan otot-otot lengannya yang kencang. Rahangnya tegas, garis wajahnya tajam, dan matanya yang gelap menatap makanannya dengan fokus yang intens—seolah dia mencoba mengabaikan fakta bahwa Hiriety sedang duduk di hadapannya.
Hiriety sendiri, dengan tangan yang masih patah tetap tidak kehilangan pesonanya, duduk dengan anggun. Dia menyilangkan kakinya, menikmati setiap suapan makanan yang ia ambil dengan tangan kirinya, sesekali melirik ke arah Marco dengan mata abu-abunya yang penuh minat.
Tanpa malu-malu, dia meletakkan garpunya, menyandarkan dagunya di atas punggung tangannya, lalu menatap Marco terang-terangan.
"Aku harus mengakuinya, Valley" ucapnya dengan nada santai, tapi penuh arti. "Kau adalah pria yang luar biasa menarik."
Marco mengangkat alisnya, akhirnya mengangkat tatapannya dari piring. "Apa?"
Hiriety menyeringai, ujung jari jemarinya mengetuk pelan permukaan meja. "Aku tidak hanya bicara soal wajah tampanmu, meskipun, oh... kita tidak bisa mengabaikan fakta itu, bukan?" Matanya menyusuri setiap garis tajam wajah pria itu, mulai dari rahang kokoh hingga hidungnya yang lurus sempurna. "Mata gelap yang penuh misteri, ekspresi dingin yang membuat orang bertanya-tanya apa yang ada di kepalamu... ditambah postur tubuh tinggi dan kekar yang jelas-jelas dibuat untuk dominasi."
Marco menatapnya tanpa ekspresi, tapi ada kilatan samar di matanya—sesuatu antara ketidakpercayaan dan godaan yang coba ia redam. "Kau selalu seperti ini?" tanyanya akhirnya, suaranya rendah dan penuh perhitungan.
"Seperti apa?" Hiriety bertanya balik, kepalanya sedikit dimiringkan.
"Menggoda tanpa rasa takut."
Hiriety tersenyum. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Lagipula, seseorang harus mengapresiasi keindahan, bukan? Dan kau, Marco Valley, adalah salah satu karya terbaik yang pernah kulihat."
Marco terdiam selama beberapa detik, lalu ia mengambil gelas anggurnya, menyesap isinya tanpa tergesa-gesa. Tatapannya tetap terkunci pada Hiriety, mencoba mencari celah dalam permainan yang sedang dimainkan wanita itu.
Tapi Hiriety hanya tersenyum lebih lebar.
Karena kali ini, Marco tidak membantahnya.
“Aku suka membaca, kau tahu..” Hiriety mulai bercerita “Aku juga suka menonton, karena itu aku memiliki fantasi yang tinggi”
Marco tidak menanggapi, tetapi matanya tetap memperhatikan wanita di hadapannya dengan tajam, seolah menunggu langkah selanjutnya dalam permainan yang tengah mereka mainkan.
Hiriety tersenyum tipis, menikmati bagaimana pria itu tetap dalam mode bertahan. "Fantasi-fantasi itu bisa bermacam-macam," lanjutnya, jemarinya yang ramping dengan santai melingkari leher gelas anggurnya. "Seperti... bagaimana seorang pria yang sangat dominan akhirnya kehilangan kendali di hadapan seseorang yang tahu cara mengusiknya."
Marco terkekeh kecil, nada rendah suaranya mengandung ejekan. “Jika itu cara halusmu untuk mengatakan bahwa kau ingin membuatku kehilangan kendali, Walton, maka aku harus memperingatkanmu—aku bukan tipe pria yang mudah tergoyahkan.”
Hiriety mengangkat bahunya dengan anggun, matanya masih menatap Marco dengan penuh ketertarikan
“Apa kau tahu siapa yang meracuniku dengan fantasi itu?” Tanya Hiriety
Marco terlihat tak berminat menjawab
“Lumia, Mommy Selena”
Marco menegakkan punggungnya sedikit, ekspresinya tetap datar, tetapi ada ketegangan halus yang melintas di matanya sesaat setelah nama itu disebut. Lumia, ibu dari wanita dambaannya.
“Aku menghabiskan sebagian dari hidupku bersama dengan Selena dan aku tahu jika Selena akan berakhir dengan Matthias. Jadi bisa kau hentikan rencana gilamu untuk merebutnya? Aku tak ingin terjadi pertumpahan darah”
Marco menatap Hiriety lama, ekspresinya sulit ditebak.
Hening sejenak menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara dentingan halus sendok perak saat Marco mengetuk ringan tepi piringnya. Hiriety tidak mengalihkan pandangannya, menikmati ketegangan yang perlahan merayapi udara di antara mereka.
“Jadi itu yang kau inginkan?” Marco akhirnya berbicara, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan bahaya. “Kedamaian?”
Hiriety tersenyum kecil, mengangkat gelas anggurnya, mengamatinya sejenak sebelum menyesap perlahan. “Kedamaian mungkin terdengar membosankan bagimu, Valley. Tapi percayalah, itu jauh lebih baik daripada menyaksikan dunia runtuh hanya karena ambisi seorang pria yang keras kepala.”
Marco meletakkan sendoknya dengan tenang, lalu bersandar ke kursinya. “Kau benar-benar berpikir aku akan menyerah hanya karena kau meminta?”
Hiriety tertawa kecil. “Oh, tentu saja tidak. Aku tidak cukup naif untuk berpikir kau akan mundur begitu saja.” Dia menyandarkan dagunya di tangannya, menatap Marco dengan penuh minat. “Tapi aku penasaran, seberapa jauh kau akan bertahan sebelum akhirnya menyadari bahwa ini semua sia-sia?”
Marco tidak segera menjawab. Matanya yang gelap menelusuri wajah Hiriety, mencari celah, mencari maksud tersembunyi di balik kata-katanya.
“Aku tidak percaya takdir, Walton.” Marco akhirnya berkata. “Aku tidak percaya pada konsep bahwa seseorang sudah ‘ditakdirkan’ untuk yang lain. Jika aku menginginkan sesuatu, aku akan mengambilnya.”
Hiriety terkekeh, nada suaranya mengandung sesuatu yang nyaris seperti simpati. “Dan itu sebabnya kau akan berakhir dengan tangan kosong.”
Marco mengetukkan jarinya ke permukaan meja, ekspresinya semakin gelap. “Dan apa untungnya bagimu? Kau bicara seolah-olah kau peduli pada Matthias, tapi aku tahu kau bukan wanita yang bertindak tanpa motif.”
Hiriety tersenyum samar, tetapi ada kilatan emosi dalam matanya—sesuatu yang nyaris tak terlihat. “Aku hanya ingin melihat sesuatu berjalan sesuai dengan apa yang seharusnya. Sesederhana itu.”
Marco menyipitkan matanya. “Atau mungkin kau hanya ingin memastikan aku tidak mendapatkan Selena, agar kau bisa terus bermain-main denganku.”
Hiriety tidak menjawab, tetapi seringainya semakin lebar, seolah mengatakan bahwa Marco akhirnya mulai mengerti permainannya.
“Oh, Valley…” bisiknya, jemarinya dengan santai mengusap pinggiran gelas anggurnya. “Siapa bilang aku tidak menikmatinya?”
Ketegangan di antara mereka semakin memanas, tetapi kali ini, bukan hanya karena permusuhan.
Marco tersenyum miring. “Kau adalah masalah, Walton.”
Hiriety mengangkat bahu. “Dan kau selalu tertarik pada masalah.”
Tiga minggu kemudian — Rumah Sakit Columbia Medical Center, New YorkJam menunjukkan pukul 03.47 dini hari.Langit di luar gelap pekat, tapi di dalam kamar bersalin, waktu tidak lagi punya arti. Semua terasa mendesak. Napas Hiriety memburu, peluh membasahi dahinya, dan suara detak jantung janin berdetak kencang dari monitor di samping tempat tidur.Marco berdiri di sampingnya, mengenakan scrub hijau kebesaran yang menggantung aneh di tubuhnya. Tangannya tak lepas dari menggenggam tangan Hiriety yang basah dan gemetar.“Kau bisa, mia cara. Tarik napas. Fokus padaku” katanya, meski suaranya sendiri bergetar.Hiriety menoleh, matanya merah, tapi masih menyala. “Kalau kau ulangi kata ‘fokus padaku’ satu kali lagi, aku akan lempar alat EKG ke wajahmu.”Marco langsung mengangkat tangan satunya. “Diterima. Tidak akan diulang. Maaf.”Perawat sudah bersiap. Dokter kandungan mereka, Dr. Elea
Udara musim semi menyambut mereka dengan aroma tanah basah dan sinar matahari hangat. Pepohonan di sepanjang jalan mulai menumbuhkan tunas-tunas hijau muda, dan burung-burung gereja terdengar ramai berceloteh di dahan yang baru saja bangkit dari tidur panjang musim dingin.Mobil berhenti di depan sebuah rumah bergaya kolonial yang tenang namun elegan, tersembunyi di tengah kawasan Cleveland Park—lingkungan tua yang penuh sejarah dan pepohonan besar yang teduh. Rumah itu tidak mencolok, tapi berkelas. Warna putih tulang berpadu dengan jendela-jendela besar berbingkai hitam. Teras depannya memiliki dua kursi goyang dan pot gantung berisi tanaman lavender yang baru mekar.Marco keluar lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Hiriety yang sedang hamil tua. “Tunggu di situ. Aku bantu.”Hiriety turun perlahan, memandang bangunan di depannya dengan kening sedikit berkerut. “Ini… bukan hotel, kan?”Marco tersenyum, lalu mengeluark
Jam sudah lewat tengah malam. Lampu kota memantulkan cahaya lembut ke jendela kamar penthouse tempat Marco dan Hiriety menginap sementara setelah menengok Selena dan bayinya dirumah sakit. Kamar mereka tenang, hanya ada suara mesin pemanas yang menderu lembut di sudut ruangan.Marco baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, dan mengenakan kaus lusuh serta celana tidur. Hiriety sedang duduk di tepi ranjang, kedua tangannya menopang perutnya yang sudah besar. Wajahnya sedikit tegang.Marco langsung menyadari ada yang berubah. “Mia cara?” tanyanya sambil mendekat.Hiriety tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, lalu menoleh pelan. “Aku… merasakan sesuatu. Seperti… perutku mengencang. Lalu... ada rasa nyeri dari pinggul ke bawah.”Marco langsung duduk di sebelahnya. “Sakitnya seperti apa? Menusuk? Atau seperti ditarik-tarik?”“Lebih ke… ditekan. Dalam. Seperti kr
Ruang rawat itu hanya menyisakan kedua perempuan beserta bayi mungil laki-laki yang tetap tidur dalam pelukan Selena“Merasa lebih baik?” Tanya HirietyHiriety duduk pelan di sofa dekat ranjang. Ia mengamati wajah sahabat sekaligus kakak iparnya itu. Mulai dari matanya, pipinya, seluruh raut wajah yang baru saja melewati perang besar.Selena mengulas senyum tipis lalu mengangguk “aku bahagia” UcapnyaSelena mentapnya lalu ikut mengulas senyum “Aura keibuanmu sudah keluar” ucap Hiriety, jujur dari hati“Apa karena aku sudah punya anak yaa” Kekeh Selena pelanHiriety menggeleng “Dari dulu sudah terasa, hanya saja.. kali ini benar-benar berbeda” jelasnya“Berbeda seperti apa?”“Entahlah, susah diucapkan dengan kata-kata. Ngomong-ngomong bagaimana rasanya melahirkan? Mengeluarkan bibit Matthias dari badan sekecil itu?” Tanya Hiriety“Lu
Beberapa jam setelah kelahiran bayi laki-laki mungilnya, Selena dipindahkan ke ruang inap VIP. Cahaya sore menembus tirai jendela besar, menyinari interior yang bersih dan hangat dengan aroma antiseptik samar yang tidak terlalu menyengat.Selena berbaring di ranjang dengan bantal empuk menopang punggungnya. Matanya masih tertutup, efek obat bius yang belum sepenuhnya hilang. Wajahnya tenang, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari perjuangan yang baru saja dilaluinya.Di sudut ruangan, Matthias duduk di kursi berlapis kain krem. Di pelukannya, sesosok bayi kecil terbungkus selimut putih bergaris biru muda. Bayi itu tidur pulas, dadanya naik turun perlahan dengan suara napas yang hampir tak terdengar. Jemari mungilnya tergenggam, sesekali bergerak refleks seperti sedang memegang sesuatu dalam mimpi.Matthias menatap anaknya, nyaris tak percaya. Ia telah mendengar tangis pertama itu, telah melihat tubuh kecil itu bergerak untuk pertama kalinya di dunia ini. Tap
Washington, D.C. USALangit musim semi menutupi kota dengan awan tipis yang bergerak malas. Di dalam rumah sakit bersalin terbesar di pusat kota, suasana jauh dari tenang. Ruang tunggu di luar ruang operasi penuh dengan ketegangan, dan di tengahnya, Matthias mondar-mandir seperti tahanan yang menunggu vonis.Marco duduk santai di kursi panjang, satu tangan menggenggam tangan Hiriety yang sudah mulai bengkak karena kehamilannya, dan tangan lain memegang botol air mineral yang belum dibuka.“Dude, kau mau bikin lubang di lantai?” tanya Marco, alis terangkat sambil melihat Matthias yang tak berhenti berjalan maju mundur. Baru kali ini dia melihat pewaris Walton itu tampak sangat cemas.Matthias menoleh, wajahnya pucat, rambut acak-acakan, dan kemejanya tampak seperti sudah dipakai dua hari berturut-turut. “Berisik. Istriku di dalam ruang operasi. Dia—dia sedang melahirkan dan aku lupa cara napas! Dokter itu mela